Inspirasi Menulis dari Tribhuvan International Airport.

Waktu begitu cepat. Sore kemarin aku masih mengeksplore area Basantapur. Tetapi kini sudah pukul empat pagi. Aku sudah saja mengguyur diri di bawah hangatnya shower Shangrila Butique Hotel. Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, aku segera menuju resepsionis untuk check-out dan selangkah kemudian aku sudah turun di jalanan Thamel. Gelap, kosong dan penuh kekhawatiran.

Aku terus menyusuri jalanan dan berharap segera menemukan taksi, sementara dari arah belakang yang gelap terdengar suara derap langkah beberapa orang diiringi nyanyian Nepal yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.  Kuberanikan diri menoleh ke belakang, lima pemuda tanggung melangkah cepat menyusulku. Sepertinya aku tak bisa lebih cepat lagi karena backpack membebaniku di punggung. Aku seakan pasrah jika terjadi sesuatu saat mereka benar-banar telah menyusulku.

Plakk”, tangan salah satu dari mereka menepuk pundak kananku kencang. “Ah, alamat”, batinku cepat merespon.

Good morning, Brother. Are you happy in Nepal?”, dia berucap sambil mengiringi langkahku yang terlanjur melambat ketakutan.

Hi….Yeaaa, nice country”, aku berkata lebih keras dari biasanya untuk menunjukkan keberanian saja.

Good….Be careful, bro”, dia melewatiku dengan cepat sementara keempat teman lainnya menatapku dengan senyum ringan dan serempak berucap “Hi”.

Oh, Tuhan terimakasih engkau masih mengirimkan orang-orang baik untuk menyapaku di gelapnya pagi.

Sampai pada sebuah perempatan, tampak deretan taksi mengantri untuk mengangkut penumpang. Taksi terdepan memancarkan lampu tembak ke arahku dan aku mengangkat tangan sebagai jawaban bahwa aku akan menggunakan jasanya.

Airport, Sir….How much?”, aku bertanya singkat.

Seven hundreds Rupee”, jawabnya sambil meraih backpackku yang menutup niatku untuk menawar.

“Ok”, tak ada jawaban lain yang bisa kulontarkan.

Taksi dengan cepat melaju kencang tanpa penghalang di Pashupati Road yang tentu masih senyap. Tak sampai 20 menit, taksi perlahan merapat ke Tribhuvan International Airport.

Pukul setengah enam pagi, airport masih tutup dan senyap.

Tak banyak yang bisa kulakukan, aku hanya menunggu di meja milik polisi bandara yang tampak kosong sambil terus menatap international gate dan berharap pintu itu segera dibuka karena udara sangat dingin diluar.

Perlahan penumpang berdatangan.

Orang Indonesia, mas?”, celetukan itu berasal dari arah belakang.  Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada siapapun di sampingku. Suara itu jelas menanyakanku. Aku menoleh kebelakang dan terlihat seorang perempuan berusia 30 an tersenyum ke arahku.

Loh, kok ibu tahu saya dari Indonesia?”, sahutku membalas senyumnya.

Itu mas”, Si ibu menunjuk salah satu kantong backpack yang tak tertutup sempurna dan sedikit menyingkap bendera merah putih yang sempat kukenakan  empat hari lalu di Sarangkot.

Alhasil kami saling bercakap sembari menunggu gate dibuka. Ternyata beliau ini adalah lulusan kampus ternama di Indonesia dan pekerja senior pada perusahaan eksplorasi minyak di Bangladesh. Setelah berwisata ke Nepal, dia akan kembali ke tanah air melalui New Delhi.

Sepesawat denganku ke New Delhi, dia bersambung terbang bersama Singapore Airlines yang transit di Singapura. Sementara aku akan mengeksplorasi New Delhi dan Agra terlebih dahulu.

Gate sudah dibuka, aku segera menuju konter check-in. Sedikit agak lama berproses, aku menguping bisikan antar mereka dan terucap kata internet connection.  Pantas proses online check-in ku gagal semalam.

Pertama kali terbang bersama Jet Airways.

Kemudian di deret lain konter imigrasi, kulihat Si Ibu berbincang hangat dengan petugas imigrasi. Bahasa Inggrisnya sangat fasih. Dia sempat menjelaskan kepadaku di waiting room bahwa petugas imigrasi di Asia cenderung lebih luwes daripada petugas di Eropa dan Amerika. Tentu aku mengamini itu.

Waiting Room Tribhuvan International Airport.
Si ibu mentraktirku secangkir chiya hingga pesawat tiba.

Boleh dibilang, Si Ibu yang tak mau disebutkan namanya inilah yang menginspirasiku untuk menulis dan membagikan setiap pengalaman perjalanan yang kulakukan sehingga bisa mensupport setiap traveler dengan informasi. Si Ibu sendiri tak pernah kesampaian menulis karena kesibukannya yang teramat sangat, padahal dia memiliki kisah-kisah yang luar biasa. Salah satunya ketika dia bisa selamat dari badai gurun yang menghantamnya di Kuwait.

Jet Airways bernomor terbang 9W 0263 telah siap. Aku keluar dari waiting room menuju parking lot. Ada satu keunikan yang tak pernah kualami sebelumnya, yaitu ketika ada pemerikasaan cabin baggage setiap penumpang di area extension tepat di depan pintu pesawat. Pengalaman yang menggelikan dan menyenangkan.

