Arrival Hall Muscat International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melangkah keluar dari kabin Swiss Air LX 242, menapak kembali di aerobridge dan berhenti sejenak di pertengahannya. Aku tertegun sejenak memperhatikan aktivitas tersisa di apron Muscat International Airport.  Tengah malam itu aku hanya melihat sebuah pesawat milik Salam Air yang berwarna dominan putih dengan kelir hijau sedang berhenti terparkir di salah satu sisi apron.

Aku mulai melangkah melewati koridor demi koridor arrival hall. Sepanjang koridor menawarkan interior yang memikat mata. Setiap sisi travelator disulap menjadi taman bebatuan dengan padanan warna-warni pelita yang menarik mata.

Sementara bangku-bangku diletakkan di setiap sisi ruangan dengan desain futuristik. Hingga dalam beberapa saat kemudian, tibalah aku di area konter imigrasi.

Memasuki antrian yang jalurnya dibentuk oleh tape barrier, aku tak melepas antusias. Memasuki sebuah negara dengan e-Visa approval yang didapat dari tanah air adalah sesuatu hal yang  membuat hati menjadi tenang. Biasaya approval e-Visa ini adalah jaminan terampuh untuk bisa melewati konter imigrasi dengan mudah.

“Halo, Sir, Can I see your e-Visa?”, seorang petugas jangkung berkemeja putih dengan celana bahan hitam menghentikan langkahku.

“Oh, wait. Sir”, aku berhenti dan mulai menurunkan backpack untuk mengambil dokumen.

Aku pun mulai sibuk mengaduk-aduk backpack demi menemukan berkas itu.

Oh yes…I had seen your document. You can go to the counter”, petugas itu tetiba memberikanku akses setelah dia sekilas melihat lembaran e-Visa di zipper file berbahan transparan yang kukeluarkan.

“Oh, Okay Sir….I’m ready for that”, aku menyatakan telah siap menghadap ke petugas imigrasi.

Tanpa kekhawatiran sedikitpun aku pun melangkah menuju konter imigrasi.

“Assalamu’alaikum, Sir”, aku berinisiatif mengucapkan salam ke petugas imigrasi berkumis tipis.

“ ‘alaikumussalam”, dia tak melihatku sedikitpun dan hanya berfokus pada passport, e-Visa, hotel booking confirmation dan e-ticket Air Arabia untuk meninggalkan Muscat yang beberapa detik lalu kusodorkan.

Do you visit Dubai before arrive here?”.

Absolutely, yes, Sir”.

Okay….Clear, welcome to Muscat”, petugas imigrasi itu memberikan kembali segenap berkas yang kuberikan.

Aku bisa melewati petugas konter imigrasi itu dengan sangat mudah.

Yuhuuuuuuu…….

WELCOME MUSCAT…………………………….

Waktu yang masih berkutat di dini hari membuatku memutuskan untuk menginap saja di bandara. Usai mengambil keputusan tersebut, langkah pertama yang kulakukan adalah mencari Sim Card untuk kebutuhan pemetaan destinasi ketika memasuki kota Muscat pada pagi harinya. Aku akhirnya memilih membeli Sim Card milik Renna Mobile.

Koridor nan indah menuju Arrival Hall.
Conveyor Belt Area.
Arrival Hall lantai 2.
Arrival Hall lantai 3.
Drop off zone.
Public bus service area.
Halaman Muscat International Airport saat dini hari.
Halaman Muscat International Airport saat dini hari.

Tak lupa, aku berburu berbagai brosur pariwisata khusus kota Muscat di Tourism Information Center. Beberapa brosur tentang destinasi wisata yang memungkinkan untuk kukunjungi tak lepas dari incaran. Sedangkan menukar Dolar Amerika ke Rial di Travelex Currency Exchange untuk kebutuhan petualangan menjadi tahapan terakhir yang kulakukan di Muscat International Airport.

