Fort de Kock dan Perang Padri

Aku masih memandangi Rumah Kelahiran Bung Hatta itu dari trotoar Jalan Soekarno Hatta, Bukan tak rela meninggalkannya, tetapi aku terus berfikir bagaimana sebuah tim kerja membangun replika rumah itu dengan persisnya karena rumah aslinya sudahlah runtuh pada 1962 silam.

Melangkah kembali menuju arah semula datang, aku berbelok ke Jalan Pemuda setelah melewati Banto Trade Centre. Kaki ini masih kuat ketika dihadapkan pada jalan yang panjang meliuk, rela ku menyusurinya karena mata dimanjakan dengan bentangan sawah nan hijau dan arsitektur khas atap gonjong yang menghiasi bangunan-bangunan resmi milik pemerintah.

Atap gonjong di SDN 14 ATTS (Aur Tajungkang Tengah Sawah).
Taman Monumen BDB, simbol perlawanan rakyat menentang kolonialisme Belanda pada 15 Juni 1908.
Atap gonjong di RSUD Dr. Achmad Mochtar.

Sepertinya perjalananku akan memutar dan semakin mendaki, kakiku sudah tak sanggup lagi setelah lima hari sebelumnya selalu mengandalkannya untuk bereksplorasi di tanah Sumatera.

Sudah saatnya memanggil transportasi online untuk mencapai gerbang depan Fort De Kock. Tak sampai lima menit menunggangnya, aku menanjaki Bukit Jirek dan tiba di gerbang depan benteng.

Wekom in Fort De Kock”…..

Gerbang benteng.

Melewati gerbang, rumah makan Family Benteng Indah adalah penyambut pertama, lalu diteruskan oleh konter penjualan tiket. Walau aku mengunjungi Fort de Kock, namun wisata yang tertulis di dalam tiket adalah Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan dengan harga tertera Rp. 15.000.

Konter penjualan tiket.

Setelah melewati titik pemeriksaan tiket, kios pedagang makanan berderet di sisi kanan. Lalu sebuah kandang merpati endemik China jenis Junai Mas diletakkan di ujungnya. Setelahnya, aku baru bisa melihat bentuk asli benteng itu.

Itu dia wujud benteng mungil Fort de Kock.

Benteng Fort De Kock didirikan oleh Kapten Bauer sebagai kubah pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Perang ini sendiri meletus di seperempat pertama Abad ke-19. Ketika itu Boan Hendrick Markus de Kock menjadi komandan Der Troepen sekaligus Wakil Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah nama “Fort de Kock” berasal.

Meriam kuno tahun 1800-an di empat sudut benteng.

Bangunan utama benteng yang tak lebih dari 400 meter persegi ini terlihat kecil tapi sangat kuat secara fisik dan strategi. Secara bentuk fisik, banteng ini memiliki ketebalan dinding yang bagus dan secara strategis, benteng ini tangguh karena terletak tepat di puncak bukit, memudahkan siapapun mengamati gerak-gerik musuh di sekitar.

Lihat bagaimana tebalnya dinding benteng.
Lantai dua atau atap banteng.

Aku mencoba terus membayangkan bagaimana hebatnya sepak terjang Tuanku Imam Bonjol dalam memimpin kaum Padri melawan Kolonialisme Belanda. Hingga Belanda harus membangun benteng ini untuk mengamankan kekuasaannya dari rongrongan pemimpin karismatik itu.

Taman dilihat dari atas banteng.

Kisah Selanjutnya—->

16 Destinasi Wisata di Bukittinggi

Berjalan kaki menyusuri Jalan Veteran, aku perlahan mendekati Hotel De Kock untuk melalukan check-in. Sejuk dan damai itulah gambaran awal di kepalaku mengenai Bukittinggi  ketika pertama kali tiba.

1. Jembatan Limpapeh

Setengah perjalanan menuju penginapan, aku sudah terpesona dengan sebuah jembatan gantung. Adalah Jembatan Limpapeh yang membentang diatas Jalan Ahmad Yani. Didirikan pada tahun 1992 dan berfungsi sebagai penghubung antara Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan dengan kawasan Benteng Fort De Kock. Membentang sepanjang sembilan puluh meter dengan lebar kurang lebih tiga meter, menjadikan jembataan ini begitu gagah terlihat dari jalanan.

2. Jam Gadang

Sebotol coca cola menutup sesi check-in ku sekaligus sebagai penanda mula untuk penelusuranku sore itu di sekitaran Pasar Atas. Menelusuri Jalan Yos Sudarso yang naik turun, langkahku tiba di sebuah landmark fenomenal yang terkenal di seantero Indonesia.