OK, saatnya terbang.

Sampai jumpa lagi Nepal. Selamat datang India.

Intipan Hypothermia di Taj Express Menuju New Delhi

Buseet….Dikejar pengemis cilik yang tak terima karena cuma kukasih sebungkus beng-beng coklat yang kubawa dari Jakarta sejak seminggu lalu. “No….I need money”, katanya sembari terus mengintili aku dari belakang. Bahkan ketika aku membongkar isi backpack untuk mengontrol apakah ada benda-benda mencurigakan masuk setelah seharian kutaruh tas itu di bagasi taxi, si bocah tetap berdiri sembari mengoceh tak henti-henti di depanku yang sedang berjongkok di pojok stasiun untuk merapikan kembali backpack yang sudah acak-acakan. “Hi Boy….I don’t have much money….Sorry”, Aku menjarakkan mukaku hanya sejengkal dari mukanya. Dia hanya meliuk-liukkan leher sambil memperlihatakan gigi kelincinya.

Tepat jam 17:00, aku melewati metal detector stasiun Agra Cantt dengan mulus walau polisi berkumis melintir itu terus memandangku aneh. Selangkah kemudian aku menuju platform dan mencari informasi keberangkatan Taj Express 12279 di LCD board sederhana. Tertera suhu di angka 12 derajat….”Mulai mendingin”, batinku….”Delay”, otakku merekam informasi. Padahal seharusnya aku sudah meninggalkan kota Agra pada jam 18:40.

Tiket kelas CC (Chair Car) yang harga tiketnya hanya Rp. 51.000 tentu tak berakses menuju station lounge yang menawarkan udara hangat dan makanan enak didalamnya. Menyedihkan, aku tercecer bersama penumpang kasta bawah di sepanjang platform yang semakin dingin mengikuti putaran jarum jam stasiun Agra Cantt.

Lalu lalang kereta yang terus menjajikan harapan….Tak kunjung tiba.

Semakin lama berdiam duduk maka jari-jari tanganku mulai kebas. Sial….Aku salah perbekalan, jaketku kurang tebal. Terkadang toilet menjadi tempat hinggap sementara untuk menolak beku. Tapi itu tak bisa lama, toilet berbayar itu menebar bau pesing kemana-mana.

Suhu sudah dibawah 10 derajat memasuki jam 10 malam….Siaga

Aku tak mampu menyembunyikan panik ketika suhu menyentuh 7 derajat. Kaos kakiku tembus dan perlahan membasah membuatku seperti merendam kaki di air es. Sedangkan t-shirt rangkap 3 dibawah jaket tak mampu menangkap panas tubuh….Aku mulai merinding ringan di tengah malam.

Lihatlah pemuda India itu!….Ingin rasanya merampas paksa selimutnya.

Perlawanan menggunakan secangkir kecil chai (teh tarik) dan setangkup burger asongan tak bertahan lama. Akhirnya aku hanya terus bergerak untuk mengatasi dingin.

Taj Express baru merapat sekitar pukul 1:30 dinihari. Gembira bukan kepalang aku memasuki gerbong, tapi harapanku sirna ketika tak merasakan perubahan suhu ketika 5 menit duduk di bangkunya. Pantesan….Ternyata ada celah kecil di semua jendela gerbong yang memasukkan udara dingin kedalam. Walah….alamat.

Bahkan bangku sekotor itu tak membuatku jijik karena fokusku hanya melawan dingin.

Lebih menjengkelkan lagi, kereta ini benar-benar tak bergerak hampir 40 menit setelah tiba. Kini kondisi di dalam gerbong menjadi tak ada bedanya dengan kondisi di platform. Sementara penumpang lokal sudah tertidur bertutup rapat selimut, sementara aku masih sibuk melawan udara yang semakin mengancam. Aku mulai kefikiran tentang hypothermia. Benih kepanikan mulai tumbuh di otakku.

Gerbong yang tak bisa menyelamatkanku dari kedinginan.

Aku sudah tak peduli lagi walau kereta terus melaju mendekati New Delhi secara perlahan. Aku benar-benar terduduk meringkuk terengah-engah. Kukunyah burger tersisa untuk membantu menghasilkan panas tubuh sehingga memperpanjang asaku menaklukkan dingin.

Semakin masinis menaikkan kecepatan kereta maka aku semakin tak bisa bergerak. Aku seperti tak punya harapan, meringkuk kaku memeluk backpack sepanjang perjalanan. Hanya do’a senjata terakhir yang kumiliki. Di suhu 3 derajat Celcius dan entah telapak kaki bisa basah, telapak tangan  mengkerut pucat dan bibir menggeretak, aku seperti susah sekali menghirup nafas.

3 jam 10 menit aku benar-benar bak patung hingga akhirnya sekonyong-konyong aku sanggup melompat dari bangku dan memastikan apa yang kulihat di seberang jendela. Ya….Itu kereta  Metro Delhi….Aku sampai. Oh, Belum….masih setengah jam lagi baru benar-benar tiba. Setengah jam terakhir yang membuatku bisa tersenyum tipis untuk segera memasuki stasiun Hazrat Nizamuddin di kota New Delhi.