Lepas melakukan berbagai aktivitas dasar yang biasa kulalukan ketika tiba di sebuah negara baru tersebut, maka aku menyempatkan diri untuk melangkah keluar bangunan terminal untuk melihat penampakan asli arsitektur bandara dari pelataran depannya.

Dan sungguh….

Muscat International Airport terlihat begitu mempesona di malam hari dengan siraman lampu-lampu taman yang menghantam batang-batang pohon palem yang merupakan vegetasi utama yang dipajang halaman bandara.

Tetapi aku harus segera mengakhiri eksplorasi bandara megah tersebut untuk segera mencari tempat terbaik untuk memejamkan mata. Akhirnya aku mengambil salah satu bangku di lantai dua arrival hall untuk beristirahat barang sejenak.

Kisah Selanjutnya—->

Swiss Air LX 242 dari Dubai (DXB) ke Muscat (MCT)

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak sabar menunggu kedatangan kereta. Beruntung kereta datang dengan cepat. Menaiki salah satu gerbongnya, meluncurlah aku di jalur panjang kereta dan tiba dalam beberapa menit di bangunan lain milik Dubai International Airport….Yupz, Concourse D.

Concourse D sendiri adalah bangunan di tengah-tengah area bandara yang difungsikan sebagai gerbang pelepasan. Bangunan itu dikoneksikan dengan bangunan Terminal 1 melalui rel yang diletakkan di atas tiang-tiang pancang jalur kereta.

Xu kembali datang menghampiriku ketika aku menduduki bangku di sebelah gate D 15. Ternyata Xu tak sendiri, dia memiliki satu teman lain yang kini diperkenalkan kepadaku.

Donny, this is Lin, my friend“, dia menunjuk ke temannya.

Hi, Lin….I’m Donny“, aku balik memperkenalkan diri.

Selanjutnya kami bertiga menghabiskan waktu untuk berbincang ringan di ruangan Concourse.

Sesekali Lin terlihat iseng menyembunyikan paspor milik Xu yang karena kecerobohannya ditinggalkannya di bangku ketika dia beranjak ke toilet. Lin memberikan kode dengan menaruh telunjuknya di hidung ketika aku mengetahui keisengannya itu. Sontak Xu dihantui kepanikan sekembalinya dari toilet mencari keberadaan paspornya. Aku sungguh menahan tawa atas keisengan itu. Nantinya Xu benar-benar menjitak jidat Lin atas kejahilannya itu. Kami bertiga pun tergelak ketawa berkepanjangan.

Panggilan boarding terdengar di langit-langit bandara. Aku telah siap sejak beberapa waktu sebelumnya. Aku mengucapkan sampai jumpa di Muscat kepada mereka karena kami bertiga akan duduk terpisah di dalam kabin.

Aku duduk di kabin tengah, di window seat sisi kiri, duduk dengan satu penumpang berkenegaraan Oman di sisi terkanan. Sedangkan bangku tengah dibiarkan kosong selama penerbangan.

Saat yang benar-benar kutunggu adalah masa airborne pesawat yang akan berlangsung cepat. Aku hanya ingin melihat keindahan Burj Khalifa dari langit malam Dubai. Entah bagaimana perwujudan indahnya ketika dilihat dari atas.

Food court di Cocourse D – Dubai International Airport.
Airbus A 330-300 milik Swiss Air.
Business Class.
Economy Class.
Hayo….Yang mana Burj Khalifa?….
Nonton Jason Bourne yang diperankan Matt Damon.
Kota Muscat tampak dari ketinggian saat pesawat hendak mendarat.
Salam Air (LCC dari Oman) tampak terparkir di Muscat International Airport.

Penerbangan malam itu berlangsung dalam kondisi kurang baik. Berkali-kali maskapai kebanggaan Swiss itu bergetar hebat menembus gumpalan-gumpalan awan di langit Timur Tengah. Membuat beberapa kali awak kabin mengurungkan diri untuk memberikan gelas-gelas minuman kepada penumpang.

