Air Asia D7 505 dari Seoul ke Kuala Lumpur

<—-Kisah Sebelumnya

Jalur penerbangan D7 505 (sumber: flightaware.com)

Aku terduduk di salah satu bangku dekat gate 112 milik Satellite Concourse Building Incheon International Airport setelah beberapa menit lalu dipindahkan oleh shuttle train dari Terminal 1. Waktu boarding yang tinggal setengah jam lagi, membuatku tak bisa mengambil resiko untuk mengeksplorasi seisi bangunan terminal bandara itu.

Aku lebih memilih mengamati lalu lalang pesawat terbang. Sebagian dari mereka tampak fokus mendaratkan roda di runway bandara dan sebagian yang lain tampak mengantri hingga mendapatkan izin dari Air Traffic Controller (ATC) untuk mengudara. Kebiasaan seperti itu memang sering aku lakukan karena ketertarikan diriku akan pesawat dan industri penerbangan. Dari kebiasaan melakukan pengamatan tersebut, tak jarang aku menemukan nama-nama maskapai baru yang dikemudian hari aku biasa menyasarnya demi menikmati jasanya dalam berkeliling dunia.

Bagiku, hari itu terasa sangat spesial dalam sejarah perjalananku, karena Air Asia D7 505 akan menjadi perjalanan pertamaku menggunakan pesawat berbadan besar. Jika pada penerbangan-penerbangan sebelumnya aku selalu menunggangi pesawat berbadan kecil, sejenis Airbus A320 ataupun Boeing 737, tetapi kini aku akan menunggangi Airbus A330 dengan 9 kolom bangku….Sore itu begitu benar-benar menciptakan rasa penasaran dan ketidaksabaran.

Setengah jam kemudian, gate benar-benar dibuka. Aku mulai mengambil posisi di kolom antrian kanan.

Belanjaan duty free kasih ke mama saja, biar mama yang pegang”, seorang penumpang pria berseru pada putranya yang menenteng dua botol besar minuman berlakohol. Mendengar bahasa bangsa saat berada di negeri orang memang menjadi kado istimewa yang bisa membantu menaikkan mood untuk selalu merasa dekat dengan rumah. Kini di sebelah kiriku ada seorang WNI keturunan Tiongoa yang tampaknya juga sedang dalam perjalanan pulang.

Dari kota mana, pak?”, aku memberanikan diri bertanya.

Loh, masnya dari Indonesia juga? Saya dari Bekasi, mas.

“Oh, saya dari Jakarta Timur, Pak”.

“Oh, deket ya kita. Ngerjain bisnis apa, mas di Jakarta?”

“Saya kerja aja kok, Pak di Jakarta. Ndak ada bisnis”.

“Oh gitu ya, sendirian ya mas?”

“Iya Pak”

“Wah keren….keren…”

Percakapan kami tak berlangsung lama karena pertemuan itu harus berakhir ketika ground staff memerikasa tiket dan paspor kami. Setelahnya kami terpisah di lorong panjang aerobridge.

Di ujung aerobridge, aku disambut oleh pramugari berwajah Melayu di pintu pesawat lalu aku diarahkan untuk berbelok ke arah kabin depan. Sesuai dengan boarding pass aku mencari kursi bernomor 14K yang ternyata berposisi di window seat sisi kanan. Itulah tempat duduk yang harus kunikmati selama penerbangan panjang nanti.

Oh ya, nomor penerbanganku kali ini adalah D7 505. Mau tau makna kodenya?….

Jika QZ adalah kode penerbangan yang dioperasikan oleh Indonesia Air Asia dan AK adalah kode penerbangan untuk Air Asia Malaysia maka D7 adalah kode penerbangan milik Air Asia X khusus untuk penerbangan jarak jauh.

D7 505 sendiri adalah penerbangan berjarak 5.000 Kilometer dengan waktu tempuh 5 jam 50 menit. Penerbangan bermula dari Incheon International Airport, Korea Selatan dan akan berakhir di Kuala Lumpur International Airport 2, Malaysia.

Hmmhh…..Selama penerbangan….

Ternyata, window seat yang kutempati terasa tak nyaman karena lengkungan kabin pesawat membatasi kenyamananku selama penerbangan. Selama terbang di kelas ekonomi itu, aku hanya bisa mengisi waktu dengan membolak-balik majalah Travel 360 yang merupakan inflight magazine milik Air Asia. Ketika tatapku mulai lelah dalam membaca,  maka aku berlanjut  menghabiskan waktu dengan memejamkan mata. Beruntung almond kemasan yang kubeli di Namdaemun Market kemarin hari membuat penerbanganku sedikit tak membosankan.

Separuh penerbangan yang dalam kondisi terang  membuatku leluasa menikmati pemandangan Laut Kuning dan Laut China Timur, sedangkan selebihnya penerbangan berlanjut dalam gulita yang membuatku tak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya pesawat tiba di Kuala Lumpur sekitar pukul sepuluh malam.

Seusai penerbangan itu, aku masih harus melewati babak terakhir pejalananku menjelajah Asia Timur dengan bermalam selama 9 jam di Kuala Lumpur International Airport 2 sebelum esok hari kembali ke tanah air menggunakan connecting flight Air Asia AK 382.

Untuk mendapatkan tiket penerbangan dari Seoul ke Kuala Lumpur, Anda bisa mencarinya di 12go Asia dengan link berikut:  https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Mencicipi Nasi Goreng Campur di Incheon International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Pukul 12:15 aku tiba di Pulau Yeongjong, sebuah pulau di pantai barat Korea Selatan dimana Incheon International Airport dibangun dengan gagahnya.

Aku melangkah gontai keluar gerbong Seoul Metro Line I, seakan tak rela meninggalkan Seoul yang baru saja kunikmati sedari lima hari lalu. Tapi toh, aku tetap sadar diri akan amunisi yang tak digdaya lagi. Tanpa kartu kredit maupun debit aku tak akan bisa kemanapun dengan Won tersisa. Bahkan beberapa lembar Won yang terselip di dompet keritingku mungkin hanya cukup untuk membeli sarapan sekedarnya di bandara nanti.