Jam Gadang, landmark pemberian Ratu Wilhelmina itu tampak gagah menjulang. Lama untuk sekedar menunggu lampu aneka warna muncul dan menyirami seluruh bangunan jam raksasa itu sebagai penanda bergantinya sore ke malam.Karena ketersohorannya, Jam Gadang  telah ditetapkan sebagai Titik Nol Kilometer Kota Bukittinggi. Atapnya yang berbentuk gonjong atau atap yang biasa dipakai pada Rumah Gadang menjadikan karya arsitektur Eropa itu memiliki kekayaan adat lokal.

3. Plaza Bukittinggi

Renovasi besar pada Taman Sabai Nan Aluih, menjadikanku hanya mampu menikmati keindahan Jam Gadang dari pelataran sebuah mall yang letaknya berseberangan dengan jam besar itu.

Plaza Bukittinggi dalam beberapa kurun waktu terakhir telah menjadi mall terbaik di Bukittinggi. Brand Ramayana menjadi pemain utama yang menempati tujuh puluh persen dari kapasitas keseluruhan mall ini.

4. Masjid Raya Bukittinggi

Keasyikan menikmati keelokan Jam Gadang hampir saja membuatku kehilangan Shalat Maghrib. Aku mencoba menelusuri asal adzan beberapa puluh menit sebelumnya. Menuju ke utara, akhirnya aku tiba di Masjid Raya Bukittinggi.

Masjid yang pada saat terjadinya gempa bumi tahun 2007 menjadi tempat perlindungan bagi warga yang mengungsi karena kerusakan yang diakibatkan oleh gempa besar itu.

5. Pasar Atas Bukittinggi

Jalan Cindua Mato menuju Pasar Atas

Masjid raya yang terletak tepat di pusat Pasar Atas inilah yang membuatku tertarik untuk sekalian menelusuri jalanan menuju ke Pasar Atas. Gelap yang terus melahap hari, membuat pemilik deretan ruko mulai menutup tokonya satu-persatu.

Pasar Atas adalah pasar yang menempatkan beberapa penjual Nasi Kapau, Es Ampiang Dadiah dan Kerupuk Sanjai yang menjadi kerupuk favorit untuk oleh-oleh bagi para pengunjung kota Bukittinggi.

Laparnya perut telah memaksa diriku untuk segera mencari menu santap malam. Makan malam di bawah Jembatan Limpapeh akhirnya menutup dua jam penjelajahan pada malam pertamaku di Bukittinggi

6. Tugu Pahlawan Tak Dikenal

Hari keduaku dimulai dengan beranjaknya diriku dari hotel pada pagi sepi. Bahkan aktivitas warga belum tampak. Sepi nan dingin tak menyurutkan langkah untuk mengunjungi Tugu Pahlawan Tak Dikenal.

Tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang tak bisa dikenali secara pasti dalam menentang Kolonialisme Belanda pada tahun 1905. Tugu dengan ornamen berbentuk lingkar ular naga besar dan diatasnya berdiri patung seorang pemuda memegang bendera.

7. Taman Monumen Proklamator Bung Hatta

Sementara di seberang depan tugu,  tampak sebuah taman dengan patung hitam Bung Hatta. Dikenal dengan nama Taman Proklamator Bung Hatta, taman ini didedikasikan untuk Mohammad Hatta, putera asli Bukittinggi yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama Ir. Soekarno.

8. Janjang Ampek Puluah

Kembali menelusuri Jalan Cindua Mato yang kulewati semalam, aku menuju sebuah tangga penghubung antara Pasar Atas dan Pasar Bawah serta Pasar Banto. Sebuah tangga beton curam dengan empat puluh anak tangga berusia 112 tahun. Inilah perwujudan integrasi fasilitas publik versi tempoe doele. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda dengan satuan kekuasaan setempat sepakat menghubungkan setiap pasar yang ada di Bukittinggi, salah satunya dengan pembuatan janjang atau anak tangga.

9 Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta

Keluar dari gapura bawah dan melewati Banto Trade Centre yang tampak tak terawat, aku menuju ke kediaman Bung Hatta semasa kecil. Walaupun sesungguhnya rumah ini hanya berupa bangunan rekonstruksi, akan tetapi penataan interior dan penampilan eksterior dibuat semirip mungkin dengan kondisi rumah aslinya yang telah runtuh. Jika kamu ingin mengetahui sejarah hidup di balik kegemilangan Bung Hatta dalam karir politiknya, maka datanglah ke tempat ini.

