
Sekali lagi aku menyapukan mata dengan cermat ke segenap penjuru bangunan bandara. Pelan-pelan tatapan mataku meyelidik di setiap sudutnya. Dan akhirnya aku menemukan money changer di salah satu sudut, konter penukarannya berukuran mungil serta menjadi satu-satunya money changer yang ada di Terminal 1. Aku bergegas melangkah mendekatinya, masuk ke dalam antrian dan membuka kembali lembar itineraryku.
Aku mencantumkan budget untuk eksplorasi di setiap negara pada lembar itinerary tersebut. Dari rencana yang kususun, aku membutuhkan budget sebesar 570.000 Som.
Jadi berapa Dollar Amerika yang harus aku tukarkan ke dalam Som Uzbekistan?
Biasanya aku menggunakan formula 100%+20% ketika menetapkan jumlah Dollar yang harus kutukar ketika pertama kali memasuki wilayah sebuah negara. Artinya aku akan menukarkan Dollar lebih banyak 20% dari budget yang kuanggarkan demi menanggulangi terjadinya budget tak terduga.
Oleh karena formula itulah, maka aku membutuhkan uang sebanyak 684.000 Som. Itu berarti aku cukup menukar 60 Dollar saja untuk mengeksplorasi Tashkent….Duhhh, murah bingitz kan ya?
Tiba di depan money changer, aku menyerahkan Dollar beserta paspor kepada teller yang bertugas. Menghitung dengan cepat, teller itu akhirnya memberikan Som kepadaku.
“You must keep this receipt if you want to sell your remaining Dollars to us”, teller wanita tersebut memberi penjelasan dengan penuh senyum.
“Okay, Mam”, Aku menjawab singkat.
Aku sibuk memasukkan Som yang baru saja kudapat ke dalam dompet. Untuk kemudian sebuah sahutan tegas memanggilku.
“Youuuu…….”, aku menoleh ke sumber suara
“Hellooo….Youuuu”, petugas imigrasi itu jelas sekali menunjukku
“Meeee…..”, aku menunjuk hidungku sendiri
“Yessss…..You…..Come!”, dia melambaikan tangan supaya aku mendekatinya.
Jantungku berdegup kencang, “ Aduh, ada masalah apa ini…..?”, Wajahku pias.
Aku bergegas menujunya sambil menenteng backpack dengan menggantungkan satu shoulder strapnya di lengan karena terburu-buru.
“Your Passport, please…..!”, dia menatapku lekat ketika aku tiba di hadapannya
“Astaga, aku mau diapain?”, aku membatin sambil merogoh backpack demi mengeluarkan paspor.
“This is, Sir”, aku menyerahkannya
“Oh, Indonesia….”, dia hanya melihat sekejap pasporku kemudian melemparkan senyuman ramah.
“This is for you….”, dia menyerahkan selembar uang Lima Ringgit Malaysia yang tampak tertekuk kepadaku.
“Wooow…..Ringgit….Thank you, Sir”, aku berbalas senyum dan menerima pemberian petugas imigrasi dengan riang.
“Astaga….Kirain mau diapain”, aku membatin sembari pergi menjauh dari konter imigrasi.
“Lumayan buat tambahan uang makan di Kuala Lumpur saat perjalanan pulang beberapa hari ke depan”, aku menyunggingkan senyum tipis.

Usai mendapatkan Som, maka aku bergegas menuju ke konter penjualan SIM Card lokal.
“Can I buy an 8G data plan?”, aku melemparkan tanya ke pria belia penjaga Tourist Service Center.
“We don’t have that one”, dia menjawab sekenanya karena sedang sibuk melayani seorang pelancong asal India. “You can buy the 20G one”, dia mengimbuhkan informasi.
“How much?” Aku bertanya singkat.
“65.000 Som, Sir” dia menjawab dengan aksen English yang cukup baik.
“Ok, I take it”, aku tak berpikir panjang karena sepenuhnya sadar bahwa di luar sana malam semakin berkuasa.
Usai melayani pelancong India, pria belia itu meminta smartphoneku, mengeluarkan SIM Card, menggantinya dengan Beeline SIM Card, kemudian mulai mengotak-atik settingan untuk melakukan aktivasi.
Dia tampak serius dan fokus. Tetapi aku justru semakin was-was karena berkali-kali dia gagal mengaktifkan Beeline SIM Card itu di smartphoneku.
Berkali-kali gagal melakukan, tampaknya membuat dia menyerah.
“Your phone is in problem, Sir. I can’t activate it”, dia menyerahkan smartphoneku dan berpindah melayani pelancong lain.
Aku menelan ludah…..
“Bagaimana aku bisa tiba di penginapan jika tak memiliki kuota data?”, aku menundukkan kepala di konter itu…..Berpikir keras mencari solusi, semetara waktu hampir menyentuh pukul tujuh malam.
“Come on….God, help me”, aku menukas pelan.