Keluar dari Airport Station, tatapku awas mencari Flight Information Display System (FIDS) untuk melacak check-in desk yang harus kutuju. Tentunya sangat mudah menemukan informasi penerbangan di bandara terbesar nan canggih kebanggaan Korea Selatan itu. Petunjuk mengarahkanku untuk menuju Check-in Desk D sebagai konter untuk menukarkan e-ticket dengan boarding pass menuju Kuala Lumpur.

Berderap langkah, aku harus menuju ke Lantai 3 untuk mencari keberadaan Check-in Desk D dimana penerbangan Air Asia D7 505 akan dibuka. Mungkin karena kurang fokus membaca informasi yang terpampang pada FIDS maka aku tiba di depan check-in desk yang masih sunyi. “Hoo iyaaa, status penerbangannya belum open”, aku membatin sambil tersenyum membodohkan kekurangtelitianku. “Lebih baik aku cari sarapan dulu”, ungkapan diri yang salah lagi karena sejatinya aku tiba di bandara sudah tengah hari.

Aku bergegas menuju Basement 1 Level untuk mencari sarapan sekaligus makan siang. Dengan Won tersisa akhirnya aku mendapatkan seporsi stir fried rice yang menjadi menu termewahku selama berkelana di Korea Selatan….Njirrr. Sedangkan urusan minum, aku tetap mengandalkan keberadaan free water station….Yuhuuu.

Aku sengaja mengulur waktu saat menikmati makanan di salah satu bangku food court. Toh aku bisa melihat dengan leluasa status penerbanganku dari FIDS ukuran medium yang terpampang di salah satu sisi.

Hampir satu jam aku menguasai bangku itu, bersantai melahap seporsi sedang stir fried rice, menghisap paparan aroma sedap yang menyeruak di setiap sudut ruangan, menikmati keriuhan para pejalan dari berbagai bangsa dalam berburu kuliner dan senantiasa menaruh kewaspadaan mata pada layar FIDS yang terus menggusur larik-larik informasi penerbangan ke atas halaman.

Aku terkesiap saat lamat melihat nomor penerbangan Air Asia D7 505 menampakkan diri di barisan bawah FIDS. Usai mendekat memastikan, akhirnya aku meninggalkan bangku dan kembali menuju ke lantai 3 demi menuju ke Check-in Desk D.

Check-in Desk D.

Mengingat ini adalah return-ticket yang menuju titik awal perjalanan maka petugas wanita di konter check-in tak terlalu banyak bertanya hal rumit. Begitu pula dengan petugas pria di konter imigrasi, dia pun tak perlu waktu lama untuk membubuhkan departure stamp di paspor hijau milikku. Proses ini tentu tak serumit kisahku ketika memasuki Korea Selatan melalui konter imigrasi Gimhae International Airport di kota Busan.

Selepas area imigrasi, aku fikir akan mudah menemukan gate dimana pesawat Air Asia yang akan kutunggangi melakukan loading. Ternyata tak demikian. Untuk menemukan gate 112, aku harus menuju ke Satellite Concourse Building yang hanya bisa ditempuh dengan shuttle train milik Incheon International Airport melalui jalur bawah tanah.

Mengikuti signboard yang ada, aku diarahkan menuju platform shuttle train yang akan membawa segenap penumpang menuju Satellite Concourse Building di sebelah barat Terminal 1. Satellite Concourse Building sendiri adalah bangunan membujur di tengah-tengah Terminal 1 dan 2 Incheon International Airport. Memiliki 30 gate, 6 lounges dan berjarak hampir 1 km dari Terminal 1.

Shuttle train dua gerbong tanpa tempat duduk itu selama tujuh menit menjelajah jalur ganda kereta bawah tanah di Incheon International Airport untuk kemudian memindahkanku ke Satellite Concourse Building. Sesampai di bangunan itu, tentu tak sulit lagi bagiku untuk menemukan Gate 112, yaitu gerbang dimana aku akan diterbangkan menuju Kuala Lumpur International Airport untuk transit selama sembilan jam sebelum menuju tanah air.

Kisah Selanjutnya—->

Kemewahan Distrik Gangnam

<—-Kisah Sebelumnya

Tepian Gangnam-daero Avenue.

Aku melangkah meninggalkan pelataran Istana Gyeongbok beberapa saat menjelang sang surya tenggelam di barat kota. Sore menjelang malam itu, aku melangkah lebih santai menuju Stasiun Gyeongbokgung yang hanya berjarak 300 meter dari istana. “Toh, eksplorasiku sudah usai”, batinku menenangkan diri di tengah suhu udara yang mulai menurun lebih dingin.

Di dalam stasiun, aku terus terusik dalam kegalauan antara langsung menuju penginapan atau sekali lagi mendatangi sebuah destinasi. “Ini malam terakhirku, masa iya harus kuhabiskan waktu di dalam kamar penginapan?”, batinku terus membela diri.

Aku yang tadinya tak sabar menunggu kedatangan Seoul Metro Line 3 di sisi platform, kini lebih memilih terduduk khusyu’ membuka lembaran peta kota demi mencari sebuah destinasi tambahan untuk menghabiskan malam.

Desingan ular besi itu terdengar nyaring di kelokan depan. Aku dengan penuh senyum bersiap diri di jalur antrian untuk memasuki gerbong. “Ya, aku tahu harus menuju kemana”, keputusan itu muncul jua.

—-****—-

Oh, ya….Kamu kenal Park Jae-sang kan?

Itu loh…penulis lagu asal Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama panggunnya PSY. Tokoh utama dalam video musik “Gangnam Style” yang mendunia pada tahun  2012.

Ya, kali ini aku ingin mengunjungi tempat kelahirannya, yaitu Distrik Gangnam. Distrik Gangnam adalah distrik mewah di Korea Selatan, tempat tinggal para jutawan, politikus dan artis papan atas.

—-****—-

Aku faham bahwa di luar sana suasana sudah berganti dengan gelap walaupun cahaya terang menaungi gerbong Seoul Metro yang merayap menyusuri jalur bawah tanah Seoul. Distrik Gangnam masih berjarak sepuluh kilometer ketika aku beberapa saat lalu terduduk di ujung gerbong.

Satu demi satu stasiun tersisir dengan cepat dan menuntunkun untuk turun di Stasiun Seoul National University of Education. Dari stasiun tersebut aku berpindah ke Seoul Metro Line 2 menuju ke Stasiun Gangnam.