10. Fort De Kock

Selesai berkunjung di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, aku niatkan berjalan kaki menuju Benteng Fort de Kock melalui Jalan Pemuda yang lumayan panjang mendaki dan berkelok dari selatan ke utara. Tapi ternyata aku tak mampu lagi di pertengahan jalan, kupanggil tranportasi online untuk mengantarkanku tepat di gerbang depan Fort de Kock.

Benteng Fort de Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek sebagai kubah pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

11. Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK)

Dari Fort de Kock, aku hanya perlu menyeberangi Jembatan Gantung Limpapeh menuju sebuah kebun binatang terkenal di Bukittinggi.

Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) merupakan salah satu kebun binatang tertua yang ada di Indonesia dan satu-satunya di Sumatra Barat dengan koleksi hewan terlengkap di pulau Sumatra.

12. Museum Rumah Adat Baanjuang

Semakin berkembangnya kebun binatang ini, maka pada tahun 1935 dibangunlah Rumah Adat Baanjuang di dalamnya.

Difungsikan sebagai museum, rumah adat ini didedikasikan untuk mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau. Di dalamnya dipertunjukkan berbagai pakaian, perhiasan dan alat-alat kesenian khas Minang.

13. Museum Zoologi

Tak jauh….Di timur laut kebun binatang, terdapatlah Museum Zoologi berwarna hijau sengan harimau sumatera dan ikan mas sebagai ikon museum. Museum yang didirikan bersamaan dengan Museum sejenis di Bogor pada 1894. Dua ribu jenis binatang diawetkan dan dipamerkan di dalam museum ini.

14. Ngarai Sianok

Aku meninggalkan Fort de Kock dari pintu masuknya. Niatan berikutnya adalah bermain ke Ngarai Sianok. Sebuah lembah yang terbentuk dari patahan alami, memiliki dinding tegak lurus dengan sungai Sianok mengalir di tengahnya.Tetapi sangat disayangkan hujan turun begitu lebatnya. Selepas turun dari ojek online, aku serasa tak bardaya dan menunggu hujan reda. Dibawah pohon aku terus mengamati lembah siku-siku pada topografi area ini.

Cekungan dereta tebing itu seakin diperindah dengan alira air sungai tepat d bawah jurang-jurang tinggi.

15. Lobang Jepang

Hujan mulai menipis tapi tetap tak kunjung reda, mengakibatkan asa menikmati  ngarai lebih lama harus kuakhiri. Aku mendapatkan ojek online dengan pengendara wanita berjilban berumur setengah baya. Di bawah hujan yang mulai mengerimis aku menuju Taman Panorama.

Sebelum mengeksplore Taman Panorama aku sempatkan untuk menelusuri sebuah lobang pertahanan terpanjang di Asia. Lobang Jepang yang dibuat atas perintah Letnan Jenderal Moritake Tanabe, Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang. Sangat dalam, panjang dan mengagumkan.

16. Taman Panorama

Akhirnya kunjungan penutup jatuh di Taman Panorama, sebuah taman besar dengan dua buah pintu masuk di tepian Jalan Panorama. Dengan tiket seharga Rp. 15.000, aku bisa berusaha menikmati taman rindang ini pada detik-detik terakhirku di Bukittinggi.

Meninggalkan taman dan kembali ke hotel, aku bersiap menuju kantor travel untuk menuju Padang. Pukul 13:00 aku akhirnya benar-benar meninggalkan Kota Bukittinggi. Selamat tinggal Bukittinggi.

Jadi bagi kalian yang berniat ke Sumatera Barat….Berkunjunglah Ke Bukittinggi dan nikmati sejuknya udara kota.

Kisah Selanjutnya—->

Fort de Kock and Padri War

I was still staring at Bung Hatta Birth House from sidewalk of Soekarno Hatta Street, not willing to leave it, but I kept thinking about how a work team built a replica of that house precisely because the original house had collapsed in 1962 ago.

Stepping back towards the direction which I originally came, I turned onto Pemuda Street after passing through Banto Trade Center. My legs were still strong when faced with a swerving long road, I was willing to follow it because my eyes were spoiled with a stretch of green rice fields and typical “Gonjong” roof architecture which adorns official government buildings.

