Menuju Magelang….Menikmati Festival Lima Gunung.

Magelang….sebuah kota kecil di Propinsi Jawa Tengah yang sejak zaman Belanda terkenal sebagai produsen perwira Angkatan Bersenjata Republik ini. Tapi kedatanganku kesini tak terkait dengan dunia militer walaupun dua anggota keluargaku adalah serdadu hasil gemblengan barak Magelang.

Kali ini Aku berkesempatan menanjak ke lereng timur Merapi untuk menikmati pesona Desa Tutup Ngisor. Sebuah desa yang terkenal karena usaha pelestarian budaya tarinya melalui sebuah Padepokan Seni “Tjipta Boedaja” yang berdiri pada tahun 1937 silam.

Dan alasan utama kedatanganku adalah Festival Lima Gunung ke-18 (FLG XVIII). Festival yang mampu menarik minatku untuk merangsek kesana ditengah padatnya aktivitas pekerjaan di Ibu Kota.

Festival ini dinamakan demikian….Mengacu pada lima nama gunung yang terletak di sekitar Magelang yaitu Merapi, Merbabu, Menoreh, Sumbing dan Andong.

—****—

Perjalananku menuju Magelang menggunakan jasa bus legendaris yang pernah berjaya di masanya yaitu PO Santoso. Bus yang sudah berumur dan “bersuara” ini perlahan tapi pasti mengantarkanku tiba di Magelang tepat di dinginnya Sabtu (6/7/19) dini hari.

Hangatnya kopi hitam di tengah dinginnya pagi mengganggu terpejamnya mata dan mengharuskanku menemani Si Pagi yang tengah menjemput Fajar.

Bayangan keagungan festival terus mengganggu konsentrasiku di pagi itu. Dan setelah sang fajar datang, hatchback putih milik Ipar mulai membelah hijaunya persawahan.

Aku harus rela tertinggal satu sesi, karena acara ini sudah dimulai sejak Jum’at (5/7/19) siang. Jalanan menuju Tutup Ngisor yang sudah ditutup untuk beberapa jenis kendaraan umum menunjukkan bahwa festival ini akan dihadiri banyak pengunjung, bahkan akhirnya Aku harus memarkirkan mobil sedikit jauh dari gerbang desa.

Beberapa langkah kemudian Aku tiba.

Elang Jawa sebagai background panggung. Burung ini diyakini sebagai pemberi tanda jika gunung Merapi akan meletus.

Whatsapp ku terus aktif berbalas pesan untuk mencari seseorang yang punya peran penting dalam kehadiranku di festival ini. Perkenalanku di dunia maya setahun lalu (….kek ABG aja) akhirnya dipertemukan disini.

Dialah Mas Yokhanan yang  berjasa besar dalam kedatanganku di festival kali ini. Akhirnya Kita pun bisa kopdar di sela acara setelah sekian lama cuma ledek-meledek di dunia blogging….Thanks ya, Mas Yo.

—-****—-

Selain performer lokal, festival ini juga dimeriahkan performer dari negeri sebelah. Begitu juga dengan para pengunjung….pengunjung internasional juga banyak yang datang lhoooo….Keren kan.

Kaori Okado dari Jepang membawakan tari Gambir Anom. Masak kalah sama orang Jepang?
Nah foto ini sengaja kupajang, bukan apa-apa sih….Suka aja liat Si Putri yang eksotik banget…..hihihi, nakal.

FLG XVIII menghadirkan 79 performer yang keseluruhannya disajikan dalam durasi 3 hari (5-7 Juli 2019) dengan rata-rata waktu tampil 20 menit untuk setiap performance. Padat banget ya, pengunjung dituntut cerdas untuk memilih performance yang ingin mereka lihat dalam rentang waktu yang disiapkan panitia.

Tari Barong Gunung dari Sanggar Rangkul Dulur (Lumajang)

Festival yang sudah berusia 18 tahun ini juga diselenggarakan secara mandiri oleh Komunitas Lima Gunung tanpa sponsor. Hal ini didasari pada komitmen bahwa komunitas berusaha menjaga kemurnian seni agar tidak terkontaminasi oleh bisnis komersial.

Tari Gedruk Pangekes dari Sanggar Gaboet Wasesa (Magelang).

Mengusung tema “Gunung Lumbung Budaya”, menunjukkan bahwa desa adalah kantong utama penjaga budaya di tengah derasnya pengaruh modernisasi. Desa diharapkan menjadi penjaga orisinalitas beranekaragam budaya dimana seni tari adalah salah satunya.

