Konter Imigrasi Malaysia: Membantu Jama’ah Umrah

<—-Kisah Sebelumnya

Tibalah aku di depan konter imigrasi….Aku tenang.

Hi, Donny, tenanglah!.….Ini akan mudah”, aku membatin.

Maka ketika sedang mengantri di salah satu line konter imigrasi, tetiba datang serombongan jama’ah umrah yang bercakap dalam Bahasa Indonesia dengan aksen Melayu. Salah satunya, yang kutebak sebagai pemimpin rombongan tampak sibuk mencari angka yang dicocokkan dengan angka di boarding passnya.

Kita cari konter 22 ya sesuai tiket”, ucapnya kepada setiap anggota rombongan. Semua anggota rombongan tampak patuh mengikutinya.

Aku yang seketika paham dengan pernyataan itu, bergegas mendekatinya untuk membantu.

Nomor yang tertera di boarding pass itu nomor gate, Pak. Kalau di konter imigrasi ini, bapak bisa pakai jalur mana saja, jadi silahkan mengantri saja di antrian yang menurut bapak nyaman”, aku menjelaskan.

Oh begitu ya, Mas”, terimakasih ya.

Kita mengantri di sini saja, Bapak-Ibu”, dia mengarahkan jama’ahnya.

Maka setelah percakapan itu, aku menjadi akrab dengannya. Berdasarkan informasi dari pembimbing umrah itu, mereka berasal dari Pekanbaru dan pembina umrah itu baru kali itu membawa jama’ah ke tanah suci.

Wujud Aerotrain KLIA.
Semoga umrahnya mabrurah ya, Ibu-ibu. Amin.

Karena banyak pertanyaan yang dilemparkan pembimbing umrah tersebut kepadaku, akhirnya aku bercerita perihal passion bersolo-traveling sekaligus menjadi travel blogger yang sedang ku jalani. Ketertarikannya itu, membuatnya meminta alamat blogku. Dia merasa penasaran dan ingin mengikuti setiap kisah perjalananku.

Pertemuan singkat yang menyenangkan. Akhirnya aku berpisah dengan rombongan umrah itu di salah satu aerotrain platform. Aku mengucapkan salam perpisahan sebelum kami menuju ke gate masing-masing.

Maka bergegaslah aku menuju Gate C-26. Untuk menggapai gate tersebut maka aku harus menuju East Zone – KLIA. Aku terus begerak mencari zona itu, melewati sebuah area luas dimana Information Centre Desk ditempatkan dan jam-jam klasik dengan brand OMEGA menjadi penghias di area sekitarnya.

Mengikuti signboard dengan teliti, akhirnya pada pukul setengah sebelas aku tiba di Gate C-26. Aku mengambil salah satu bangku demi menunggu boarding time yang akan berlangsung satu jam ke depan.

Terduduk di salah satu pojok selasar, aku terus menyaksikan kedatangan penumpang asal Uzbekistan setiap menitnya. Beberapa diantara mereka memakai t-shirt dengan sebuah logo brand yang aku mengenalinya. Itu adalah logo perusahaan Multilevel Marketing kenamaan asal Tiongkok, yaitu TIENS. Tampaknya mereka sedang mengadakan acara tour bersama, mungkin itu adalah bonus trip dari perusahaan mereka.

Terus menikmati situasi……

Beberapa saat kemudian rombongan pramugari, pramugara, pilot dan co-pilot Uzbekistan Airways HY 554 tiba. Mereka langsung menjalani pemeriksaan di screening gate untuk kemudian memasuki pesawat untuk mempersiapkan penerbangan.

Perjalanan menuju Gate C-26.
Akhirnya aku menemukan Gate C-26.
Ini dia waiting room Gate C-26. Keren kan?.
Aku bersiap terbang menuju Tashkent.

Dan akhirnya, tepat setengah jam sebelum boarding time seluruh penumpang diizinkan masuk ke waiting room.

Aku yang antusias, segera memindai diri di screening gate untuk kemudian memasuki waiting room yang memiliki ruangan lebih nyaman dan berkarpet tebal. Selama masa menunggu, aku memanfaatkan waktu untuk memenuhi kembali daya telepon pintarku. Inilah kesempatan terakhir mengisi daya, karena aku akan tiba di Tashkent saat gelap dan sudah pasti aku akan berkejaran dengan waktu untuk menggapai pusat kota. Jadi aku memerlukan bantuan smartphoneku untuk melacak posisi dan pergerakanku.

Smartphoneku tidak boleh mati setiba di Tashkent nanti”, aku mengingatkan diri sendiri.

Akhirnya…..panggilan boarding itu benar-benar tiba…..

Dengan hati sumringah, aku segera memasuki antrian untuk melakukan pemeriksaan terakhir boarding pass sebelum memasuki kabin pesawat melalui aerobridge.

