Taksi dari Singkawang ke Pontianak: Kembali ke Awal

<—-Kisah Sebelumnya

Eksplorasiku di Singkawang harus usai lebih cepat. Menjelang tengah hari, aku mempercepat langkah menuju penginapan untuk bebenah. Seperti jalur pulang semalam, aku kembali melahap ruas Jalan Niaga, Jalan Kepol Mahmud dan Jalan Pasar Turi dengan cepat dan tanpa sekalipun berhenti walau hati tetap ingin mengambil foto di beberapa titik menarik.

Aku tiba di penginapan tepat satu jam sebelum keberangkatan ke Pontianak. Berbasuh dan melakukan packing dengan cepat, maka aku tiba di lobby hotel tepat waktu. Dengan segera aku menyerahkan kunci dan resepsionis wanita yang berjaga mengembalikan uang deposit kepadaku.

Terimakasih Hotel Sahabat Baru yang telah menjadi persinggahan murah nan ramah bagiku selama berada di Singkawang.

“Bang Bagus, sudah sampai mana?”, aku menelpon pengemudi taksi yang sudah kukenal semenjak menginjakkan kaki di Pontianak.

“Lima belas menit lagi sampai hotel, Bang….Mohon ditunggu ya!”, Bang Bagus menjelaskan singkat.

Aku tak melanjutkan percakapan karena faham bahwa dia sedang berada di belakang kemudi.

Sementara itu, perut lapar yang kurasakan belum juga mendapatkan solusi. Dari resepsionis hotel aku mendapatkan informasi bahwa kantin hotel tidak menjual makanan dan sementara itu, Yess! Coffee & Dessert yang berada lima puluh meter di selatan hotel juga tampak belum membuka diri.

“Sudahlah aku akan menahan lapar untuk sementara waktu”, aku memutuskan beberapa saat sebelum Agya merah yang dikendarai Bang Bagus tiba di depan lobby.

Taksi itu telah diisi oleh dua penumpang lain, berarti aku menjadi penumpang terakhir yang bergabung dalam perjalanan panjang itu.

Tanpa basa-basi, pedal gas telah diinjak kembali dan taksi perlahan merangsek meninggalkan Singkawang. Tentu aku tak akan terlalu sibuk memperhatikan atmosfer jalanan, karena aku telah melewati rute ini saat menuju ke Singkawang dari Pontianak.

Hotel Sahabat Baru di daerah Pasiran.
Hati-hati ya Bang Bagus…..

Aku lebih banyak diam menahan lapar, sementara aku faham bahwa taksi akan berhenti dua jam lagi untuk melakukan break. Aku terus mengutuk diri karena terlalu teledor tak mempersiapkan sesuatu.

Satu jam menahan lapar, aku melihat gelagat Bang Bagus yang berada di balik kemudi yang tampak gelisah karena diserang rasa kantuk. Dan hal itu membawa kabar baik tentunya, karena seperti dugaanku, dia akan berhenti mencari kopi.

Benar adanya, beberapa menit setelahnya, dia menghentikan mobil di sebuah minimarket untuk melakukan break singkat. Begitu dia keluar dari mobil, maka aku pun turut turun dan mencari pengganjal perutdi minimarket.

Usai meminum kopi dan menghisap sebatang rokok, Bang Bagus pun segera menjalankan taksi menuju Pontianak.

Dalam perjalanan ini, taksi melakukan break di Rumah Makan Putri Duyung di daerah Sungai Kunyit. Di rumah makan itu aku menghabiskan seporsi nasi sayur dan ayam seharga Rp. 28.000 sebagai pengganti makan siangku yang sudah sangat terlambat.

Rumah Makan Putri Duyung.
Suasana di belakang restoran.
Suasana sepanjang jalan dari Singkawang ke Pontianak.
Tugu Jam Sungai Pinyuh di pertigaan Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Jalan Pontianak-Sei Pinyuh

Aku sendiri tiba di Pontianak setelah melakukan perjalanan selama lima jam dan Bang Bagus mengantarkanku hingga lobby G-Hotel yang menjadi tempat persinggahanku selama mengeksplorasi Pontianak.

Yuk, kita intip bagaiamana dalaman G-Hotel, Nih dia mukanya:

G-Hotel.