Selamat tinggal Agra dan selamat datang New Delhi

Terimakasih Tuhan.

Cari tiket kereta dari Agra ke New Delhi melalui 12go Asia. Berikutnya linknya:  https://12go.asia/?z=3283832

Kharisma Merah Bata Agra Fort

Get off here and walk straight there. I will wait here for maximum 2 hours”, ucap pengemudi taxi sewa harian setelah meludahkan kunyahan sirih keluar jendela. Bekas ludahan sirih terlihat merata di area parkir kendaraan memang….Menyedihkan.

Loker penjualan tiket
Lumayan juga harganya….Rp. 98.000.

Tak menyiakan waktu, Aku segera menyelinap ke antrian pengunjung untuk membeli tiket masuk. Tak lama….Tak lebih dari 10 menit, tiket sudah digenggaman.

Aku tenggelam dalam keangkuhan julangan Benteng Merah. Benteng kota itu sungguh tinggi seakan mengawasi setiap gerik langkah orang yang mendekatinya. Kota Mughal seolah menjadi kota teraman di dunia dengan ketebalan dinding yang melingkarnya

Yuk mulai masuk….
Amar Singh Gate dihadapan.
Dinding benteng di sekitar main entrance

Layaknya benteng pertahanan, aku harus menyeberang kanal melalui sebuah jembatan yang menghubungkan jalanan utama kota Agra dan gerbang benteng itu sendiri. Memasukinya, setiap jalur kota di sisi dalam benteng harus dilalui dalam hapitan dinding yang perlahan berubah dari menyeramkan menjadi menyamankan.

Gerbang kedua dengan dinding 21 meter menjulang menjadikanku bak kurcaci.
Eksterior sekitar gerbang

UNESCO World Heritage Site yang berusia 4,5 abad ini adalah tempat tinggal seluruh anggota keluarga kerajaan Mughal. Benteng Merah otomatis berhenti berfungsi ketika ibukota kerajaan Mughal berpindah ke Delhi. Agra Fort sendiri terprakarsa dibangun karena terjadinya beberapa kali peperangan antar beberapa kerajaan yang ada di sekitar Hindustan hingga daerah Afghan.

Lalu….Kelicikanku mulai menguasai diri ketika intuisi “gratisan” menuntunku untuk mengekori langkah seorang tour guide yang sedang membawa turis-turis asal Tiongkok. Setiap penjelasan yang keluar dari bibirnya coba kucermati dan pahami. Beberapa turis mengernyitkan dahi ketika aku ketahuan sedang menguping, mereka sadar bahwa aku adalah penyusup dalam kelompoknya.

Yuk mari….Dengarkan dengan teliti!….

Satu hiburan yang menarik adalah ketika aku disodori sejumput bubuk kuning oleh seorang bapak tua. Aku bingung kenapa?. Ternyata beberapa detik kemudian tupai-tupai kecil naik ke tanganku dan memakan bubuk itu. Baru kulihat ada tupai super jinak seperti itu.

Tupai jinak di sekitaran benteng mendekat ke pengunjung.
Mengintip kondisi sekitar dari atas benteng
Taj Mahal samar terpantau dari Agra Fort.

Kemudian langkah mengantarku memasuki bangunan putih berjuluk Khas Mahal yang merupakan istana pribadi sang raja. Bangunan ini terbuat dari marmer dengan lukisan-lukisan indah di dalamnya.

Interior Khas Mahal
Air mancur di depan Khas Mahal

Tak jauh dari Khas Mahal, terlihat bangunan dua lantai berwarna putih dengan taman luas di depan pekarangannya. Bagian ini diberi nama Anguri Bagh.

Anguri Baghh berarti “The Grape Garden” yang merupakan taman pribadi milik anggota kerajaan perempuan.

Anguri Bagh
Golden Pavilion di sekitar Anguri Bagh
Bangunan di sekitar Anguri Bagh yang sedang di renovasi

Dan bagian terakhir yang kukunjungi adalah Jahangiri Mahal (sering disebut juga Jahangiri Palace). Inilah jantungnya Agra Fort. Istana megah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal istri raja.

Duh….Cakepnya….Siapa sih itu?

Singkat kata dan singkat langkah kemudian….Aku buru-buru ke stasiun Agra Cantt. Ditunggu kereta menuju New Delhi.

Merunut Shah Jahan, Menikmati Taj Mahal di Mehtab Bagh

Selepas penat mengurus pemerintahan Mughal, aku terbiasa menuju Taj Mahal untuk memantau progress pembangunannya. Kala sore menjelang, kuajak beberapa buruh Taj Mahal untuk menyeberangi sungai Yamuna dan kusambung dengan berteduh di sebuah tanah lapang untuk menikmati Taj Mahal yang berdiri megah tersiram oleh sinar senja merah jingga….Begitu indah, aku membayangkan itu. Membayangkan?….Ya, karena aku bukan Shah Jahan. Hanya dialah yang bisa melakukan aktivitas itu di masa lampau. Siapalah aku….Hahaha.