Di dalam gerbong Seoul Metro Line 2 inilah aku bertemu dengan lima sekawan asal California yang baru saja mendarat dari Tokyo siang tadi. Bahkan kelima sekawan itu sudah menjelajah Taipe sebelum mencapai Tokyo.

Kisah mereka yang hamir mirip dengan perjalananku yang sebelum sampai Seoul juga menembus Kaohsiung (Taiwan), Tokyo dan Osaka (Jepang) serta Busan (Korea Selatan) membuat perkenalan dan perbincangan kami menjadi akrab.

Aku hanya mengingat satu nama diantara mereka hingga saat ini yaitu Brendan. Brendan memang lebih cenderung supel dan tampak menjadi juru bicara dari kelompok perjalanan mereka. Yang jelas Brendan adalah orang yang tidak suka dengan alkohol, aku tahu dari perkataannya yang tak mau menyentuh Soju ketika temannya yang lain justru menikmatinya semenjak tiba di Seoul.

Aku tiba di Stasiun Gangnam dalam 10 menit semenjak perpindahan jalur Seoul Metro. Menelusuri koridor panjang dalam Stasiun Gangnam, mengarahkanku untuk keluar ke permukaan tanah tepat di tepian Gangnam-daero Avenue yang berhiaskan name box besar “Gangnam Square”dan panggung “Gangnam Style Horse Dance” yang sangat ramai dikunjungi turis.

Dari perempatan besar itu aku mulai memasuki gang demi gang di Gangnam untuk mengupas kehidupan malam di distrik itu. Keramaian gang-gang di Distrik Gangnam membuatku merasa aman-aman saja walaupun di depan langkahku sana tampak dua orang lelaki dan seorang perempuan yang berjalan berangkulan karena mabuk berat sambil meracau tak keruan. Pertunjukan itu hanya membuat jalanan semakin riuh dengan ketawaan karena tingkah ketiganya yang sangat lucu.

Menyempatkan makan malam dengan sepotong Kimbap dan minuman berenergi.
sebuah gang di Distrik Gangnam.

Sementara di kiri-kanan gang, warga lokal berbaur dengan para pendatang untuk menikmati suasana bar dengan aroma wangi alkohol yang samar tercium dari trotoar. Selain itu sebagian lainnya lebih memilih membuat suasana lebih santai dengan menikmati hidangan restoran sembari bercakap-cakap menghabiskan suasana malam yang mulai dingin mencekat.

Malam terakhirku di Seoul memang terpuaskan ketika melintasi gang-gang di Gangnam dari ujung ke ujung. Tetapi waktulah yang akhirnya membatasi kunjunganku, sudah hampir jam sebelas malam. Aku memutuskan untuk segera kembalui ke Stasiun Gangnam dan kembali ke Kimchee Guesthouse Sinchon.

Aku harus bersiap diri untuk kembali ke tanah air besok pagi.

Kisah Selanjutnya—->

Mengunjungi Istana Gyeongbok

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Distrik Jung menggunakan Seoul Metro Line 4 menuju Stasiun Hongik University yang berjarak sepuluh kilometer. Aku harus menaruh tentengan plastik di Kimchee Guesthouse Sinchon. Melakukan eksplorasi dengan menenteng plastik hitam hanya akan membuat wajahku semakin kampungan saja.

Keindahan Istana Gyeongbok (sumber: http://www.agoda.com)

Dalam tiga puluh menit aku tiba.

Tanpa sempat duduk sejenak, aku langsung saja meninggalkan kembali penginapan. Kali ini aku akan menuju ke istana terbesar di Korea.

—***—

Kini aku dibawa Seoul Metro Line 2. Kembali berdiri karena gerbong penuh dengan penumpang, mengharuskan tangan kananku merengkuh hand strap di atas supaya tidak terjatuh karena kereta sering melakukan pengereman di setiap stasiun yang disinggahi.

Hanya saja, situasi menjadi aneh. Seorang gadis berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya dan sesekali melihat ke arahku. Aku memang tak menatapnya tetapi setidaknya aku bisa meliriknya samar. “Duh, ada yang memperhatikanku”, aku membatin.

Aku sesekali melirik gadis itu yang terus tertawa pelan. Ketawaan itu membuatku melakukan instropeksi. “Apakah ada yang salah denganku?“. Aku mencoba memperhatikan diri sendiri, tetapi tetap saja tak segera menemukan kejanggalan itu.

Hingga akhirnya, aku terjungkal dalam rasa malu ketika menemukan sumber masalah itu. Ternyata terdapat jahitan benang besar di pangkal tangan sebelah kanan. “Aduh, kenapa pula aku tak memeriksa jaket bekas ini ketika membelinya di Pasar Baru”, Aku perlahan menurunkan tangan kanan, lalu memeriksa pangkal tangan sebelah kiri. Mengetahui jahitannya dalam kondisi bagus maka aku bergantian memegang hand strap dengan tangan kiri. Perlahan aku menoleh ke kedua gadis itu dan mengangguk penuh malu. Ternyata kedua gadis itu merespon dengan cara yang sama.

Damn, sepanjang sepuluh hari perjalanan, aku baru tahu bahwa di pangkal tangan kanan winter jacket bekasku terdapat jahitan besar penutup sobekan”, aku menggerutu sambil menggelengkan kepala.

Kejadian itu menyematkan rasa malu hingga aku turun di Stasiun Euljiro 3(sam)-ga untuk berpindah ke Seoul Metro Line 3. Kini aku kembali mengikuti laju Seoul Metro ke Stasiun Gyeongbokgung di utara kota. Kali ini aku terduduk hingga tiba di stasiun itu.

Untuk menggapai Istana Gyeongbok, hanya diperlukan berjalan kaki sejauh tiga ratus meter dari Stasiun Gyeongbokgung. Memasuki pelataran gerbang Istana Gyeongbok, banyak turis yang mengenakan pakaian hanbok. Pakaian itu memang efektif menciptakan aura bangsawan bagi siapapun yang mengenakannya.

Sementara itu, di setiap sudut pelataran dijaga ketat oleh aparat kepolisian setempat. Tampak jelas Istana Gyeongbok ditutup sore itu, tak ada seorang turis pun yang diperbolehkan masuk. Entah sedang ada momen apakah sore itu?. Praktis aku hanya bisa menikmati kunjungan dengan memasuki National Palace Museum of Korea yang terletak di pelataran yang sama dengan Istana Gyeongbok.

