Lion Air JT 257 dari Padang (PDG) ke Jakarta (CGK)

Ini bukan pertama kali bagiku menaiki Lion Air, pernah kunaiki maskapai ini pada rute Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapura, atau sebaliknya. Hanya saja, ini adalah kali pertama pengalamanku menjajal Boeing 737 MAX 8, jenis pesawat fenomenal, yang sedang “grounded “ semenjak kecelakaan ganda, satu di Indonesia dan kedua di Ethiopia, dengan penyebab yang sama.

Aku akhirnya berhasil mengeksplore Minangkabau International Airport dalam gerimis, tapi nanti saja kusampaikan. Aku masih menyimpan sebuah petualangan repetisi ke Padang pada sebuah business trip di awal tahun 2020. Jadi harap bersabar jika ingin mengintip keotentikan Minangkabau International Airport dari blog ala kadar ini.

Drop Zone di Departure Hall Minangkabau International Airport.

Aku diturunkan tepat di depan lobby keberangkatan oleh DAMRI berukuran tiga perempat, tetapi setelahnya, aku tak segera memasuki check-in area. Aku lebih memilih mengambil beberapa gambar ketika hujan sedang merubah fasenya menjadi gerimis lembut. Kulakukan hingga beberapa gambar menjejal di kartu memori Canon EOS M10ku.

Mari segera masuk area check-in!

Penerbangan lokal yang hanya mensyaratkan tampilan booking confirmation di layar telepon pintar serta kartu identitas biru langit bernama sama, memudahkan penumpang memasuki check-in area.

Harus kusediakan kesabaran karena selepas meninggalkan konter check-in, aku akan menunggu Si “Singa Merah” datang lebih lama….Delay, gaesss!. Aku memang telah bersiap dengan kondisi itu. Bukan perkara waktu, tapi perkara terjangkaunya harga tiket maskapai ini yang menjadi prioritasku.

Setelah menaiki escalator menuju Departure Gate, aku duduk sebentar di commercial hall yang berlokasi di sebelah screening gate. Membereskan setiap perlengkapan agar sedikit rapi dan nyaman ketika memasuki kabin pesawat nanti. Sementara backpack 45L milikku memilih berdiam di lambung pesawat demi menyelamatkan payung bermotif pelangi seharga Rp. 50.000 yang kubeli di Pelabuhan Tiga Raja lima hari lalu.

Kejutan tiba, saat menuju musholla untuk menunaikan ibadah shalat maghrib, aku bersua kembali dengan Boris, Tukang Pos dari Slovakia.

Aku        :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

Aku tak lama bercakap karena Boris sudah mulai memasuki antrian menuju gate, dia terbang ke Surabaya, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Malang begitu mendarat. Stasiun Gubeng menjadi pilihannya untuk bertolak dari Kota Pahlawan. Informasi itu kudapat ketika berbincang di jok belakang Maestro Travel lima jam silam. Yang kuamati, botol air mineral pemberianku masih utuh terselip di sebelah kiri backpacknya….Hahaha, entah bagaimana air itu lolos dari screening gate.

Setelah menunggu lama, akhirnya penerbangan JT 257 mulai memanggil penumpangnya. Aku mulai mengantri dan bersiap melakukan perjalanan menuju Soekarno Hatta International Airport dengan penerbangan seharga Rp. 563.000. Tiket ini sendiri kubeli 11 hari sebelum keberangkatan.

Melalui aerobridge, aku memasuki badan pesawat,  sebetulnya aku baru mengetahui bahwa selongsong terbang ini berjenis Boeing 737 MAX 8 setelah salah satu awak pemegang microphone menginformasikannya ketika peragaan standard keselamatan penumpang sedang dilakukan.

Selain gres, kesan pertama yang kudapat setelah duduk di salah satu window seat jenis pesawat ini adalah kelegaan dan tampilan futuristiknya. Pesawat sudah berada pada posisi terbaiknya untuk menyalakan mesin jet, pilot menunggu konfirmasi untuk segera mengudara. Beberapa menit kemudian aku benar-benar meninggalkan Padang.

Malam yang sedikit mendung membuat pesawat sedikit terguncang menubruki awan-awan rendah di langit Minang. Yang kusaksikan kemudian adalah sekuel-sekuel pertunjukan pelita bumi yang dipaksa bejeda oleh awan-awan hitam tipis sebagai bintang iklannya. Indah dan mempesonaku sebagai pengantar tidur. Detik-detik selanjutnya hanyalah

Gelap….

