Gagal dan Berhasil: Kisah Berburu eVisa India

<—-Kisah Sebelumnya

Yang pernah aku rasakan, mengajukan permohonan eVisa itu lebih mudah dan peluang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan pengajuan Visa Reguler. Cukup melampirkan dokumen-dokumen yang disyaratkan dan membayar di payment gate maka eVisa akan terbit menyesuaikan rencana waktu kedatangan di negara tersebut.

Setidaknya aku pernah membuat eVisa Taiwan, Sri Lanka, Uni Emirates Arab, Bahrain dan Oman. Kesemuanya berjalan dengan sangat lancar dan eVisa mudah sekali kudapatkan.

Nah, kali ini aku akan sedikit barbagi cerita ketika aku tiga kali membuat eVisa India.

eVisa India adalah eVisa kedua yang pernah kukejar setelah eVisa pertama yang pernah kuurus, yaitu eVisa Taiwan.

Kala itu….Akhir 2017….

Tantangan mental yang begitu berat seusai mendapatkan tiket penerbangan Jet Airways menuju ibukota India, membuat usahaku berburu eVisa India tak begitu bergairah. Mendapatkan eVisa India memang sangat mudah. Aku hanya perlu melengkapi data pada e-form dan melampirkan dokumen berupa foto diri dan scan lembar biodata passport  yang diminta oleh laman resmi eVisa India. Kemudian hanya perlu menunggu beberapa waktu maka eVisa akan terbit. Tetapi ketidakbergairahan mengurus eVisa itu terletak pada perasaan was-was untuk berkunjung ke Negeri Gandhi itu.

Masa berlaku eVisa untuk memasuki India yan pendek yaitu berkisar dalam empat bulan, membuatku harus mengajukan eVisa ini dekat dengan tanggal keberangkatan.

Aku sendiri mengajukan permohonan eVisa ini pada dua puluh hari sebelum keberangkatan dan eVisa disetujui sehari setelah pengajuan setelah membayar 50 dollar Amerika di payment gate.

Alamat pengajuannya adalah sebagai berikut: https://indianvisaonline.gov.in/visa/

Ini menjadi kisah pertamaku berburu eVisa India.

Email yang kudapat setelah submit data.
Keesokan harinya pengajuan eVisa sudah berstatus GRANTED.
Lihatlah!….Titik masuk mana saja di India yang bisa menggunakan eVisa ini.
Melacak status eVisa pada laman pengajuan.
Fotoku ganteng ga sih?….Wadidaw.

Pengalaman Kedua

Sedangkan pengalaman berikutnya dalam pengajuan eVisa India terjadi pada 8 November 2018.

Saat itu eVisa India telah digratiskan oleh pemerintah India pada 18 Juni 2018. Ide itu sendiri disampaikan oleh Nerendra Modi saat pertemuan Diaspora India di Jakarta.

Kemanakah tujuanku kala itu?….

Mumbai….Yups, aku berencana keluar dari Chhatrapati Shivaji International Airport menuju ke tengah kota saat transit 13 jam lebih. Kala itu Jet Airways akan membawaku dari Dhaka menuju Colombo dan transit di Mumbai.

Mungkin karena perubahan kebijakan dari eVisa berbayar menuju eVisa gratis maka ada pergantian alamat pada laman eVisa India. Pengajuan eVisa sendiri, aku submit tepat dua bulan sebelum keberangkatan.

Karena URL Web yang aku masukkan salah maka keputusan diterima atau tidaknya pengajuan eVisa tidak pernah sampai di emailku.

URL yang aku tuju kala itu adalah https://indianvisaonline.gov.in/visa/

Apakah aku kemudian berencana mengajukan ulang?

Tidak….Karena secara bersamaan terjadi perubahan penerbangan Jet Airways dari Dhaka menuju Mumbai. Perubahan jadwal penerbangan itu ternyata tak memungkinkanku untuk keluar dari bandara, apalagi menuju ke tengah kota. Karena perubahan jadwal penerbangan itu selain memperpendek masa transit jugan membuat 80% waktu transitku jatuh saat malam hari. Oleh karenanya, tak mungkin bagiku untuk mengeksplorasi Mumbai di malam hari….Terlalu riskan.

Akhirnya kuputuskan, aku tak akan meneruskan lagi kelanjutan pengajuan eVisa ini karena pada dasarnya aku tak memerlukannya lagi.

Tetapi rasa penasaranku yang berkepanjangan, akhirnya aku mencoba mencari alamat laman pengajuan eVisa India yang benar. Dan aku pun menemukannya, berikut URL yang dimaksud: https://indianvisaonline.gov.in/eVisa/

Walaupun laman ini salah, tetapi tampilan e-form ternyata sama persis dengan e-form pada laman yang benar.
Laman pengecekan status pengajuan eVisa pun juga sama.

