A Bowl of Noodle in Tashiling Tibetan Refugee Camp

<—-Previous Story

I already understood before Mr. Tirtha told me that my next destination was Tashiling, A Tibetan refugee settlement in Pokhara. Nepal itself provided access to this migration because since ancient times, Tibet and Nepal have had close close relations in economy, diplomacy and culture. They have repeatedly signed various cooperation agreements in their history as two mutually sovereign nations.

Departing from International Mountain Museum, my taxi drove towards east and it was about 3.5 km in distance. This time Mr. Tirtha who changed to interrupt the trip, he stopped at a pharmacy to buy a some drugs. He steadfastly said that his father had a liver problem which required him to set aside his income from driving a taxi for his father’s treatment.

Namaska“, he shouted at his friends on the street. He explained a little to me that Namaska ​​was a greeting similar to “Namaste“.

Then, he emphasized that tourism was like a gold for his country. So many people in his age struggled to have a small car and fuctioned as a taxi. And English was the key for them to attract tourists …. “Sorry Mr Tirtha, if in Jakarta, I prefer to be a salesman with a commission” …..Hahaha, he broadly laughed.

15 minutes later, the taxi exited from Siddhartha Rajmarg main road. Stop on a dirt road. “Welcome to Tashiling“, said Mr. Tirtha.

Description: D:BC ReportsFoto and VideoGo Abroad15. NepalIMG_20180101_155437418_HDR.jpg
The view of Tashiling from dropping point.

My steps were immediately drawn to a row of souvenir stalls. Yesss…. That was where Tibetan people earn money to survive in their refugee camps. On the way home, Mr. Tirtha regretted Tibetan migration because China has paid more attention to Tibet welfare now.

A man who was so friendly explained some various meanings of  merchandises.

Entering this 56 year old village, I could get a peek at a little Tibetan culture. The way they dress and worship was an easy thing to grasp during this brief visitation. The hospitality of the tiny residents with brown skin and slanted eyes became something unforgettable. According to a confession from one of them, there were about 700 Tibetan refugees in this village. Even in the early days of their migration, there were about 2,000 residents.

Tashiling itself was only one of 12 refugee camps across Nepal. It was well known since Dalai Lama resistance, many Tibetans migrated to Nepal on 1959-1961.

Satisfied in seeing Tashiling’s face, I took time to sit at their small restaurant. I ordered a bowl of noodles for lunch. Simple menu for 150 Rupee which made me ready to continue the journey to next destination.

Description: D:BC ReportsFoto and VideoGo Abroad15. NepalIMG_20180101_162806742_HDR.jpg
It was delicious….Was there pork oil in?….Hahaha.

Come on, go to next destination….

Next Story—->

Semangkuk Mie di Tashiling Tibetan Refugee Camp

Aku sudah faham sebelum Mr. Tirtha memberitahuku bahwa destinasi berikutnya adalah Tashiling, pemukiman para pengungsi Tibet di Pokhara. Nepal sendiri memberikan akses migrasi ini karena sejak zaman dahulu, Tibet dan Nepal telah memiliki hubungan kerjasama yang erat dalam bidang ekonomi, diplomasi dan budaya. Kedua belah pihak pernah berulangkali dalam sejarah menandatangi berbagai perjanjian kerjasama sebagai dua bangsa yang saling berdaulat.

Bertolak dari International Mountain Museum, taksi kini merapat ke timur dan berlari sejauh 3,5 km. Kali ini Mr. Tirtha yang berganti menginterupsi perjalanan, dia berhenti di sebuah apotek untuk membeli seracik obat. Dia bertutur dengan tabah, bahwa ayah kandungnya mengalami gangguan liver yang mengharuskannya menyisihkan penghasilan dari menyopir taksi untuk pengobatan sang ayah.

Namaska”, teriaknya pada teman-teman seprofesinya di jalanan. Dia sedikit menjelaskan bahwa Namaska adalah sapaan yang mirip dengan “Namaste”. 

Kemudian, dia menegaskan bahwa pariwisata bak emas buat negaranya. Jadi banyak orang seusianya berjuang memiliki sebuah mobil kecil untuk dipekerjakan menjadi sebuah taksi. Dan english adalah kunci bagi mereka untuk menggaet wisatawan….”Maaf Mr Tirtha, kalau di Jakarta, aku lebih memilih menjadi salesman dengan komisinya”….Hahaha, dia tertawa lebar.

15 menit kemudian, taksi keluar dari jalan utama Siddhartha Rajmarg. Berhenti di sebuah jalanan tanah. “Welcome to Tashiling”, Ucap Mr. Tirtha.

Description: D:\BC Reports\Foto and Video\Go Abroad\15. Nepal\IMG_20180101_155437418_HDR.jpg
Pemandangan Tashiling dari dropping point.

Langkahku langsung tertuju pada deretan kios penjual souvenir. Yesss….Disitulah para Tibetan mengais rezeqi untuk menyambung hidup di pengungsian. Dalam perjalanan pulang nanti, Mr. Tirtha menyayangkan para Tibetan yang bermigrasi ini karena saat ini Tiongkok sudah lebih memperhatikan kesejahteraan Tibet.

Si bapak yang begitu ramah menjelaskan berbagai makna dari barang dagangannya.

Memasuki perkampungan berusia 56 tahun ini, aku bisa mengintip sedikit budaya Tibet. Cara mereka berpakaian dan beribadah adalah hal yang gampang ditangkap dalam kunjungan singkat ini. Keramahan penduduk berbadan mungil dengan kulit sawo matang dan bermata sipit menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Menurut pengakuan dari salah satu mereka, ada sekitar 700 pengungsi Tibet di kampung ini. Bahkan di masa-masa awal pengungsian terdapat hampir 2.000 warga.

Tashiling sendiri hanya merupakan salah satu dari 12 kamp pengungsian di seluruh penjuru Nepal. Seperti diketahui bahwa semenjak perlawanan Dalai Lama, banyak warga Tibet yang bermigrasi ke Nepal pada tahun 1959-1961.

Puas melihat muka Tashiling, aku menyempatkan diri untuk duduk di sebuah kedai makan milik mereka. Kupesan semangkuk mie sebagai menu makan siang. Menu sederhana seharga RP. 20.000 yang membuatku siap untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.

Description: D:\BC Reports\Foto and Video\Go Abroad\15. Nepal\IMG_20180101_162806742_HDR.jpg
Enak euy….Ada minyak babinya engga ya?….Hahaha.

Yuk, jalan lageeeeeeh….