Aku masih saja tak bergeming dengan tawaran para sopir taksi, sementara para penumpang Bus INTRA yang lain lebih memilih menggunakan jasa taksi menuju tujuan akhirnya di Pekanbaru.
Beberapa waktu kemudian, dari seberang jalan, pengemudi ojek online melambaikan tangan kepadaku. Tentu dia tahu, aku memakai jaket biru dengan backpack berwarna sama. Aku telah mengirimkan deskripsi itu kepadanya lewat pesan dalam aplikasi.
“Asli sini, Bang?”, tanyaku di jok belakang,
“Bukan, aku asal Padang, Bang. Mas asli Jawa ya? Suaranya medok banget”, jawabnya balik bertanya
“Aku mbiyen kuliah ning Jogja, mas. Sampeyan Jowone ngendi?”, belum juga kujawab, sudah bertanya lagi.
“Aku asli Solo, Bang. Orang sini baik-baik kan, Bang?”, aku mulai penasaran.
“Warga Pekanbaru kebanyakan perantau Padang, Bang. Tenang, abang kemana aja aman”, ucapnya menenangkan.
Dari artikel yang kubaca setelahnya, memang benar 40% warga kota Pekanbaru adalah para perantau asli Minang. Memang hebat orang Minang ini dalam urusan merantau.

Hotel bintang tiga yang kupesan melalui Airy Rooms tepat sembilan hari sebelum kedatanganku di Pekanbaru ini hanya berharga Rp. 81.000 per malamnya. Murah, kan?
Aku sengaja memilih tinggal di daerah Senapelan hanya untuk menapak tilas kejayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Melihat aktivitas perekonomian warga kota, mengingat nama Pekanbaru berasal dari kata Pekan Baharu yaitu sebuah pasar yang dirintis oleh Raja Muda Tengku Muhammad Ali, Sultan Siak ke-5. Boleh dikatakan bahwa daerah Senapelan adalah cikal bakal terbentuknya Kota Pekanbaru yang terlahir sebagai dampak positif berkembangnya ekonomi Kesultanan.

Merasa datang terlalu pagi, aku mencoba peruntungan di depan meja resepsionis. Barangkali mereka bisa memasukkanku lebih cepat untuk beristirahat di kamar.
“Kamar belum siap, Bang. Abang tunggu aja ya di lobby sampai jam 1”, ungkap pemuda berseragam rapi yang bertugas.
“Oh baik, bang. Saya titip backpack saja ya. Saya lebih baik keliling kota dulu, nanti balik lagi pas sudah bisa check-in”, ujarku membalas.
“Oh, boleh bang. Taruh sini saja”, Dia meminta backpack untuk ditaruhnya dibelakang meja.
“Bang, ada colokan listrik buat ngecharge HP?”, permintaanku kepadanya
“Oh colokan ada di restoran di sebelah kanan lobby. Masuk aja, Bang!”, telunjukknya mengarah pada sebuah pintu.
Meluruskan pinggang sebentar di lobby, aku masih saja menatap bentuk ruang resepsionis yang autentik, kuning emas mendominasi. Tiga atap dengan tiga selembayung di ujungnya. berbentuk tangan menengadah perlambang hubungan erat antara makhluk hidup dan Sang Pencipta.

Selepas daya kameraku terisi maka untuk memanfaatkan waktu sembari menunggu waktu check-in, aku mulai menelusuri beberapa jejak Kesultanan Siak yang terepresentasi jelas di sepanjang Sungai Siak, Rumah Singgah Tuan Kadi dan Masjid Raya Nur Alam.


Hotel Sri Indrayani awalnya adalah mess yang disewa oleh sebuah maskapai penerbangan untuk para air crewnya sejak 1971. Seiring berkembangnya Pekanbaru, wisma ini menyempurnakan diri dengan bertransformasi menjadi hotel syariah terkemuka di Pekanbaru pada masa perkembangan kota. Letaknya yang berseberangan jalan dengan Kawasan Pecinan juga membuat perkembangan hotel ini berlangsung sangat cepat pada masanya.


Dari hotel Sri Indrayani inilah petualangan mengeksplore Pekanbaru bermula. Saatnya berkeliling kota mengenal Ibukota Provinsi Riau ini.