Tashkent, I’m coming……”, aku menyimpulkan senyum tipis ketika sudah berada di areobridge.

Kisah Selanjutnya—->

Gelisah Menunggu Check-In Menuju Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menandaskan sarapan, maka aku mencari stop kontak untuk mengisi daya telepon pintarku. Sejak malam sebelumnya, aku menghabiskan dayanya. Beberapa stop kontak di dinding bangunan bandara tampaknya tak berfungsi dengan baik. Hingga akhirnya, aku menemukan sebuah stop kontak di salah satu sisi selasar. Tetapi aku harus berbagi dengan dua pelancong India yang sedang melakukan hal yang sama. Aktivitas remeh temeh itu membuatku terduduk mengampar selama satu jam lamanya.

Tepat pukul delapan ketika 75% daya telepon pintarku terisi…..

FIDS utama di KLIA Terminal 1.
Menunggu proses check-in.
Sesuai prosedur, penerbangan antar bangsa tak bisa menggunakan self check-in kiosk.
Menunggu di Blok M (eits, bukan di Jaksel ya, kak )

Aku pun memutuskan untuk menuju ke Lantai 3 – KLIA demi bersiap diri melakukan check-in. Menaiki sebuah escalator, aku langsung menuju ke depan layar FIDS (Flight Information Display System) terbesar di Lantai 3 untuk mencari status penerbangan Uzbekistan Airways HY 554 yang merupakan kartu As ku untuk menggapai Tashkent.

Berdasarkan informasi dari FIDS itu, aku akhirnya mengantongi informasi penting bahwa proses check-in penerbangan yang kutunggu akan berlangsung pada pukul 10 pagi. Itu berarti, aku masih harus menunggu 2 jam lamanya.

Maka aku memutuskan untuk duduk di sebuah bangku tunggu di dekat blok check-in desk bertanda M. Aku terduduk bersama para jama’ah umrah asal Malaysia yang sedang menunggu waktu check-in pula. Mereka terdiri dari beberapa rombongan, terlihat jelas dari berbagai jenis seragam yang mereka gunakan.

Selama masa menunggu, sesekali aku menuju ke konter check-in karena khawatir jika proses check-in berlangsung lebih cepat dari yang diagendakan. Begitulah jika aku ber-solo traveling, selalu saja lebih waspada dari para traveler lain. Aku harus memastikan diri untuk tak tertinggal di setiap penerbangan karena tidak akan ada yang bisa mengingatkan kecuali diriku sendiri.

Dua jam lamanya menunggu….Akhirnya waktu check-in tiba juga. Aku yang sudah bersiap diri seperempat jam sebelum konter check-in dibuka langsung mengambil antrian di bagian depan. Tetapi tetap saja, badanku tenggelam di tengah antrian karena para penumpang berkebangsaan Uzbekistan itu berpostur tinggi besar. Selain posturnya, satu lagi ciri khas warga Uzbekistan adalah tak sedikit diantara mereka yang menggunakan gigi emas. Bahkan ciri khas itu sudah kuketahui semenjak kunjungan umrah ke tanah suci Makkah pada dua bulan sebelum keberangkatanku menuju kawasan Asia Tengah tersebut.

Sabar dan perlahan merangsek ke baris depan. Akhirnya sewaktu kemudian, tibalah giliranku untuk menghadap ke konter check-in. Seorang petugas perempuan tersenyum menungguku di belakang konter. Aku tak ragu menyerahkan e-ticket kepadanya.

“Had you prepared the visa, Sir?”, petugas itu menatapku tajam.

Uzbekistan give free visa for Indonesian traveller, Ms”, aku meyakinkan sambil mengernyitkan dahi.

Please wait, Sir”, petugas itu meninggalkan meja kerjanya dan menuju ke tempat lain dimana pimpinannya berada. Mereka tampak bercakap serius, kemudian terlihat bahwa pimpinan mereka serius menatap layar desk top di depannya dan memperhatikan data. Sewaktu kemudian, pimpinan itu tampak mengangguk dan menyerahkan kembali pasporku pada petugas perempuan tersebut.

Maka kembalilah sang petugas ke meja kerjanya.

Thank you for waiting, Sir. It’s clear, you can go, happy nice flight, Sir”, dia menyerahkan selembar boarding pass yang baru saja dicetaknya dari printer.

Thank you, Ms”, aku menerimanya dengan senyum sumringah.

Sebentar lagi menghadap petugas check-in desk.
Yeaayyy…..Boarding passku akhirmya release.
Meninggalkan check-in desk.

Dengan rasa bahagia dan bibir penuh senyum, aku melangkah menuju konter imigrasi demi mendapatkan izin keluar dari wilayah negara Malaysia.

Tentu…..Bagian keluar dari sebuah negara adalah hal yang paling mudah, Sudah pasti setiap petugas imigrasi akan senang jika tamu yang berkunjung ke negaranya akan pulang atau keluar dari negaranya tepat waktu.