Pengalaman Ketiga

Pengajuan ketiga eVisa India adalah ketika aku berniat melakukan eksplorasi Kawasan Timur Tengah dan memutuskan mengambil pintu masuk di Dubai dari Kochi.

Pemutusan titik melompat menuju Kawasan Timur Tengah dari Kochi ini tentu berhubungan erat dengan kondisi budget yang kumiliki. Kondisi itu diperkuat dengan tersedianya penerbangan murah Srilankan Airlines dari Kochi menuju Dubai dengan transit sementara waktu di Colombo. Tentu, aku memilih melompat dari Kochi juga didasari oleh keinginan diri yang kuat untuk kembali bernostalgia dengan budaya India yang kaya.

Kesempatan berikutnya terjadi pada akhir 2019 lalu. Aku megajukan eVisa India untuk mengeksplorasi Kochi.

Aplikasi ini kuproses dengan dua kali mengunjungi laman eVisa India.

Pada 4 Desember aku melakukan pengisian e-form  secara partial karena kesibukan pekerjaan. Pengisian e-form sebagian pada siang hari harus kulengkapai pada kesorean harinya hingga akhirnya pada jam empat sore aku berhasil menyubmit pengajuan eVisa tersebut.

Inilah keuntungan pengajuan eVisa India dimana kita bisa mengisi e-form dalam beberapa waktu (tidak sekali isi). Biasanya pada kesempatan mengisi e-form pertama kita akan diberikan No Application ID yang merupakan akses masuk ke data pengajuan kita jika kita ingin melakukan editing atau melengkapi data.

Pada kesempatan ketiga membuat eVisa India ini, aku menyubmit permohonan eVisa pada 4 Desember 2019 dan eVisa mendapatkan status GRANTED pada 8 Desember 2019.

Kiriman email bahwa pengisian pengisian partial pengajuan eVisaku tersimpan.
Pemberitahuan bahwa e-form pengajuan eVisaku berhasil dan menunggu di proses.
Wah senangnya….GRANTED.

Nah, gampang kan bikin eVisa India….

Yukz, jika pandemi usai, kita jalan-jalan ke India.

Kisah Selanjutnya—->

Inspirasi Menulis dari Tribhuvan International Airport.

Waktu begitu cepat. Sore kemarin aku masih mengeksplore area Basantapur. Tetapi kini sudah pukul empat pagi. Aku sudah saja mengguyur diri di bawah hangatnya shower Shangrila Butique Hotel. Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, aku segera menuju resepsionis untuk check-out dan selangkah kemudian aku sudah turun di jalanan Thamel. Gelap, kosong dan penuh kekhawatiran.

Aku terus menyusuri jalanan dan berharap segera menemukan taksi, sementara dari arah belakang yang gelap terdengar suara derap langkah beberapa orang diiringi nyanyian Nepal yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.  Kuberanikan diri menoleh ke belakang, lima pemuda tanggung melangkah cepat menyusulku. Sepertinya aku tak bisa lebih cepat lagi karena backpack membebaniku di punggung. Aku seakan pasrah jika terjadi sesuatu saat mereka benar-banar telah menyusulku.

Plakk”, tangan salah satu dari mereka menepuk pundak kananku kencang. “Ah, alamat”, batinku cepat merespon.

Good morning, Brother. Are you happy in Nepal?”, dia berucap sambil mengiringi langkahku yang terlanjur melambat ketakutan.

Hi….Yeaaa, nice country”, aku berkata lebih keras dari biasanya untuk menunjukkan keberanian saja.

Good….Be careful, bro”, dia melewatiku dengan cepat sementara keempat teman lainnya menatapku dengan senyum ringan dan serempak berucap “Hi”.

Oh, Tuhan terimakasih engkau masih mengirimkan orang-orang baik untuk menyapaku di gelapnya pagi.

Sampai pada sebuah perempatan, tampak deretan taksi mengantri untuk mengangkut penumpang. Taksi terdepan memancarkan lampu tembak ke arahku dan aku mengangkat tangan sebagai jawaban bahwa aku akan menggunakan jasanya.

Airport, Sir….How much?”, aku bertanya singkat.

Seven hundreds Rupee”, jawabnya sambil meraih backpackku yang menutup niatku untuk menawar.

“Ok”, tak ada jawaban lain yang bisa kulontarkan.

Taksi dengan cepat melaju kencang tanpa penghalang di Pashupati Road yang tentu masih senyap. Tak sampai 20 menit, taksi perlahan merapat ke Tribhuvan International Airport.

Pukul setengah enam pagi, airport masih tutup dan senyap.

Tak banyak yang bisa kulakukan, aku hanya menunggu di meja milik polisi bandara yang tampak kosong sambil terus menatap international gate dan berharap pintu itu segera dibuka karena udara sangat dingin diluar.

Perlahan penumpang berdatangan.