Taj Mahal tertangkap dari Mehtab Bagh

Aku tiba setelah 10 menit sebelumnya masih mengeksplore Itimad ud Daulah di Barat Laut Mehtab Bagh. Taman indah nan luas itu belum juga mencuri perhatianku, karena aku lebih tertarik dengan aksi seorang bapak setengah tua membolak-balik gorengannya sehingga menebarkan aroma harum penggugah selera. Pantaslah banyak orang bersedia mengantri untuk mencicipinya. Kurelakan Rp. 10.000 untuk menebus dan melahapnya, french fries panas beraroma samar kari menjadi menu cemilanku sebelum mamasuki Mehtab Bagh.

Beli tiket dulu lah sebelum masuk.

Aku segera menuju gerbang disertai membeli tiket seharga Rp. 40.000. Sontak terkagum dengan kondisi taman. Jalur yang tertata rapi itu diperindah dengan kolom bunga yang memanjang di tengahnya. Difasilitasi pula oleh bangku di beberapa spot. Bangku yang hampir semua terduduki oleh pasangan muda-mudi India yang sedang terjangkit asmara. Aku tak bisa menampiknya, karena memang taman itu sangatlah romantic, sesuai namanya. Kamu tahu kan arti kata Mehtab Bagh?….Mehtab Bagh memiliki makna yang sama dengan Moonlight Garden. Beuh….Gimana ga indehoy tuh.

Rapi banget kan?…

Ketika muda-mudi itu saling berpandang dalam ketertarikan masing-masing maku aku lebih tertarik menuju ke sebelah kanan taman karena dari kejauhan penampakan Taj Mahal itu begitu mempesona mata. Kini aku baru tahu, kenapa Shah Jahan sering meluangkan waktu sorenya untuk sekedar bersimpuh memandangi karyanya disini. Bahkan dia pernah berniat membuat Taj Mahal kembar berwarna hitam di Mehtab Bagh. Namun niat itu urung karena dia keburu menjadi tahanan rumah di Agra Fort pasca dikudeta anak laki-lakinya sendiri. Si anak khawatir terhadap keuangan kerajaan yang rawan dihabiskan ayahnya untuk merealisasikan niatnya itu.

Lihatlah fondasi itu!….Cikal Bakal Black Taj Mahal yang gagal.

Semua pengunjung pasti merasa aman ketika berada di taman, karena dua serdadu muda bersenjata lengkap berkeliling taman untuk mengamankan situasi.

Serdadu: “Where are you come from?”, seloroh beriring senyum.

Aku: “Indonesia, Sir”, timpal membalas senyum.

Serdadu: “How about Taj Mahal?. It’s good. Are you happy?”

Aku: “Yes, Sir. It’s beautiful. I Love it”, imbuhku.

Serdadu: “Enjoy

Aku: “Thanks Sir”.

Pepohonan nan rindang di taman.
Sisi lain taman.

Aku tak bisa benar-benar menuju ke tepian sungai Yamuna karena pengelola taman membatasi taman dengan kawat besi. Kulihat seorang turis Eropa terkesan professional ketika mengeluarkan DSLR berteropong panjang dan mengambil banyak sekali gambar Taj Mahal dari berbagai sisi yang dia suka tepat di depan pagar kawat itu. Aku hanya membayangkan jika suatu saat bisa memiliki kamera seperti itu dan berkeliling dunia mengambil gambar-gambar ciamik untuk kalian lihat. Alhamdulillah, Akhirnya 3 bulan kemudian aku memiliki kamera mirrorles Canon EOS M10. Tak sebaik miliknya, tetapi cukup bagiku yang berpenghasilan pas-pasan untuk menangkap gambar lebih baik….Hahaha #curcol

Cukup rasanya meniru aksi Shah Jahan di Mehtab Bagh. Kini aku akan melihat Agra Fort, tempat Shah Jahan dipenjara….Kesian. #sedih

Gagal Total Bertamu di Taj Mahal

Gebu semangat menyongsong Taj Mahal yang tak lebih tinggi dari nyali remeh temeh dalam menaklukkan dinginnya setiap tetes air yang keluar dari shower goStops Agra telah mempermalukan diriku sendiri di sebuah Sabtu pagi.

Jarum di angka 7 persis, taxi yang kami sewa harian melalui sharing cost tiba dan si pengemudi telah menunggu di lobby hostel sembari mendekapkan erat kedua tangannya sebagai pertanda bahwa dia telah diterpa kedinginan yang menusuk di luar sana.

Mau tahu harga sewa taxi putihnya?….Boleh….Rp. 240.000 yang dibagi empat orang. So, Rp. 60.000 harus kurelakan untuk naik diatas rodanya.

Bersikat gigi tanpa mandi, aku menghampiri dan mengajaknya bercakap sembari menunggu 3 turis lain turun. “No need long time to reach Taj Mahal, brother”, tutur pertamanya sembari menggeleng-geleng kepala ala India menjadi pembuka percakapan pagi itu. “Nice”, timpalku sembari sibuk membenahi winter jacket dan shall yang melingkar di leher.

Sepuluh menit selanjutnya, asap knalpotnya mulai mengakuisisi kabut tebal di sepanjang Agra-Bah Road. Benar saja katanya, 15 menit kemudian dia meminta kami turun dan menunjuk sebuah bajaj seharga Rp. 40.000 untuk melanjutkan perjalanan menuju Taj Majal Eastern Gate. Tak menjadi masalah dengan harga karena bajaj itu akhirnya kami tunggangi berempat….Dasar turis tak beradab….Hahaha.

