Taman Pasuk Kameloh: Kabar Perdamaian Sang Enggang

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak bisa berlama-lama di atas Jembatan Kahayan. Waktuku tak banyak, waktu berbuka puasa di Palangkaraya setengah jam lebih cepat dari waktu berbuka puasa di Ibu Kota. Oleh karenanya kuputuskan untuk segera menyudahi eksplorasi di Jembatan Kahayan.

Aku memasukkan Canon EOS M10 ke dalam folding back di punggung. Lalu untuk terakhir kali menatap sejenak pesona di bawah jembatan. Baru kemudian benar-benar beranjak pergi meninggalkan eksotisme itu.

Tetapi sebelum sepenuhnya pergi, aku melambaikan tangan kepada photographer professional di seberang trotoar. Dia tersenyum mengangguk sebagai respon atas lambaian tangan yang kuberikan. Mungkin kami berdua memiliki kemistri dan saling paham sebagai pemburu pesona alam.

Sesuai dengan niat yang tetiba hinggap dalam diri semenjak melihat hijau mempesonanya Masjid Darul Amin dari atas jembatan, maka aku pun bergegas menuju masjid itu. Masjid mungil itu berada di sudut timur sebuah taman kota. Oleh karenanya, secara otomatis aku akan menikmati sejenak taman kenamaan itu.

Berjalan memutar dengan titik balik di pangkal selatan jembatan, aku berhasil mencapai gerbang taman dengan cepat.

Gerbang taman itu terlihat khas, berupa gapura dengan ornamen dan motif Dayak lekat tersemat di setiap jengkalnya. Sementara signboard penunjuk arah ke berbagai kota ada di sebelahnya.

Tanpa ragu aku memasuki taman dan sejenak mengambil tempat duduk di area teater terbuka. Duduk ditangga paling atas, aku dengan leluasa bisa menikmati aktivitas warga di seluruh penjuru taman.

Rona Bahagia terpancar dari setiap wajah pengunjung taman. Kondisi itu turut membuat moodku kembali menanjak setelah sesiangan dihajar dehidrasi yang hampir melemahkan langkah.

Itulah keajaiban taman kota….

Jika kamu ingin menemukan kebahagiaan maka jangan ragu untuk pergi ke taman kota. Niscaya kamu akan mudah sekali mendapatkan atmosfer itu. Boleh dikata, setiap orang akan pergi ke taman kota dengan suasana riang dengan beragam tujuan. Bertemu teman, menyambut senja, merasakan sejuknya udara kota di bawah naungan pepohonan rindang serta menikmati kuliner lokal dari deretan kedai sekitar.

Kontan senyumku merekah ketika duduk di ketinggian, menikmati semua suasana itu dengan seksama.

Sekelompok muda-mudi telah bersiap diri menyambut waktu berbuka puasa dengan berbincang-bincang dengan sesamanya, sembari menghadap sajian takjil yang di gelar di tengahnya. Beberapa yang lain, tampak berkumpul di sebuah patung raksasa Burung Enggang dengan sibuk berfoto berlatarkannya. Selebihnya, mereka menikmati aliran deras Sungai Kahayan dari teras lantai dua Masjid Darul Amin.

Beberapa saat kemudian, aku bangkit dari duduk dan melewati seperangkat air mancur yang sedang tidak dioperasikan.

Alangkah indahnya taman ini jikalau air mancur ini memancar sesuai dengan pola yang dihasilkannya”, aku melihatnya sepintas.

Kemudian….

Aku bergegas menuju ke masjid demi menunaikan shalat tahiyatul masjid seperti yang telah kuniatkan.

Aku melewati sebuah nameboard besar berwarna kuning emas.

PASUK KAMELOH….Oh, itu nama taman ini”, aku termanggut-manggut.

Pasuk Kameloh merujuk pada sebuah makna dalam Bahasa Dayak. “Pasuk” merujuk pada “Bakul atau Barang”, sedangkan “Kameloh” merujuk pada “Gadis Dayak Ngaju”. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Pasuk Kameloh memiliki makna sebagai barang berharga yang dimiliki seorang gadis Dayak yang cantik.

Gerbang Taman Pasuk Kameloh.
Taman penuh motif Dayak.
Sempadan Sungai Kahayan dilihat dari teras Masjid Darul Amin.
Interior masjid.
Salah satu spot kongkow taman.
Patung Burung Enggang.

Kembali pada langkahku menuju ke masjid.

Melalui sebuah jembatan mini, aku tiba di teras atas masjid. Melepaskan alas kaki, aku memasuki area teras dan langsung menuju ke bagian teras yang berhadapan langsung dengan aliran Sungai Kahayan.

Tampak aliran deras air sungai berwarna kecoklatan yang dihiasi dengan lalu-lalang kapal penumpang berukuran kecil yang melintas di tengahnya. Sedangkan di sepanjang sempadan, tepat di bawah tempatku berdiri , berjajar deretan cafe-cafe panggung yang mulai dibanjiri muda-mudi demi menikmati hadirnya senja.

Selanjutnya, aku mulai meninggalkan pemandangan indah itu, mengambil air wudhu untuk kemudian menunaikan shalat tahiyatul masjid dua raka’at. Hatiku berasa damai ketika bersujud di atas sajadah. Mudah sekali bagiku untuk masuk ke dalam kekhusyu’an, karena hanya diriku seorang yang berada di dalam masjid mungil itu. Itulah kesempatanku untuk memanjatkan syukur kepada Sang Kuasa yang berkehendak mengantarkan langkahku hingga tiba di “Kota Cantik”.

Kota Cantik….Yups, begitulah julukan bagi Kota Palangkaraya.

Usai melaksanakan shalat, aku termangu terpesona dengan interior masjid yang dominan klasik oleh karena furniture berbahan kayu jati berusia tua. Menunjukkan bahwa taman kota dan seisinya itu didesain dengan sempurna demi menaikkan kebahagaian masyarakat Palangkaraya.

Lantas aku meninggalkan masjid itu ketika waktu sudah semakin merapat ke waktu berbuka puasa. Waktuku telah terhitung mundur sejauh sepuluh menit semenjak itu.

Tapi demi melengkapi eksplorasiku, sejenak aku melangkahkan kaki menuju patung raksasa Burung Enggang yang masih saja ramai dikerubuti oleh pengunjung.

Burung Enggang memang menjadi burung terkenal khas Kalimantan yang dianggap oleh mayarakat sebagai titisan dewa yang menyebarkan perdamaian di muka bumi. Sejenak aku termangu memperhatikan bentuk paruh burung itu yang memiliki keunikan tersendiri.

Namun, karena waktu yang tak lama lagi, aku segera beranjak menuju gerbang taman. Aku harus segera beranjak menuju Dermaga Rambang.

Aku akan berbuka puasa di tempat itu.

Kisah Selanjutnya—->