Orang Indonesia, mas?”, celetukan itu berasal dari arah belakang.  Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada siapapun di sampingku. Suara itu jelas menanyakanku. Aku menoleh kebelakang dan terlihat seorang perempuan berusia 30 an tersenyum ke arahku.

Loh, kok ibu tahu saya dari Indonesia?”, sahutku membalas senyumnya.

Itu mas”, Si ibu menunjuk salah satu kantong backpack yang tak tertutup sempurna dan sedikit menyingkap bendera merah putih yang sempat kukenakan  empat hari lalu di Sarangkot.

Alhasil kami saling bercakap sembari menunggu gate dibuka. Ternyata beliau ini adalah lulusan kampus ternama di Indonesia dan pekerja senior pada perusahaan eksplorasi minyak di Bangladesh. Setelah berwisata ke Nepal, dia akan kembali ke tanah air melalui New Delhi.

Sepesawat denganku ke New Delhi, dia bersambung terbang bersama Singapore Airlines yang transit di Singapura. Sementara aku akan mengeksplorasi New Delhi dan Agra terlebih dahulu.

Gate sudah dibuka, aku segera menuju konter check-in. Sedikit agak lama berproses, aku menguping bisikan antar mereka dan terucap kata internet connection.  Pantas proses online check-in ku gagal semalam.

Pertama kali terbang bersama Jet Airways.

Kemudian di deret lain konter imigrasi, kulihat Si Ibu berbincang hangat dengan petugas imigrasi. Bahasa Inggrisnya sangat fasih. Dia sempat menjelaskan kepadaku di waiting room bahwa petugas imigrasi di Asia cenderung lebih luwes daripada petugas di Eropa dan Amerika. Tentu aku mengamini itu.

Waiting Room Tribhuvan International Airport.
Si ibu mentraktirku secangkir chiya hingga pesawat tiba.

Boleh dibilang, Si Ibu yang tak mau disebutkan namanya inilah yang menginspirasiku untuk menulis dan membagikan setiap pengalaman perjalanan yang kulakukan sehingga bisa mensupport setiap traveler dengan informasi. Si Ibu sendiri tak pernah kesampaian menulis karena kesibukannya yang teramat sangat, padahal dia memiliki kisah-kisah yang luar biasa. Salah satunya ketika dia bisa selamat dari badai gurun yang menghantamnya di Kuwait.

Jet Airways bernomor terbang 9W 0263 telah siap. Aku keluar dari waiting room menuju parking lot. Ada satu keunikan yang tak pernah kualami sebelumnya, yaitu ketika ada pemerikasaan cabin baggage setiap penumpang di area extension tepat di depan pintu pesawat. Pengalaman yang menggelikan dan menyenangkan.

OK, saatnya terbang.

Sampai jumpa lagi Nepal. Selamat datang India.

Intipan Hypothermia di Taj Express Menuju New Delhi

Buseet….Dikejar pengemis cilik yang tak terima karena cuma kukasih sebungkus beng-beng coklat yang kubawa dari Jakarta sejak seminggu lalu. “No….I need money”, katanya sembari terus mengintili aku dari belakang. Bahkan ketika aku membongkar isi backpack untuk mengontrol apakah ada benda-benda mencurigakan masuk setelah seharian kutaruh tas itu di bagasi taxi, si bocah tetap berdiri sembari mengoceh tak henti-henti di depanku yang sedang berjongkok di pojok stasiun untuk merapikan kembali backpack yang sudah acak-acakan. “Hi Boy….I don’t have much money….Sorry”, Aku menjarakkan mukaku hanya sejengkal dari mukanya. Dia hanya meliuk-liukkan leher sambil memperlihatakan gigi kelincinya.

Tepat jam 17:00, aku melewati metal detector stasiun Agra Cantt dengan mulus walau polisi berkumis melintir itu terus memandangku aneh. Selangkah kemudian aku menuju platform dan mencari informasi keberangkatan Taj Express 12279 di LCD board sederhana. Tertera suhu di angka 12 derajat….”Mulai mendingin”, batinku….”Delay”, otakku merekam informasi. Padahal seharusnya aku sudah meninggalkan kota Agra pada jam 18:40.

Tiket kelas CC (Chair Car) yang harga tiketnya hanya Rp. 51.000 tentu tak berakses menuju station lounge yang menawarkan udara hangat dan makanan enak didalamnya. Menyedihkan, aku tercecer bersama penumpang kasta bawah di sepanjang platform yang semakin dingin mengikuti putaran jarum jam stasiun Agra Cantt.

Lalu lalang kereta yang terus menjajikan harapan….Tak kunjung tiba.

Semakin lama berdiam duduk maka jari-jari tanganku mulai kebas. Sial….Aku salah perbekalan, jaketku kurang tebal. Terkadang toilet menjadi tempat hinggap sementara untuk menolak beku. Tapi itu tak bisa lama, toilet berbayar itu menebar bau pesing kemana-mana.

