Menggores Tanda Tangan di Museum Uang Sumatera

<—-Kisah Sebelumnya

Aku mulai menapaki  jalur keluar Taman Sri Deli.

Langkahku begitu harmonis dengan tekanan telunjuk untuk mengabadikan gambar-gambar terbaik di sepanjang Jalan Sisingamangaraja.

Bebek Merah” tiba-tiba turun dari aspal dan hentakan remnya melempar debu yang membuatku sesaat menutup hidung. Muka yang tersembunyi di balik helm itu menoleh ke arahku sembari melambaikan tangan. Aku terdiam sambil berfikir ada apakah. Sedikit curiga, aku melangkah kepadanya sembari menjaga jarak aman.

Si Bapak: “Bang, jangan nenteng kamera bagus seperti itu. Disini banyak jambret. Disimpan saja!”, berbicara setelah perlahan melepas helmnya.

Aku: “Oh, terimakasih pak….Baik pak”, Jawabku lega.

Si Bapak: ”Hati-hati ya Bang. Assalamu’alaikum”.

Aku: ”Wa’alaikumsalam pak”. Orang baik selalu ada di sekitarku ternyata.

—-****—-

Gagah walau tua.

Aku tertegun dibawah Tirtanadi Tower sembari duduk dan menaruh backpack di sebelah batang pohon untuk berlindung dari panasnya surya. Kemudian aku mengisi kedua botolku dengan krain air minum gratis di kiri depan kantor PDAM Tirtanadi.

Khawatir senja yang sudah mengantri hadir, aku kembali melangkah menuju ke kediaman Tjong A Fie. Melewati persimpangan jalur kereta api lalu masuk ke Jalan Pemuda, tak sengaja aku meewati roll up banner bertajuk “Museum Uang Sumatera”.

Kiranya cukup 30 menit, mampir sebentar!”, bisik batin menggodaku. Tanpa perlawanan argument, aku kini sudah bercakap dengan Nona L -perempuan muda manis berjilbab biru langit- sang penjaga merangkap tour guide museum. Dia mengambil souvenir berupa dua uang koin buatan Kesultanan Palembang dengan lubang di tengah yang di wrapping rapi sekaligus memberikan selembar kertas hijau seukuran tiket bertulis “Biaya Souvenir Rp. 10.000”.

—-****—-

Lantai 2.

Aku menaiki tangga dan terus mengamati bangunan klasik itu. Kata Nona L, saya sedang berada di Gedung Juang ’45. “Ga perlu buru-buru, Bang. Museum tutup jam 5 sore kok”, selorohnya menjelaskan lewat senyuman.

Tiba di lantai 2, aku disuguhi pemandangan berupa mesin cetak Oeang Republik Indonesia Tapanoeli (ORITA) yang digunakan pada masa awal pemerintahan Soekarno.

ORITA.

Didirikan 3 tahun lalu oleh Saparudin Barus, ruang koleksi ini menjadi museum uang pertama di Sumatera. Seakan niat pribadi sang kolektor diamini pemerintah daerah setelah Gedung Juang ’45 dipilih sebagai lokasi museum. Gedung ini sendiri mempunyai peran penting sebagai markas Barisan Pemuda Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Tahun 1726 untuk pertama kali VOC mencetak uang koin yang dikenal dengan nama DOIT atau DUIT.

Menjelajah dari etalase satu ke etalase yang lain diiringi dengan penjelasan dari Nona L, aku mulai hanyut dalam aliran arus sejarah bangsa melalui urutan koin yang diurutkan berdasarkan masa digunakannya.

Koin Indonesia dari masa ke masa beserta koin Malaysia.

Menjadi satu-satunya pengunjung di siang itu, aku rela mengulang kembali untuk mengamati beberapa alat tukar perdagangan pada era keemasan Kerajaan Sriwijaya. Atau kertas berbahan goni yang dikeluarkan kerajaan Buton di Sulawesi .

Duh lebar banget sih, uang kertas era Soekarno !

Di akhir kunjungan, Nona L mengarahkanku pada kain panjang berwarna putih dan dia menjelaskan singkat bahwa setiap pengunjung akan diminta sukarela menuliskan pesan kesannya tentang museum dan diakhiri dengan bubuhan tanda tangan dibawahnya. Oke lah, tak perlu pelit untuk menulisi kain itu. Goresan tanda tanganku mengakhiri kunjungan wisata edukasi kali ini.

Etalase museum yang kaya koleksi uang dari berbagai masa.

Beruntung sekali melewat dan melawatnya….Yuks, lanjut!

Kisah Selanjutnya—->

10 Destinasi Medan: Sebentar yang Merindukan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak pernah memberi kesempatan sedikitpun terhadap otak untuk berfikir panjang. Menunggang ojek online, aku mengucap sayonara pada Terminal Amplas yang sepertinya tak rela ditinggal pengunjung yang sudi meluangkan waktu untuk mengenalnya.

15 menit kemudian, aku sudah hinggap di destinasi utama kota Medan. Tak lain lagi dialah:

1. Istana Maimun

Istana yang namanya bermakna “Berkah” ini telah berjasa selama hampir 130 tahun merepresentasikan agungnya Kesultanan Deli. Dibangunnya istana ini sekaligus sebagai penanda berpindahnya ibukota kerajaan dari Labuhan ke Medan.

Kuning adalah warna khas Melayu yang melambangkan kebijaksanaan.

Menebus tiket masuk bernilai Rp. 5.000, aku menjelajah setiap sudut istana dan terus mengagumi setiap detail perpaduan arsitektur India, Timur Tengah dan Eropa. Lima hektar area istana membuat siapa saja leluasa menikmati keindahan istana dari berbagai sisi pandang.