Kisah Selanjutnya—->

Koin Ringgit Penjinak Lapar: Koleksi 8 Tahun dari Negeri Jiran

<—-Kisah Sebelumnya

Minimarket tempat berburu sarapan.

Tak sedikit dari temanku yang bertanya,

“Bagaimana sih rasanya tidur di bandara, Don?”…….

Ya aku jawab jujur saja ya, ga ada rasa takut sih, ya cuman faktanya aku akan sering terbangun….Ya, itulah rasa yang sebenarnya, aku tidak pernah bohong….Eh, maaf, salah…..Pernah dink.

Malam itu….Aku tertidur di salah satu sisi deret bangku di Lantai 2 Kuala Lumpur International Airport Terminal 1. Sedangkan sesisi lainnya ditiduri oleh pelancong asal India.

Aku mendekap erat perlengkapan penting dalam folding bag kecil warna hitam, sedangkan backpak biruku kumanfaatkan sebagai bantal.

Sudah lewat pukul satu dini hari ketika aku harus memaksakan diri untuk memejamkan mata.

Aku harus bangun pukul setengah enam”, aku paham waktu Subuh Kuala Lumpur adalah jam 06:15 waktu setempat.

Suasana bandara yang boleh dibilang sepi membuatku cepat terlelap walaupun sesekali mataku mengerjap terbangun ketika muncul suara-suara yang menggugah refleks. Tapi ketika memantau situasi sekitar yang tidak menunjukkan ancaman, maka aku lanjut memejamkan mata.

Sebelnya lagi, sesekali aku juga terbangun oleh dengkuran pelancong asal India yang tidur di balik sandaran kursi.

Bersyukurnya, aku benar-benar terbangun tepat waktu. Pukul setengah enam, dengan mata menyipit aku memanggul backpack dan menyeret langkah menuju surau yang dari semalam sudah kuhafalkan lokasinya.

Menemukan surau dengan mudah, aku pun tak menunda untuk mengambil air wudhu dan selanjutnya duduk di dalam surau demi menunggu adzan berkumandang. Tampak di belakang surau, seorang pelancong tertidur pulas di samping dua trolley bag besarnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya badan si pelancong itu akibat semalaman tidur di atas ubin surau yang dingin dan tak beralas. Kalau aku pasti sudah masuk angin dan meriang (merindukan kasih sayang…..Ahai).

Setengah jam menunggu, seorang pengurus surau maju ke depan dan mengumandangkan adzan sebagai pertanda ibadah shalat Subuh akan segera dilaksanakan. Benar saja, usai iqamah dilantunkan, surau itu dipenuhi oleh empat baris jama’ah. Namun herannya, si pelancong yang tidur di baris belakang itu tak bergeming sekalipun ketika ibadah shalat Subuh telah usai.

Usai shalat, aku meninggalkan surau. Waktu penerbanganku ke Tashkent yang masih tengah hari membuatku menjadi lebih tenang. Aku masih ada waktu untuk bersarapan.

Masih inget dengan sepotong ayam A&W yang kubungkus dari Soekarno Hatta International Airport pada malam sebelumnya?…..

Nah, itulah menu sarapanku pagi itu. Namun, aku yang sedari rumah sudah mengumpulkan sekantong kecil koin Ringgit berencana untuk menghabiskannya. Sudah delapan tahun lamanya aku mengumpulkan koin-koin Ringgit yang merupakan sisa beberapa kali perjalanan ke negeri jiran itu.

Maka berkunjunglah aku ke minimarket “Xpress”. Masuk ke dalamnya, aku mengambil tiga potong roti dan sebotol air mineral. Dan kejadian lucu itu pun terjadi. Aku menumpahkan sekantong koin Ringgit di depan meja kasir dan meminta kasir perempuan yang berjaga untuk mengambil sendiri koin tersebut sesuai dengan harga makanan yang kuambil. Itu semua karena aku tidak terlalu mahir menghitung koin Ringgit berbagai edisi keluaran itu.

Kasir perempuan itu tersenyum lebar melihat kelakuanku.

You can take coins according to the price of goods I bought…. I trust you”, aku tersenyum memperhatikan tingkahnya.

I collected it for 8 years, I often go to Malaysia”, aku menambahkan

Amazing”, kasir perempuan itu tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.

Usai mendapatkan makanan yang kubutuhkan, akhirnya aku menikmatinya di salah satu bangku di dekat minimarket tersebut.

Aku menikmati perlahan menu sarapanku walau para petugas bandara sudah mulai berdatangan dan duduk persis di depanku. Aku dengan santai mengunyah sepotong ayam dan tiga potong roti dalam tatapan awas mata mereka. Sesekali para petugas wanita itu tersenyum ketika melihatku melahap menu itu dengan berantakan.

Biar saja….Mereka tak akan bertemu denganku lagi setelah sarapan ini”, batinku terkekeh.

