Tokyo Shuttle from Narita International Airport to Tokyo

I jumped from the front door and then white and slanted eyes faces were intently watching me. It was nice to be able to mingle with the middle class citiziens on the bus. I and all passengers would move towards downtown Tokyo. Then I sat down in the third row from back, right next to window pane. I was helped by the presence of an electric socket to increase my smartphone power, but unfortunately I couldn’t use the Wi-Fi.

Bus with green and white color combination consistently emited a mixture of emissions and water vapor from its exhaust at the freezing limit of Narita’s air. The color combination of red-green name was very striking to remember that transportation mode brand which shared the same ownership with the giant private railway company in two prefectures of Chiba and Tokyo. Keisei was the name of that transportation company.

The “Tokyo Shuttle” as the bus was called, would travel for an hour to Chiyoda District where Tokyo Station was located. Down the city streets for 65 Km, bus passed Higashi Kanto Expressway.

Higashi Kanto Expressway in Chiba Prefecture.
JR Bus Kanto passed by.
Willer Express Bus which pursuit it.

The toll road were bordered by guard rails and each segment only consists of two lanes. An ordinary inter-district toll road. Some of trees which looked barren due to dormancy became a frequent sight on this trip, leaving the finger of branches pointing at the sky.

Meanwhile, giant sutets consistently straddled toll road, supplying electricity between cities with valor. Going further, my journey began to show wide and clean canals maintained with several low, medium and high apartments at a distance which couln’t be called close together.

When most of the passengers fell asleep and were swallowed by bus speed, my thoughts were getting worse. I couldn’t feel the smooth stamping of driver’s gas pedal which managed to hypnotize all passengers to sleeping.

“Will it be as easy as turning my palms when looking for a train to Nakano?”

“How to find a button to buy a one day pass at the station later?”.

“Can I endure stifling cold out there?”

I was drowning in my own anxiety in whole way. Unabled to fully enjoy beautiful scenery out there. In fact that all time I had miss Japan. Hmmh….

The shorter of distance from downton, the scenery changed. The canals which were still clean were crammed with apartment and office buildings which closely lined up along the canals. But still, everything looked neat, clean and orderly. That nation was really civilized.

Entering Koto District, Tokyo Prefecture.
Ariake-nishi canal.
Heikyu River.

I arrived at Tokyo Station and was dropped off at bus stop in the shape of a rectangle with 5 feet which placed on its two sides, on the edge of Sotobori-dori Avenue right in front of Tekko Building. I had never found any definitive directions to station gate.

Not even looking for clues, I had been struggling against Japan’s winter air. It became even more surprising why local residents just walk around in a layer of office clothes, without gloves, without covering their heads and ears. Unliked me, who had a second layer of jacket with an additional t-shirt in first layer of my clothes, winter gloves and earmuffs. Still I trembled against the freezing temperature.

I continued down the street without Latin clue. Until I found the first Latin writing since I got off the Tokyo Shuttle bus. “Tokyo Station”, I slowly read a large signboard above station building. “TOKYO STATION Yaesu North Entrance”.

Let’s heading for Nakano.

I thought I’d better get into the station and got some warmth than freeze out there.

It was time to think about heading to Nakano.

Video link of this trip: https://youtu.be/pwb_kv0CaeY

Transportation from Narita International Airport to Tokyo city can also be found on 12Go or the following link: https://12go.asia/?z=3283832

Stasiun Tokyo: Mencari Jejak Menuju JR Expressway Bus Stop

<—-Kisah Sebelumnya

Bersiap meninggalkan Stasiun Harajuku.

Lewat sedikit dari jam dua siang. Mulai kutinggalkan Meiji Jingū melalui Stasiun Harajuku. Aku kembali menelusuri Yamanote Line, memutar ke selatan melewati Distrik Shinagawa, lalu kembali ke utara. Menempuh jarak sejauh lima belas kilometer dan berbiaya 200 Yen (Rp. 27.000).

Aku tiba di Stasiun Tokyo lewat sedikit dari jam setengah tiga sore dan diturunkan di platform bernomor empat di dekat Marunouchi North Exit. Maranuochi sendiri adalah kawasan bisnis yang berlokasi di sebelah barat Stasiun Tokyo.

