Tertegun di Gereja Katedral Santo Yosef, Terpikat di Pusat Souvenir Pontianak

Parit buatan Kolonial Belanda di sepanjang Jalan Diponegoro dan Jalan H Agus Salim.

Bebarengan dengan mulai beranjaknya beberapa pengunjung meninggalkan Warung Kopi Asiang, aku pun menyeruput kopi tersisa di cangkir untuk kemudian bangkit berdiri dan menuju meja kasir. Setengah jam lagi warung kopi itu memang akan segera ditutup.

Lebih sedikit dari jam setengah lima sore aku beranjak pulang menuju hotel. Terpaan surya yang tak lagi menyengat mendorongku untuk kembali berjalan kaki menjelajah jalanan kota. Tanpa ragu aku bergerak menuju utara, kali ini aku akan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer.

Aku mulai melangkah menyeberangi parit yang memisahkan ruas Jalan H. Agus Salim di selatan dan Jalan Diponegoro di utara. Parit selebar 20 meter itu tampak bersih walaupun airnya menghitam, sedangkan beberapa titik di badan parit dipergunakan oleh pedagang utuk mendirikan tenda kuliner.

Meninggalkan area parit, aku memasuki Jalan Antasari yang di kiri-kanannya dijejali oleh ruko komersil. Ketinggian deretan ruko itu kumanfaatkan untuk berlindung dari terpaan surya yang sudah tergelincir di ufuk barat.

Belum juga tiba di ujung jalan, pada sebuah perempatan yang dipotong oleh Jalan Ir. H. Juanda, aku terhenti karena melihat sebuah bangunan ikonik di ujung timur. “Seperti bangunan gereja”, gumamku dalam hati.

Rasa penasaran itu menuntunku untuk merubah haluan demi menujunya. Tak lebih dari 150 meter dari tempatku berbelok, aku akhirnya sampai di depan bangunan. “Gereja Katedral Santo Yosef”, begitu aku membaca nama bangunan yang terpampang di halamannya.

Gereja Katedral Santo Yosef.

Bangunan gereja yang modern menunjukkan bahwa gereja ini belum lama mendapat sentuhan renovasi. Satu tengara penting yang masih kuingat sampai sekarang adalah keberadaan patung Santo Yosef berukuran besar di atas gereja. Di bawah patung itu terdapat empat jam besar yang mengarah ke empat arah berbeda.

Menyandang status sebagai gereja katedral dalam masa lebih dari satu abad menjadikan gereja ini menjadi landmark penting Kota Pontianak.

Puas menikmati keindahan gereja, aku pun melanjutkan langkah menuju hotel. Aku bergegas dan melangkahkan kaki dengan cepat dengan harapan segera tiba di hotel. Tetapi alih-alih menyingkat waktu, langkahku malah terhenti kembali karena keberadaan pusat penjualan souvenir dan buah tangan di sisi timur Jalan Patimura.

Kompleks PSP (Pusat Souvenir Pontianak) itu menghampar sepanjang 200 meter. Aku memang tak berniat membeli oleh-oleh apapun, tapi sempat berfikir bahwa tak ada salahnya untuk mampir dan melihat-lihat.

Kusempatkan selama lima belas menit untuk mengeksplorasi kompleks perbelanjaan souvenir yang menampung tak kurang dari 30 gerai souvenir yang menjual beraneka ragam makanan kemasan, aksesoris dan cendera mata khas Pontianak.

Mencoba masuk ke salah satu gerai yang penjualnya sedang sibuk melayani pembeli, aku berhasil melihat dengan leluasa berbagai jenis cendera mata yang umumnya dijual di kompleks ini.

Cendera mata yang dijual di Pusat Souvenir Pontianak.
Souvenir khas Pontianak.
Talawang, tameng khas Suku Dayak.
Senja di depan G-Hotel.

Mengambil beberapa gambar di Kompleks PSP, rasanya cukup bagiku untuk menyudahi eksplorasi singkat itu. Aku kembali melanjutkan langkah hingga ujung Jalan Patimura, kemudian berbelok ke barat di Jalan Jendral Urip, jalan dimana G-Hotel tempatku menginap berada.

Lewat sedikit dari pukul lima sore aku tiba di hotel. Masih ada waktu untuk menunaikan shalat jama’ sebelum masuk waktu maghrib.

Menyeruput Kopi Robusta di Warung Kopi Asiang

Tetap saja, aku menyantap Es Krim Angi dengan penuh rasa khawatir akan kemuingkinan mengalami penularan COVID-19 saking penuhnya pengunjung di warung es krim. Tapi apapun itu, aku masih saja bisa menikmati kelembutan es krim ternama tersebut.