Aku langsung teringat dengan beberapa artikel yang pernah kubaca mengenai awak kabin Swiss Air yang kebanyakan berusia tak muda lagi. Benar adanya, aku membuktikan dengan pengalamanku sendiri. Pramugara-pramugari Swiss Air LX 242 yang kutunggangi memiliki awak kabin yang usianya sudah diatas 40 tahun seperkiraanku.

Malam itu, aku hanya meminta disuguhkan segelas apple juice dan melakukan penerbangan singkat selama 1 jam 15 menit saja. Jarak antara Dubai-Muscat yang hanya tak lebih dari 500 kilometerlah yang membuatnya demikian.

Aku tiba di Muscat International Airport tengah malam dan memutuskan untuk berada di bandara saja hingga pagi menjelang.

Oh, ya…..Aku belum bercerita bagaimana Burj Khalifa dilihat dari langit malam Dubai?

Luar biasa ….Itu indah sekali, kawan……

Alternatif lain untuk mencari tiket pesawat dari Dubai ke Muscat bisa didapatkan di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Check-in Desk Dubai International Airport: Gingsul Manis dari Colombo

<—-Kisah Sebelumnya

Beruntung check-in desk yang kucari sejak beberapa waktu sebelumnya belum dibuka ketika aku tiba di depannya. Sehingga waktu yang terbuang sia-sia di antian yang salah tak mempengaruhi waktuku dalam mengurusi boarding pass.

Usai menunggu beberapa saat, check-in desk yang akan melayani proses administrasi penerbangan Swiss Air LX 242 akhirnya dibuka. Sontak aku mengambil posisi di antrian, bukan yang terdepan karena sedari sebelumnya banyak calon penumpang yang sudah mempersiapkan diri di sekitar check-in desk tersebut.

Aku sudah tenang berada di antrian yang benar, LCD di atas check-in desk juga sudah dengan jelas mengafirmasi nomor penerbangan yang telah kupesan tujuh bulan sebelum penerbangan.

Ketika sedang nyaman-nyamannya mengantri….

Tetiba sebuah travel bag terjatuh dari trolley dan menimpa kaki kiriku. Aku pun terperanjat dan seketika menoleh ke belakang.

Sorry….Sorry, Sir. My trolley is too full“, dia terus membungkukkan badan di depanku.

Demi mencairkan suasana, kulemparkan senyuman sembari berucap kepadanya, “No matter, Sir“.

Call me, Xu…..Do you want to go to Muscat?“, nama yang dia sebutkan memperjelas wajahnya yang khas Tiongkok.

Me…Donny from Indonesia“, aku mengajaknya berjabat tangan.

Do you work in Muscat, Donny?“, Xu melempar sebuah tanya.

No, Xu….I’m a tourist“, singkat balasku, “Do you work there?“.

Yeaa, Donny….I work in oil company“, dia menjelaskan singkat saja.

Tak berapa lama kemudian giliranku menghadap petugas di check-in desk.

Any luggage, Sir“, staff perempuan berparas khas Asia Selatan menanyaiku.

Nup, Ms Dilupa“, aku menjawab sembari menatap nametag yang tersemat di blazer hitam miliknya.

Oh, you know my name“, dia tak tertawa melainkan hanya tersenyum tipis.

That’s …“, Aku menunjuk nametag yg dia kenakan.

Just bag in your back?“, dia tak kuasa menahan senyum hingga gingsul manisnya terlihat.

Yeaaa …just backpacker, Ms Dilupa“, aku terus tersenyum kepadanya.

Ya….ya….ya…. Backpacker….Always like you now“, kini dia bersiap mencetak boarding pass.

Where are you come from?“, sidikku ketika dia menyerahkan bording pass berwarna putih polos.

Colombo …..“, dia menjawab dengan tatapan ramah, “Next…..“, dia mulai berseru memanggil Xu yang menunggu di belakang.

Sri Lanka….Nice country“, aku merapikan dokumen dan bersiap meninggalkan meja.

Dilupa hanya mengacungkan jempolnya kepadaku sembari tersenyum mengangguk.