Aku terus menelusuri lorong bawah tanah dan terus mencari petunjuk untuk mengeluarkan diri di exit gate yang berlokasi paling dekat dengan JR Expressway Bus Stop. Aku memang sedari pagi telah memutuskan akan menggunakan operator bus tersebut untuk berpindah dari tengah kota ke Narita International Airport.

Begitu menuruni tangga maka aku dihadapkan pada sebuah koridor panjang. Tepat pada dinding di depan anak tangga terakhir tersebut terdapat papan petunjuk lebar berwana kuning. Papan itu mengarahkanku untuk keluar di Yaesu South Exit. Itulah gerbang keluar terdekat dari JR Expressway Bus Stop. Apakah kamu tahu tentang Yaesu?….Berlawanan arah dengan Maranuochi maka Yaeshu adalah kawasan yang terletak di sebelah timur Stasiun Tokyo.

Petunjuk lokasi di koridor Stasiun Tokyo.
Yang tak mau bawa backpack, silahkan sewa loker.
Ini dia loker sewa di Stasiun Tokyo.
Dimana posisimu saat ini?
Automatic ticketing vending machine.

Sisi komersil stasiun ini begitu dominan. Sepanjang lorong bawah tanah, dimanfaatkan pengelola stasiun untuk menjual fasilitas loker kepada para penumpang. Fasilitas penyimpanan ini terkenal dengan nama Coin Lockers. Loker jenis ini mempunyai harga sewa yang bervariasi, dari 600 Yen hingga 1.000 Yen (Rp. 80.000 – Rp. 135.000) per hari.

Sepanjang koridor Stasiun Tokyo itu begitu ramai. Aku terus merangsek dan mulai mengalami disorientasi arah. Secara tak sadar, aku telah tiba di gerbang Shinkansen Transfer North Gate. Hingga akhirnya seorang petugas stasiun membantu mengarahkanku untuk menuju gerbang keluar terdekat. Atas jasanya itu akhirnya aku berhasil keluar di Yaesu Central Exit.

Yups….Tiba di Yaesu Central Exit.

Jeda waktu menuju jadwal penerbangan masih lama. Aku juga tak mau terlalu lama berada di bandara. Maka kuputuskan untuk mengambil tempat duduk di halaman Stasiun Tokyo. Aku terus mengamati aktivitas warga Tokyo yang tampak sangat sibuk. Sembari menikmati kesibukan itu, aku secara konsisten membuka kulit kuaci dan mengunyahnya biji demi biji. Dan karena tak bisa kutemukan tempat sampah, maka kubuanglah kulit kuaci itu di atas akar tanaman hias. Tak kusangka seorang petugas memperhatikan kelakuan burukku itu. Aku berespon cepat, sebelum dia mendatangiku, aku menunjukkan kemasan kuaci yang masih berisi separuh itu kepadanya. Ajaibnya, dia hanya tersenyum dan mengangguk. Padahal jika dia menegurku, maka aku sudah bersiap diri mengambil lagi sampah kuaci itu.

Masalah kulit kuaci sudah usai….

Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju JR Expressway Bus Stop. Sesampai di lokasi, aku langsung masuk ke antrian panjang di platform bus nomor tujuh. Tepat pukul empat sore, aku menaiki JR Bus Kanto yang khas berwarna putih dengan kelir biru itu.

Aku menyerahkan 1.000 Yen (Rp. 135.000) kepada pak sopir yang bepenampilan sangat rapi dan berdasi. Setelah dia memberikan selembar tanda bayar maka aku mengambil tempat duduk paling belakang.

Berada di JR Expressway Bus Stop.
Ayo naik!

Aku bersiap menuju Narita International Airport Terminal 1.   

Kisah Selanjutnya—->

Menulis Do’a dan Harapan di Meiji Jingū

<—-Kisah Sebelumnya

Besiap untuk petualangan hari kedua di Tokyo. @ platform Stasiun Nakano.