Usai membayar es krim yang kupesan di kasir, aku segera keluar dari keramaian warung dan mengambil posisi berdiri di pinggir jalan.

Aku memutuskan kembali untuk memesan transportasi online menuju barat sejauh dua kilometer. Kali ini aku dihantarkan oleh seorang pengemudi berdarah Madura. Tetapi toh tetap saja, karena semenjak kecil sudah lahir di Pontianak maka dia susah berbahasa Madura.

Memahami bahwa aku akan menuju ke sebuah destinasi kuliner yang melegenda di kotanya maka dia pun mulai membuka sebuah cerita. Diceritakan dahulu bahwa sepanjang jalan yang kulewati adalah berasal dari sebuah kanal yang diurug untuk dijadikan jalanan.

Aku sendiri dibawanya menyusuri tiga ruas jalan berbeda yaitu Jalan Sultan Abdurrahman, berlanjut ke Jalan Teuku Umar dan Jalan Diponegoro. Dan aku melihat memang di sepanjang ketiga jalan itu terdapat kanal memanjang yang menyejajarinya. Mungkin kanal yang diurug menurut cerita si pengemudi online itu adalah kanal yang kulihat dengan cukup jelas di sepanjang Jalan Diponegoro.

Sedangkan Warung Kopi Asiang terletak di seberang kanal, tepatnya di Jalan Merapi yang merupakan jalan cabangan dari Jalan H. Agus Salim.

Warung Kopi Asiang diceritakannya sebagai sebuah warung kopi yang asalnya dibuka hanya untuk melayani para tenaga dan pengunjung pasar. Kala itu Asiang sang pemilik masihlah sangat muda.

Lambat laun warung kopi itu semakin ramai dan makmurlah Warung Kopi Asiang mulai saat itu. Untuk mempertahankan orisinalitasnya maka Asiang tak pernah mau membuka warung kopi cabang dimanapun. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa Warung Kopi Asiang hanya ada satu di seluruh penjuru Pontianak.

Harusnya Bang Donny berkunjung ke Warung Kopi Asiang saat pagi bersamaan dengan riuhnya para pedagang yang berjualan di pasar. Karena saat pagi hari, Koh Asiang akan datang ke warung dan melakukan demo pembuatan kopi khasnya. Dia akan menyeduh kopi dengan bertelanjang dada di hadapan para pengunjung warung”, pengemudi itu memberi saran.

Aku mengiyakan saja karena toh aku hanya punya waktu di saat siang itu untuk melakukan eksplorasi. Mungkin suatu saat nanti kalau ada waktu lagi berkunjung ke Pontianak, aku akan menyambangi warung kopi itu pagi-pagi sesuai anjurannya.

Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit aku sampai.

Begitu terpesonanya aku ketika pertama kali tiba. Bagaimana tidak, seluruh bangku di warung kopi itu telah penuh. Tak hanya para pengunjung berumur, tetapi para penikmat kopi dari kalangan muda usia juga hadir di sana. Ini bukti bahwa Kopi Asiang bisa diterima oleh semua kalangan.

Melihatku berdiri cukup lama sembari berharap segera ada pengunjung yang selesai menyeruput kopinya lalu meninggalkan bangku maka seorang pelayan warung datang menghampiriku. Setelah tahu bahwa kedatanganku untuk menikmati kopi di warungnya maka dia berinisiatif mengambil kursi beserta meja plastik dan ditempatkannya di halaman ruko kecil di sebelah Warung Kopi Asiang. Ruko itu tampaknya memang sedang tutup. Maka di halaman ruko itulah aku akan menikmati secangkir Kopi Asiang.

Lagi dibuatin kopi sama si kakak…
Penuh kan?…..Ckckckck.
Kopi Robusta penutup eksplorasi hari itu.

Walaupun kopi susu tampak menjadi pilihan favorit para pengunjung, toh aku lebih memilih meyeruput kopi robusta yang konon sangat terkenal cita rasanya di warung kopi berusia 64 tahun ini. Beruntung aku tiba dua jam sebelum warung tutup sehingga aku merasa tak terburu waktu untuk menyeruput kopi.

Saking menikmatinya, waktu satu setengah jam pun menjadi tak terasa ketika duduk di warung itu. Perlahan pengunjung satu per satu menyudahi kunjungannya. Kebetulan kopi di cangkirku hanya tinggal satu atau dua seruputan saja. Aku pun berniat sama untuk menyudahi wisata gastronomi tersebut.

Membayar secangkir kopi robusta dengan Rp. 6.000 akhirnya aku menyudahi petualangan sore itu dan berniat untuk segera kembali ke hotel.