Kisah Selanjutnya—->

KLIA Terminal 1: Berburu Spot Beristirahat

<—-Kisah Sebelumnya

Sudah lewat jam sebelas malam…..

Pusat perbelanjaan yang terintegrasi dengan bandar udara itu tampak sepi di banyak titik, tak sedikit toko yang telah menutup pintunya rapat-rapat. Hanya beberapa minimarket yang masih membuka diri bagi para pengunjung bandara.

Hmmhhh, senyap sekali….Lebih baik aku langsung saja menuju ke Terminal 1 dan mencari spot yang bisa kugunakan untuk beristirahat di sana”, aku mengambil satu keputusan dalam hati.

Maka melangkahlah aku menuju ujung utara Gateway@KLIA2. Aku tahu bahwa dari ujung pusat perbelanjaan itu terdapat escalator untuk menggapai “Transportation Hub” yang berada di Lantai 1. Ini lah area yang merupakan akses utama menuju ke beberapa kota penting di Malaysia, menuju ke pusat kota dan bahkan menuju ke beberapa titik penting di sekitaran bandara…Sepang International Circuit adalah salah satu contohnya.

Sesampainya di Transportation Hub Area, aku langsung menuju ke deretan platform untuk melihat situasi dan mencari petunjuk dimanakah lokasi KLIAFree Shuttle Bus akan mengambil penumpang, karena hanya bus itulah yang bisa mengantarkanku secara cuma-cuma menuju Terminal 1 di sisi timur KLIA2.

Tak kunjung menemukannya, maka aku memutuskan untuk berdiri menunggu saja di salah satu platform yang nampak sepi. Tapi aku tak khawatir karena keberadaanku bisa dilihat oleh segenap pengunjung bandara dari sisi dalam bangunan bandara.

Hampir tengah malam di Trasportation Hub Lantai 1, KLIA2
Platform berbagai bus menuju ke banyak destinasi di dalam dan luar kota.

Pucuk dicinta ulam tiba….

Bus berkelir biru itu tiba, meluncur gesit dari ujung bangunan bandara, menyorotkan lampu yang menyilaukan mata. Aku hanya berdiri terpaku mengamati kedatangannya, sembari menunggu dimanakah bus itu akan berhenti. Melewatiku dengan kecang, bus itu mulai menurunkan laju di ujung lain bangunan bandara.

Oh, di situ ternyata dia berhenti”, aku tersenyum tipis bak memenangkan sebuah pertarungan dengan mudah.

Maka melangkahlah aku menuju free shuttle bus itu dengan ayunan langkah cepat.

Aku melangkah masuk dari pintu tengah dan duduk di bangku yang terletak sedikit di belakang. Menaikkan beberapa penumpang, bus gratis itu pun mulai berangkat sesaat kemudian. Hanya sedikit penumpang yang terangkut malam itu, yaitu beberapa penumpang lokal dan satu-dua turis asing asal Tiongkok.

Aku kembali menikmati romansa masa lalu di sepanjang perpindahan terminal itu. Aktivitas kecil seperti itu selalu menjadi ritual yang sering kulakukan di masa lalu, saat dimana pandemi belum unjuk gigi menguasai dunia.

Perjalanan menuju Ke Terminal 1 itu hanya memakan waktu 25 menit. Melewati beberapa titik penting di sekitaran bandara seperti Long Term Car Park (LTCP) area dan Mitsui Outlet Park (MOP).

Aku diturunkan di Gate 4, International Departure Hall – Terminal 1 di Lantai 1.

Aku memasuki pintu bangunan bandara yang berbentuk lingkaran di Gate 4. Lalu menaiki escalator untuk menuju Lantai 2. Tetapi entah kenapa, ketika mencari keberadaan food court area, justru aku bisa tersasar. Alih-alih menemukannya, justru aku tersasar hingga ke parking area.

Dasar amatiran kamu, Donny”, kali ini aku menyangsikan kemampuanku sendiri.

Memutar arah kembali ke tempat awal tiba di Lantai 2, pada akhirnya aku menemukan selasar yang masih ramai dengan aktivitas. Beberapa coffee shop tampak masih berpengunjung walau tak penuh.

Free Shuttle Bus KLIA2 ke KLIA atau sebaliknya.
Lantai 1 KLIA
Suasana selasar di Lantai 2 KLIA.
Melanjutkan kebiasaan lama ketika bertraveling..…Tidur di bandara.

Pada saat yang bersamaan, aku merasakan pegal di punggung karena terlalu lama memanggul backpack. Tetapi sebelum benar-benar mencari bangku untuk beristirahat, aku memaksakan langkah kembali menaiki satu lantai untuk memastikan keberadaan check-in counter yang akan kutuju di keesokan hari. Menaiki sebuah escalator panjang, akhirnya aku menemukan deretan check-in counter tersebut. Terdapat 12 deret check-in counter yang masih sepi di Lantai 3 – Terminal 1 KLIA.