“Gonjong” roof in State Primary School 14 ATTS (Aur Tajungkang Tengah Sawah).
BDB Monument Park, a symbol of people resistance against Dutch colonialism on 15 June 1908.
“Gonjong” roof in Regional Public Hospital Dr. Achmad Mochtar.

Looked like my trip would rotate and increasingly climb, my legs were no longer able after five days before always rely on it to explore Sumatra Island.

It was time to called online transportation to reach Fort de Kock front gate. In less than five minutes of riding it, I climbed Jirek Hill and arrived at fort front gate.

Wekom in Fort De Kock”…..

Fort gate.

Past the gate, “Family Benteng Indah” restaurant was the first greeter, then forwarded by ticket sales counter. Even though, I visited Fort de Kock, the venue which was written on ticket was Wildlife Cultural Park Kinantan with its price listed about USD 1.1.

Ticket sales counter.

After passing ticket check point, food stalls stood in line on right side. Then a cage of an endemic Chinese pigeon type “Junai Mas” was placed at its end. After that, I could see original shape of the fort.

There it is the form of a small fortress “Fort de Kock”.

Fort Fort Kock was established by Captain Bauer as dome of Dutch East Indies Government in facing of people resistance in Padri War which was led by Tuanku Imam Bonjol. This war itself erupted in first quarter of 19th Century. At that time, Boan Hendrick Markus de Kock was the commander of Der Troepen and Deputy Governor General of Dutch East Indies Government. This is where the name “Fort de Kock” originated.

An ancient cannon from year 1800s at four corners of the fort.

The main building of the fort which is no more than 400 square meters looks small but is very strong physically and strategically. In physical form, this fort has a good wall thickness. And strategically, the fort is tough because it is located right at hill top, making it easy for anyone to observe all movements of enemy around.

See how thick the fort walls are.
Second floor or fort roof.

I tried to continue to imagine how great Tuanku Imam Bonjol actions in leading Padri people against Dutch Colonialism. Until Netherlands had to build this fort to secure its power from threat of this charismatic leader.

Park is seen from above fort.

16 Tourist Attractions in Bukittinggi

Walking through Veteran Street, I slowly approached De Kock Hotel to check-in. Cool and peaceful is an image in my head about Bukittinggi when I arrived.

1. Limpapeh Bridge

Halfway to hotel, I was fascinated by a suspension bridge. It is the Limpapeh Bridge which stretches over Ahmad Yani Street. It was built in 1992 and have function as a link between Wildlife Cultural Park Kinantan and Fort De Kock Fortress area. Stretching along ninety meters with approximately three meters in width, making this bridge so dashing visible from Ahmad Yani Street.

2. Gadang Clock Tower

A bottle of coca cola closed my check-in session as well as a starting marker for my exploration around Pasar Atas that afternoon. Walking through Yos Sudarso Street with up-down contour, my steps arrived at a phenomenal landmark which is famous throughout Indonesia.

Gadang Clock Tower, a landmark which was given by Queen Wilhelmina, looked dashing. Needed long time in waiting for different color lights to appear and illuminated entire this giant clock tower as a marker of switching from evening to night. Because of its fame, Gadang Clock Tower has been designated as Kilometer Zero Point of Bukittinggi City. “Gonjong” shaped roof or roof style which was commonly used in “Gadang House” (typical house of West Sumatra) makes this European architectural art possess a local customs wealth.

3. Bukittinggi Plaza

Major renovations at Sabai Nan Aluih Park, made me only able to enjoy the beauty of Gadang Clock Tower from mall courtyard which is located opposite this big clock tower.

Bukittinggi Plaza in the last few years had became the best mall in Bukittinggi. Ramayana (Indonesia’s prominent department stores) becomes main player which occupies seventy percent of overall mall capacity.

4. Bukittinggi Grand Mosque

Fun in enjoying the beauty of Gadang Clock Tower almost made me lose Maghrib Prayers. I tried to trace azan origin several minutes before. Heading north, I finally arrived at Bukittinggi Grand Mosque.

The mosque which in earthquake 2007 became a refuge for residents who evacuated because of damage which was caused by the massive earthquake.

5. Pasar Atas Bukittinggi

Cindua Mato Street towards Pasar Atas

Grand mosque which is precisely located in the center of Pasar Atas (a famous market in Bukittinggi) made me interested to explore road towards Pasar Atas. Dark which continued to devour the day, made shop owners began to close them one by one.

Pasar Atas is a market which places several sellers of Kapau Rice, Ampiang Dadiah Ice and Sanjai Crackers which are favorite crackers for souvenirs which were bought by Bukittinggi visitors.

