Mencicip Lembutnya Es Krim Angi

Aku baru saja usai menyantap Bubbor Paddas di sebuah bangku milik Warong Pa’ Ngah. Sembari duduk untuk menurunkan makanan ke lambung, jemariku mulai lincah berselancar di sebuah aplikasi berbasis denah untuk mencari keberadaan sebuah sajian kuliner lain yang terkenal di Pontianak.

—-****—-

Kembali ke malam sebelumnya….

Keberadaanku di Pontianak akhirnya diketahui oleh salah satu pimpinan perusahaan tempatku bekerja. Karena beliau berasal dari Pontianak, maka sudah barang tentu beliau memahami seluk beluk, budaya dan kuliner Kota Khatulistiwa tersebut.

Salah satu kuliner terkenal yang direkomendasikan oleh beliau untuk kucicipi adalah Es Krim Angi yang kini lokasi outletnya sedang kucari di layar telepon pintarku.

Berdasarkan cerita beliau, dahulu kala es krim ini hanyalah es krim bergerobak dorong yang dijual di depan SMP dan SMA Petrus. Karena rasanya yang enak akhirnya mengantarkan es krim ini menjadi sebuah kuliner idola dan bahkan kemudian boleh dikatakan melegenda di Kota Pontianak.

Berbalas pesan dengan beliau pada malam sebelumnya berhasil menggugah rasa ingin tahu dalam hati. Aku yang penasaran setelah mengetahui informasi tersebut akhirnya memutuskan untuk mengunjunginya siang itu juga.

Tentu siang itu menjadi momen yang sangat tepat karena aku baru saja usai menyantap makan siang, maka sajian Es Krim Angi bisa menjadi sajian penutup (dessert) dalam rangkaian makan siangku.

—-****—-

Usai menemukan lokasinya di aplikasi maka aku segera memesan transportasi online demi menuju ke sana. Lokasinya yang berjarak hampir empat kilometer dari Warong Pa’ Ngah dan cuaca yang teramat terik membuatku urung untuk berjalan kaki.

Tak perlu waktu lama, akhirnya transportasi online yang kupesan pun tiba. Aku segera naik dan mengonfirmasi tujuan kepada pengemudi.

Menyusuri  sepanjang Sungai Jawi melalui Jalan Hasanuddin, aku berbelok di Jembatan Gertak 2 untuk menyambung perjalanan melaui Jalan Merdeka Barat. Kemudain berganti ke Jalan HOS Cokroaminoto setelah melintasi Bundaran Tugu Penghargaan Bank Indonesia. Untuk kemudian melintasi ruas terakhir di Jalan Gusti Sulung Lelanang sebelum tiba Jalan Karel Satsuit Tubun dimana Es Krim Angi berada.

Aku sedikit kebingungan ketika diturunkan di titik terakhir perjalanan. Mataku awas memperhatikan sekitar demi mencari plang nama kedai es krim tersebut. Aku tak kunjung menemukannya, tetapi mataku tertuju pada sebuah rumah yang sangat ramai.

Setelah memperhatikan dengan teliti, ternyata aku menenemukan sebuah plang nama kecil bertuliskan “Es Krim Angi Est 1950” yang sedikit tertutup dahan. Aku mulai memasuki pekarangan rumah dan kemudian faham bahwa es krim ini menggunakan pekarangan rumah untuk berjualan.

Satu hal yang membuatku sedikit was-was adalah begitu penuhnya bangku kedai es krim tersebut oleh para pengunjung. Aku sedikit khawatir dengan resiko penularan COVID-19 dengan keramaian seperti itu. Tetapi tak mungkin juga aku harus menggagalkan rencana menikmati es krim legendaris ini. Maka pada akhirnya aku memberanikan diri untuk duduk di salah satu bangku.

Dan sebelum duduk, aku sudah memesan es krim kombinasi rasa coklat, durian dan vanilla yang disajikan dalam batok kelapa muda. Begitulah cara memesan es krim di kedai ini, penjual akan meminta kita menyebutkan tiga jenis rasa yang akan dituangkan dalam dua pilihan wadah, yaitu di batok kelapa atau di gelas kertas berukuran standar.

Di kedai ini, selain es krim yang dijual dengan gerobak, juga terdapat display kue dan snack yang bisa dibeli oleh para pengunjung. Jadi bisa sekalian membeli buah tangan bagi yang berminat.

Plang nama yang sedikit tersembunyi.
Keramaian pengunjung outlet.
Gerobak es krim dan jajanan lain.
Ini dia aktornya….