Merasa telah menguasai alur untuk keperluan di keesokan hari, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di salah satu deret bangku, meletakkan backpack untuk beberapa saat, dan bersiap untuk tidur malam di deret bangku kosong yang kutemukan itu.

Kisah Selanjutnya—->

Imigrasi Malaysia: Memamerkan Kepercayaan Diri

<—-Kisah Sebelumnya

Hanya dalam sekejap, Air Asia QZ 206 genap menyelesaikan taxiing di sepanjang landas pacu demi menggapai di salah satu sisi apron.

Sambutan aerobridge menyusul dengan terjulur perlahan belalainya hingga menempel di pintu pesawat. Beberapa saat kemudian, pesawat mulai mengalirkan penumpangnya menuju bangunan terminal.

Aku yang keluar dari pintu pesawat di antrian depan, langsung mengejar keberadaan ibu paruh baya yang kutemui di Soetta. Kemudian aku menyejajari langkahnya dan berinisiatif untuk membantu menarik trolley bagnya. Si ibu pun tersenyum mendapatkan pertolongan kecil yang kuberikan.

Gede banget ya, A bandaranya”, wajah si ibu tampak menengok kesana-kemari.

Masih gedean, Soekarno-Hatta, Bu”, aku sabar mengerem langkah demi terus sejajar dengan langkahnya.

Aku akhirnya mengantarkan ibu paruh baya itu hingga ke pintu transfer hall Kuala Lumpur International Airport Terminal 2 (KLIA 2).

Ibu, silahan masuk ke transfer hall melalui pintu yang dijaga para petugas itu. Besok pagi dua jam sebelum waktu penerbangan, ibu harus mencari informasi di layar lebar seperti itu (aku menunjuk ke salah satu FIDS/Flight Information Display System)”, aku menjelaskan sambil berjongkok menyetarai tinggi badan si Ibu.

Baik, A. Nuhun ya atas bantuannya. Ati-ati, A di jalan”, dia menjulurkan tangannya dan meminta bersalaman.

Aku menggapai tangannya dan melempar senyum untuk menenangkannya.

Selanjutnya aku pergi menuju sebuah escalator panjang ke arah atas demi menuju konter imigrasi. Tetapi sebelum benar-benar menaiki escalator itu, aku menghentikan sejenak langkahku di depan sebuah konter penjualan Traveller SIM. Aku memandangi konter Tune Talk yang dominan merah itu, melihat paket data yang ditawarkan. Paket data sebesar 15 GB dibanderol dengan harga 30 Ringgit. Sejenak aku bergumul dengan budget. Akhirnya aku memutuskan untuk mengindahkannya, aku memilih bertahan satu malam tanpa kuota data. Aku akan berfokus untuk beristirahat saja.

Konter Tune Talk SIM Card.
Konter Digi SIM Card yang tampak tutup pada jam 11 malam.
Escalator menuju konter imigrasi.

Aku melanjutkan langgkah menuju konter imigrasi dan berdiri di salah satu antrian yang menurutku terbilang sepi dari masa normal. Jantungku berdegup lebih kencang, mensinyalir rasa was-was yang mulai unjuk gigi.

Hanya transit, Pak Cik”, aku memulai percakapan dengan petugas imigrasi sembari menyerahkan passport dan e-ticket Uzbekistan Airways kepadanya.

Oooohhh…Transit, nak kemane?”, dia bertanya dengan wajah dingin.

Tashkent, Pak Cik”, jawabku mantap demi memamerkan kepercayaan diri

Oh, sendiri keh….Ada apa disane?”, dia mulai melunak

Peninggalan sejarah Islam, Pak Cik….Ada makam Imam Bukhori di sana, Pak Cik”, aku mulai memamaerkan pesona Uzbekistan yang aku sendiri belum pernah melihatnya.

Oh, ya….Perlu wang berape kesane?”, pertanyaannya mulai menggelitik

Aku berpikir sejenak untu merubah kurs Rupiah ke Ringgit

4.000 sampai 5.000 Ringgit, Pak Cik”, aku masih menatap langit-lagit bandara demi menghitung angka.

Oooooo….Banyaknyeeee”, petugas itu manggut-manggut.

Usai melakukan prosedur pengambilan sidik jari, petugas imigrasi itu mempersilahkan aku keluar dari konter imigrasi.

Aku merasakan bahagia tak terkira ketika bisa memasuki wilayah negara Malaysia tanpa hambatan yang berarti. Satu awalan baik yang mampu memberikan peneguhan hati bahwa dunia ini sudah baik-baik saja.

Melewati bagian akhir pemeriksaan barang, aku sempat menunjuk ke backpack yang kupanggul ketika menatap wajah petugas Aviation Security yang bertugas di screening gate yang terletak di satu area sebelum exit gate.