Tragedi kehilangan dompet di Stasiun Nakano membuatku menelan ludah ketakutan, ternyata masih tersisa sisi penakut dibalik keberanianku menjelajah dunia.  Aku sejenak menenangkan diri dengan menyeruput air minum dari free water station di salah satu platform Stasiun Nakano.

Komuter silver berkelir kuning penguasa Chūō Line itupun tiba, kuayunkan langkah memasuki gerbong tengah dan duduk di bangku panjang sisi kiri. Aku sengaja memilih duduk tepat di atas console grill pemanas. Itulah kebiasaanku selama menaiki kereta Negeri Matahari Terbit yang sedang tergelincir ke dalam musim dingin.

Aku terus mengikuti arus Chūō Line menuju timur lalu menukik ke selatan setelah berganti dengan kereta Yamanote Line di Stasiun Shinjuku. Dalam waktu dua puluh menit, aku tiba di Stasiun Harajuku setelah menempuh jarak sejauh tujuh kilometer. Untuk tarif sepanjang itu, aku hanya perlu membayar 170 Yen (Rp. 23.000).

Melintasi koridor panjang Stasiun Harajuku, aku keluar dari West Exit yang langsung berhadapan dengan Meiji Jingū First Torii Gate di sisi kanannya. Tetapi astaga……

Kini aku kehilangan gloves sebelah kanan, bagaimana aku mampu menahan beku jika perlengkapan itu raib?. Dengan terpaksa, aku kembali menelusuri jalurku ketika keluar dari platform stasiun dan akhirnya aku menemukan sebelah gloves itu di tengah koridor setelah automatic fare collection gates. Entah kenapa?, sedari pagi, aku terundung kehilangan barang walaupun kembali tertemukan. Mungkinkah ini permulaan dari segala hal mengejutkan di depan petualanganku?.

Baiklah…Fokus kembali ke langkahku…..

Kini aku sudah berpose di depan gerbang Kuil Meiji. Torii itu begitu khas, pengilham sebuah logo perusahaan otomotif kenamaan Negeri Para Samurai. Kutapaki gravel mulus sebagai jalur masuk menuju kuil. Jalur itu memiliki lebar sedasa meter di sisi kiri, dipadu jalur paving block selebar satu meter berpembatas tambang untuk jalur keluar di sebelah kanan. Sementara di beberapa bagian, jalur itu di batasi oleh pagar-pagar bambu yang tersusun rapi setinggi pinggang orang dewasa.

Di depan gerbang Stasiun Meiji-jingumae “Harajuku” (Chiyoda Line) sebagai bagian dari Tokyo Metro Subway Network. Tetapi aku tak menaiki Tokyo Metro itu….Alias nampang doang….Hohoho.
Di depan Meiji Jingū Torii.
Drum-drum Sake (kazaridaru).
Drum-drum anggur berbahan kayu.

Sementara seorang petugas tua, menyingkirkan dedauanan dari gravel menggunakan backpack leaf blower. Dedauan itu hanya perlu dipinggirkan ke sisi jalan dan dibiarkan menjadi kompos alami, begitu ramah lingkungan.

Dalam empat ratus meter, di sisi kanan, aku terpesona dengan susunan rapi kazaridaru yang didedikasikan untuk Meiji-tennō dan Shōken-kōgō. Sedangkan tepat di sisi kiri adalah susunan drum anggur terbuat dari kayu.

Sampai pada Torii utama kuil, setiap pengunjung wajib membersihkan tangan di Temizuya dengan air menggunakan gayung-gayung bertangkai panjang. Ritual membasuh diri atau misogi ini bertujuan untuk memurnikan tubuh dan pikiran sebelum berdiri di depan dewa untuk berdoa.

Temizuya (paviliun bersuci shinto untuk pemurnian) di Meiji Jingū.
Di tengah kuil.

Sejenak aku terhenti setelah melewati gerbang utama, aku terkagum-kagum karena luas dan besarnya Meiji Jingū . Inilah kuil yang dipersembahkan untuk menghormati roh Meiji-tennō , penguasa Jepang masa lalu.

Sementara itu di beberapa bagian kuil sedang dilakukan renovasi. Para pekerja berseragam carpenter warna putih, lengkap dengan berbagai peralatan pertukangan di pinggang serta mengenakan safety helmet tampak berdiri diatas step ladder, sibuk melakukan perbaikan.