Check-in desk Swis Air LX 242.
Dia adalah Xu, teman baru di Dubai International Airport.
Menuju platform kereta.
Kereta menuju Concourse D sebentar lagi tiba.

Usai mendapatkan boarding pass, aku segera menuju screening gate untuk memeriksa backpack demi keamanan penerbangan. Dengan mudah melewatinya, aku segera menuju konter imigrasi untuk mendapatkan izin keluar dari Dubai. Meninggalkan sebuah negara menjadi bagian termudah di setiap perjalanan yang kutempuh.

Di akhir proses administratif, aku sudah siap meninggalkan bangunan Terminal 1. Aku segera beranjak menuju platform kereta demi menuju Concourse D-Dubai International Airport. Di bangunan itulah Swiss LX 242 akan diterbangkan.

Kisah Selanjutnya—->

Salah Antrian di Departure Hall Dubai International Airport Terminal 1

<—-Kisah Sebelumnya

Tentu aku tak gentar untuk melewati terowongan yang menembus bagian bawah jalan reguler yang mengalirkan kendaraan keluar-masuk Terminal 1 Dubai International Airport. Langkah cepat akhirnya mengantarkanku ke sebuah area parkir yang merupakan fasilitas bagi para pengunjung bandara.

Sayangnya area parkir tersebut terhadang oleh keberadaan Airport Road yang membelah area Terminal 1 menjadi dua sisi terpisah. Aku berusaha mencari cara untuk mencapai area di utara jalan besar itu.

Berhenti sejenak mengamati situasi, aku mencoba lebih tenang.

Ya….Itu….Pasti itu”, aku menatap sebuah skybridge yang mengangkangi Airport Road. Tak mau kehilangan banyak waktu maka aku bergegas menujunya.

Benar adanya, terdapat tangga untuk mulai menelusuri skybridge itu. Dalam beberapa detik kemudian aku pun sudah melangkah di dalam lorongnya.

Jembatan sepanjang 150 meter itu kulalui dengan cepat hingga aku benar-benar tiba di bangunan Terminal 1. Aku tiba tepat dua jam sebelum penerbangan. Kini mataku awas mencari keberadaan check-in zone yang bisa menerbitkan boarding pass untukku.

Maka mataku mulai awas mencari keberadaan FIDS (Flight Information Display Siystem). Aku menemukannya di sebuah koridor. Mataku mulai menyapu daftar penerbangan yang disajikan dalam dua kolom memanjang.

Yess….Itu dia….Swiss Air LX 242….Check-in desk di Area 5”, aku telah menemukan informasi valid yang kubutuhkan.

Aku mulai mencari tahu maksud dari Area 5. Setelah berusaha memahami beberapa signboard yang ada di ruangan terminal, akhirnya aku faham. Check-in desk itu terletak di setiap persimpangan di sepanjang koridor utama ruangan.   

Angka-angka yang merupakan nomor check-in zone tersebut tertampil jelas di pilar-pilar bangunan terminal dan aku menemukan area check-in zone nomor 5 di pertengahan koridor.

Hmmhh….Check-in desk belum dibuka”, aku menghela nafas pelan.

Maskapai penerbangan yang akan kutunggangi beserta nomor penerbangannya belum tertampil di layar-layar LCD di atas deretan check-in desk. Meja-meja itu masih sibuk mengurusi penerbangan Aeroflot SU 527 menuju Moscow.

Aku menepi ke sisi utara ruangan, menunggu di sebuah tempat duduk. Sesekali aku berdiri menghadap ke dinding kaca berukuran lebar, jauh di seberang sana adalah Concourse D, sebuah bangunan dimana setiap gate penerbangan ditempatkan. Hal ini memberikan arti bahwa bangunan Terminal 1 dimana aku berada hanyalah berfungi sebagai bangunan administratif bagi setiap penumpang sebelum dinyatakan siap untuk terbang.

Sesekali aku melangkah mendekati layar FIDS untuk memastikan apakah proses check-in untuk nomor penerbanganku telah dibuka. Aku terus melakukannya berulang-ulang. Setelah sekian kali mengecek, akhirnya check-in desk yang dimaksud benar-benar telah bestatus “Open”.