Dia mengangguk sebagai pertanda aku harus memasukkan backpack di screening gate.

Melaluinya dengan mudah, aku pun melewati exit gate dan memasuki area Gateway@KLIA2.

Oh, Welcome again Kuala Lumpur….

Kisah Selanjutnya—->

Air Asia QZ 206 Jakarta-Kuala Lumpur: Menolong Wanita Paruh Baya

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menunaikan ibadah shalat dengan menjamak Maghrib dan Isya di sebuah mushola milik Terminal 3 Existing, aku menuju Gate 3 dan memutuskan untuk menunggu penerbangan di salah satu bangku sembari mengisi daya telepon pintarku.

A, ini tujuan Kuala Lumpur, ya?”, seorang perempuan paruh baya tetiba bertanya dan duduk di sebelahku.

Iya, Ibu….Boleh lihat tiket Ibu?”, aku menyidik ingin tahu. “QZ 206….Iya Ibu ini benar ke KL”.

Oh berarti saya ga nyasar ya, A?…Ini pertama kali saya akan bekerja di Brunei”, dia bercerita dengan sendirinya.

 “Loh, Ibu transit?”, aku terhenyak

Iya….Nanti di KL saya harus bagaimana ya, A?”, dia menunjukkan kecemasan.

Ga usah khawatir, Ibu, nanti ibu masuk ke tranfer hall saja di Kuala Lumpur, nanti saya tunjukkan, bu”, aku menenangkan.

Aa juga ke ruangan transit ya?”, dia kembali bertanya tentang rencanaku.

Saya memang transit Ibu, tapi saya mau keluar imigrasi dahulu karena penerbangan saya berikutnya berangkat dari Terminal 1, sedangkan kita akan turum di Terminal 2, Bu”, aku menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami.

Oh begitu ya, A”, wajah ibu tersebut masih meyimpan kecemasan.

Lama bercakap-cakap, akhirnya panggilan untuk boarding benar-benar tiba. Mengantrilah aku di depan Gate 3 sembari menjaga ibu tersebut yang kuminta mengantri di depanku.

Beberapa saat kemudian aku tiba juga di kabin pesawat. Aku merangsek ke dalam demi mencari bangku bernomor 3B. Aku duduk di bangku tengah dan diapit oleh dua penumpang pria berkewarganegaraan Malaysia.

Duduk di barisan depan membuatku bisa memperhatikan awak kabin mempersiapkan segala sesuatu di cabin kitchen. Aku sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa wajah para pramugari yang memamerkan face painting, mereka tampak lebih cantik dan elegan.

Pemandangan apron Terminal 3 Soetta.
Memasuki pintu kabin Air Asia QZ 206.
Sistem acak pemilihan free seat membuatku duduk ke baris depan….Nikmati saja lah ya.

Di sisi lain, sesaat aku merasa terharu karena malam itulah pertama kalinya, aku menaiki pesawat menuju ke luar negeri setelah sekian lama dunia dihantam badai pandemi COVID-19. Sedangkan rasa lain yang tersimpan di hati adalah kekhawatiran tentang keberadaanku di Kuala Lumpur International Airport jika pesawat sudah mendarat beberapa waktu kemudian.

Pertanyaan-pertanyaan dalam hati mulai muncul….Apakah aku akan mendapatkan masalah terkait dengan pembatasan mobilitas di sana, apakah ada hambatan lain terkait prosedur kesehatan, atau kekhawatiran lain yang merupakan akumulasi dari overthinkingku sendiri.

Aku berusaha melawan semua rasa itu selama penerbangan….Perlahan aku harus mengumpulkan keberanian demi perjalanan panjangku yang sudah ada di depan mata.

Malam itu perjalanan menuju Kuala Lumpur berlangsung mulus tanpa turbulensi berarti. Airbus A320-200 menembus langit malam selama dua jam lebih tanpa hambatan berarti.

Mendekati titik akhir penerbangan….

Hatiku berdebar ketika sang pilot menyampaikan perintah kepada awak kabin untuk bersiap melakukan pendaratan.

Saatnya untuk memulai petualangan lagi di negeri orang”, aku menguatkan hati.

Sesaat kemudian….

Bunyi khas ketika roda raksasa dikeluarkan dari badan pesawat mulai terdengar, goyangan kecil kiri-kanan untuk menyeimbangkan badan pesawat mulai terasa dan akhirnya hentakan roda di landas pacu terdengar, pesawat sudah berada di runway Kuala Lumpur Internatioanal Airport Terminal 2 dan berlanjut melakukan taxiing demi menghantikan pesawat di salah satu sisi apron.

Sejenak aku mengintip ke jendela pesawat dan memperhatikan lekuk-lekuk indah bangunan bandara yang sudah lama sekali tidak kukunjungi.

Aku merindukan pemandangan ini setelah terjeda tiga tahun lamanya.
KLIA2….You are so beautiful.