Geelaaap……..

Geeelaaap…………

Aku tidur berselimut rasa capek yang luar biasa setelah enam hari berkeliling tanah Sumatera. Sepertinya aku genap tidur selama 1 jam 45 menit, ekuivalen dengan waktu tempuh penerbangan itu. Terpejam sejauh 700 km lebih bersama halusnya performa pesawat milik maskapai swasta terbesar di tanah air ini.

Aku tiba di Cengkareng lewat tengah malam.
Maskapai yang telah genap mengudara selama 20 tahun.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) adalah mainhub dari Lion Air.

Aku tiba dalam kantuk, lalu tergopoh menyetop kehadiran Bus DAMRI menuju Terminal Kampung Rambutan. Aku tiba di rumah dalam hantaran ojek pangkalan dan mensyukuri nikmat Allah atas kesempatan eksplorasi yang dianugerahkan yang menjadi bab kesekian dalam cerita perjalanan hidupku.

Saatnya menutup cerita perjalanan ke tanah Sumatera. Dan beralih ke perjalanan berikutnya.

Kemana ya????

Yes, SEMARANG…….

Bus DAMRI dari Kota Padang ke Minangkabau International Airport

Kusantap dengan lahap otentiknya cita rasa tambusuolahan usus sapi dengan telur, tahu dan bumbu di dalamnya– sebagai santap malam terakhir dalam seminggu petualanganku di tanah Sumatera. Sedikit insiden kuliner mengganggu di pertengahan kunyahan. Benda kenyal itu kufikir menjadi kesatuan dari menu tambusu….Oh, ternyata…..Itu karet gelang.

Pemilik restoran : “Sepertinya Uda nih orang jauh?

Aku                              :     “Dari Jakarta, Da

Pemilik restoran     :     “Kerja Da di Padang

Aku                              :     “Oh, ndak Da. Saya sedang jalan-jalan saja

Pemilik restoran     :     “Ohh…Habis darimana saja, Da?

Aku                              :     “Beberapa hari lalu saya keliling Medan, Toba, Siantar, Pekanbaru dan Bukittinggi, Da. Padang yang terakhir, ini saya mau terbang ke Jakarta

Pemilik Restoran    :     “Wah, mantab nih, Uda. Totalitas jalan-jalannya

Percakapan ringan itu terhenti dengan datangnya Calya hitam yang akan mengantarkanku ke pool Bus DAMRI di Jalan Hasanuddin. Dalam hujan lebat, akhirnya aku membasahi jok depan taksi online itu. Beruntungnya si pemilik sangat ramah dan tak menghiraukannya, walaupun kendaraannya adalah mobil baru yang masih menebar kuat aroma pabrik.

Jalan Hasanuddin.

Tak seperti yang kubayangkan, ternyata kemegahan pool bus DAMRI dalam mindsetku hanya diwujudkan oleh ruangan tenda terbuka yang tak lebih baik dari shelter bus kota pada umumnya.

Pool Bus DAMRI Bandara.

Aku menunggu kedatangan Bus DAMRI yang akan memindahkanku dari pusat kota Padang menuju ke Minangkabau International Airport yang jaraknya sekitar 25 kilometer dan memerlukan waktu tempuh sekitar 40 menit. Itu semua bisa ditebus dengan harga Rp. 23.500.

Sembari menunggu kedatangan bus DAMRI, aku terus mengamati permainan sepak bola ala kampung oleh anak-anak belasan tahun yang berhambur memenuhi lapangan Imam Bonjol Square untuk berpesta hujan sembari memainkan si kulit bundar.

Imam Bonjol Square.

Kondektur Bus DAMRI tiba-tiba memanggilku, “Da, ayo segera naik, kita akan berangkat!”. Aku bahkan tak menyadari bahwa bus DAMRI itu telah merapat sedari tadi.

Itu dia Bus DAMRI Bandara.

Kondisi koridor bus DAMRI yang basah menunjukkan bahwa Minangkabau International Airport pun tak luput dari guyuran hujan. Ini memberi sinyal bahwa aku tak akan leluasa mencari bahan untuk menulis konten tentang Minangkabau International Airport. Wah….Alamat, aku bisa terlewat satu konten penting.

