Berkejaran dengan Gelap di Sepanjang O’zbekistan Yo’li

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku menuruni anak tangga di gerbang Stasiun G’afur G’ulom terus diperhatikan oleh seorang wanita yang tampak cantik dalam balutan winter jacket berwarna pink, dia berhenti di tangga jeda demi berbicara dengan seseorang melalui telepon pintarnya. Aku paham bahwa wanita itu berdiri di tangga jeda juga untuk menghindari hawa dingin yang sore itu juga mulai menembus winter jacket bekas yang kukenakan.

Aku mengindahkannya ketika tepat berpapasan dengannya. Mataku lebih tertarik memperhatikan ruangan di ujung lorong, bertanya-tanya dalam hati, kejutan apa lagi yang akan aku temukan di ruangan stasiun mengingat ruangan di setiap stasiun Tashkent Metropoliteni memiliki desain klasik yang berbeda-beda.

Sore itu, aku tak kebingungan lagi tentang bagaimana harus mendapatkan tiket one-way, mengingat pada pagi sebelumnya, aku untuk pertama kalinya membeli tiket Tashkent Metropoliteni di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku menyerahkan 1.300 Som kepada kasir di loket stasiun. Sesudahnya akan memasuki pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Hanya perlu untuk membuka tas untuk diperlihatkan kepadanya hingga aku diizinkan memasuki peron setelah dinyatakan aman.

Seperti yang kuduga, kembali terpesona, aku terpesona dengan ruangan bawah tanah stasiun yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa berwarna hijau dengan lekukan-lekukan klasik di sepanjangnya. Sedangkan langit-langit stasiun dipenuhi dengan pola-pola lingkaran yang dilengkapi lampu-lampu penerang di setiap pusat lingkarannya. Sungguh perwujudan desain interior yang mengesankan.

Peron Stasiun G’afur G’ulom.

Lima menit menunggu, kereta putih berkelir biru datang dari salah satu lorong, decit rodanya memekakkan telinga, getarannya terasa di peron tempatku menunggu.

Sepertinya inilah kereta yang harus kunaiki”, aku membatin.

Benar saja, itulah kereta yang akan membawaku menuju Stasiun Oybek. Tanpa pikir panjang aku melompat masuk di gerbong belakang setelah kereta berhasil menghentikan lajunya. Untuk beberapa detik berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang, maka kereta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Aku bersandar pada sebuah tiang di dalam gerbong, menikmati rasa capek usai berjalan kaki seharian, hanya bersandar terpaku, melamun, menyerahkan diri mengukiti laju kereta.

Setidaknya aku harus melewati tiga stasiun lain sebelum tiba di Stasiun Oybek sebagai stasiun transfer menuju Yunusobod Yo’li. Tiga stasiun yang kumaksud adalah Stasiun Alisher Navoiy, Stasiun O’zbekiston, dan Stasiun Kosmonavtlar.

Aku sadar, kesalahanku hanya satu ketika berada di O’zbekistan Yo’li ini, yaitu tidak mencoba berhenti di Stasiun Kosmonavtlar yang konon memiliki desain super klasik nan megah.

Aku melewatkannya begitu saja hingga akhirnya sampai di Stasiun Oybek, untuk kemudian melalui lorong penghubung antar stasiun aku berhasil sampai di Stasiun Ming O’rik.

Stasiun Ming O’rik kembali memamerkan desain klasik lainnya. Memang tiang penyangga ruangannya tampak biasa saja, namun rasa klasiknya terletak pada desain lampu yang diinstall di langit-langit ruangan stasiun. Desainnya mirip stalagtit, unik tetapi tak meninggalkan sisi kewibawaan dari gaya arsitekturnya.

Menunggu selama enam menit, ternyata kereta yang datang memiliki beda bentuk dari kereta O’zbekistan Yo’li. Sore itu, kereta yang datang berwarna sepenuhnya biru langit, berbentuk kotak sempurna dengan usia gerbong yang nampak tua. Aku melompat di gerbong depan demi memasukinya. Kursi gerbong depan dipenuhi oleh penumpang lokal yang tampaknya baru saja pulang dari kantornya masing-masing. Aku memilih berdiri tepat di dekat pintu kereta, karena stasiun tempatku turun tidaklah jauh. Untuk turun di Stasiun Abdulla Qodiry, aku hanya perlu melintasi satu stasiun saja, yaitu Stasiun Yunus Rajabiy.

Peron Stasiun Ming O’rik.
Interior kereta di Yunusobod Yo’li.

Dalam delapan menit aku tiba…..