Suhu sudah dibawah 10 derajat memasuki jam 10 malam….Siaga

Aku tak mampu menyembunyikan panik ketika suhu menyentuh 7 derajat. Kaos kakiku tembus dan perlahan membasah membuatku seperti merendam kaki di air es. Sedangkan t-shirt rangkap 3 dibawah jaket tak mampu menangkap panas tubuh….Aku mulai merinding ringan di tengah malam.

Lihatlah pemuda India itu!….Ingin rasanya merampas paksa selimutnya.

Perlawanan menggunakan secangkir kecil chai (teh tarik) dan setangkup burger asongan tak bertahan lama. Akhirnya aku hanya terus bergerak untuk mengatasi dingin.

Taj Express baru merapat sekitar pukul 1:30 dinihari. Gembira bukan kepalang aku memasuki gerbong, tapi harapanku sirna ketika tak merasakan perubahan suhu ketika 5 menit duduk di bangkunya. Pantesan….Ternyata ada celah kecil di semua jendela gerbong yang memasukkan udara dingin kedalam. Walah….alamat.

Bahkan bangku sekotor itu tak membuatku jijik karena fokusku hanya melawan dingin.

Lebih menjengkelkan lagi, kereta ini benar-benar tak bergerak hampir 40 menit setelah tiba. Kini kondisi di dalam gerbong menjadi tak ada bedanya dengan kondisi di platform. Sementara penumpang lokal sudah tertidur bertutup rapat selimut, sementara aku masih sibuk melawan udara yang semakin mengancam. Aku mulai kefikiran tentang hypothermia. Benih kepanikan mulai tumbuh di otakku.

Gerbong yang tak bisa menyelamatkanku dari kedinginan.

Aku sudah tak peduli lagi walau kereta terus melaju mendekati New Delhi secara perlahan. Aku benar-benar terduduk meringkuk terengah-engah. Kukunyah burger tersisa untuk membantu menghasilkan panas tubuh sehingga memperpanjang asaku menaklukkan dingin.

Semakin masinis menaikkan kecepatan kereta maka aku semakin tak bisa bergerak. Aku seperti tak punya harapan, meringkuk kaku memeluk backpack sepanjang perjalanan. Hanya do’a senjata terakhir yang kumiliki. Di suhu 3 derajat Celcius dan entah telapak kaki bisa basah, telapak tangan  mengkerut pucat dan bibir menggeretak, aku seperti susah sekali menghirup nafas.

3 jam 10 menit aku benar-benar bak patung hingga akhirnya sekonyong-konyong aku sanggup melompat dari bangku dan memastikan apa yang kulihat di seberang jendela. Ya….Itu kereta  Metro Delhi….Aku sampai. Oh, Belum….masih setengah jam lagi baru benar-benar tiba. Setengah jam terakhir yang membuatku bisa tersenyum tipis untuk segera memasuki stasiun Hazrat Nizamuddin di kota New Delhi.

Selamat tinggal Agra dan selamat datang New Delhi

Terimakasih Tuhan.

Cari tiket kereta dari Agra ke New Delhi melalui 12go Asia. Berikutnya linknya:  https://12go.asia/?z=3283832

Jhelum Express dari New Delhi ke Agra

Saatnya mengeksekusi tiket.

Nomor 11078 yang merupakan nomor keberangkatanku hanya muncul sekali saja di display board. Setelahnya lama tak muncul kembali, aku terduduk di platform dan terus mengamati display board itu….Hilang sudah!

Penantian tak ada akhir di platfom 4.

Aku: “Sir, can you give me some information?. My train number 11078 is never appear again in that display board. Even though my train will depart on 10:15 am.”.

Si Tampan: “If your train number disappears from the screen. That means your train is getting delay. “Haze storms” which routinely occur every year indeed often make many trains delay for hours.”

Aku kembali menuju konter dan menanyakan tentang masalah ini. Mereka hanya meminta maaf dan membenarkan bahwa kereta delay. Dia memperkirakan kereta akan berangkat jam 16:00….Busyeettt.

Untuk mengusir kejenuhan yang tak berujung, aku bertolak menuju Khan Market. Daripada bengong lebih baik aku mengoleksi satu destinasi wisata di New Delhi untuk kubagikan bersama kalian tentangnya….Nanti ya, pasti akan kutulis.

Salah satu sudut Khan Market, New Delhi.

—-****—-

Pukul 14:00….Memastikan kembali setiap ikatan dan kuncian di backpack, aku segera menuju New Delhi Railway Station untuk menaiki Jhelum Express yang akan segera datang menjemputku.

Penasaran yang luar biasa untuk segera berbaur dengan masyarakat India dalam satu gerbong kelas ekonomi, membuatku menjadi orang paling tidak sabar di dunia sore itu.

Potret kesenjangan di Ibukota India.