House of Danar Hadi dan Ngarsopuro Night Market

<—-Kisah Sebelumnya

Museum Batik Kuno Danar Hadi.

Aku hanya berusaha mencari informasi sebanyak mungkin tentang beberapa event yang akan diselenggarakan di Taman Sriwedari pada dua bulan semenjak kedatanganku. Tetapi sungguh sayang, tak akan ada pertunjukan budaya dua bulan ke depan di taman budaya itu. Itu berarti, peserta Marketing Conference nanti tidak bisa diarahkan untuk menikmati pertunjukan budaya di Taman Sriwedari. Oke lah….Tidak mengapa, survey ini boleh dibilang gagal tetapi di lain sisi, setidaknya aku pernah menyempatkan diri untuk berkunjung di Taman Sriwedari dan menambah khasanah budaya tentang Kota Solo walau hanya genap setengah jam berkunjung.

Pukul setengah sepuluh malam, aku mulai meninggalkan Taman Sriwedari. Lalu kembali mengayunkan langkah ke arah timur untuk mensurvey destinasi terakhir pada jalur Kereta Wisata Jaladara. Tempat yang kutuju ini masih merupakan wisata heritage, terletak setengah kilometer dari Taman Sriwedari.

Destinasi ini berjuluk House of Danar Hadi. Tentu aku sudah mengetahui bahwa ketika tiba nanti, tempat ini sudah pasti tutup karena jam operasionalnya memang hanya sampai pukul lima sore setiap harinya. Tapi tak mengapa, aku hanya bermaksud untuk memastikan tempatnya karena aku sudah pasti merekomendasikan Divisi Acara Marketing Conference untuk memasukkan tempat ini sebagai salah satu tempat yang akan dikunjungi. Selain berbelanja batik khas Kota Solo, peserta Marketing Conference nantinya juga bisa mengunjungi Museum Batik Kuno Danar Hadi yang mengoleksi hingga sepuluh ribu jenis batik di dalamnya.

Beberapa menit setelah sampai di tujuan, aku hanya terdiam melihat bentuk bangunan itu dan mengamati area sekitar. Perlu waktu bagiku untuk mengamati destinasi ini sebelum memutuskan untuk meninggalkannya dan berpindah ke destinasi lain. Karena malam itu, aku akan menghabiskan waktu di sekitaran Ngarsopuro Night Market sebelum pulang ke hotel untuk beristirahat.

Aku melanjutkan ayunan langkah ke daerah Keprabon. Jarak Ngarsopuro Night Market dari House of Danar tak lebih dari satu kilometer. Aku hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk tiba di sana.

Tiba di Jalan Diponegoro. Perhatianku mendadak tertuju pada kerumunan di sisi barat jalan. Suara gamelan membuatku penasaran dan akhirnya aku tak kuasa menahan langkah untuk melongoknya.

Oh, ternyata sedang ada pertunjukan Wayang Kulit di tempat itu. Lebih baik, barang setengah jam, aku tetap berdiri dan menikmati pertunjukan itu, aku sudah sangat lama tidak menonton pertunjukan wayang.

Pertunjukan Wayang Kulit.

Beberapa waktu menjelang jam sepuluh malam, aku menyudahi menonton pertunjukan itu dan bergegas menuju ke area Ngarsopuro Night Market. Pasar malam ini sebetulnya dibuka setiap hari Sabtu malam, sedangkan aku datang di Senin malam. Oleh karenanya, keramaian pasar malam tak tampak maksimal. Hanya ada berapa food car dan gerobak kuliner yang menjaja makanan serta minuman di beberapa titik. Tetapi tetap saja, kuputuskan untuk berhangout ria dan berbaur dengan beberapa kelompok pemuda yang tampak menikmati malam dengan menyeruput kopi dan menyantap kuliner jalanan Kota Solo.

Mengambil sebuah tempat duduk dan menikmati secangkir coffee latte, aku mulai menghabiskan malam di tempat itu. Malam itu aku merasa puas karena petualangan sehari penuh yang kulakukan penuh dengan kenangan dan sangat memuaskan.

Hingga tak terasa waktu hampir menginjak pukul sebelas malam. Aku memutuskan untuk segera kembali ke Amaris Hotel Sriwedari dan berisitirahat karena esok hari masih ada jadwal survey yang sangat padat.

Food car in Ngarsopuro Night Market.
Para pengunjung yang sedang menikmati malam.
Akhirnya, aku bergabung dengan mereka.
Jalan Diponegoro.

Yuk lah….Balik….Bobo!