Sepi penumpang.

AC bus DAMRI yang sangat dingin membuatku menggigil karena T-shirtku sendiri sudah terlalu lembab. Sedikitnya penumpang sore itu, membuatku tak malu untuk memutuskan untuk berganti t-shirt di atas bus. Duduk di bangku terbelakang dan tak ada yang memperhatikanku ketika bertelanjang dada….Hahaha.

Mungkin karena hujan deras, sehingga banyak orang yang enggan berada di jalanan dan lebih memilih menunda sementara hajat mereka masing-masing. Karenanyalah jalanan tampak lengang dan membuatku cepat tiba di Minangkabau International Airport.

Minangkabau International Airport.

Saatnya pulang ke Jakarta menunggang Boeing 737 MAX 8 milik maskapai “Singa Merah”.

Kisah Selanjutnya—->

Batang Arau, Jembatan Siti Nurbaya dan Boeing 737 MAX 8

Dengarkan Manusia  yang Terasah oleh Falsafah

Sesaat Katanya itu bukan Dogma

(Cukup Siti Nurbaya oleh Dewa 19, tahun 1995)

Miniatur digital kuda besi berwarna putih terus mendekat dalam aplikasi tenar. Akibatnya, payung motif pelangi harus kugerai dan sekejap kemudian kaki melangkah di trotoar. Aku bersiap memasuki Avanza putih.

T-shirt yang sudah keburu lembab, beberapa bagian backpack yang sudah terlanjur kuyup, dipadu dengan semburan hawa dingin AC taksi online membuat kondisi dudukku tak nyaman sama sekali. Semua akibat sifat maruk, ingin menghabiskan sisa waktu enam puluh menit untuk menambah koleksi destinasi. Walau sebenarnya, jika kufikir lebih dalam, itu tak terlalu penting sama sekali….Hahaha.

Driver    :     “Hujan deras gini nekad ke jembatan, Da?

Aku        :     “Iya da, penasaran doang

Driver    :     “Tapi memang, tempat itu banyak yang ngunjungin kok, Da. Pemandangan Sungai Batang Araunya rancak bana, Da

Aku :     “Nah makanya itu, Da

Sungai Batang Arau berlatar Gunung Padang di ujungnya.

Entahlah, kenapa sore itu, peristiwa gempa padang pada tahun 2009 terus menjejal kapasitas otakku. Driver terus kukorek perihal kisah dibalik tragedi itu. Apa yang terjadi setelah guncangan? Serupa apakah kepanikan sesudahnya?. Dia menjelaskan bahwa air laut telah surut kala itu, “Pertanda kami siap dihajar tsunami, Da”, ucapnya tersendat. Masyarakat telah pasrah dalam do’a, setiap orang sudah siap menghadapi akhir takdir. Beruntung bencana itu tak sungguh terjadi.

Jembatan berusia 18 tahun.

Dalam dua puluh menit, taksi online telah selesai melintas jembatan yang kutuju. Tak berhenti, tapi memilih menghabiskan putaran kecil di ujungnya dan baru kemudian menurunkanku tepat di tengah jembatan itu.

Meminjam nama wanita yang melegenda di tanah Minang, wujud jembatan ini sangat mudah terekam memori kepala. Tiang-tiang hitam kuning dengan lampu bulat warna putih susu di ujungnya, gagah mengangkangi Sungai Batang Arau yang memiliki lebar sekitaran 160 meter, berlatar perbukitan nan hijau serta berornamen perahu-perahu tradisional yang tertambat di sepanjang sungai….Sungguh molek aduhai.

Para peniaga jagung bakar tampak bersiap  diri dengan lapak mininya. Andai aku bisa bertahan hingga gelap tiba, mungkin akan kunikmati pesta kuliner jalanan di atas jembatan Siti Nurbaya itu. Sayang waktuku tak lama.

Rencana selanjutnya adalah aku akan mempercepat waktu santap malam sebelum tiba di pelabuhan udara, demi berhemat tentunya. Kupilih Warung Nasi Kapau Bandar Damar untuk mengeksekusi rencana itu. Setelahnya aku segera menuju Minangkabau International Airport, menjemput Lion Air JT 257 yang berjadwal terbang pukul 21:20.