Lokomotif merah kusam itu berteriak melengking mendekatiku seraya meringis menggigit rel untuk berhenti tepat di platform 4

Belum juga lokomotif itu menghentikan setiap gerbongnya dengan sempurna, para penumpang berlari….berjejal memasuki gerbong. Aku hanya tersenyum dan terpana dengan keunikan warga India. Sementara mereka berdesakan masuk, aku masih sibuk memahami penomoran gerbong karena ada gerbong bernomor 10 dan 10A. Dasar iseng nih orang yang punya ide menomori demikian. Setelah bolak-balik ke depan dan ke belakang, akhirnya aku menemukan gerbongnya….Yups, gerbong S3 kursi no 41 Low Berth (bangku bawah).

Benar adanya, keruwetan yang kubayangkan sejak awal membeli tiket terjadi. Gerbong itu sangat berjubel dan membuatnya terasa sempit.

Bangku teralokasi tiga penumpang saling berhadapan ditambah satu bangku lipat panjang diatas kepalaku yang digunakan sebagai sleeper seat (Upper Berth)….Ah, aku semakin mencintai kondisi ini. Kejadian yang menakjubkan.

Hello Sir, Excuse me”, seorang laki-laki muda melewat didepanku sambil menggandeng istrinya lalu duduk berhadapan denganku. Senyum tanpa dosanya membuat bibirku pun melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak, di depanku sekarang telah duduk 4 penumpang dengan kursi yang hanya bertuliskan tiga nomor saja….Hahaha.

Sembari kereta berjalan, aku mendengar sayup-sayup gertakan yang entah itu marah atau memang begitu adanya. Kondektur tambun berkumis melintir itu mengecek satu persatu tiket tamunya. Satu penumpang di seberang kursiku dimarahinya habis-habisan gegara tak mampu menunjukkan tiket, si penumpang lalu menunjukkan sebuah kartu terlaminating dari dalam dompetnya. Dan entah itu apa, mampu mengusir kondektur tambun itu dengan efektif dari hadapannya….Damn.

Bapak pekerja kantoran di kiri depanku mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bak film-film India, adat itu masih dijunjungnya. Rantang panjang bertumpuk empat berbahan stainless beraroma kari diangkatnya tinggi-tinggi. Andai dia tahu muka hatiku, pasti dia tersenyum melihatnya terbahak….Omaigat, ini mah India yang orisinil. Seolah menjadi menjadi pemicu ledakan, penumpang lain dikiri kananku pun melakukan hal yang sama.

Kemurahan hati itu terpancar seiring dengan tutur mereka menawarkan diri untuk makan bersama sebagai satu keluarga di dalam kereta. Kuterima? Tidak….Aku juga mengeluarkan setangkup burger lokal seharga Rp. 10.000 yang terbeli di platform stasiun sore tadi. Mari kita makan bersama….

Si Bapak dipinggir jendela menjadi orang tersibuk sepanjang perjalanan karena harus terus menutup jendela kayu yang kait penguncinya sudah usang. Setiap sekian menit jandela itu akan tertarik ke atas dan memasukkan udara super dingin ke dalam gerbong.

Mungkin kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh penjual chai untuk berfokus di gerbongku demi menghabiskan dagangannya. “Chai”, nama lain dari teh tarik yang melegenda di Dhaka, terfavorit di India dan menyebar ke Malaysia. Girang hatinya, tumpukan gelas kertas yang digenggamnya semakin memendek. Dia akan pulang dengan keuntungan berlipat kali ini.

Kelucuan penjual mainan anak-anak membuat seisi kereta tak henti-hentinya terbahak. Dia melempar spiderman karetnya kesana kemari sesuka hati. Hebatnya, si spiderman itu bisa menempel dengan sempurna….Hahaha. Hiburan untuk melupakan masalah kehidupan seharian yang sudah mereka hadapi.

Guys….Kapan terakhir kali kereta kita masih ada penjual segala macam di dalam gerbong?….Hahaha….Aku saja sudah lupa saking lamanya aturan itu diketatkan.

Kereta yang berhenti….Menurunkan….Menaikkan penumpang….Lalu melaju kembali dan terus mengulangnya di setiap stasiun baru membuatku sadar bahwa tak pernah ada pengumuman kereta berhenti di stasiun mana?.

Aku: “How long will the train run to its last destination?”

Dia: “Jhelum Express will stop in Pune on 6 am tomorrow morning

Aku: “Thanks Sir”, Aku tersenyum pahit penuh kekhawatiran.

Kini musuhku satu….Informasi, ketiadaan paket data di gawaiku semakin memperkuat musuh bebuyutanku malam itu. Aku harus banyak bertanya untuk mengalahkannya.

Aku: “Where will you stop, Sir?”

Dia: “At Mathura Junction Station

Aku: “Do you know Agra Cantt Station?