Hungry stomach has forced myself to immediately look for dinner. Dinner under Limpapeh Bridge finally closed my two hours exploration on my first night in Bukittinggi

6. Unknown Hero Monument

My second day exploration began with leaving the hotel on a quiet morning. Even residents’ activities hadn’t been seen. Quiet and cold didn’t dampen my steps to visit Unknown Heroes Monument.

This monument was built to commemorate heroes who couldn’t be identified in opposing Dutch Colonialism on 1905. The monument with a circular shaped ornament of large dragon and on its top stands a statue of a young man who holding a flag.

7. Bung Hatta Proclamator Park Monument

While across the front of monument, there is a park with a black statue of Bung Hatta. Known as Bung Hatta Proclamator Park, this park was dedicated to Mohammad Hatta, the native son of Bukittinggi who proclaimed Indonesian independence with Ir. Sukarno.

8. Janjang Ampek Puluah

Returning to Cindua Mato Street which I passed last night, I headed for a connecting stairway between Pasar Atas and Pasar Bawah also Pasar Banto (three markets in Bukittinggi). A steep concrete staircase with forty stairs which is 112-year-old. This is embodiment of public facilities integration in past time. At that time, Dutch East Indies Government and several local powers agreed to connect every market in Bukittinggi, one of which was by making janjang or stairs.

9. Bung Hatta Birthplace Museum

Coming out of lower gate and passing through Banto Trade Centre which looked unkempt, I headed to Bung Hatta residence when he was a child. Even though this house is actually only a reconstruction building, but its interior arrangement and exterior appearance are made as closely as possible to condition of the original house which has collapsed. If you want to know about life history behind Muhammad Hatta glory in his political career, then come to this place.

10. Fort De Kock

After visiting Bung Hatta Birthplace Museum, I intended to walk to Fort de Kock through Pemuda Street with quite a long climb walking and meanders from south to north. But apparently I wasn’t strong in middle of journey, I called for online transportation to drive me at Fort de Kock front gate.

Fort de Kock was built by Captain Bauer in 1825 on Jirek Hill as the defense dome of Dutch East Indies Government in facing popular resistance i.e Paderi War which led by Tuanku Imam Bonjol (Indonesia’s national hero).

11. Wildlife Cultural Park Kinantan

From Fort de Kock, I just needed to cross Limpapeh Suspension Bridge to a famous zoo in Bukittinggi.

Wildlife Cultural Park Kinantan is one of the oldest zoos in Indonesia and the only one in West Sumatra with the most complete collection of animals on Sumatra island.

12. Baanjuang Traditional House Museum

As the zoo grew, in 1935 the Baanjuang Traditional House was built in it.

Functioned as a museum, this traditional house is dedicated to elevating the traditional culture of Minangkabau people. Its inside were exhibited various clothes, jewelries and typical Minang art tools.

13. Zoological Museum

Not far away….In northeast of the zoo, there is a Zoological Museum with Sumatran tiger and goldfish as its icons. The museum was established in conjunction with a similar museum at Bogor in 1894. Two thousand species of animal are preserved and exhibited in this museum.

14. Sianok Canyon

I left Fort de Kock from its entrance. My next destination was Sianok Canyon. A valley formed by natural fracture, has a wall which is perpendicular to Sianok River which flowing in the middle. But it was unfortunate that the rain fell so heavily. After getting off from an online motorcycle taxi, I felt like I was hopeless and just waited for rain to stop. Under a tree, I continued to observe valley in a side of Sianok Canyon.

15. Japanese Tunnel

The rain began to thin but still never let up. It caused my hope to enjoying the canyon for a longer time had to ending. I get a online motorcycle taxi with middle-aged women as the rider. Under light drizzle, I headed for Panorama Park.

Before exploring Panorama Park, I made time to explore the longest defensive hole in Asia. A Japanese tunnel made by order of Lieutenant General Moritake Tanabe, 25th Division of Japanese Army Commander. Very deep, long and amazing.

16. Panorama Park

Finally the closing visit fell at Panorama Park, a large park with two entrances on edge of Panorama Steet. With a ticket for USD 1.1, I tried to enjoy this shady garden in my last seconds in Bukittinggi.

Leaving the park and returning to hotel, I prepared to go to a travel agent office to reach Padang city. On 13:00, I finally left Bukittinggi. Goodbye Bukittinggi.

So for you who intend to go to West Sumatra….Visit Bukittinggi and enjoy the cool air there.