Sementara di ujung kuil, tampak para turis mengantri pada sebuah toko yang menjual papan ema dan omamori. Toko itu tampak dijaga oleh wanita-wanita cantik berbaju kimono putih berpadu merah, mereka tampak sopan dan anggun melayani para pengunjung.

Sementara aku meyibukkan diri untuk menuliskan sebuah do’a pada selembar kertas, lalu kumasukkan ke dalam sebuah kotak. Sedangkan beberapa wisatawan menulis do’a dan harapan pada papan ema yang dibelinya, kemudian menggantungkannya pada spot yang telah disediakan.

Para carpenter sedang bertugas.
Toko penjual omamori yaitu jimat yang diyakini masyarakat Jepang dapat membawa keberuntungan dan keselamatan.
Aku berdo’a apa ya kira-kira?
Papan ema, plakat kayu kecil yang dihiasi dengan seni tulisan tangan yang mengungkapkan harapan

Tak terasa satu setengah jam berjalan hingga akhirnya aku selesai menelusuri seluruh bagian kuil. Inilah destinasi terakhirku di Tokyo, karena aku akan segera menuju Narita International Airport untuk mengejar penerbangan Peach Aviation bernomor MM6320 yang akan berangkat pada pukul 21:35.

Akhirnya kuputuskan untuk segera menuju ke Stasiun Harajuku dan bergegas menuju Stasiun Tokyo, karena aku berencana menggunakan JR Bus Kanto menuju bandara.

Mari……..

Bersiap diri di Stasiun Harajuku….Menuju Stasiun Tokyo.

Kisah Berikutnya—->

Kehilangan Dompet di Stasiun Nakano

<—-Kisah Sebelumnya

Beberapa Meshiya di sekitaran Yadoya Guesthouse….Sisa berburu dinner semalam.

Kasur di bunk bed milik Yadoya Guesthouse pun serasa balok es, bahkan ketika dini hari sudah undur diri. Pagi itu aku sengaja melambatkan bangun, aku mirip seorang pengecut yang bersembunyi di balik tebalnya selimut dormitory. Aku membalaskan dendam mata, setelah hampir empat puluh jam tak begitu sempurna terpejam. Terakhir terlelap adalah malam kemarin lusa, di Taiwan tepatnya.

Pukul sepuluh pagi aku baru benar-benar bangun, akibat suara bisik-bisik dua sejoli di balik selimut pada sebuah bunk bed yang berhasil membuatku risih.  Begitu mesranya mereka tidur berpelukan tak mempedulikan sekitar. Untung aku punya guling dari semalam….Wadidaw. Kuputuskan menyiram tubuh di bawah shower. Kali ini aku berhasil menemukan tombol pemanasnya sehingga tak perlu mandi air es lagi seperti semalam.

Setelahnya, kukemas dengan rapi semua barang ke dalam backpack 45L dan aku bersiap check-out. Sore nanti aku akan terbang ke Osaka bersama Peach Aviation. Sementara sisa waktu, akan kuhabiskan mengunjungi sebuah kuil di tengah kota.

Aku turun di lobby dan menuang air putih hangat dari dispenser. Rupanya Janessa sudah bersiap dari tadi pagi.

Good morning, Donny. How were  your days in Tokyo?

I’m frozen in this town, Janessa. But all are well”.

Are you going to Osaka tonight?. You visited Tokyo very quickly

My holidays aren’t much, Janessa

I hope you will enjoy Osaka, Donny

Thanks Janessa. Nice to meet you”.

Aku berpamitan pada Janessa dan balik badan meninggalkan Yadoya Guesthouse. Langkahku otomatis tertuju ke sebuah FamilyMart di utara dormitory. Aku harus sarapan dahulu sebelum menuju kuil.

Sampai jumpa lagi Yadoya Guesthouse.
Masih saja mampu menelan onigiri. Sarapan seharga 298 Yen (Rp. 40.000).
Pelataran utara Stasiun Nakano.