Dia: “Sure, 2 stops after my station

Aku: “Oh, nice”, Aku lega….Begitu dia turun, aku tinggal hitung 2x berhenti. Itu Agra Cantt

Dia: “Are you from China?

Aku: “No, I’m Indonesian”. Mana ada tampang China gelap kayak gue.

Dia: “What for do you go to Agra?”

Aku: “Taj Mahal, Sir

Dia: “Oh, very happy to hear Indonesian goes to Taj Mahal

Aku: “Taj Mahal….My dream to visiting it

Dia: “Nice”. Menyalamiku dengan kebahagiaan tak tersembunyikan.

Itulah percakapan 10 menit sebelum dia turun di Mathura Junction Station. Setelahnya aku akan menyusul turun di dua perhentian berikutnya yaitu Agra Cantt Station.

Salah satu sisi Agra Cantt Station.

Aku akhirnya tiba di kota Agra pada pukul 20:30.

Saatnya menuju hotel…..Makan malam tyuss bobok.

Cari tiket kereta dari New Delhi ke Agra melalui 12go Asia. Berikutnya linknya:  https://12go.asia/?z=3283832

SCAM….Sesuatu yang Nyata di India

Staff Hotel: “Go to New Delhi Railway Station platform 1 floor 1!”, jawaban singkat tertutur dari bibir si cantiq yang masih terlihat sibuk menerima para penginap dari berbagai bangsa.

Aku: “Thank you, honey Ms”.

Oh ya, mencari dormitory terdekat dari stasiun MRT (Mass Rapid Transit) memang kebiasaan yang telah bersifat di diriku.

Aku mulai membuka pintu goStops Delhi Hostel dan melintas beberapa warga yang kurang beruntung. Terenyuh ketika sinar surya satu-satunya yang bisa membantu menghangatkan mereka yang masih pulas meringkuk diatas kasur busa bekas yang entah mereka dapat dari mana.

300 meter kemudian aku tiba Delhi Gate Metro Station. Melewati X-ray gate setiap memasuki stasiun MRT di New Delhi menjadikanku merasa aman selama melaju di jalurnya.

Yuk kita lihat dalaman ttasiun subway di New Delhi…Ini adalah Indira Gandhi Airport Metro Station saat pertama kali aku tiba di India

Menyusuri Delhi Metro Violet Line dan kemudian bertransfer ke Yellow Line di Kashmere Gate Metro Station, maka di stasiun ketiga aku tiba di New Delhi Metro Station.

Tiba di tujuan akhir, aku harus berpindah antar dua moda kereta yang tak terintegrasi. Meninggalkan New Delhi Metro Station yang begitu bersih terawat menuju New Delhi Railway Station yang lebih dari sekedar kotor. Jaraknya antar keduanya hanya sekitar 450 meter.

Berjalan 6 menit, aku tiba di depan New Delhi Railway Station

Dari tangga penghubung antar platform, kuperhatikan petugas Indian Railways itu menyemprotkan air di atas jalur kereta. Kupikir mereka begitu disiplin mengurangi laju debu di udara, ternyata beberapa waktu kemudian aku tahu bahwa mereka sedang membersihkan jalur kereta api dari kotoran manusia….#unique.

Upss….Kejadian itu tiba:

Scammer: “Where will you go, Sir?”

Aku: “Agra.

Scammer: “Let me help you to get the ticket.”

Aku: “Oh thanks. Based information from my hotel that ticket counter is on platform 1 floor 1.”

Scammer: “Oh, yes. But It’s Friday. So, the counter is closed. You can get the ticket at left side of this station.

Aku: “Oh, OK.

Entah “Bego” atau “Dungu”, aku mengikuti semua petunjuknya. Pemuda tampan itu tak menyertai langkahku, sehingga tak ada kecurigaan sedikitpun di otakku. Hebatnya, ada seorang di gerbang stasiun yang kesannya menunjukkan dimana lokasi konter penjualan tiket tersebut. Jelas sekali mengarahkanku ke sebuah kantor di ujung jalan sebelah kiri.

Oh, ini kantor agen travel, bukan kantor Indian Railways”, batinku. Aku batal menaiki anak tangga berikutnya dan berbalik meninggalkan kantor mereka. Walau salah satu dari mereka terus mengejarku, aku bersikukuh halus dengan menyampaikan akan menunda keberangkatan ke Agra hingga esok hari saja, sehingga mampu meredam emosinya yang terlihat mulai meninggi.

Huftt….Selamett. Scam kedua yang menimpaku setelah terakhir menghampiriku di Bangkok di akhir 2013.

—-****—-

Kelegaan yang terasa berlipat karena selain mampu menemukan kantor penjualan tiket milik International Tourist Bureau di platform 1 lantai 1, Aku juga mendapat bonus berlindung dalam kantor itu dari dinginnya terpaan udara New Delhi yang membuatku serasa beku.