Kisah Selanjutnya—->

Puro Mangkunegaran: Simbol Perlawanan terhadap Kesewenangan

<—-Kisah Sebelumnya

Puro Mangkunageran.

Cerah sekali sore itu. Sudah lewat pukul lima tetapi langit masih saja bercahaya. Aku masih duduk pada sebuah kursi di sisi dalam gerbang depan Pasar Triwindu dan menikmati sajian gratis Jenang Suro*1.  Solo memang sedang menyambut Tahun Baru Islam yang akan datang esok hari, sehingga Paguyuban Pedangang Pasar Triwindu secara sukarela membagikan makanan khas itu ke seluruh pengunjung.

Pasar Triwindu sendiri, pada masa lalunya berjuluk Pasar Windujenar. Sebuah pasar barang seni dan barang antik yang dibangun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII untuk memperingati dua puluh empat tahun masa pemerintahannya. Oleh karenanya pasar ini terletak tak jauh dari istana.

Oleh karena sejarah itulah, kunjungan ke Pasar Trwindu tak akan pernah sempurna jika tak mengunjungi istana raja sang pembuat pasar itu. Bahkan setelah perjalanan surveyku ini selesai, aku menempatkan Pura Mangkunegaran dan Pasar Triwindu sebagai paket destinasi yang sangat dianjurkan untuk dikunjungi oleh selurh peserta Marketing Conference.

Tak lama setelah selesai menyantap Jenang  Suro yang bertabur sambal tumpang khas jawa, aku pun meninggalkan Pasar Triwindu, melewati pelataran depannya yang luas dan kembali menatap bangunan pasar yang sangat khas dan klasik sebelum berucap sampai jumpa lagi.

Aku berjalan perlahan menyusuri  trotoar di sepanjang Jalan Diponegoro, menuju ke utara sejauh tiga ratus lima puluh meter untuk mengunjungi Pura Mangkunegaran. Menginjakkan kaki di ujung pertigaan, maka aku telah sampai di seberang gerbang istana kenamaan itu. Padatnya arus lalu lintas membuatku sedikit berjibaku menyeberangi Jalan Ronggowarsito yang menerapkan sistem satu arah dan melingkari kompleks istana tersebut.

Sementara di salah satu sudut pertigaan menyuguhkan pemandangan penuh keramaian para pengunjung sebuah hotel berpadu restoran berjuluk Omah Sinten Heritage.Setelah kuselidik, nantinya aku baru tahu bahwa restoran itu memang menjadi salah satu tempat favorit bagi kaum muda hingga pegawai kantoran untuk berhangout ria menyambut hari libur nasional esok hari.

Berhasil menyeberangi Jalan Ronggowarsito, aku bergegas menuju pintu gerbang istana melewati jalur setapak sepanjang seratus lima puluh meter dengan pelataran sangat luas di kiri-kanannya. Sebelum benar-benar tiba di gerbang, sebuah bangunan Museum Puro Mangkunegaran meyambutku di sisi kiri gerbang. Museum itu tampak sepi dan tanpa penjaga, membuatku tak bisa memastikan apakah museum tersebut masih menerima tamu untuk berkunjung atau tidak.

Museum Puro Mangkunegaran.
Gerbang istana.

Begitu pula dengan gerbang tinggi istana, pagar besi itu pun tertutup rapat tanpa penjaga. Jelas menandakan bahwa istana tak menerima tamu sore itu. Istana memang ditutup untuk pengunjung tepat pukul lima sore.

Aku hanya bisa menikmati keanggunan istana dari kejauhan dan menatap sekelilingnya dengan kagum. Tapi aku tak pernah kecewa, aku sudah sangat bersyukur bisa mengunjunginya. Inilah istana yang menjadi simbol kekuasaan Kota Solo tempoe doeloe.

Puro Mangkunegaran juga menjadi lambang perlawanan seorang bangsawan atas kekuasaaan VOC dan kesewenangan lokal yang diterapkan Pakubuwono II sebagai pemimpin tertinggi Kasunanan Surakarta. Sebuah perlawanan sengit yang membuahkan kemenangan gilang-gemilang dari seorang Raden Mas Said kala itu.

Petulanganku di Puro Mangkunegaran harus segera diusaikan karena aku tak bisa berbuat apapun di depan gerbang raksasa itu. Aku memutuskan undur diri dan menuju ke destinasi berikutnya yang sudah tertuang dalam daftar panjang surveyku.

Mari kita pergi dari sini !

Kisah Selanjutnya—->

Menikmati Jenang Suro di Pasar Triwindu

<—-Kisah Sebelumnya

Patung Loro Blonyo yang menyimbolkan Dewi Sri dan Raden Sardono yang mendatangkan kemakmuran.