Kisah Selanjutnya—->

Memantau Pesona Pasar Hongkong dari Vihara Tri Dharma Bumi Raya

<—-Kisah Sebelumnya

Kuserahkan Rp. 134.000 kepada resepsionis laki-laki yang bertugas di Hotel Sahabat Baru sebagai biaya menginapku semalam saja. Setelah diberikan sebuah kunci, maka aku keluar dari lobby dan melintasi halaman hotel yang berbentuk letter-u tersebut. Masuk di gedung seberang, aku berusaha tampak santai ketika melewati dua orang waria yang duduk di bangku panjang di pangkal koridor hotel.

“Astagfirullah….”, aku hanya menunduk dan tak menghiraukan keduanya untuk segera menggapai kamar bernomor pintu 9.

Khawatir tersalip gulita, aku segera mengambil kamera dan tanpa duduk sebentar pun, mulai melangkahkan kaki meninggalkan hotel. Menyusuri Jalan Pasar Turi yang termakan gelap, aku terus berjibaku melawan ragu untuk memulai eksplorasi di malam hari nan sepi.

Melintasi Vihara Setya Bumi Raya yang memendarkan cahaya merah dan menerangi jalanan yang kulewati membuatku semakin percaya diri melewati ruas demi ruas jalan di sekitarnya.

Kini aku sudah berganti ruas di Jalan Kurau yang kembali gelap, melintasi Sungai Singkawang dan tiba di Pasar Beringin. Langkahku dikejutkan dengan sebuah tarikan tangan dari sebelah kanan. Tak salah lagi, suara Pekerja Seks Komersial  itu sangat memohon kepadaku. Aku berusaha meminta maaf sehalus mungkin dan mulai menarik lengan dari cengkeraman lembutnya. “Maaf, saya sedang buru-buru….”, aku berusaha cepat meninggalkannya.

Hhmmhh, ada-ada saja….

Hatiku sedikit lega, ketika aku mulai menemukan keramaian di Jalan Setia Budi. Gerobak-gerobak food street berjajar rapi di sepanjangnya. Motor dan mobil banyak terparkir di sisi jalan sebagai pertanda bahwa warga lokal sedang menikmati sajian kuliner di sepanjang jalan yang masuk ke dalam aera Condong.

Vihara Setya Bumi Raya dekat penginapan.
Keramaian di Jalan Setia Budi.

Aku yang masih kenyang seusai memakan seporsi bakso dan nasi putih di Pondok Mutiara saat menempuh perjalanan Pontianak – Singkawang beberapa jam sebelumnya hanya berjalan pelan menikmati suasana nan ramai itu. Aku semakin betah saja karena  paparan asap dari gerobak-gerobak kuliner itu begitu memanjakan indra penciumanku dan siapa saja yang melewatinya.

Setiba di ujung jalan yang terputus sebagai sebuah pertigaan, aku melangkah mendekati sebuah spot di ujung kanan yang tampak dipenuhi khalayak. Tentu aku tahu tentang spot itu dan memang menjadi tujuanku melangkahkan kaki malam itu.

Adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang telah sekian lama menjadi ikon penting Singkawang yang berjuluk “Kota Seribu Kelenteng”. Menjadi tempat peribadatan umat Tri Dharma (Buddha, Tao dan Konghucu) tertua di kota tersebut, konon kelenteng yang hampir berusia satu setengah abad itu pernah menjadi tempat peristirahatan warga Tionghoa yang akan menambang emas di daerah Baengkayang.

Keindahan vihara ini terasa semakin paripurna karena keberadaan Pasar Hongkong yang terletak tepat di sebelah timurnya. Gerbang besar pasar kuliner malam itu hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Singkawang dari lokasi vihara berdiri.

Menyusuri kawasan Pasar Hongkong, aku sendiri hanya menikmati keriuhan warga lokal dan pendatang dalam menjajakan uangnya demi mendapatkan porsi-porsi kuliner kesukaan mereka masing-masing.

Tak hanya menikmati sajian kuliner jalanan, beberapa anak muda juga tampak asyik menikmati malam di Kopi Tiam Rusen yang tampak mencolok berdiri di tepian Jalan Niaga.