Jam 07:30, para turis telah mengantri berburu tiket seharga Rp. 98.000
Tiketku digenggaman

Bodoh sangat!…..Rasa ingin tahu yang membabi buta telah menutup logikaku pagi itu. Tak pernah berfikir jernih sedari berangkat meninggalkan hostel bahwa badai kabut tebal kota Agra akan menutup pelataran Taj Mahal secara sempurna….Ah, aku berdiri lama menghela nafas panjang kesal di gerbang masuk Taj Mahal. Tak mampu melihat apapun 10 meter didepan. Hanya kabut tebal yang membuatku perlahan membeku.

Tak ada pilihan, suka tak suka, aku harus mulai menjelajah Taj Mahal dengan jaminan pasti bahwa aku tak akan pernah menikmati kemolekannya secara sempurna.

Aku mulai menaiki tangga perlahan memasuki gerbang pertama situs termasyhur itu. Gerbang pertama ini bernama Jilau Khana.

Area sekitar Jilau Khana atau sering disebut forecourt. Bahasa Jawanya “halaman depan”.

Yang terjadi sungguh di luar nalar. Belum juga selesai menikmati merah batanya Jilau Khana, langkah kaki otomatisku tak terbendung mendekat ke bangunan utama. Taj Mahal bak magnet bagi siapa saja yang berkunjung.

Jalan penghubung antara Jilau Khana dan gerbang utama

Sebelum tiba di bangunan utama….Sekitar 100 meter kemudian, aku mencapai gerbang utama nan agung.

Namanya Darwaza-i-rauza atau sering disebut Great Gate

Mulai terdengar keluhan para bule itu sembari menyalahkan sang kabut.”I can’t take a picture!”, keluhnya kepada sesama temannya. Kecut tersenyum dengan sunggingan sebelah bibir, aku tak memperdulikan kekecewaan yang sama.

Lihatlah ukiran di bagian dalam Darwaza-i-rauza itu!

Lalu dimana bangunan utama Taj Mahal yang selalu diburu para traveler dunia?

Yup….350 meter di utara Darwaza-i-rauza adalah letak Taj Mahal, makam dua sejoli yang melegenda. Shah Jahan sang raja dan Mumtaz Mahal sang permaisuri keturunan Persia yang konon cantik luar biasa.

Tak berlama waktu, aku segera memasang penutup sepatu untuk kemudian bersiap memasuki Taj Mahal

shoe cover akan diberikan saat membeli tiket.

Layaknya masjid, Taj Mahal dilengkapi dengan empat minaret di setiap sisinya. Kebesaran kerajaan Mughal tercermin dari setiap jengkal Taj Mahal yang tersusun dari marmer putih yang didatangkan khusus dari Rajashtan dan batu safir yang dikirim dari Sri Lanka.

Minaret setinggi 40 meter dengan dinding silinder.

Hal menggelitik lain ketika mengunjungi Taj Mahal adalah dikala setiap pengunjung berjalan teratur mengikuti alur yang sudah dibuat petugas untuk menikmati setiap sisi ruang utama Taj Mahal dimana makam Mumtaz Mahal berada. Tiga polisi bersenjata lengkap mengawasi setiap pengunjung dengan cermat. Terkadang mereka berseloroh ke beberapa turis untuk segera melangkah karena keasyikan mengambil photo dan membuat alur jalan menjadi macet.

Dinding Taj Mahal
Jendela Taj Mahal
Indahnya seni kaligrafi  Taj Mahal
Lumayan lah….Daripada tidak sama sekali

Begitulah adanya, Taj Mahal yang berusia 372 tahun ini memang mempesona. Tak khayal, 4 juta wisatawan tertarik mengunjunginya setiap tahun.

Selesai menikmati Taj Mahal, maka aku segeran undur diri dan kembali ke eastern gate menuju taxi yang menungguku.

Aku kembali ke timur….Kamu mau kembali lewat mana?

Jhelum Express dari New Delhi ke Agra

Saatnya mengeksekusi tiket.

Nomor 11078 yang merupakan nomor keberangkatanku hanya muncul sekali saja di display board. Setelahnya lama tak muncul kembali, aku terduduk di platform dan terus mengamati display board itu….Hilang sudah!

Penantian tak ada akhir di platfom 4.

Aku: “Sir, can you give me some information?. My train number 11078 is never appear again in that display board. Even though my train will depart on 10:15 am.”.

Si Tampan: “If your train number disappears from the screen. That means your train is getting delay. “Haze storms” which routinely occur every year indeed often make many trains delay for hours.”

Aku kembali menuju konter dan menanyakan tentang masalah ini. Mereka hanya meminta maaf dan membenarkan bahwa kereta delay. Dia memperkirakan kereta akan berangkat jam 16:00….Busyeettt.

Untuk mengusir kejenuhan yang tak berujung, aku bertolak menuju Khan Market. Daripada bengong lebih baik aku mengoleksi satu destinasi wisata di New Delhi untuk kubagikan bersama kalian tentangnya….Nanti ya, pasti akan kutulis.