Maka aku telah berada di titik awal petualanganku kembali.

Aku beranjak keluar dari bawah tanah untuk naik ke plaza stasiun di permukaan. Berhasil menginjakkan kaki di plaza, gelap pun menyambutku. Gemerlap lampu telah berpendar di setiap bangunan di sekitar stasiun. Udara juga semakin dingin terasa.

Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.
Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku yang tak mampu berlama-lama di area plaza, segera beranjak menuju penginapan yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer saja dari Stasiun Abdulla Qodiriy.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Stasiun G’afur G’ulom

<—-Kisah Sebelumnya

Udara mulai mendingin ketka aku bertolak dari Moyie Mubarek Library Museum, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Langkah kakiku kali ini jelas, mengakhiri eksplorasi, menuju penginapan.

Aku membuka aplikasi transportasi Kota Tashkent berbasis Android….Aplikasi itu bernama 3TM. Aku sendiri sudah mahir menggunakan aplikasi itu karena aku telah menginstallnya di telepon pintar sebulan sebelum keberangkatan. Aku bisa dengan mudah memahami beberapa nomor bus kota yang melintas di sekitar penginapan yang kupilih.

Pada awalnya aku berencana menggunakan bus dari Halte Kalkavuz Kanali yang letaknya tepat di sisi selatan dari Hast-Imam. Ada bus bernomor 42 menuju penginapan. Namun aku mengurungkan niat usai melihat penuhnya halte oleh pekerja lokal yang menanti kedatangan bus.

Aku bergegas meninggalkan halte, mencari alternatif lain yang lebih nyaman. Alternatif terbaik adalah menggunakan jasa bus bernomor 109 yang akan berhenti di sebuah halte di depan Masjid Jami’ Akhunguzar, jaraknya hanya satu kilometer di Selatan Halte Bus Kalkavuz Kanali. Tanpa berpanjang pikir, aku melangkah cepat.

Lima belas menit selanjutnya aku tiba…..

Halte itu hanya berupa tiang penanda saja, tanpa tempat duduk, juga tanpa atap. Tepat di gerbang masjid yang langsung berbatasan dengan Zarqaynar Ko’chasi terdapat pedagang “Non” yang menjajakan roti khas Uzbekistan itu kepada para pengunjung yang keluar masuk masjid.

“Non” dengan aneka ragam, bentuk dan warnanya mengkilap sempat menggodaku untuk membelinya. Tetapi karena aku masih meyimpan dua buah “Non” yang pagi sebelumya aku beli di Chorsu Bazaar, aku mengurungkan niat untuk membeli “Non” kembali.

Sudah banyak “Non” yang terjual ketika aku berdiri di tiang halte hingga aku tersadar bahwa tak ada bus yang kunjung datang. Aku kembali berpikir ulang, mengingat sebentar lagi hari akan gelap. Hingga pada suatu waktu, aku kembali mengambil keputusan lain….Ya, aku bermaksud ingin mengunakan jasa Tashkent Metropoliteni menuju penginapan.

Aku pun beranjak dari halte bus untuk menyeberang Zarqaynar Ko’chasi. Aku harus menyisir trotoar sisi selatan demi menggapai Stasiun G’afur G’ulom. Tetapi sungguh pahit rasanya, baru saja aku berhasil menyeberang dan tiba di seberang jalan, bus kota berukuran kecil bernomor 109 tiba di halte tempatku menunggu beberapa saat sebelumnya.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom.
Sisi barat Sebzor Ko’chasi.
Gerbang masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Aku hanya menatap kesal sejenak lalu gontai menuju stasiun. Beberapa waktu kemudian, aku pun tiba di Stasiun G’afur G’ulom yang merupakan stasiun MRT yang berada pada jalur O’zbekiston Yo’li. Tak berasa aku telah berpindah dari sisi utara ke sisi timur Abdulla Qodiriy Park yang memiliki luas lebih dari 20 Hektar itu. Bisa kamu bayangkan kan seberapa jauh aku berjalan kaki?….

Tepat di sebuah perempatan dengan Ganga Skatepark sebagai landmarknya, aku menatap Halte Bus G’afur G’ulom yang berada di seberang utara jalan. Tapi sial, aku tak mampu menemukan jalur penyeberangan menujunya. Keberadaan flyover yang membentang dari selatan ke utara di atas Sebzor Ko’chasi membuatku terditraksi mencari arah.

Rupanya opsi terakhiru untuk menggunakan bus kota pupus. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, maka aku memutuskan untuk turun ke bawah tanah melalui pintu masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Kisah Selanjutnya—->