Nanti akan kuceritakan bagaimana penerbangan pertamaku bersama Boeing 737 MAX 8, kesempatan terindah merasakan sensasi terbang bersamanya sebelum pesawat jenis ini dipensiunkan setelah kecelakaan Lion Air JT 610 yang mengharu biru di perairan Tanjung Pakis, Karawang yang disusul dengan kecelakaan serupa pada Ethiopian Airlines ET 302 di lahan pertanian kota Bishoftu,

Itulah kisah inspeksi kilatku di Jembatan Siti Nurbaya.

Kalau ke Padang, jangan lupa mengunjunginya ya !

Kisah Selanjutnya—->

Pantai Padang atau Taplau Padang?

Namanya Asep. Sudah pasti bukanlah nama lokal, juga bukan penduduk asli….Asal Bandung beristrikan seorang Padang, menjadikan Uda Asep….Eh, Aa Asep menetap di Padang dan kini dia sedang mengantarkanku ke Pantai Padang menggunakan motor ojek onlinenya.

Jalanan menyepi gegara mendung hitam tebal yang telah mengakuisi langit Padang. Angin ikut memberi tanda dengan menghantarkan hawa bersuhu rendah….Sebentar lagi hujan akan ditumpahkan dari langit. Aku hanya berharap bisa menikmati sekejap Pantai Padang tanpa guyuran hujan untuk sekedar menghilangkan rasa penasaran.

Aku mulai berkeinginan datang ke pantai ini semenjak  wujudnya menghiasi layar televisi selama berhari-hari ketika terjadi gempa besar pada tahun 2009 yang pusatnya berada di lepas pantai. Oleh karenanya, aku memaksa diri menyisipkan waktu walau hanya sekedar empat jam saja untuk singgah di Padang

Girangnya hati ketika kang Asep menurunkanku tepat di bawah Tugu IORA. IORA adalah singkatan dari Indian Ocean Rim Association yaitu asosiasi negara-negara yang terletak di Kawasan Samudra Hindia.

Sesekali tetesan gerimis mulai jatuh, tapi tak apa, aku masih bisa berdiri di tanggul bebatuan yang dibangun menjorok ke arah pantai. Waktu yang sebentar itu benar-benar kunikmati untuk merasakan keindahan Padang. Sementara beberapa pengunjung mulai meninggalkan bangku-bangku plastik yang disediakan para pedagang pensi dan kelapa muda.

Aku masih merasa pilu saja, bagaimana rasa panik masyarakat Padang kala menghadapi rongrongan tsunami kala gempa terjadi walaupun tsunami itu sendiri tak pernah terjadi.

Pantai yang terletak di sepanjang Jalan Samudera ini telah sekian lama menjadi destinasi wisata utama kota Padang. Selain menawarkan wisata berbiaya murah, pantai ini juga menjadi tempat yang mudah dijangkau oleh siapapun karena telah menjadi bagian dari pusat kota dan hanya berjarak tiga puluh menit dari gerbang wisata kota Padang yaitu Minangkabau International Airport.

Tugu IORA.

Penduduk setempat sering memanggil Pantai Padang dengan sebutan Taplau Padang. Taplau sendiri adalah singkatan dari Tapi Lauik atau tepi laut.

Byurrrrr….Aku berlari dan kemudian berteduh di teras Velocity Burger & Coffee yang terletak di tepian jalan raya. Hujan yang begitu lebat membuat tampias air perlahan membasahi baju dan tas punggungku. Sementara aku masih sibuk mengeksplorasi gadget untuk menentukan destinasi wisata berikutnya yang masih memungkinkan dikunjungi. Sepertinya aku tak akan sedetik saja membuang waktuku percuma di Padang.

Hari mulai sore, kebanyakan museum dan beberapa tempat wisata resmi telah ditutup. Tapi aku sudah menentukan tempat berikutnya yang akan kutuju. Aku berfikir cepat, aku diuntungkan karena masih memiliki payung yang kubeli saat berkunjung di Danau Toba beberapa hari lalu. Hujan tak menyurutkan langkahku untuk terus berseksplorasi. Aku memesan taksi online untuk menujun kesana.

Melangkah kemanakah aku gerangan?