Salah satu sudut Khan Market, New Delhi.

—-****—-

Pukul 14:00….Memastikan kembali setiap ikatan dan kuncian di backpack, aku segera menuju New Delhi Railway Station untuk menaiki Jhelum Express yang akan segera datang menjemputku.

Penasaran yang luar biasa untuk segera berbaur dengan masyarakat India dalam satu gerbong kelas ekonomi, membuatku menjadi orang paling tidak sabar di dunia sore itu.

Potret kesenjangan di Ibukota India.

Lokomotif merah kusam itu berteriak melengking mendekatiku seraya meringis menggigit rel untuk berhenti tepat di platform 4

Belum juga lokomotif itu menghentikan setiap gerbongnya dengan sempurna, para penumpang berlari….berjejal memasuki gerbong. Aku hanya tersenyum dan terpana dengan keunikan warga India. Sementara mereka berdesakan masuk, aku masih sibuk memahami penomoran gerbong karena ada gerbong bernomor 10 dan 10A. Dasar iseng nih orang yang punya ide menomori demikian. Setelah bolak-balik ke depan dan ke belakang, akhirnya aku menemukan gerbongnya….Yups, gerbong S3 kursi no 41 Low Berth (bangku bawah).

Benar adanya, keruwetan yang kubayangkan sejak awal membeli tiket terjadi. Gerbong itu sangat berjubel dan membuatnya terasa sempit.

Bangku teralokasi tiga penumpang saling berhadapan ditambah satu bangku lipat panjang diatas kepalaku yang digunakan sebagai sleeper seat (Upper Berth)….Ah, aku semakin mencintai kondisi ini. Kejadian yang menakjubkan.

Hello Sir, Excuse me”, seorang laki-laki muda melewat didepanku sambil menggandeng istrinya lalu duduk berhadapan denganku. Senyum tanpa dosanya membuat bibirku pun melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak, di depanku sekarang telah duduk 4 penumpang dengan kursi yang hanya bertuliskan tiga nomor saja….Hahaha.

Sembari kereta berjalan, aku mendengar sayup-sayup gertakan yang entah itu marah atau memang begitu adanya. Kondektur tambun berkumis melintir itu mengecek satu persatu tiket tamunya. Satu penumpang di seberang kursiku dimarahinya habis-habisan gegara tak mampu menunjukkan tiket, si penumpang lalu menunjukkan sebuah kartu terlaminating dari dalam dompetnya. Dan entah itu apa, mampu mengusir kondektur tambun itu dengan efektif dari hadapannya….Damn.

Bapak pekerja kantoran di kiri depanku mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bak film-film India, adat itu masih dijunjungnya. Rantang panjang bertumpuk empat berbahan stainless beraroma kari diangkatnya tinggi-tinggi. Andai dia tahu muka hatiku, pasti dia tersenyum melihatnya terbahak….Omaigat, ini mah India yang orisinil. Seolah menjadi menjadi pemicu ledakan, penumpang lain dikiri kananku pun melakukan hal yang sama.

Kemurahan hati itu terpancar seiring dengan tutur mereka menawarkan diri untuk makan bersama sebagai satu keluarga di dalam kereta. Kuterima? Tidak….Aku juga mengeluarkan setangkup burger lokal seharga Rp. 10.000 yang terbeli di platform stasiun sore tadi. Mari kita makan bersama….

Si Bapak dipinggir jendela menjadi orang tersibuk sepanjang perjalanan karena harus terus menutup jendela kayu yang kait penguncinya sudah usang. Setiap sekian menit jandela itu akan tertarik ke atas dan memasukkan udara super dingin ke dalam gerbong.

Mungkin kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh penjual chai untuk berfokus di gerbongku demi menghabiskan dagangannya. “Chai”, nama lain dari teh tarik yang melegenda di Dhaka, terfavorit di India dan menyebar ke Malaysia. Girang hatinya, tumpukan gelas kertas yang digenggamnya semakin memendek. Dia akan pulang dengan keuntungan berlipat kali ini.

Kelucuan penjual mainan anak-anak membuat seisi kereta tak henti-hentinya terbahak. Dia melempar spiderman karetnya kesana kemari sesuka hati. Hebatnya, si spiderman itu bisa menempel dengan sempurna….Hahaha. Hiburan untuk melupakan masalah kehidupan seharian yang sudah mereka hadapi.

Guys….Kapan terakhir kali kereta kita masih ada penjual segala macam di dalam gerbong?….Hahaha….Aku saja sudah lupa saking lamanya aturan itu diketatkan.

Kereta yang berhenti….Menurunkan….Menaikkan penumpang….Lalu melaju kembali dan terus mengulangnya di setiap stasiun baru membuatku sadar bahwa tak pernah ada pengumuman kereta berhenti di stasiun mana?.

Aku: “How long will the train run to its last destination?”

Dia: “Jhelum Express will stop in Pune on 6 am tomorrow morning

Aku: “Thanks Sir”, Aku tersenyum pahit penuh kekhawatiran.

Kini musuhku satu….Informasi, ketiadaan paket data di gawaiku semakin memperkuat musuh bebuyutanku malam itu. Aku harus banyak bertanya untuk mengalahkannya.