Kantor yang sederhana itu dipercantik dengan layanan konsultasi petugas penjualan tiket kepada setiap turis dengan sangat baiknya. Jadi kamu harus bersabar menunggu nomor antrianmu dipanggil petugas karena satu pembeli bisa berkonsultasi 10-15 menit, beberapa bahkan lebih. Tak menjadi masalah bagiku, semakin lama semakin baik karena aku tak perlu kedinginan diluar sana.

Tiket Jhelum Express seharga Rp. 40.000 sudah di tangan.

Yuk ke Agra….Bersih-bersih Taj Mahal….Yuhuuu.

Lima Destinasi Wisata Agra dalam 10 Jam.

PARAHHHHH…..

Badai kabut di utara India telah merampas waktuku lebih dari 6 jam.  Tetapi kejengkelan telak terkalahkan dengan keripuhanku sendiri melawan super dinginnya udara Negeri Nehru itu.

Petaka kabut di India

Jhelum Express menepi di Agra pada 20:30. Pengen denger ceritaku menjajal kereta ekonomi mereka….nanti saja lah….MENGERIKAN !!!.

Tak ada yang bisa kuperbuat malam itu. Suhu yang hampir menyentuh nol derajat Celcius, bahkan udara dengan cepat mendinginkan sajian mie goreng pinggir jalan yang kubeli. Bumbu India yang terkenal menyengat itu bahkan tak mampu kurasakan karena beku mulai menghantam lidah.

Aku bak seorang pengecut yang bersembunyi di balik selimut GoStops Hostel sambil menunggu aliran listrik memenuhi segenap “teman elektronikku”.

Staff Hotel: “You must be grateful to be an Indonesian. You can easily go everywhere. Not like me, getting a passport is very difficult. Our government protect their citizen from getting difficult life at out of our country. I had waited for two years to get a passport, I hope I will get this year. I want go around the world like you

Aku: “Don’t worry, you will get it, my friend. You will go to my country also sometimes.  One thing that should made you proud with India. Your currency is more stronger than my currency…..Aaannnnddddd, Your country have great histories and cultures in the world.

Itu sedikit percakapan serius sebelum aku memasuki kamar, dan percakapan yang sedikit intelektual setelah sebelumnya aku hanya berbicara dengan penumpang kereta yang duduk di depanku dan sopir taxi yang mentransferku dari Stasiun Agra Cantt ke hotel.

—-****—-

OKAY….Kukuruyukkkkk….#perasaanganemuayam.

Automatically, Aku hanya memiliki 10 jam berharga untuk mengeksplorasi Agra dimulai dari jam 7 pagi. Kali ini aku tak akan membenarkan diriku untuk menggunakan transportasi umum….Terlalu mepet….Beruntungnya, aku melakukan sharing cost bersama teman-teman backpacker sekamar untuk jasa taxi yang bersedia di carter hingga sore hari. Karena sore hari, aku akan menuju New Delhi. Aku hanya perlu mengeluarkan Rp. 60.000 untuk biaya transportasiku seharian.

1. Taj Mahal

Tak berani menyentuh air untuk membasuh badan, aku tergopoh memasuki taxi yang sudah siap di depan hostel. Pagi itu….Kabut sangat tebal bahkan matahari pagi tak mampu menyibaknya.

Yes, akhirnya….Aku menuju destinasi idaman turis seluruh dunia….Taj Mahal

Taxi bergerak ke utara menyusuri Agra-Bah Road. Tak jauh, hanya 3.5 km yang tertempuh dalam 15 menit. Taxi berhenti di tepi jalanan, aku hanya ingat dengan papan nama “Malik Tour & Travel” sebagai penanda.

Jasa bajaj seharga Rp. 40.000 menjadi penghubung berikutnya menuju Taj Mahal West Gate Ticket Office. Kulepas Rp. 98.000 untuk mendapatkan tiket masuknya.

Setiap jengkal di Taj Mahal selalu menggoreskan kesan, satu-satunya benda yang sangat mengganggu para wisatawan adalah kabut yang membuat mereka seakan kesal tak bisa mengabadikan dirinya bersama bangunan sangat bersejarah itu.

Taj Mahal tertangkap dari Mehtab Bagh.

Wisata andalan Negara Bagian Uttar Pradesh itu memang sungguh mengesankan. Makam yang didedikasikan untuk Mumtaz Mahal (istri dari kaisar Shah Jahan) sanggup menarik 8 juta wisatawan dari seluruh dunia setiap tahunnya. Salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO yang harus kamu kunjungi jika memasuki tanah Mahabharata itu.       

2. Itimad ud Daulah Tomb

Dua jam meresapi dan menikmati keindahan Taj Mahal yang hampir keseluruhannya berbalut marmer putih mematri doktrin di otakku bahwa dunia itu sungguh indah.