Aku melangkah menuju antrian dan mulai bergabung di dalamnya. Satu per satu calon penumpang selesai melapor ke check-in desk dan pergi dengan menggenggam lembar boarding pass.

Semakin tertelan di tengah antrian, aku baru menyadari satu hal. Aku tetiba melotot melihat sebuah e-ticket bertuliskan Oman Air. Layar LCD di atas check-in desk memang hanya menunjukkan nama kota….”Muscat”. Tetapi aku tak menyadari ada sebuah papan dengan informasi berukuran tak terlalu besar. “Oman Air WY 614”, aku jelas membacanya.

Astaga aku berada di antrian penerbangan yang salah.

Area parkir Terminal 1.
Skybridge menuju ke bangunan Terminal 1.
Airport Road terlihat dari skybridge.
Tiba di bangunan utama Terminal 1.
Koridor utama ruangan Terminal 1.
Check-in zone.
Menunggu nomor penerbangan muncul.
Bangunan nan jauh di sana adalah Concourse D.

Is this Swiss Air LX 242 to Oman, Mam?”, aku bertanya kepada seorang calon penumpang yang berdiri tepat di depanku.

Oh No, This is Oman Air…”, dia menjawab sembari menggelengkan kepalanya heran.

Thanks, Mam….I’m in wrong queue”, aku mulai beranjak pergi meninggalkan antrian.

Aku kembali berada di koridor antara dua deret check-in desk , berdiri dan fokus menyebarkan pandangan ke layar-layar LCD di kedua sisi.

Tak kunjung menemukannya, akhirnya aku bertanya kepada seorang staff bandara.

Sir, where is the check-in desk for Swiss Air LX 242 towards Muscat?”, aku menunjukkan e-ticketku.

Oh, yaaa…..the desk will be open in five minutes, Sir….Just wait for a moment”, dia menjelaskan kepadaku

You will be better to wait in the last desk of this check-in desk row….Over there, Sir”, dia menunjuk ke sebaris check-in desk yang terletak di ujung Area 5. Di sanalah penerbanganku akan diproses.

Tanpa pikir panjang aku segera menujunya.

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Bus No. 8: Melawat ke Umm Suqeim

<—-Kisah Sebelumnya

Berbincang hangat dengan Sanu, seorang pekerja muda asal Kerala, membuat waktu tak terasa telah terlewati selama beberapa saat. Perjuangan seorang Sanu yang terlahir dari seorang keluarga sederhana di kotanya mampu membuatku berempati atas semua kerja kerasnya mengadu nasib di kota megapolitan Dubai.

Aku yang khusyu’ mnendengarkan semua ceritanya tiba-tiba melempar pandangan ke arah sebelah. Bus berwarna merah dengan kelir putih itu mendecit singkat, berhenti tepat di sebelah kiriku, meninggalkan hempasan angin yang segar menerpa wajah. Selanjutnya bus itu berhenti dengan mesin yang masih berbunyi langsam.

Umm Suqeim, Sir”, aku sekali lagi memastikan tujuan ketika pengemudi turun dari pintu depan,

Yes, Umm Suqeim”, jawab pengemudi asal Bangladesh itu. Aku faham kebangsaan pengemudi itu karena dengan jelas melihat emblem bendera Bangladesh di tas pinggang yang dia kenakan.

Aku dan Sanu pun bergegas memasuki bus. Men-tap Nol Card yang kami miliki, lalu duduk di bangku sedikit di belakang dan untuk beberapa menit kemudian, kami menunggu bus kembali berangkat di rutenya.

Perjalanan sepanjang hampir dua puluh kilometer ini harus ditebus dengan tarif sebesar 5 Dirham. Aku mengetahuinya ketika men-tap Nol Card di automatic fare collection machine yang terletak di salah satu tiang bus.