Aku: “Where will you stop, Sir?”

Dia: “At Mathura Junction Station

Aku: “Do you know Agra Cantt Station?

Dia: “Sure, 2 stops after my station

Aku: “Oh, nice”, Aku lega….Begitu dia turun, aku tinggal hitung 2x berhenti. Itu Agra Cantt

Dia: “Are you from China?

Aku: “No, I’m Indonesian”. Mana ada tampang China gelap kayak gue.

Dia: “What for do you go to Agra?”

Aku: “Taj Mahal, Sir

Dia: “Oh, very happy to hear Indonesian goes to Taj Mahal

Aku: “Taj Mahal….My dream to visiting it

Dia: “Nice”. Menyalamiku dengan kebahagiaan tak tersembunyikan.

Itulah percakapan 10 menit sebelum dia turun di Mathura Junction Station. Setelahnya aku akan menyusul turun di dua perhentian berikutnya yaitu Agra Cantt Station.

Salah satu sisi Agra Cantt Station.

Aku akhirnya tiba di kota Agra pada pukul 20:30.

Saatnya menuju hotel…..Makan malam tyuss bobok.

Cari tiket kereta dari New Delhi ke Agra melalui 12go Asia. Berikutnya linknya:  https://12go.asia/?z=3283832

Lima Destinasi Wisata Agra dalam 10 Jam.

PARAHHHHH…..

Badai kabut di utara India telah merampas waktuku lebih dari 6 jam.  Tetapi kejengkelan telak terkalahkan dengan keripuhanku sendiri melawan super dinginnya udara Negeri Nehru itu.

Petaka kabut di India

Jhelum Express menepi di Agra pada 20:30. Pengen denger ceritaku menjajal kereta ekonomi mereka….nanti saja lah….MENGERIKAN !!!.

Tak ada yang bisa kuperbuat malam itu. Suhu yang hampir menyentuh nol derajat Celcius, bahkan udara dengan cepat mendinginkan sajian mie goreng pinggir jalan yang kubeli. Bumbu India yang terkenal menyengat itu bahkan tak mampu kurasakan karena beku mulai menghantam lidah.

Aku bak seorang pengecut yang bersembunyi di balik selimut GoStops Hostel sambil menunggu aliran listrik memenuhi segenap “teman elektronikku”.

Staff Hotel: “You must be grateful to be an Indonesian. You can easily go everywhere. Not like me, getting a passport is very difficult. Our government protect their citizen from getting difficult life at out of our country. I had waited for two years to get a passport, I hope I will get this year. I want go around the world like you

Aku: “Don’t worry, you will get it, my friend. You will go to my country also sometimes.  One thing that should made you proud with India. Your currency is more stronger than my currency…..Aaannnnddddd, Your country have great histories and cultures in the world.

Itu sedikit percakapan serius sebelum aku memasuki kamar, dan percakapan yang sedikit intelektual setelah sebelumnya aku hanya berbicara dengan penumpang kereta yang duduk di depanku dan sopir taxi yang mentransferku dari Stasiun Agra Cantt ke hotel.

—-****—-

OKAY….Kukuruyukkkkk….#perasaanganemuayam.

Automatically, Aku hanya memiliki 10 jam berharga untuk mengeksplorasi Agra dimulai dari jam 7 pagi. Kali ini aku tak akan membenarkan diriku untuk menggunakan transportasi umum….Terlalu mepet….Beruntungnya, aku melakukan sharing cost bersama teman-teman backpacker sekamar untuk jasa taxi yang bersedia di carter hingga sore hari. Karena sore hari, aku akan menuju New Delhi. Aku hanya perlu mengeluarkan Rp. 60.000 untuk biaya transportasiku seharian.

1. Taj Mahal

Tak berani menyentuh air untuk membasuh badan, aku tergopoh memasuki taxi yang sudah siap di depan hostel. Pagi itu….Kabut sangat tebal bahkan matahari pagi tak mampu menyibaknya.

Yes, akhirnya….Aku menuju destinasi idaman turis seluruh dunia….Taj Mahal

Taxi bergerak ke utara menyusuri Agra-Bah Road. Tak jauh, hanya 3.5 km yang tertempuh dalam 15 menit. Taxi berhenti di tepi jalanan, aku hanya ingat dengan papan nama “Malik Tour & Travel” sebagai penanda.

Jasa bajaj seharga Rp. 40.000 menjadi penghubung berikutnya menuju Taj Mahal West Gate Ticket Office. Kulepas Rp. 98.000 untuk mendapatkan tiket masuknya.

Setiap jengkal di Taj Mahal selalu menggoreskan kesan, satu-satunya benda yang sangat mengganggu para wisatawan adalah kabut yang membuat mereka seakan kesal tak bisa mengabadikan dirinya bersama bangunan sangat bersejarah itu.

Taj Mahal tertangkap dari Mehtab Bagh.

Wisata andalan Negara Bagian Uttar Pradesh itu memang sungguh mengesankan. Makam yang didedikasikan untuk Mumtaz Mahal (istri dari kaisar Shah Jahan) sanggup menarik 8 juta wisatawan dari seluruh dunia setiap tahunnya. Salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO yang harus kamu kunjungi jika memasuki tanah Mahabharata itu.       