Kisah Selanjutnya—->

Cerita Hajar Aswad di Balik Arsitektur Masjid Raya Sumatera Barat

Perjalananku sejenak terlempar dari jalur waktu. Aku, pejalan tunggal yang harus mengalah dengan kepentingan segenap penumpang Maestro Travel yang tergesa mengejar penerbangannya masing-masing. Kunikmati saja penghamburan waktu satu jam untuk berdiam diri di dalam travel demi menghantar mereka ke Minangkabau International Airport dan setelahnya baru menuju ke tengah kota Padang.

Pengemudi: “Mau di drop dimana, Uda?”.

Aku: “Turunkan saya di Masjid Raya Sumatera Barat saja, Da!

Aku lebih memilih turun di destinasi yang kutuju daripada harus mengikuti alur mereka yang akan mengambil penumpang di kantornya. Hemat dan efektif tentunya.

Diturunkan di Jalan Khatib Sulaiman, tepat di halte Masjid Raya Sumbar , aku dihadapkan langsung ke arah masjid termegah di Sumatera Barat itu. Dengan cepat aku memasuki areanya melalui Taman Melayu Sumatera Barat yang juga merupakan bagian dari pelataran “Masjid Seribu Pintu Angin” itu.

Sedang dalam renovasi, tak memungkinkan untuk masuk….Sedih.

Di taman, aku hanya berdua saja dengan seorang laki-laki berumur asal Makassar yang juga sengaja mampir demi melongok masjid tanpa kubah tersebut. Jarak berdiri yang terlalu dekat membuatnya susah memasukkan seluruh wujud masjid ke dalam kotak selfienya. Melihatku yang sedang sibuk mengabadikan gambar, dia tampak memberanikan diri mendekat. Sudah tertebak, aku pasti diminta mengambil gambar dirinya bersama sang masjid….Hahaha.

Aku berhasil memerintahnya sesuka hati untuk mendapatkan gambar terbaik….Terakhir kita berselfie berdua di tab lebarnya itu. Sampai jumpa Opa Upe, semoga perjalanan pulangmu ke Makassar menyenangkan.

Adalah arsitek brilian yang berhasil menggandakan makna atap pengganti kubah. Secara fisik terlihat, itu adalah atap gonjong yang terdiri dari empat puncuk yang diletakkan di setiap sisi. Tetapi sesungguhnya bentuk itu menyimpan makna sejarah. Itulah bentuk bentangan kain yang digunakan pemimpin empat kabilah suku Quraisy untuk memindahkan batu Hajar Aswad  di Ka’bah.

Jalur menuju lantai atas secara langsung.

Jujur, aku sendiri tak pernah mengira bentuk masjidnya semegah dan seunik itu. Aku tak pernah melihat bentuknya melalui selancar internet atau mencari tahu terlebih dahulu sebelum mengunjunginya. Jadi bisa kamu bayangkan bagaimana terpananya diriku ketika berdiri tepat di hadapan bangunan religi ikonik itu.

Sanggung menampung dua puluh ribu jama’ah.

Menempati area seluas empat hektar, Masjid Raya Sumatera Barat selain sebagai tempat ibadah terbesar juga telah menjadi landmark kota, destinasi wisata religi, bahkan memiliki fungsi cadangan sebagai penanggulangan bencana yaitu sebagai shelter evakuasi apabila terjadi tsunami….Maklum, Padang pernah dihantui tsunami akibat gempa besar pada tahun 2009….Beruntung tsunami itu tidak benar-benar datang.  

Impresi luar biasa pertama yang kudapatkan ketika mampir sejenak di kota Padang.

Beautiful Padang……

Kisah Selanjutnya—->

Maestro Travel dari Bukittinggi ke Padang.

Begitu mudahnya memesan jasa travel dan bus di Sumatera. Angkat telepon, sebut tujuan, sampaikan jam keberangkatan lalu tanyakan jam berapa mesti bersiap diri di kantor travel atau bus !….Tak perlu bayar di muka….Maka kamu akan tiba di tujuan jika tak telat datang.

Bus INTRA dari Pematang Siantar ke Pekanbaru….

Travel Annanta dari Pekanbaru ke Bukittinggi….

Kini prosedur mudah itu terulang untuk Maestro Travel dari Bukittinggi ke Padang….

—-****—-

Hari terakhir di Bukittinggi atau jika dihitung dari awal keluar rumah adalah hari keenamku di tanah Sumatera, aku mengisahkan perjalananku bersama Maestro Travel ketika mulai menelfon staff front office perempuan pada jam delapan pagi di hari keberangkatan.