Benar adanya, es krim ini memang menyuguhkan tekstur lembut di lidah dengan rasa es krim yang sangat lezat. Aku menyantapnya pelan karena tak akan pernah tahu kapan lagi bisa ke tempat tersebut. Jadi sensasi kelezatan es krim tersebut benar-benar kunikmati dengan khidmat.

Aku menyudahi kunjungan di Es Krim Angi dengan membayar pesananku sebesar Rp. 23.000.

Setelah merasakan nikmatnya sajian ini maka sudah kupastikan bahwa kalian harus mencobanya jika berwisata ke Kota Pontianak.

Bus DAMRI dari Kota Padang ke Minangkabau International Airport

Kusantap dengan lahap otentiknya cita rasa tambusuolahan usus sapi dengan telur, tahu dan bumbu di dalamnya– sebagai santap malam terakhir dalam seminggu petualanganku di tanah Sumatera. Sedikit insiden kuliner mengganggu di pertengahan kunyahan. Benda kenyal itu kufikir menjadi kesatuan dari menu tambusu….Oh, ternyata…..Itu karet gelang.

Pemilik restoran : “Sepertinya Uda nih orang jauh?

Aku                              :     “Dari Jakarta, Da

Pemilik restoran     :     “Kerja Da di Padang

Aku                              :     “Oh, ndak Da. Saya sedang jalan-jalan saja

Pemilik restoran     :     “Ohh…Habis darimana saja, Da?

Aku                              :     “Beberapa hari lalu saya keliling Medan, Toba, Siantar, Pekanbaru dan Bukittinggi, Da. Padang yang terakhir, ini saya mau terbang ke Jakarta

Pemilik Restoran    :     “Wah, mantab nih, Uda. Totalitas jalan-jalannya

Percakapan ringan itu terhenti dengan datangnya Calya hitam yang akan mengantarkanku ke pool Bus DAMRI di Jalan Hasanuddin. Dalam hujan lebat, akhirnya aku membasahi jok depan taksi online itu. Beruntungnya si pemilik sangat ramah dan tak menghiraukannya, walaupun kendaraannya adalah mobil baru yang masih menebar kuat aroma pabrik.

Jalan Hasanuddin.

Tak seperti yang kubayangkan, ternyata kemegahan pool bus DAMRI dalam mindsetku hanya diwujudkan oleh ruangan tenda terbuka yang tak lebih baik dari shelter bus kota pada umumnya.

Pool Bus DAMRI Bandara.

Aku menunggu kedatangan Bus DAMRI yang akan memindahkanku dari pusat kota Padang menuju ke Minangkabau International Airport yang jaraknya sekitar 25 kilometer dan memerlukan waktu tempuh sekitar 40 menit. Itu semua bisa ditebus dengan harga Rp. 23.500.

Sembari menunggu kedatangan bus DAMRI, aku terus mengamati permainan sepak bola ala kampung oleh anak-anak belasan tahun yang berhambur memenuhi lapangan Imam Bonjol Square untuk berpesta hujan sembari memainkan si kulit bundar.

Imam Bonjol Square.

Kondektur Bus DAMRI tiba-tiba memanggilku, “Da, ayo segera naik, kita akan berangkat!”. Aku bahkan tak menyadari bahwa bus DAMRI itu telah merapat sedari tadi.

Itu dia Bus DAMRI Bandara.

Kondisi koridor bus DAMRI yang basah menunjukkan bahwa Minangkabau International Airport pun tak luput dari guyuran hujan. Ini memberi sinyal bahwa aku tak akan leluasa mencari bahan untuk menulis konten tentang Minangkabau International Airport. Wah….Alamat, aku bisa terlewat satu konten penting.

Sepi penumpang.

AC bus DAMRI yang sangat dingin membuatku menggigil karena T-shirtku sendiri sudah terlalu lembab. Sedikitnya penumpang sore itu, membuatku tak malu untuk memutuskan untuk berganti t-shirt di atas bus. Duduk di bangku terbelakang dan tak ada yang memperhatikanku ketika bertelanjang dada….Hahaha.

Mungkin karena hujan deras, sehingga banyak orang yang enggan berada di jalanan dan lebih memilih menunda sementara hajat mereka masing-masing. Karenanyalah jalanan tampak lengang dan membuatku cepat tiba di Minangkabau International Airport.

Minangkabau International Airport.

Saatnya pulang ke Jakarta menunggang Boeing 737 MAX 8 milik maskapai “Singa Merah”.

Kisah Selanjutnya—->