2. Itimad ud Daulah Tomb

Dua jam meresapi dan menikmati keindahan Taj Mahal yang hampir keseluruhannya berbalut marmer putih mematri doktrin di otakku bahwa dunia itu sungguh indah.

Yuk, balik ke hostel untuk berbasuh dan menyantap sajian free-breakfast sederhana yang disajikan hostel. Aku sendiri langsung berkemas check-out dan menaruh backpack di bagasi taxi. Selepas menengok Agra Fort nanti, aku akan langsung bertolak ke New Delhi.

Berada 4.5 km di utara Taj Mahal, situs ini menawarkan ketenangan dan kenyamanan. Tak seperti Taj Mahal yang bising pengunjung. Mirip tapi tak sebesar Taj Mahal menjadikannya dikenal sebagai “Bayi Taj”.

Adalah bangunan yang mengilhami gaya arsitektur Taj Mahal.

Jika Taj Mahal didedikasikan untuk Mumtaz Mahal, maka pembangunan Itimad ud Daulah didedikasikan untuk kakek dari Mumtaz Mahal yang bernama Mirza Ghiyas Beg.

Aku ndak mau bercerita banyak….Datang sendiri aja ya….Yuhuuuuu !!!!

3. Yamuna River

Satu jam bergulir dengan cepatnya. Niatanku untuk segera bergegas menuju destinasi berikutnya kandas. Aku tertegun dengan penampakan sungai kering nan menghampar begitu luas, seakan memamerkan kegagahan kepada semua yang makhluk melihat, melintasi atau bahkan hidup daripadanya.

Terletak di sebelah barat Itimad ud Daulah……Beuh,

Man….Itu Sungai Yamuna….Seumur-umur, aku baru melihat sungai seluas itu.

Didaulat umat Hindu sebagai Dewi Yamuna.

Sungai yang bersumber dari gletser Yamunotri di  Negara Bagian Uttarakhand ini terlihat surut dan terpapar berbagai bentuk limbah seperti plastik dan limbah cair yang mudah diterka dari baunya.

4. Mehtab Bagh

Dua kilometer berikutnya di selatan…..

Menjilat, menyesap dan menelan pelan french fries jalanan berbumbu garam beraroma kari menjadi aktivitas tak pentingku berikutnya….Sisihkan beberapa Rp. 10.000-an untuk mencoba beberapa kuliner ringan jalanan di India !. Kujamin kamu akan terkesan.

Gaes, aku sudah di sisi sebuah taman nan lebar dan romantis….Mehtab Bagh namanya.

Mehtab Bagh” sendiri memiliki makna yang tak jauh dari sepasang kata dalam Bahasa Inggris “Moonlight Garden”….tuh, gimana ga romantis coba?.

Konon…. Shah Jahan akan membangun Black Taj Mahal di taman ini. Tapi tak pernah kesampaian.

Sering menjadi persinggahan sang Raja untuk menikmati keindahan Taj Mahal yang berada di seberangnya dan hanya terpisahkan oleh Sungai Yamuna.

Harga tiket masuk sebesar Rp. 40.000 tidaklah seberapa dibandingkan dengan keindahan taman yang bisa kamu nikmati dengan aman. Aman?….Ya taman ini dijaga dua tentara bersenjata lengkap yang selalu berkeliling taman.

5. Agra Fort

Masala Tea = 90 Rupee ….ini mah Rp. 17.000

Egg Fried Rice = 150 Rupee….yah sekitar Rp. 29.000.

Itulah menu makan siangku di “The Master Chef” Restaurant di bilangan Fatehabad Road sebelum menuju destinasi terakhirku di Agra….#sedih.

Terletak 2.5 km di barat laut Taj Mahal, Agra Fort juga menjadi Situs Warisan Dunia yang sangat menonjol dengan warna merahnya.

Kota berdinding ala Agra Fort….Menakjubkan.

Kamu harus membayar Rp. 98.000 untuk membayangkan secara langsung para kaisar Mughal tinggal di Agra Fort ini.

Berkeliling sepuasnya di dalam Agra Fort sebelum berpisah dengan kota Agra. Aku menelusuri satu demi satu bagian didalam banteng kota ini.

Memasuki Diwan-i-Am bak rakyat Mughal yang sedang berkeluh kesah, atau memasuki Diwan-i-Khas bak tamu penting kerajaan yang sedang dijamu sang raja.

Merasakan kemewahan Jahangiri Mahal yang merupakan istana khusus untuk istri raja, lalu terduduk merelaksasi diri di Anguri Bagh yang pada masanya digunakan oleh para wanita anggota kerajaan sebagai taman kerajaan.

Dan sebagai seorang muslim, aku juga merasa wajib menapaki Moti Masjid didalam Agra Fort sebagai tempat peribadatan segenap anggota kerajaan.

—-****—-

Waktu singkat yang mengenalkanku pada kota kuno di utara India. Kota yang arsitekturnya mempengaruhi banyak kreasi bangunan di seluruh dunia.

Pastikan kamu mengunjunginya lebih lama dariku karena nilai sejarah kota ini begitu tinggi dan tak bisa dinikmati dalam sekejap saja.