Destinasi berikutnya hanya berjeda 2 menit dengan berjalan kaki, yaitu:

2. Masjid Raya Al Mashun

Terletak di barat istana, bangunan suci bersegi delapan ini berdiri megah tak bergeming melintas masa. Karya fenomelal milik Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam ini menyiratkan bahwa beliau lebih mengutamakan keagungan masjid dibanding istana tempat tinggalnya.

Marmernya didatangkan langsung dari Italia

Tepat waktu Dzuhur, aku menyempatkan diri berbaur dengan masyarakat Medan untuk mencicipi sejuknya hawa masjid tua berusia 110 tahun tersebut. Kemegahan masjid merupakan penanda kemakmuran Kesultanan Deli di masanya.

Jangan beranjak dulu dari area sekitar istana dan masjid karena masih ada satu tempat lagi yang diyakini sebagai peninggalan Kesultanan Deli, yaitu:

3. Taman Sri Deli

Melangkah 100 meter ke utara masjid, aku telah hadir di pusat taman.  Untuk meresapi nilai sejarahnya, aku mencoba membayangkan menjadi putra Sultan yang sedang bersantai di sore hari kemudian membasuh badan di kolam trapesium yang terletak di tengah taman.

Taman yang mampu meredam panas kota.

Taman ini menjadi penutup eksplorasi mengenang kejayaan Melayu dibawah pimpinan Sri Paduka Tuanku Sultan (gelar Sultan Deli).

4. Menara Air Tirtanadi

Terus berjalan mengambil arah utara, dalam 800 meter aku menemukan tandon air raksasa milik PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara. Penampung air raksasa ini telah lama menjadi wisata landmark kota.

Jangan lihat wajah tuanya tapi lihat perannya.

Siapa sangka toren belang merah putih ini adalah buatan Belanda  di permulaan abad 20. Sesuai makna nama Sansekertanya, Tirtanadi memiliki peranan vital dalam mensuplai kebutuhan air bersih warga kota sejak pertama kali dibangun hingga kini.

Tahu kan arti kata Tirtanadi?….Yups, Tirta berarti air dan Nadi bermakna kehidupan.

5. Museum Uang Sumatera

Ayo melangkah lagi !….Tanggung nih.

Sekitar 300 meter di barat Tirtanadi Tower, aku menemukan koleksi berbagai rupa uang dari berbagai zaman dalam sebuah museum yang pendiriannya diinisiasi oleh seorang kolektor uang bernama Saparudin Barus.

Bahkan uang dari zaman Kesultanan Deli pun masih tersimpan dengan baik

Museum ini tidak bertiket masuk. Hanya saja mereka akan memberikan souvenir berupa 2 uang koin dengan lubang ditengah dan dihargai Rp. 10.000.

6. Tjong A Fie Mansion

Kali ini, aku singgah di destinasi penting lain kota Medan. Ini adalah rumah saudagar kaya raya keturunan Tiongkok yang mempunyai peran besar dalam pembangunan kota. Sang dermawan ini bernama Tjong A Fie. Dan yang tersisa selain dari kebesaran namanya adalah rumah tempat tinggal beliau.

Setiap ruang dalam rumah Tjong A Fie memiliki fungsi khusus yang membuatku terkagum.

Aku rela membayar tiket masuk seharga Rp. 35.000. Tetapi nilai itu terbayar lunas begitu memahami cerita tempoe doeloe yang membahas setiap sisi rumah dan menapak tilas kiprah Tjong A Fie dalam membesarkan bisnis dan membangun Medan.

7. Kampung Madras

Tak ada alasan shahih yang bisa kujelaskan mengapa aku harus mengunjugi Kampung Madras. Satu alasan sederhana saja, itu adalah efek domino karena aku menginap di Dazhong Backpacker’s Hostel yang berada di pusat Kampung Madras.

Berbaur dengan warga keturunan India!

Madras diambil dari nama sebuah daerah di India Selatan yang merupakan asal nenek moyang warga Medan keturunan India Tamil.

8. Waroenk Nenek

Selesai bertemu teman dekat di Medan, gelapnya hari membujuk untuk kembali ke hotel.  Tetapi badai lapar yang tak terbendung , membuatku terpaksa mencari makan malam sebelum aku benar-benar sampai di hotel.

Destinasi bonus.

Hinggaplah langkah di sebuah rumah makan bermoto “Semua Ada”  di bilangan Jalan Patimura. Seporsi pecel lele yang disuguhkan oleh dara-dara cantik berhijab menjadi hadiah terindah malam itu.

9. Merdeka Walk

Segarnya badan setelah makan malam membuatku urung kembali ke hotel. Aku menambah kembali koleksi dengan mengunjungi pusat kuliner dan hiburan kota yang biasa dipanggil eMWe.

Gerimis mulai turun ketika aku tiba.

Dibuat pada 2005 dan mampu menampung 700 pengunjung dalam satu waktu menjadikan tempat ini sebagai destinasi favorit saat weekend tiba. Terutama buat anak-anak muda yang ingin melepas penat setelah berkerja padat sepanjang minggu

10. Pendopo Kota Medan

Masih satu area dengan Merdeka Walk yang menempati salah satu sisi Lapangan Merdeka. Pendopo ini akan menjadi pusat alun-alun kota Medan di masa depan pasca revitalisasi yang sedang dirancang oleh pemerintah kota.

Jam 21:00 pun pendopi masih kedatangan pengunjung.

Ketersediaan taman di sekitar pendopo menjadikan tempat ini ramai akan berbagai aktivitas dari sekedar berkumpul bersama keluarga, berolah raga ataupun aktivitas beberapa komunitas muda Medan.

Itulah kunjungan kilat di Medan yang membuatku rindu untuk kembali.

Kisah Selanjutnya—->