Satu jam berada di Pasar Hongkong menjadi waktu yang serasa bergulir cepat. Di kala mata belum puas mengagumi keramaian dan aroma harum kawasan kuliner itu, aku harus  segera meninggalkannya karena aku masih menyimpan rasa khawatir untuk melintasi jalan pulang yang tentunya akan semakin sunyi seiring dengan semakin beranjaknya malam.

Vihara Tri Dharma Bumi Raya.
Gerbang menuju Pasar Hongkong.
Kopi Tiam Rusen yang ramai pengunjung.

Akhirnya aku memutuskan berjalan kaki kembali menuju Hotel Sahabat Baru yang berjarak satu setengah kilometer dari Pasar Hongkong.

Untuk mengurangi resiko, aku mengambil jalan yang berbeda dengan jalan saat berangkat. Lebih jauh jalurnya, tapi kurasa itu akan lebih aman karena jalan yang kulewati adalah jalan besar nan terang benderang.

Melintasi Jalan Niaga, aku terus menatap keberadaan Tugu Naga Emas di perempatan sana.

“Itulah perempatan dimana aku harus berbelok ke kiri menuju penginapan”, aku mulai menetapkan jalur.

Dari tugu itu, aku menyusuri Jalan Kepol Mahmud yang akan tersambung dengan Jalan Pasar Turi, ruas jalan dimana penginapanku berada.

Tugu Naga Emas di sebuah perempatan kawasan pertokoan Jalan Niaga.
Jalan GM Situt, penghubung Jalan Kepol Mahmud dan Jalan Pasar Turi.

Aku tiba tanpa kurang satu apapun dalam dua puluh menit dan memutuskan untuk segera berbasuh dan beristirahat setelahnya.

Selamat malam Singkawang.

Kisah Selanjutnya—->

Taksi dari Pontianak ke Singkawang

<—-Kisah Sebelumnya

Karena bukan bagian dari rencana awal maka dengan cepat aku menolak tawaran menggunakan taksi menuju pusat kota. Fokus melangkah keluar arrival hall, beberapa waktu kemudian aku sudah berada di teras bandara. Usai mengabadikan beberapa gambar, aku bertanya kepada seorang petugas aviation security yang berjaga di sebelah pintu keluar.

“Semenjak PPKM Level 4, DAMRI hanya berangkat sekali saja pak dari bandara, jam tujuh pagi tadi dan dari Singkawang akan berangkat pukul lima sore”, begitulah informasi penting yang disampaikan olehnya.

Menguping percakapan itu maka beberapa sopir taksi datang menghampiri untuk menawarkan jasanya. Tiadanya pilihan yang lebih baik maka kuputuskan menerima salah satu tawaran, toh tak mungkin juga mencari bus umum dari pusat kota demi menuju Singkawang, pasti akan lebih lama dan ribet.

Adalah bang Udin yang membawaku ke sebuah kantor taksi Galaxy Travel yang berjarak tiga kilometer dari bandara.

Di dalam kantor aku ditemukan dengan Kak Nova yang bertugas sebagai staff. Dia menjelaskan bahwa untuk menuju ke Singkawang dengan biaya terjangkau, aku disarankan untuk menunggu dua penumpang lagi yang mengalami delay penerbangan, tentu keduanya adalah penumpang sudah memesan kursi jauh hari.

Usai menggenapi ongkos taksi sebedar Rp. 140.000 maka aku diserahkan kepada seorang pengemudi yang akan membawa taksi ke Singkawang, namanya Bang Bagus.

“Bang, lebih baik kita ngopi saja yuk ke pangkalan, biar nanti kedua penumpang terakhir diantar ke pangkalan oleh sopir lain”, Bang Bagus menawarkan opsi menarik.

“Ide bagus, Bang “, aku menyetujuinya.

Pangkalan yang dimaksud berada di daerah Arang Limbung, sekitar dua kilometer dari kantor. Setibanya di pangkalan aku baru tahu bahwa pangkalan tersebut berwujud sebuah warung kopi, Warung Kopi Rafsya namanya.

“Duduk aja bang, aku pesanin kopi, biar aku yang traktir”, begitu ucap Bang Bagus.