Menjelang pukul satu siang, bus mulai merangsek keluar dari Al Ghubaiba Bus Station, melintasi Al Khaleej Street, melalui kawasan Al Rifa yang menampilkan perpaduan kawasan pemukiman elit, pusat perbelanjaan dan beberapa brand hotel ternama. Sedangkan di sisi barat perjalanan adalah penampang melebar Mina’ Rashid. Pelabuhan itu dinamakan demikian untuk menghormati mendiang Sheikh Rashid bin Saeed Al Maktoum yang merupakan Emir dari Emirat Dubai.

Perjalanan berlanjut di kawasan Al Mina, sebuah kawasan yang lebih didominasi oleh deretan apartemen mewah dan hotel-hotel mewah semacam Crowne Plaza, Hyat dan Hilton. Bus yang kunaiki terus melaju di jalanan lebar Al Mina Street.

Interior Dubai Bus No. 8
Al Mina Street.
Turun di halte bus Umm Suqeim, Park 1.
SPBU Emarat, perusahaan minyak milik pemerintah UEA.
Dubai Bus No. 8 melanjutkan perjalanan setelah menurunkanku di tujuan.

Lepas melintasi kawasan Al Mina maka untuk selanjutnya perjalanan selama hampir satu jam itu, sebagian porsinya dihabiskan di sepanjang Jumeirah Beach Road yang merupakan ruas jalan utama di sepanjang pantai utara Dubai. Jalanan selebar hampir tiga puluh meter itu memiliki tiga ruas di setiap arahnya. Sedangkan deretan pohon palem tampak berjajar rapi membatasi kedua arahnya.

Aku yang gelisah dengan terus memandangi penunjuk waktu di gawai pintar selalu berharap eksplorasi di destinasi terakhir itu tidak ada kendala apapun yang menghadang. Adanya sedikit saja kendala akan memperkecil peluangku dalam mengejar keberangkata Swiss Air LX 242 menuju Muscat pada malam harinya.

Menjelang pukul dua siang, bus pun tiba di destinasi yang kutuju. Aku diturunkan di halte bus Umm Suqeim, Park 1.

Aku bersiap melakukan eksplorasi terakhir di Dubai.

Kisah Selanjutnya—->

Burj Khalifa: Bahagia Itu Sederhana

<—-Kisah Sebelumnya

Burj Khalifa/Dubai Mall Station.
The Address Sky View Tower.
Salah satu gedung futuristik di Downtown Dubai.

Suka cita menguasai ruang hati ketika aku melompat turun dari Dubai Metro dan berdiri di sisi platform Burj Khalifa/Dubai Mall Station. Setelah bersabar sekian lama, akhirnya aku benar-benar akan melawat di bawah cipta arsitektur tertinggi di seantero dunia, apalagi kalau bukan Burj Khalifa.

Mengunjungi karya-karya arsitektur tertinggi memang bukan kali ini saja bagiku. Di Malaysia, aku berkali-kali mengunjungi Petronas Twin Tower. Di Thailand, aku bahkan menetap di salah satu yang tertinggi di Bangkok, Baiyoke Sky Hotel. Di Hong Kong, aku mengunjungi The Bank of China. Di Macau aku pernah singgah di Macau Tower. Di Korea, aku mengunjungi Namsan Tower. Namun….Mengunjungi Burj Khalifa akan menjadi sejarah baru nan epik dalam petualanganku kali ini.

Seturun dari kereta, aku sedikit mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada percabangan koridor. Maka bertanyalah aku kepada petugas keamanan Dubai Metro yang sedang bertugas.

“That is the exit gate towards Burj Khalifa, Sir”, dia menunjuk pada sebuah pintu di sisi kanan bawah, cabang tambahan dari koridor utama. Koridor utama sendiri terintegrasi dengan The Dubai Mall.

Demi menghemat waktu maka aku mengindahkan shopping mall terbesar di Dubai itu, aku memilih keluar dari exit gate yang ditunjuk oleh petugas keamanan Dubai Metro.