Tetapi kemudian aku teringat sesuatu….aku reflek menoleh….menengok dua bangku ke belakang….Ya, Ibu paruh baya itu….Aku harus menolongnya…..

Kisah Selanjutnya—->

Berjibaku di Imigrasi Soetta: “From Kebumen Around the World”

<—-Kisah Sebelumnya

Tak berapa lama usai menyantap seporsi makanan cepat saji itu, aku bergegas menuju check-in zone. Maka aku mendapati check-in desk sudah mulai dibuka. Aku pun memutuskan untuk mengantri demi mendapatkan boarding pass.

Mataku awas mengamati para pengantri. Kuperhatikan banyak sekali warga Malaysia dalam baris antrian. Paspor merah hati itu begitu kukenal dengan baik. Kenyataan bahwa banyak warga asing telah bepergian ke Indonesia membantu menenangkan hatiku sendiri di awal perjalanan panjang yang akan kulalui.

Saatnya giliranku untuk menghadap petugas di check-in desk, aku melangkah tenang. Perkiraanku tepat, petugas tersebut menanyakan seluruh tiket yang sudah kubeli ketika dia tahu bahwa tujuanku di Kuala Lumpur hanya untuk sekedar transit.  Aku yang sudang menyiapkan folding file dengan mudah mencari lembar demi lembar pemesanan tiket pesawat yang dimaksud. Usai memeriksa segenap dokumen yang kuberikan, petugas tersebut memberikanku boarding pass dan aku diizinkan menuju konter imigrasi.

Boarding Pass Air Asia QZ 206 (Jakarta – Kuala Lumpur).

Melangkahlah aku mengikuti signboardInternational Departure”, hingga akhirnya tiba di Imigration Zone. Inilah bagian yang paling mendebarkan, kondisi itu diperparah dengan pasporku yang masih kosong dengan stempel imigrasi dari negara manapun, mengingat semenjak aku memperpanjang paspor tersebut pada tahun 2020, aku tak pernah melakukan perjalanan lagi karena pandemi masih merajalela.

Antrian yang tak terlalu panjang, membuatku dengan cepat dipanggil menuju konter imigrasi. Pertanyaan-pertanyaan yang kukhawatirkan benar-benar muncul. Entah bagaimana sistem imigrasi merekam jejak perjalananku, petugas pria itu menanyaiku dengan wajah serius.

Lanjut kemana nih?”, rupanya dia tahu aku hanya akan transit di Kuala Lumpur.

Ke Uzbekistan, Kazakhstan, Turki dan Serbia, Pak”, aku menjawab tegas.

Udah pernah pergi kemana saja, Mas?”, dia melanjutkan interogasi.

Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan dan Timur Tengah sudah semua, Pak. Bapak saya kasih paspor lama saya untuk diperiksa ya, Pak”, aku mengambil paspor lamaku yang covernya telah digunting di ujungnya.

Saya travel blogger, Pak. Perjalanan saya bersponsor”, aku menambahkan.

Oh, ya. Ada alamat websitenya, Mas?”, dia berubah menjadi antusias

travelingpersecond.com. Silahkan diintip, Pak”, aku menuntunnya menuju blog yang sudah kurintis sedari lima tahun lalu.

Lo hiya, loh…..Ini gambar dimana, Mas?”, dia menunjukkan gambar dari kamera pintarnya.

Oh, itu di Bahrain, Pak”, aku pun tertawa memberikan informasi kepadanya.

Hahahaha, from Kebumen around the world ya kamu, Mas”, petugas pria itu terkekeh. “Silahkan lanjut Mas Donny”, akhirnya dia memberikan akses bagiku untuk masuk ke ruang tunggu. Yang perlu kamu tahu bahwa Kebumen adalah tempatku menumpang lahir.

Alangkah leganya hatiku malam itu, secara yuridis aku sudah keluar dari wilayah Republik Indonesia dan bersiap untuk mengarungi petualangan nan jauh di sana.

Menuruni escalator, aku turun satu lantai ke bawah untuk menuju ke Gate 3. Dengan tegap aku mengayunkan langkah demi langkah, ada sebersit rasa berani yang mulai muncul di dada. Aku tersenyum penuh percaya diri.

Ruang tunggu Gate 3 di Terminal 3-Existing Soetta.

Tapi sebentar dulu kawan……Untuk mendapatkan perlindungan Tuhan

Maka setiba di tikungan koridir menuju Terminal 3 Existing, aku memutuskan menuju mushola demi menunaikan ibadah Shalat Isya, aku menjamaknya dengan ibadah Shalat Maghrib dalam satu waktu.

Kisah Selanjutnya—->

Kembali ke Terminal 3 Soetta: Sepotong Ayam yang Berharga

Merunut kembali sejarah diri, akhirnya aku tersadar bahwa terakhir kali melakukan perjalanan ke luar negeri dengan cara bertolak dari kantor tempatku bekerja adalah ketika melanglang buana ke Yangoon, ibu kota Myanmar pada medio 2015.