Aku segera mengambil tempat duduk dan beberapa waktu kemudian kopi itu di hidangkan oleh si empunya warung. Karena kebetulan waktu sudah melewati tengah hari maka kuputuskan untuk sekalian makan siang di warung kopi itu. Aku memilih menebus seporsi Nasi Kuning seharga Rp. 10.000

Kantor Galaxy Travel
Pangkalan para sopir taksi.

Tak berselang lama, para pengemudi taksi yang lain datang dan bergabung dalam obrolan ringan. Aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. Beberapa dari mereka tampak kesal karena menunggu pesawat yang mengalami delay sehingga penumpang mereka terlambat mendarat, sedangkan beberapa yang lain tampak muram karena tidak mendapat penumpang hingga lewat tengah hari.

Hampir dua jam aku larut dalam perbincangan mereka, hingga akhirnya telepon Bang Bagus berdering.

“Siap pak….Siap”, begitu jawaban singkatnya. Tebakanku benar, calon penumpang setaksi denganku telah mendarat dan sedang diantarkan sopir yang lain ke sebuah kedai teh di daerah Sungai Jawi.

Oleh karenanya, aku diajak Bang Bagus menuju ke kedai itu, “Menanti Sui Jawi” nama tea house itu. Usai kedua calon penumpang itu menyeruput tegukan terakhir tehnya maka taksi bersiap memulai perjalanan menuju Singkawang.

Baru saja hendak berangkat, Bang Bagus diminta bertukar penumpang oleh kantornya, dia diminta menunggu satu calon penumpang lain yang baru akan datang sejam lagi.

Merasa tidak enak denganku, dia berusaha membujuk kantornya untuk mendahulukanku bertolak menuju Singkawang dan hanya ada satu peluang bagiku untuk berangkat lebih cepat, yaitu ikut di sebuah armada Kijang Innova tetapi harus duduk di bangku belakang bersama barang-barang muatan.

Mengingat waktu yang terus bergulir, aku tak menolak tawaran itu. Selang beberapa waktu Kijang Innova yang dimaksud tiba dan tanpa pikir panjang aku menaikinya.

Akhirnya Kijang Innova itu pun berangkat menuju Singkawang….

Mengingat hari itu adalah hari kerja maka kemacetan tak bisa dihindari. Di beberapa titik, taksi tersendat cukup parah walau pada akhirnya dalam waktu tak lebih dari empat puluh lima menit, taksi itu benar-benar sudah berada batas utara Kota Pontianak.

Perjalanan darat Pontianak ke Singkawang akan menempuh perjalanan sepanjang 155 kilometer dan ditempuh dalam waktu empat jam.

Keluar dari Kota Pontianak, taksi ini melaju dengan cepat menuju ke Singkawang dengan melintasi dua kabupaten yaitu Mempawah sepanjang 80 km dan Bengkayang sepanjang 40 km.

Perjalanan ini sendiri memiliki satu kali waktu break dan momen ini dilakukan di Rumah Makan Pondok Mutiara yang berlokasi di daerah Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah.

Ini dia taksiku menuju Singkawang.
Sungai Mempawah di daerah Parit Banjar.
Pantai di desa Sengkubang.
Rumah Makan Pondok Mutiara.
Suasana di dalam rumah makan.
Pemandangan di belakang rumah makan.
Salah satu ruas Jalan Jend. Ahmad Yani yang merupakan jalan utama menuju ke Singkawang.

Laju taksi yang terlalu kencang membuatku tak bisa menangkap gambar selama perjalanan dengan sempurna, oleh karenanya, aku memutuskan untuk menikmati saja perjalanan sembari memandangi suasana perkampungan di provinsi paling barat Pulau Borneo tersebut.

Taksi ini sendiri akan melakukan perjalanan jauh hingga titik terakhir yang terletak di Kabupaten Sambas yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia.

Begitu penasarannya diriku ketika taksi mulai merapat di Singkawang beberapa saat usai waktu Maghrib. Atmosfer masyarakat Tionghoa terasa kental di sepanjang jalan. Aku cukup memahaminya karena Singkawang sendiri adalah China Town terbesar di Indonesia.

Aku diturunkan di depan lobby Hotel Sahabat Baru di daerah Pasiran, Singkawang Barat.

Terimakasih Galaxy Travel….Saatnya melakukan eksplorasi malam itu juga.

Hmmhhh….Ada apa ya di Singkawang?….

Kisah Selanjutnya—->