National Palace Museum of Korea (sumber: http://www.theseoulguide.com)

Mengunjunginya cuma-cuma, aku dituntut memahami kisah dan seluk beluk Istana Gyeongbok dari berbagai peninggalan yang dipamerkan di museum. Museum berusia 113 tahun tersebut tampak bersih dan terawat. Walaupun aku tak faham sepenuhnya, setidaknya aku bisa menikmati benda-benda bersejarah seperti beberapa helai pakaian adat, catatan kuno, stempel dan beberapa lukisan era Dinasti Joseon.

Dengan selesainya eksplorasi di tempat penyimpan sejarah Korea Selatan yang berjuluk Deoksugung Museum tersebut maka petualanganku sore itu hanya menyisakan satu destinasi lagi….Distrik Gangnam.

Kisah Selanjutnya—->

Menyerah di Myeong-dong

<—-Kisah Sebelumnya

Salah satu sisi di Myeongdong 8-gil.

Tak seperti sebelumnya, kini aku begitu ripuh mencari bus dari Namdaemun Market demi menuju destinasi berikutnya, Myeong-dong.

Mencari segenap papan rute di halte sekitaran Namdaemun Market, tetap saja aku tak menemukan petunjuk apapun. Terpaan angin dingin akhirnya menggiringku ke bawah tanah. Yup, aku kini berderap di koridor Stasiun Hoehyeon, mencari platform demi menuju ke Stasiun Myeong-dong. Dengan mudah aku mendapatkannya. Di pinggiran platform, wajahku terus menghadap ke kiri untuk menjemput penampakan Seoul Metro Line 4.

Cahaya yang semakin benderang perlahan mendekati platform, pertanda si ular besi siap merapat. Dalam sekejap aku sudah berdesakan berdiri memegangi tiang gerbong supaya tak terterjang arus penumpang. Tak lama setelah semua penumpang terangkut, Seoul Metro mulai merayap meninggalkan platform.

Tak berselang stasiun manapun, aku kemudian turun di Stasiun Myeong-dong, meninggalkan para penumpang yang tetap berjubal di dalam gerbong. Aku tak sabar menjauhi gerbong ketika turun karena ingin segera melihat wujud keramaian Myeong-dong, pusat perbelanjaan kosmetik populer di Seoul. Tentu bukan untuk membeli lipstik, masker ataupun pemutih wajah, melainkan hanya ingin melihat aura-aura cantik pemudi Negeri Ginseng itu….Duh, keceplosan.

Keluar dari Stasiun Myeong-dong aku terus saja menggerutu, “Kenapa hari ini suhu lebih dingin dari biasanya”. Gloves yang kupakai tak mampu membendung dingin yang meresap hingga lapisan kulit terluar. Alhasil, aku berjalan menikmati Myeong-dong dengan sesekali menggeretakkan gigi karena tak mampu menahan dingin lebih lama.

Benar adanya, para pemudi nan langsing, tinggi dengan wajah putih aduhai menjejali setiap gang di Myeong-dong. Toko-toko kosmetik tampak dipenuhi para pembeli. Sedangkan beberapa pedagang kuliner lokal mulai sibuk menyiapkan lapak di banyak titik. Myeong-dong yang bagiku sudah tampak ramai, rupanya belum juga mencapai titik puncak keramaiannya. Mungkin malam nanti akan menjadi titik kulminasinya.

Karena area ini adalah pusat perbelanjaan kosmetik, maka tak menarik minatku untuk memasuki outlet kosmetik yang berjajar di sepanjang Myeongdong 8-gil. Aku hanya berdiri di tepian koridor pertokoan Myeong-dong, asyik menikmati lalu lalang muda-mudi Seoul dan kesibukan para pedagang kuliner yang sibuk menyiapkan dagangannya. Sementara itu beberapa outlet kosmetik kenamaan seperti Holika Holika, Aritaum, Missha dan The Saem tampak kebanjiran pengunjung.

Kesibukan di Myeong-dong

Dengan hanya berdiri terpaku begitu saja, menjadikanku sebagai  sasaran empuk udara dingin yang berhembus di Myeong-dong. Benar adanya, aku hanya bisa menahan hawa dingin itu dalam setengah jam saja. Selebihnya aku mulai menggigil tak terkendali.

Aku menyerah….

Aku mulai beranjak dan dengan terpaksa memasuki salah satu outlet, seingatku outlet itu bernama innisfree. Karena kebanyakan tamunya adalah kaum hawa, aku hanya berpura-pura mencari oleh-oleh kosmetik supaya bisa dengan leluasa masuk ke dalam outlet. Tentu aku tak akan membeli apapun di outlet tersebut. Aku hanya berkeliling sembari memperhatikan dengan seksama berbagai macam kosmetik yang dijual di outlet tersebut.

Demi tak menimbulkan kecurigaan, lima belas menit kemudian aku memutuskan keluar dari oulet. Kini aku berlanjut menyusuri kembali koridor-koridor di Myeng-dong sembari perlahan menjauhi pusat kosmetik itu untuk menuju ke stasiun.

Saatnya meninggalkan Myeong-dong.

Yup, kali ini aku berniat kembali dahulu ke hotel, menaruh belanjaan yang kubeli dari Namdaemun Market beberapa saat sebelum mengunjungi Myeong-dong. Untuk kemudian aku akan melanjutkan eksplorasi lagi  ke Istana Gyeongbok.

Kisah Selanjutnya—->

Ginseng dari Namdaemun Market

<—-Kisah Sebelumnya

Namdaemun Market, Seoul.

Beberapa saat setelah seruputan kopi terakhir di cangkir kertasku, bus biru langit bernomor 402 itu tiba. Tak langsung menuju platform halte. Ternyata sang sopir turun dan berburu kopi di G-25 minimarket, tempatku mendapatkan kopi hitam beberapa saat sebelumnya.

Aku sudah berdiri di depan bus ketika dia mendekat sembari memegang kopi panasnya.”*&^%$#@!()<>”, entah apa yang dia ucapkan sembari menunjuk cangkir kopinya. Tetapi aku paham maksudnya, “Tunggu dulu ya bang, saya minum kopi sebentar”. Aku tersenyum mengangguk dan dia mengacungkan jempol kanannya untukku.