Maka aku akan mengulangi cara tersebut pada kisah perjalanan ini.

Perjalanan kali ini dimulai dari kesibukan diriku menjalani aktivitas kantor. Karenanya aku terlihat bak pribadi penuh keanehan ketika memanggul backpack berukuran 45 Liter, menaiki honda beat pop warna hitam untuk membelah jalanan ibu kota demi menuju kantor yang berjarak 35 kilometer dari kediaman.

Dilanjutkan tiba di kantor dengan berpakaian kantoran lengkap, yaitu kemeja lengan panjang, berdasi rapi, bercelana panjang bahan warna hitam serta mengenakan sepatu pantofel hitam,

Sontak….Teman-teman sekantor serentak tertawa terpingkal ketika aku memasuki ruangan kerja.

Jika menggambarkan kondisiku pada hari itu, aku bisa menceritakan bahwa semenjak pagi aku tak sabar lagi untuk segera melakukan penerbangan ke Kuala Lumpur. Suasana tak sabaran semakin menjadi dan rasa itu terbawa hingga saat empat jam lamanya pada saat aku harus mengisi sesi training untuk karyawan baru di kantor tempatku bekerja. Sesekali satu angkatan karyawan baru itu menggoda, “Pak, trainingnya dipercepat aja, daripada bapak ketinggalan pesawat”.

Gerrrrr….”, suasana training menjadi hangat seketika.

Akhirnya waktu itu tiba juga….

Usai training aku bergegas segera turun ke lantai dua, kembali melakukan bongkar muat untuk mengakali berat backpack yang setelah kutimbang masih melebihi delapan kilogram. Itu artinya aku harus menurunkan lebih dari satu kilo beban bawaanku.

Menyingkirkan beberapa perlengkapan yang kemungkinan akan jarang kugunakan, maka aku mendapatkan bobot backpack 6,8 kilogram.

Beres dengan barang bawaan, aku pun meninggalkan satu stel pakaian kerja karena sepulang dari perjalananku ke Asia Tengah dan Eropa kali ini, aku akan langsung menuju kantor untuk bekerja….Rencana yang Uedan sodara-sodara (yang ini, nanti saja ya ceritaya).

Aku memutuskan memesan transportasi daring demi menuju Sokarno Hatta International Airport Terminal 3. Dengan mudah aku mendapatkannya dan tepat tiga jam sebelum waktu terbang, transportasi daring yang kupesan memulai putaran rodanya menuju bandara.

Di dalam perjalanan, aku sedikit menyimpan rasa khawatir karena saat itu adalah perjalanan pertamaku ke luar negeri usai dunia dihantam badai Corona Virus tiga tahun lamanya. Aku seakan kehilangan intuisi.

Satu jawaban dari pengemudi taksi daring pada saat aku bercakap dengannya pun semakin membuat mukaku memucat, “Beberapa minggu terakhir jarang banget saya mengantar orang untuk pergi ke luar negeri, kebanyakan dari mereka hanya melakukan perjalanan dalam negeri, Pak”. Membuatku menelan ludah seketika.

Aku tiba di bandara dan pengemudi itu meninggalkanku usai aku menyerahkan ongkos senilai Rp. 90.000.

Aku pun bergegas menuju screening gate pertama untuk memasuki bangunan Terminal 3. Melewatinya dengan mudah, aku mencari keberadaan check-in desk melalui FIDS (Flight Information Display System) raksasa yang berada di bagian tengah bangunan terminal.

D-12”, aku akhirnya menemukan check-in desk itu.

Buru-buru menuju FIDS di depanku.
Aku akan check-in di row D.
Mendadak makan malam.

Menuju ke tempat yang dimaskud, ternyata check-in desk tersebut sedang digunakan untuk penerbangan Air Asia tujuan Singapura. Aku yang belum mendapatkan giliran, akhirnya memutuskan untuk mencari makan malam.

Niat itu mengantarkanku masuk ke gerai A&W di sisi timur bangunan terminal. Tanpa basa-basi aku menanyakan menu terhemat malam itu. Pelayan wanita yang bertugas akhirnya menyarankanku untuk mengambil paket nasi dan ayam seharga Rp. 78.000.

Aku mendapatkan menu yang dimaksud dan mulai menyantapnya perlahan. Entah apa yang terbesit, naluri backpackerku mulai muncul kembali. Aku secara spontan meminta seorang pelayan untuk membungkus sepotong dari dua potong ayam yang tersaji di depanku. “Lumayan buat sarapan esok hari di Kuala Lumpur”, batinku terkekeh.

Mendapatkan bungkusan yang kumau, aku tersenyum simpul meninggalkan gerai itu menuju ke check-in desk untuk mendapatkan boarding pass.

Kisah Selanjutnya—->