Pagi tadi aku telah menyambangi keramaian Pasar Gede Hardjonagoro. Dan sore ini, aku akan berkunjung ke sebuah pasar lagi. Pasar memang menjadi daya tarik tersendiri ketika berkunjung ke Kota Solo. Ada sisi keunikan dan kekhasan tersendiri di setiap pasar yang terletak di beberapa penjuru kota itu…..

Aku terperanjat dan melompat dari salah satu twin bed milik Amaris Hotel Sriwedari ketika Rahadian membangunkan tidur yang tak pernah kusengaja. Terlelap dengan pulas selama satu jam, membuat mataku begitu cerah lepas dari kekusutan yang menimpa selama menjalani survey lokasi di Kota Batik.

Sudah jam setengah lima sore, aku dan Rahadian bergegas menuruni lift dan menaiki taksi online yang sudah menunggu kami sejak lima menit lalu di area luar lobby. Walau sebetulnya lokasi yang kutuju tak jauh dari hotel, berkisar satu kilometer, tetapi aku tak akan pernah mengambil resiko kegagalan untuk menyambangi destinasi ini.

Keluar dari hotel, menyusuri Jalan Honggowongsi, bersambung ke Jalan Moh. Yamin dan kemudian menikung di ruas Jalan Gatoto Subroto. Berlanjut memotong jalan protokol kota, taksi online kemudian berhenti di salah satu sisi Jalan Diponegoro….Sampai.

Kini aku sudah menginjak halaman Pasar Triwindu dan tekun memandangi arsitektur pasar itu dari sebelah Patung Loro Blonyo yang patah tangan kanannya. Tampak ornamen wayang menghiasi sisi atap pasar. Dapat kubaca dengan sangat jelas “Selamat Datang di Pasar Triwindu, Pusat Penjualan Barang Antik dan Klitikan”.

Dahulu bernama Pasar Windujenar.
Halaman Pasar Triwindu.
Kios di bagian luar pasar.

Sebelum benar-benar memasukinya pun, sudah bisa terlihat sebuah baju zirah milik prajurit Keraton Solo terpajang gagah di salah satu lapak. Arca-arca berukuran kecil dibariskan rapi di atas lantai. Maka aku tak sabar memasukinya segera.

Kuputuskan mulai menjelajah dalaman pasar hingga menemukan banyak koleksi topeng pewayangan, piring lebar berbahan keramik khas Negeri Tiran Bambu, lampu-lampu gantung antik, bahkan almari berbahan jati tua dijadikan etalase untuk mendisplay setiap barang yang diperjualbelikan. Menjadikan suasanan di pasar terasa magis dan membuat berdiri bulu kuduk.

Aku sempat membelikan beberapa koleksi arca mini sebagai pesanan dari teman sekantor yang juga penggila barang-barang unik. Selebihnya aku hanya menikmati benda-benda penuh seni itu di sepanjang koridor pasar. Pantas saja jika kolektor luar negeri banyak berburu barang antik di sini.

Aku kembali berputar sebelum akhirnya menemukan sebuah keramaian kecil di sekitar pintu pasar. Tampak empat perempuan setengah baya sibuk membuka lapak makanan dan memasang spanduk bertuliskan “Jenang Suro”. Suro adalah pengganti nama Bulan Muharram di Kota Solo. Jadi bisa dipastikan, aktivitas ini ada kaitannya dengan Tahun Baru Islam. Aku mencoba mendekat dan seorang dari mereka melambaikan tangan penuh senyum.

Bagian dalam pasar.
Bagian dalam pasar.

Sini, Mas!”, ucapnya.

Wah ada apa, Bu. Kok ramai?”.

Ini Jenang Suro, mas. Cuma-Cuma. Untuk memperingati tanggal satu Suro”, jelasnya. Benar firasatku, peringatan Satu Muharam.

Mari, Mas dimakan, ini buatan para ibu-ibu pedagang di sini, lho. Pasti enak”.

Jenang Suro gratis.
Hmmh….Super enak.

Sore itu aku menikmati bubur panas, bertabur “sambel tumpang” berpadu dengan lembutnya kacang tolo, kikil kulit, potongan omelet dan tahu dalam siraman rempah yang sedap. Bahkan aku menghabiskan dua pincuk kertas saking nikmatnya.

Semua kesan yang kudapat, akhirnya membuatku memutuskan bahwa Pasar Triwindu ini layak untuk dijadikan salah satu destinasi pada acara Marketing Conference nanti.

Kisah Selanjutnya—->