Aku bersandar di bagian depan bus sembari menunggunya menghabiskan kopi di balik kemudi. Beberapa saat kemudian, bunyi gesekan pintu bagian depan terdengar. Menunjukkan bahwa pintu bus telah dibuka dan aku dipersilahkan masuk. Tentu lebih enak duduk di dalam bus yang lebih hangat ketimbang berdingin ria di luaran sana.

Beberapa saat setelah aku terduduk di bangku tengah, bus pun merapat ke platform halte. Menaikkan penumpang yang sudah menunggu sedari tadi.

Segenap penumpang telah menempati tempat duduknya masing-masing ketika bus perlahan mulai menuruni Gunung Namsan dan memperlihatkan keindahan Seoul dari balik jendela kaca. Kota metropolitan yang tampak dinaungi selaput kabut di bawah sana. Aku membelalakkan mata tanpa henti untuk menatapnya dari ketinggian.

Hingga tak terasa, bus sudah melaju kencang di jalanan kota yang datar. Menampilkan kesibukan jalanan kota Seoul. Dua puluh menit kemudian aku diturunkan di Toegye-ro Avenue tepat di depan Gate 5 Namdaemun Market.

Dilihat dari seberang jalan saja, aura pasar tradisional berusia 75 tahun itu sungguh menggoda. Ramainya lapak pedangang di atas lantai pasar yang sangat bersih dihiasi dengan kepulan asap yang mengisyaratkan bahwa kuliner tradisional akan mudah ditemukan di dalamnya. Konon ada 9.000 lapak di dalam pasar ini.

Aku mulai menapaki bibir pasar, mengamati sepintas lalu perniagaan rempah di antara warga lokal. Ginseng yang terkenal di negeri itu sungguh menggoda ketika dipamerkan di setiap hamparan lapak pedagang. Dan entahlah, bagaimana bisa dalam sekejap, akhirnya aku berhasil memiliki sebuah kemasan ginseng dari sebuah lapak…..Wah, gaswat.  

Yuhuu…Aku beli ginseng, dong….Wkwkwk.
Duh, ga ada logo halalnya euy…..Tapi terlanjur dibeli….Udahlah di cemil aza.

Tak cukup sampai di situ. Kini mataku tertarik dengan pajangan souvenir di salah satu sisi gang. Aku mendekat dan secara otomatis mulai menawar beberapa gantungan kunci yang lucu dan unik. Oh Tuhan, perniagaan itu berakhir dengan terbelinya selusin gantungan kunci yang rencananya akan kuberikan ke beberapa teman kantor sepulang dari Seoul nanti.

Wah, setan pasar itu memang benar-benar ada. Kini aku mendadak menawar beberapa snack almond yang dalam fikiranku, akan kucemil esok selama perjalanan panjang di pesawat menuju Jakarta.

Cukup lama berkeliling pasar, membuat perutku lapar. Ditambah dengan paparan asap kuliner yang menyeruap di gang-gang pasar. Sudahlah, aku memutuskan untuk memasuki sebuah kedai yang diempui seorang perempuan tua yang masih terpancar sisa-sisa aura kecantikannya, berpakaian rapi bersih dan penuh senyum.

Dia hanya tersenyum terus melihatku yang terduduk di meja makan. “Dangsin-eun eodieseo oneunga?”, dia terus menanyaiku yang tak faham bagaimana menjawabnya. Hingga seorang pemuda dengan tertawa kecil berbicara kepadaku. “She said, where are you come from?”.

Oh, just say to her, I am from Indonesia….Jakarta….ya, Jakarta”, aku menjawabnya sembari tertawa ringan. “Hoooo. Indunesiaaaa….ya ya ya”, perempuan tua itu mengangguk sembari terus melempar senyum. Dia mendekatiku dan memberikan selembar menu.

Tak perlu waktu lama, aku segera menunjuk sebuah menu. Bukannya aku faham apa wujud menu itu. Aku hanya melihat di kolom kanan menu bahwa itulah harga makanan paling murah yang bisa kutemukan. “Hoooo, sundubu-jjigae …OK”, perempuan tua itu mengacungkan jempol dan pergi mempersiapkan menu.

Setelah menunggu beberapa saat. Makanan itu pun di sajikan ke atas meja. Mau tahu bentuk makanannya:

Tuh….Hahahaha, itu yang dibayar cuma nasi ama tahunya duankk…Sisanya menu pembuka gratisan.

Perjalananku di Namdaemun Market akhirnya berakhir di kedai makan sederhana itu.  Kini aku sudah keluar pasar dari gate semula masuk dan bersiap meninggalkan pasar seluas empat hektar itu.

Kisah Selanjutnya—->

Namsan Tower Tanpa Gembok Cinta

<—-Kisah Sebelumnya

Sepulang dari Banpo Bridge di Distrik Seocho, aku langsung bergegas tidur demi menyiapkan diri untuk petualangan esok hari. Esok adalah kesempatanku terakhir kali untuk menikmati Seoul karena lusa hari aku harus bertolak ke tanah air.

Huhuhu….Sedih

—-****—-

Sinar matahari pagi menyeruak melewati jendela di tembok miring kamar. Jarum jam telah melewati angka delapan. Usai shalat subuh tadi, aku kembali menyelinap di balik selimut, menolak dinginnya udara pagi yang mampu menembus kaca jendela.

Sadar diri kesiangan, aku melompat dari bunk bed, menyambar toiletries bag dan microfiber towel warna oranye, lalu membasahi badan dengan guyuran hangat shower Kimchee Guesthouse Sinchon. Penghuni lain masih terlelap melanjutkan mimpinya masing-masing, dengkuran-dengkuran ringan sayup terdengar dari koridor penginapan. Beruntunglah aku, inilah kesempatan untuk berlama-lama di shared bathroom. Sebetulnya kebiasaanku berlama-lama di kamar mandi saat bertraveling selalu menyimpan sebuah alasan. Bahwa siraman air hangat yang konsisten menghantam otot betis adalah terapi penghilang lelah terefektif. Tak perlu mencari jasa tukang pijat untuk membuat badan kembali segar.