Sewaktu kemudian, aku telah berada di jalanan Dubai kembali di bawah terik surya. Aku mulai merubah haluan langkah ke kiri, menyusuri jalanan di sisi kanan bawah koridor utama menuju The Dubai Mall. Sengatan surya yang membuat perih kulit memaksaku untuk sesekali bersembunyi di bayangan pohon-pohon palem yang berada di sepanjang jalan. Sementara bangunan besar The Dubai Mall tampak perkasa terlihat ke kiri depan, sedangkan Burj Khalifa setinggi 828 meter sungguh menjulang di kanan depan.

Pada satu titik jalan di atas sebuah underpass, aku menyeberang ke sisi lain jalanan yang padat lalu lintas demi mendekat ke arah bangunan 160 lantai tersebut. Tajamnya siraman sinar surya hampir saja menjadikanku seorang pengecut siang itu.

Begitu gembiranya hati, ketika penampakan utuh gedung yang dikembangkan oleh Emaar Properties itu berada dalam pandangan. Ujung runcingnya memantulkan sinar surya dalam silau yang mencuri perhatian dari kejauhan, sementara dinding bangunan itu mencerminkan warna langit ke segenap arah.

Sementara beberapa gedung pencakar langit lain tampak mendampingi Burj Khalifa di sekelilingnya. Aku telah tiba di Downtown Dubai, pusat pariwisata termasyhur milik Uni Emirat Arab.

Aku yang tak sabaran, mempercepat langkah kaki. Kini aku tiba di jalanan utama beralaskan batuan andesit yang halus nan mengkilap….Sheikh Mohammed Bin Rashid Boulevard namanya. Nama jalan ini diambil dari nama Perdana Menteri Uni Emirat Arab.

Kendaraan-kendaraan mewah berlalu-lalang di sepanjang jalan tersebut, meninggalkan nada decit roda yang bergesekan dengan alas jalanan, memekakkan telinga dan membuat ngilu. Kemewahan kendaraan yang tertampil di sepanjang jalan tersebut dan tepat di hadapan bangunan mewah Burj Khalifa telah mengintimidasi tingkat kemakmuranku. Aku sontak menjadi bukan siapa-siapa di area prestisius itu….Damn, “Ini kawasan orang-orang tajir”, batinku tersenyum kecut.

Dengan menyeberangi Sheikh Mohammed Bin Rashid Boulevard, tibalah aku di dasar Burj Khalifa.

Naik ke atas Burj Khalifa?

Oh….tentu tidak, itu tidak memberiku opsi. Selain membuatku kehilangan destinasi lain, tentu aktivitas itu akan menghamburkan 216 Dirham dari kantongku. Bagiku, berada di halamannya saja sudah cukup membuatku bahagia. Buatku bahagia itu sederhana….Eittttt.

Aku lama terduduk dan tertegun dengan rupa arsitektur agung tersebut, gedung yang salah satu sisinya tampak seperti tangga beserta dinding lurus di sisi lain. Beberapa hari kemudian aku akan benar-benar melihat pucuk bangunan itu menusuk awan ketika aku memandangnya dalam fragmen singkat penerbangan Swiss Air LX 242 dari Dubai menuju Muscat.

Spot foto menarik di sekitar Burj Khalifa.
Spot foto menarik di sekitar Burj Khalifa.
Gedung-gedung pencakar langit di Sheikh Mohammed Bin Rashid Boulevard.
Halaman Burj Khalifa.
Halaman Burj Khalifa.
Nah itu dia Burj Khalifa.

Duduk di dasar Burj Khalifa membuatku tak mampu merasakan waktu bergulir begitu cepat. Aku yang tadinya hanya seorang diri, kini para pengunjung mulai berdatangan, membuat suasana di sekitar halaman Burj Khalifa menjadi hidup. Keramaian itu didukung oleh spot-spot menarik nan instagramable di kaki-kaki raksasa Burj Khalifa.

Aku rasa aku menjadi salah satu manusia yang sangat beruntung hari itu karena bisa berada sangat dekat dengan Burj Khalifa.

Kisah Selanjutnya—->