Nanti duduk di bangku paling belakang dan datang setengah jam sebelum keberangkatan ya, Uda. Siapkan ongkosnya Rp. 40.000 saja !”, ucapnya singkat.

—-****—-

Aku tergopoh menuju De Kock Hotel setelah kunjungan terakhirku di Taman Panorama. Tak sempat mandi lagi, fikirku hanya satu, malam nanti aku akan tiba di Jakarta dan akan berendam air hangat di ember rumah saja….Sepuasnya….Hahaha.

Vixion hitam menjemputku di teras hotel kemudian melaju kencang menembus kepadatan Jalan Sudirman menuju kantor Maestro Travel yang berjarak tiga kilometer. Dalam lima belas menit aku tiba. Memasuki kantor, aku disambut wanita muda berjilbab, kuserahkan ongkos lalu kugenggam selembar tiket menuju ke Padang,

Masih tersisa 20 menit sebelum travel tiba. Menurut petugas front office itu, mobil masih berkeliling menjemput penumpang di rumahnya masing-masing. Kuputuskan saja untuk menyambangi sebuah warung nasi di sekitaran kantor dan memesan seporsi pecel ayam dan segelas air putih. Kali ini aku sangat cepat menyantapnya, seperti ular menelan seekor landak…ehhh.

Aku tiba kembali di kantor travel dalam kondisi mobil sudah siap dan semua penumpang tampak melihat ke arah kedatanganku. Rupanya aku ditunggu semua penumpang, semoga mereka tak kesal.

Kursi tengah dan sebelah sopir diduduki oleh sepaket keluarga kecil. Suami-istri, putrinya yang mungil dan ibu mertua sang suami. Sementara aku duduk di belakang bersama seorang bule Slowakia bernama Boris. Seorang tukang pos muda, berkepala plontos, berbadan kurus dan hobi mencari kesunyian.

Di jok belakang kami bercakap sepanjang perjalanan. Cerita dimulai dengan kesan perjalanannya di Kazakhstan dimana tak ada seorangpun yang mengganggunya ketika dia naik gunung sendirian. Kemudian berlanjut pada sifatnya yang akan merasakan pening ketika bekerja di kantoran, oleh karenanya dia memilih menjadi tukang pos saja di Slowakia.

Why is this car passing a small road like this? Can we arrive at the airport on time?”, ketusnya kepadaku.

I think that driver is trying to get through the faster road, Boris …. Hahaha”, celetukku kepadanya.

If he fails, It’s not funny….Not funny”, dia terserang panik. Memang jadwal terbangnya hanya berselisih satu jam dari waktu estimasi tiba yang dituturkan google maps dalam smartphoneku.

Kucoba mengalihkan perhatian dengan terus bercakap. Entah aku memulai dari mana hingga aku bisa membicarakan Titik 0 km Indonesia di Sabang, Kawah Ijen, Probolinggo, e-commerce Lazada hingga iPhone bekas yang menurutnya murah jika dibeli di Indonesia. Satu lagi, kami membahas perihal penerbangan langsung dari Manado ke Manila. Hingga si kepala keluarga yang duduk di sebelah sopir ikut berbincang dan menjelaskan bahwa penerbangan itu tidak ada.

Aku melewati air terjun di tepian jalan, aku tahu itu Air Terjun Lembah Anai. Artinya aku sudah berjarak empat puluh kilometer dari kota Padang. Boris memintaku untuk menghentikan sopir dan mengizinkannya untuk berbelanja air mineral, mahal katanya jika harus membelinya di bandara. Kufikir tak perlu berhenti, aku punya persediaan air mineral kemasan yang banyak. Hasil mengumpulkannya dari Hotel Sri Indrayani di Pekanbaru, Travel Annanta dan De Kock Hotel di Bukittinggi. Kuberikan dua botol kepadanya. “I really appreciate you, Donny….very much appreciate”, katanya sembari menepuk-nepuk lenganku.

Itulah kata perpisahanku dengannya, dia harus turun di Minangkabau International Airport dan menuju ke Malang. Sepaket keluarga itu akan pergi ke Bandung.  Sementara aku akan menuju pusat kota Padang untuk mengekplorasinya selama empat jam, mengingat aku akan pulang ke Jakarta pada pukul delapan malam.

Kisah Selanjutnya—->