Usai mandi dan berpakaian musim dingin dengan lengkap,  aku turun ke lantai satu dan memilih duduk sejenak di shared-lobby. Bergabung dengan beberapa turis yang rajin, merekalah yang sudah terlebih dahulu bangun dan menyantap sarapan yang sudah mereka siapkan di kulkas penginapan. Beberapa turis cantik “Negeri Beruang Merah” dan sekelompok traveler “Negeri Matador” tampak khusyu’dengan sarapan pagi buatan mereka masing-masing.

Aku? ….Yups, aku hanya sedikit sibuk membuka peta dan mencoba membuat pola visitasi hari itu. Begitu mereka usai bersarapan dan mulai meninggalkan ruangan, maka aku pun ikut meninggalkan penginapan. Entah mereka mau kemana tetapi aku telah memantapkan diri menuju “Menara Cinta”, apalagi kalau bukan Namsan Tower, julangan pemancar televisi setinggi 237 meter dan telah berusia 52 tahun.

Sebelum memasuki Stasiun Hongik University, aku melaksanakan ritual pagi, yaitu sarapan dengan rumus menu yang itu-itu saja, cup noodle dan nasi putih kemasan, bosan tapi tak ada pilihan.

Mampu ga kamu, empat hari makan beginian melulu?….Saran terbaik, jangan nggembel ke Korea kek guweh.

Mengulang-ulang kebiasaan untuk melawan kebosanan, aku berteriak “Kamsahamnida” kepada kasir sebelum keluar dari 7-Eleven. Biasanya aku selalu menunggu sang kasir melambaikan tangan sebelum keluar dari pintu minimarket. Mendapatkan lambaian tangan yang kumaksud, akhirnya aku benar-benar keluar dari minimarket dan berderap menuju platform Seoul Metro Line 2.

Beberapa detik setelah Seoul Metro singgah di platform,aku melompat masuk. Nuansa pagi yang sepi membuat barisan gerbong Seoul Metro tampak lengang. Ular besi itu mulai menelusuri lorong-lorong bawah tanah. Stasiun demi stasiun kulewati dengan cepat hingga akhirnya aku turun di Stasiun Euljiro sam (3)-ga untuk berpindah menuju Seoul Metro Line 3. Kini sasaran terakhirku adalah Stasiun Chungmuro.

Memerlukan waktu hampir tiga puluh menit untuk tiba di Stasiun Chungmuro. Di tujuan akhir itu, aku keluar dari gate, lalu bergegas mencari halte yang akan dilewati oleh bus bernomor dua untuk menuju Namsan  Tower.

Belum juga lima menit menunggu, bus itu tiba. Aku mengambil tempat duduk di tengah dan dalam sekejap larut mengikuti erangan mesin bus kala menanjaki jalanan berjarak sekitar dua kilometer dari Stasiun Chungmuro.

Perlahan tapi pasti, bus itu sampai juga di pelataran Namsan Tower. Bus berhenti pada sebuah halte nan panjang untuk berbagi dengan bus bernomor lain.

Jarak Namsan Tower dan halte bus yang berkisar 600 meter harus ditempuh dengan ayunan langkah. Akhirnya aku harus rela terengah-engah menanjaki jalur sisa menuju Namsan Tower. Di pertengahan langkah, engahan itu ternyata tak sempat kurasakan karena aku justru sering berhenti dan terpesona melihati pemandangan di bawah sana yang memamerkan keindahan Seoul dari ketinggian Gunung Namsan. Bisa dibayangkan jika malam tiba….Betapa indahnya.

Di depan Namsan Tower atau N Seoul Tower nama resminya.

Menaiki Namsan Tower memang identik dengan percintaan pasangan kekasih. Di atas tower, pasangan kekasih akan membeli sebuah gembok, lalu menamai gembok itu dengan nama mereka berdua yang kemudian dibubuhi tanda hati berwarna merah. Kemudian pasangan tersebut akan menguncikan gemboknya pada sebuah etalase panjang yang memajang beragam gembok cinta dari beberapa kurun waktu.

Yah….Aku nulis apa dong kalau beli gembok?

Duh….Siapa saja tuh yang jatoh cinta?

Namsan Tower selain menyajikan lansekap aerial kota Seoul, juga menawarkan beberapa resto kenamaan yang mungkin akan terasa murah bagi mereka yang dimabuk asmara, kalau buat saya ya ndak ada bedanya, tetap aja restoran adalah barang mahal.

Kunjungan di Namsan Tower memang terasa hambar jika dilakukan sendirian. Itulah alasan mengapa aku tak berlama-lama di atas. Aku memutuskan turun dan memilih menyeruput kopi buatan G-25 minimarket di seberang halte.

Memasuki minimarket, menyeduh secangkir kopi panas, lalu menyeruputnya perlahan. Tetapi aku terus diliputi rasa penasaran di setiap seruputan. Aku terus mengamati lalu lalang bus dengan nomor yang berbeda-beda, bukan bus no.2  saja seperti yang kutunggangi tadi.

Apa mungkin aku bisa mencari bus yang bisa langsung menuju Namdaemun Market  dari sini tanpa harus kembali ke Stasiun Chungmuro”, batinku kritis penuh rasa ingin tahu.

Kuputuskan menyeruput kopi hitam sambil berjalan menuju halte panjang di seberang minimarket. Aku begitu khusyu’ menyisir satu demi satu papan rute yang tertempel di halte. “Yes…I get it”, aku berseru riang ketika menemukan bus bernomor 402 yang secara langsung dapat membawaku menuju Namdaemun Market dari Namsan Tower.

Jadi aku hanya perlu menunggu bus saja sembari menghabiskan kopi………

Kisah Selanjutnya—->

Makan Malam di Tepian Banpo Bridge

<—-Kisah Sebelumnya

Banpo Bridge yang gagah mengangkangi Han River.

Untung aku tak tenggelam dalam pulasnya tidur siang di Kimchee Guesthouse Sinchon. Lewat sedikit dari jam lima sore aku terbangun. Segera membongkar isi backpack, aku mencari toiletries bag dan microfiber towel untuk keperluan mandi pertamaku sejak 35 jam yang lalu.

Aku sengaja berlama-lama mengguyur diri dengan air hangat walaupun aku tahu ada seorang penghuni penginapan yang beberapa kali mengetuk pintu sebagai tanda memintaku untuk mempercepat mandi….Jahat banget guwe, kannn.