Tari Uni Ing Geprak dari Gramang Art Community (Yogyakarta).

Festival Lima Gunung biasanya diadakan berdekatan dengan Dieng Culture Festival. Jadi dua event ini bisa didatangi bergantian jika ingin merasakan bagaimana meriahnya pesta seni di tanah Jawa.

Tari Subali Senopatya dari Dinas Kebudayaan Bantul.

Kepanitiaan FLG XVIII digarap oleh para millennial, hal ini sangat terlihat dari wajah muda para anggota panitia, konsep acara yang tersusun rapi dan detail serta mengusung tema yang menarik. Desain panggung pun terlihat sangat modern ketika malam tiba. Tembakan lampu ke arah panggung tak kalah dengan pertunjukan-pertunjukan anak muda Ibu Kota.

Tari Brahmarupa berkolaborasi dengan Kemlaka Sound of Archipelago dan Pesona Nusantara Surakarta.

FLG XVIII menyelipkan sesi Kirab Budaya Komunitas Lima Gunung mengelilingi Desa Tutup Ngisor pada hari ketiga pelaksanaan.

Persiapan Kirab Komunitas Lima Gunung.

—-****—-

Ada beberapa hal lain yang bisa ditemukan selama penyelenggaraan FLG XVIII. Para pengunjung bisa menikmatinya sebagai bonus tambahan atas kehadirannya di Desa Tutup Ngisor.

Padepokan Tjipta Boedaja

Hampir seluruh kegiatan kesenian padepokan ini dilakukan di pendopo ini.

Pendopo yang sering digunakan untuk pementasan Wayang Menak oleh warga desa.

Makam Roso Yoso Soedarmo.

Roso Yoso Soedarmo adalah tokoh sentral dalam pengembangan seni di Tutup Ngisor. Padepokan Tjipta Boedaja lahir atas inisiasi beliau. Berkat kepeloporannya dalam seni, Tutup Ngisor konsisten melahirkan bakat-bakat seni hingga saat ini.

Bangunan makam Romo Roso Yoso Soedarmo

Pameran Seni “Lumbung Karya”

Pameran seni ini menampilkan berbagai karya seni berupa lukisan, patung, kostum tari dan topeng.

Anak dan Bapak pun ikut berfoto ria di galeri pameran.
Bagus kan….topengnya serasa hidup
Si Mas sedang mengukir sesuatu di kayu

Jembatan Gantung Mangunsuko

MC sepanjang acara selalu mengingatkan pengunjung festival untuk tidak melewatkan suguhan pemandangan di Jembatan Jokowi (nama tenar dari Jembatan Mangunsuko). Mendengar penekanan berulang-ulang tersebut, membuat rasa penasaran menyerangku. Dan dihari pertama kedatanganku di Tutup Ngisor, Aku langsung meyambangi jembatan ini

Seperti jembatan gantung pada umumnya….goyang-goyang euy…..aseekkk
Air terjun mini yang mempesona
Awas jangan makan disitu…bisa digigit macan

Rumah Transit

Rumah transit adalah sebutan untuk rumah warga yang secara sukarela dan tanpa pungutan sepeserpun digunakan sebagai tempat menginap para pengunjung festival. Kuatnya jiwa gotong royong, menjadikan setiap warga sangat kompak dalam berlomba-lomba menyediakan rumah singgah selama FLG XVIII.

Kombinasi lengkap, pengunjung pun bisa bertenda di depan rumah transit.

Kuliner

Selama keikutsertaan Saya dalam FLG XVIII, ada dua jenis kuliner yang membekas hati hingga saat ini.

Nasi Lesah merupakan nasi khas Magelang dengan campuran sayur taoge, bihun, irisan tahu bacem, potongan kecil daging sapi, bawang goreng dan sledri. Kemudian diguyur kuah soto bersantan yang masih panas….Wadaaauuwww

Pertama kalinya makan Nasi Lesah

Wine Coffee….Buat Saya yang penggemar pemula kopi, menemukan wine coffee adalah hal yang istimewa. Kedai Kopi Tanpa Nama yang berada dilokasi pameran menyediakan menu Sindoro Wine yang aroma wine nya sangat terasa nikmat.

Wine coffee juga bisa disebut dengan fermented coffee atau kopi yang mengalami proses fermentasi sebelum menjadi biji kopi.

So…Mau ikut ke Festival Lima Gunung tahun 2020?…..Kuy hal.