Yuk, balik ke hostel untuk berbasuh dan menyantap sajian free-breakfast sederhana yang disajikan hostel. Aku sendiri langsung berkemas check-out dan menaruh backpack di bagasi taxi. Selepas menengok Agra Fort nanti, aku akan langsung bertolak ke New Delhi.

Berada 4.5 km di utara Taj Mahal, situs ini menawarkan ketenangan dan kenyamanan. Tak seperti Taj Mahal yang bising pengunjung. Mirip tapi tak sebesar Taj Mahal menjadikannya dikenal sebagai “Bayi Taj”.

Adalah bangunan yang mengilhami gaya arsitektur Taj Mahal.

Jika Taj Mahal didedikasikan untuk Mumtaz Mahal, maka pembangunan Itimad ud Daulah didedikasikan untuk kakek dari Mumtaz Mahal yang bernama Mirza Ghiyas Beg.

Aku ndak mau bercerita banyak….Datang sendiri aja ya….Yuhuuuuu !!!!

3. Yamuna River

Satu jam bergulir dengan cepatnya. Niatanku untuk segera bergegas menuju destinasi berikutnya kandas. Aku tertegun dengan penampakan sungai kering nan menghampar begitu luas, seakan memamerkan kegagahan kepada semua yang makhluk melihat, melintasi atau bahkan hidup daripadanya.

Terletak di sebelah barat Itimad ud Daulah……Beuh,

Man….Itu Sungai Yamuna….Seumur-umur, aku baru melihat sungai seluas itu.

Didaulat umat Hindu sebagai Dewi Yamuna.

Sungai yang bersumber dari gletser Yamunotri di  Negara Bagian Uttarakhand ini terlihat surut dan terpapar berbagai bentuk limbah seperti plastik dan limbah cair yang mudah diterka dari baunya.

4. Mehtab Bagh

Dua kilometer berikutnya di selatan…..

Menjilat, menyesap dan menelan pelan french fries jalanan berbumbu garam beraroma kari menjadi aktivitas tak pentingku berikutnya….Sisihkan beberapa Rp. 10.000-an untuk mencoba beberapa kuliner ringan jalanan di India !. Kujamin kamu akan terkesan.

Gaes, aku sudah di sisi sebuah taman nan lebar dan romantis….Mehtab Bagh namanya.

Mehtab Bagh” sendiri memiliki makna yang tak jauh dari sepasang kata dalam Bahasa Inggris “Moonlight Garden”….tuh, gimana ga romantis coba?.

Konon…. Shah Jahan akan membangun Black Taj Mahal di taman ini. Tapi tak pernah kesampaian.

Sering menjadi persinggahan sang Raja untuk menikmati keindahan Taj Mahal yang berada di seberangnya dan hanya terpisahkan oleh Sungai Yamuna.

Harga tiket masuk sebesar Rp. 40.000 tidaklah seberapa dibandingkan dengan keindahan taman yang bisa kamu nikmati dengan aman. Aman?….Ya taman ini dijaga dua tentara bersenjata lengkap yang selalu berkeliling taman.

5. Agra Fort

Masala Tea = 90 Rupee ….ini mah Rp. 17.000

Egg Fried Rice = 150 Rupee….yah sekitar Rp. 29.000.

Itulah menu makan siangku di “The Master Chef” Restaurant di bilangan Fatehabad Road sebelum menuju destinasi terakhirku di Agra….#sedih.

Terletak 2.5 km di barat laut Taj Mahal, Agra Fort juga menjadi Situs Warisan Dunia yang sangat menonjol dengan warna merahnya.

Kota berdinding ala Agra Fort….Menakjubkan.

Kamu harus membayar Rp. 98.000 untuk membayangkan secara langsung para kaisar Mughal tinggal di Agra Fort ini.

Berkeliling sepuasnya di dalam Agra Fort sebelum berpisah dengan kota Agra. Aku menelusuri satu demi satu bagian didalam banteng kota ini.

Memasuki Diwan-i-Am bak rakyat Mughal yang sedang berkeluh kesah, atau memasuki Diwan-i-Khas bak tamu penting kerajaan yang sedang dijamu sang raja.

Merasakan kemewahan Jahangiri Mahal yang merupakan istana khusus untuk istri raja, lalu terduduk merelaksasi diri di Anguri Bagh yang pada masanya digunakan oleh para wanita anggota kerajaan sebagai taman kerajaan.

Dan sebagai seorang muslim, aku juga merasa wajib menapaki Moti Masjid didalam Agra Fort sebagai tempat peribadatan segenap anggota kerajaan.

—-****—-

Waktu singkat yang mengenalkanku pada kota kuno di utara India. Kota yang arsitekturnya mempengaruhi banyak kreasi bangunan di seluruh dunia.

Pastikan kamu mengunjunginya lebih lama dariku karena nilai sejarah kota ini begitu tinggi dan tak bisa dinikmati dalam sekejap saja.