Usai mencuci kaos kaki, aku pun keluar dari kamar mandi dan melempar senyum pada seorang tamu perempuan asal Tiongkok yang menunggu sedari tadi. Tentu saja senyum hangatku itu berbalas cemberutan bibir darinya. “Maaf neng, abang dah lama kagak mandi, hampura nyakkk…..” .

Usai berganti baju dan mengenakan semua perlengkapan musim dingin, aku bersiap melanglang Seoul lagi hingga malam nanti.

Aku masih ingat dengan kata teman-teman sekantor yang memintaku untuk mengunjungi sebuah jembatan yang sering dijadikan latar dalam drama-drama Korea terkenal. Walaupun aku mengindahkannya ketika berangkat, tetapi entah kenapa sore itu aku berkeinginan kuat untuk mengunjunginya juga. Kata teman-temanku, jika malam tiba, di Banpo Bridge sering ada air mancur pelangi, perpaduan antara air mancur dengan permainan cahaya di kedua sisi jembatan. “Oke lah….ndak ada salahnya aku kesana walau bukan penggemar drama Korea”, aku akhirnya sudah memutuskan tujuan.

Dari Stasiun Hongik University, kini aku akan menuju ke Stasiun Seoul Express Bus Terminal, tempat pertama kali aku menginjakkan kaki di Seoul. Kenyang nanggung dari sepotong Kimbab yang kusantap di Stasiun Hongik University siang tadi sirna sudah. Kini perut mulai berdangdut ria merayakan kesewotanku menahan lapar. Tetapi karena kekhawatiran terjebak malam di Banpo Bridge aku memutuskan untuk menunda keinginan makan malam itu.

Aku segera melangkah menuju Stasiun Hongik University, menjemput kedatangan Seoul Metro Line 2 dan menuju ke destinasi yang kusasar. Saking fahamnya jalur Seoul Metro karena sedari pagi terus-menerus memelototi peta jalurnya, menjadikanku aware jika aku harus transit dahulu di Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga dan harus pindah tumpangan di Seoul Metro Line 3.

Kurang lebih memerlukan waktu setengah jam untuk sampai di Stasiun Seoul Express Bus Terminal. Keluar dari gate 8-1 di stasiun itu, aku berjalan kaki menuju Banpo Hangang Park, sisi terbaik untuk menikmati indahnya Banpo Bridge.  

Perlu waktu 20 menit untuk bisa untuk bisa tiba di taman yang berada di tepian Han River. Memasuki taman yang mulai gelap dengan minim penerangan sebetulnya sedikit menciutkan nyali. Beruntung ada serombongan keluarga Korea yang memasuki taman dan menuju tempat yang sama. Dengan pura-pura menunjukkan ketenangan aku menguntitnya dari belakang….Hahaha, dasar pengecut kamu, Donny.

Rombongan yang sibuk berjalan sembari menyiapkan beberapa kamera itu membuatku yakin bahwa mereka akan menuju Banpo Bridge view point. Benar adanya, saya dan rombongan keluarga lokal itu akhirnya tiba di tepian sungai secara bersamaan.

Yeaaa…..nyampai juga.

Penampakan Banpo Bridge dengan gemerlap lampu memang tampak indah mengangkangi Han River. Aku sangat antusias duduk di tepian sungai demi menunggu momen pertunjukan air mancur pelangi itu dimulai. Detik demi detik, menit demi menit, bahkan aku sudah merelakan diri digulung suhu dingin kota, pertunjukan itu tak kunjung hadir.

Alhasil, dengan berakhirnya kunjungan keluarga lokal itu karena kekecewaan yang sama, membuatku terpaksa ikut undur diri dari tempat itu. “Masa iya, aku harus sendirian di tepian sungai yang sepi dan gelap begini….”, geramku sambil menahan lapar yang sedari tadi sungguh mengacaukan konsentrasiku.

Berjalan meninggalkan keelokan Banpo Bridge, aku sungguh beruntung bisa melihat keberadaan gerai mungil 7-Eleven di sisi lain taman.  Cahaya lampu dari dalamnya mengisyaratkan bahwa gerai itu masih buka. Lantas tak berfikir panjang, aku mempercepat langkah mendekatinya. “Enak nih, cup noodles disantap dengan nasi….”, semangatku hadir sembari mengingat cara makan sederhana yang selalu kupraktikkan selama berkunjung ke Korea Selatan.

Aku berseru girang berhasil mendapatkannya. Kegirangan itu semakin bertambah karena gerai 7-Eleven itu menyediakan tenda di sisi luarnya untuk menyantap makanan yang dibeli dari gerai. Unik, tenda itu dihangatkan dengan sebuah kipas angin yang baling-balingnya dibuat dari filamen pemanas.

Tuh……..

Kisah Selanjutnya—->

Tidur Siang di Kimchee Guesthouse Sinchon

<—-Kisah Sebelumnya

Lupa ambil foto pas nginep….Hihihi.

Aku masih saja bediri termangu di utara alun-alun untuk menikmati kegagahan Gwanghwamun Gate , gerbang enam abad milik Istana Gyeongbok. Alun-alun Gwanghwamun dengan dasar batuan andesit serta paduan hijaunya rumput taman tampak mulai dipenuhi oleh arus kunjungan para pelancong.

Selain patung Admiral Yi Sunshin, patung emas Raja Sejong yang Agung-sang raja keempat Dinasti Joseon adalah tujuan penting para pelancong. Mereka terlalu terpesona dengan patung-patung itu ketika aku lebih memilih memperhatikan kesibukan Kedutaan Besar Amerika Serikat di tepian Sejong-daero Avenue yang bersebelahan dengan National Museum of Korean Contemporary History.

Tak terasa waktu telah bergulir lewat dari tengah hari, sisa kantuk usai bermalam di Seoul Express Bus Terminal membuatku tak mampu menyembunyikan rasa kantuk di pelupuk mata. Badan yang belum terguyur air semenjak 30 jam yang lalu juga membuat tubuh tak merasa nyaman.

Lebih baik pulang ke penginapan saja”, begitu seru batin menggugurkan semangatku untuk melanjutkan eksplorasi. “Sial….Aku menyerah kali ini”, dengan bersungut-sungut kesal, aku memasuki gerbang Stasiun Gwanghwamun.

Selamat tingga Distrik Jongno”, lirih batinku ketika melompat masuk ke gerbong Seoul Metro Line 5. Tanpa memperhatikan keriuhan di dalam gerbong, aku segera mengarah ke tempat duduk kosong di dekat sambungan. Tanpa basa-basi aku segera memejamkan mata saking kantuknya.

Aku kini menuju ke Stasiun Hongik University dengan sekali transit di Stasiun Chungjeongno karena untuk menuju Kimchee Guesthoouse Sinchon di Distrik Seodaemun aku harus menunggang Seoul Metro Line 2.

24 menit kemudian aku tiba di tujuan. Sebelum benar-benar meninggalkan Stasiun Hongik University, aku menyempatkan diri menuju T-Money card vending machine di pojok koridor untuk mengisi T-Moneyku yang hampir kehabisan saldo. Kali ini aku memenuhi kartu perjalanan kota Seoul itu dengan 10.000 Won, angka yang lebih dari cukup hingga akhir petualanganku di Seoul.

Hilir mudikku di Stasiun Hongik berakhir di sebuah G-25 minimarket untuk sekedar makan siang seadanya. Sepotong Kimbab kemasan berhasil kudapatkan dengan harga 1.300 Won saja. Kenyang atau tidak, hanya itu jatah makan siang yang harus kuterima.

Usai menyantapnya di meja minimarket, aku segera menaiki escalator yang menjulang menuju permukaan, melewati gang Sinchon-ro 2-gil, menyeberangi Sinchon-ro Avenue, lalu bergegas menuju penginapan.

Hooohh….You, Donny. Welcome, your room is ready”, begitu sosok resepsionis yang sama sejak pagi tadi menyambut kedatanganku.

Hi, Sir….Thank you. I think I should go to bed soon….Hahaha”, aku menjawabnya ringan sambil merengkung backpack biru yang sedari pagi kutaruh di pojok ruangan depan.

Oh yeah, you look tired

Yes, I spent my last night at Seoul Express Bus Terminal”, aku mengiyakan.

Usai resepsionis itu me-scan passport yang kuberikan, kunci kamar pun diberikan. Tak menunggu lama, aku segera naik ke lantai atas, memasuki kamar, melepas winter jacket dan sepatu, kemudian segera melompat ke bunk bed untuk memulaskan diri hingga sore nanti.

Kisah Selanjutnya—->

The Candlelight Revolution di Gwanghwamun Square

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir tengah hari ketika aku perlahan menuruni gang demi gang Bukchon Hanok Village. Melangkah di sela-sela bangunan tradisional asli Korea seolah melemparku ke masa lalu, masa dimana Dinasti Joseon sedang menikmati era keemasannya.

Beberapa saat kemudian, langkahku sudah menyejajari ruas Bukchon-ro Avenue. Aku melangkah santai menikmati sejuknya udara tengah hari Seoul sembari sesekali berhenti di beberapa spot penjual winter jacket. Tetapi harganya yang masih saja di atas 125.000 Won membuatku urung untuk berhenti lebih lama.

Aku mempercepat langkah ketika muka Stasiun Anguk lamat terpantau jauh di hadapan.  Tetapi beberapa langkah kemudian, aku melambatkan ayunan langkah, sayup telingaku mendengar Bahasa Indonesia dari sebuah kedai mungil, empat pelancong Indonesia sedang asyik menikmati hidangan Chimaek (sajian ayam goreng berpadu bir khas Korea Selatan).  Keseruan senda gurau mereka membuatku enggan menyapanya tetapi aku sudah bisa memastikan bahwa mereka berasal dari bangsa yang sama denganku.

Memasuki Stasiun Anguk, aku langsung menuju platform. Mengejar Seoul Metro untuk segera menuju daerah Sejongno. Seoul Metro tiba hanya beberapa saat setelah aku mencapai platform.

Si Anjing…..Ehh…Ups….Duh.

Memasuki sebuah gerbong, aku tak bisa menyembunyikan tawa kecil. “Oh, tidak……”, Seoul Metro ini mirip KRL Jabodetabek masa lalu. “Gileee men….”, ada penjual yang teriak-teriak menjelaskan barang yang dijulanya.

Itu belum cukup……Seseorang dengan cepat berjalan menyisir gerbong demi gerbong untuk sekedar menyelipkan kartu nama di beberapa sela pintu, tiang gerbong dan selipan apapun yang memungkinkan. “Buseettttt dahhh….”, menundukkan muka pun aku masih tak bisa menyembunyikan kegelian itu.

Kejadian itu pun ditutup dengan adegan lucu lainnya dimana petugas kereta menyisiri gerbong untuk mengambil semua kartu nama yang terselip dimana-mana sebelum aku turun di Stasiun Jongno 3(sam)-ga.

Aku kini berpindah ke Seoul Metro Line 5 untuk menuju tujuan akhir Stasiun Gwanghwamun. Tak berselang dengan stasiun lain, maka aku dengan cepat tiba di Gwanghwanum Square.

Menaiki escalator dengan tidak sabaran, aku berusaha secepat mungkin munuju permukaan. Sesampai di pintu keluar aku hanya bisa berdiri terpaku, menatap sebuah patung seorang petarung legendaris Korea Selatan. Adalah patung Laksamana Yi Sun-sin yang berdiri gagah dengan genggaman pedang di tangan kanan dan baju zirah yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.

Laksamana Yi Sun-sin sendiri adalah pejuang era Dinasti Joseon yang dengan 12 armada kapal perangnya melawan invasi Jepang dalam 23 pertempuran besar di lautan.

Sedangkan Gwanghwanum Square dulunya adalah salah satu alun-alun kerajaan yang sangat terkenal karena beberapa bangunan pemerintahan zaman kerajaan ditempatkan di sekitar alun-alun ini.

Hanya saja, kedatanganku tampaknya bertepatan dengan sebuah demonstrasi besar yang dikenang dengan nama The Candlelight Revolution, protes rakyat melawan skandal korupsi yang dilakukan oleh Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye.

Kisah Selanjutnya—->

Beberapa tenda demonstran masih tampak tersisa di kiri kanan sisi patung Laksamana Yi Sun-sin. Tetapi itu semua tidak mengurangi rasa antusiasku untuk menikmati Gwanghwamun Square.