Kubawa onigiri itu disebuah bangku melingkar di dekat gerbang utara Stasiun Nakano. Tak sendiri, banyak warga lokal yang sarapan bersamaku di bangku itu. Beberapa pemuda berdiri di pelataran menikmati kopi panas. Aku terduduk di bawah hangatnya siraman matahari pagi dan ditemani sekumpulan merpati yang sibuk bersarapan juga.

Sarapan usai, saatnya berangkat…..

Hari ini aku tak akan membeli Tokunai Pass lagi karena aku hanya akan menghabiskan waktu di Meiji Jingū saja. Setelahnya, aku akan menuju ke Narita International Airport.

Aku sedikit kerepotan mengantri di Ticketing Vending Machine, dengan backpack di punggung, selembar peta dan sebuah kompas di tangan kiri, gloves kuapit di ketiak, lalu kukeluarkan dompet dengan tangan kanan. Sambil terus merangsek maju ke antrian depan.

Hingga giliranku memencet berbagai tombol di Ticketing Vending Machine. Tak begitu sulit, karena aku telah menaklukkan kerumitan mesin itu kemarin siang di Stasiun Tokyo. Aku menukar 170 Yen (Rp. 23.000) untuk sekali jalan menuju Stasiun Harajuku yang terletak di Distrik Shibuya.

Begitu mendapatkan tiket, aku mundur dari antrian dan berbenah, memasukkan peta dan kompas pada tempatnya, memakai kembali gloves lalu pergi menuju platform. Aku terus merangsek memasuki automatic fare collection gates dan mengikuti petunjuk menuju kereta Chūō Line menuju Stasiun Harajuku.

Begitu selesai menaiki anak tangga teratas….

Helloooo….Hellooooo”….

Aku menoleh ke belakang. Seorang lelaki paruh baya berumur 50-an melambaikan tangan dan memintaku menunggunya. Begitu sampai diatas….

This…..”, beliau tersenyum menyerahkan sebuah dompet kepadaku.

Astaga, kenapa dompet itu bisa jatuh.

Arigatou Gozaimasu….”, kuucapkan berkali kali sambil membungkukkan separuh badan kepadanya. Dan lelaki baik itu tersenyum.

Ohayōgozaimasu….Itterasshai“, beliau membungkuk lalu beranjak pergi kembali menuruni anak tangga.

Kulihat isi dompet sejenak setelah beliau pergi, tak ada satupun yang berkurang. Oh, Tuhan….Engkau terus saja mengirimkan orang baik kepadaku.

Tak bisa kubayangkan jika dompet itu benar-benar raib. Aku pasti akan berjalan kaki menuju Kedutaan dan meminta dipulangkan ke tanah air.

Terimakasih untuk Bapak paruh baya yang baik hati dan Terimakasih Tuhan, petualanganku masih terus berlanjut.

Kisah Selanjutnya—->

Berburu Tokunai Pass: Chou Line dari Tokyo ke Nakano

<—-Kisah Sebelumnya

Tiba di Stasiun Tokyo.

Seperti biasa, mengabadikan diri di depan spot-spot penting di negara orang adalah kebiasaan wajar. Maka sebelum memasuki Stasiun Tokyo, aku menyempatkan diri berpose di depan gerbangnya. Tepatnya di depan “Yaeshu North Entrance”.

Jika kamu ke Tokyo. Kamu akan jarang bertemu orang diatas permukaan, Donny. Tapi begitu masuk ke stasiun bawah tanah maka penduduk Tokyo bak lebah didalamnya. Coba deh buktikan Donny kalau kamu ga percya!”, itulah perkataan teman sekantor yang pernah berangkat ke Tokyo. Tercengang aku waktu itu.

Kini aku sudah di Tokyo dan berharap bisa membuktikannya. Ternyata, perihal di permukaan yang akan jarang bertemu orang….Itu jelas salah. Tokyo tetap saja kota sibuk di dunia dengan tingginya mobilitas penduduk di atasnya. Lalu, “sarang lebah bawah tanah”….Ya, itu benar. Bahkan sebelum aku tiba di ruangan paling bawah pun, stasiun Tokyo sudah penuh manusia. Luar biasa.

Ketika memasuki bangunan stasiun, aku lebih memilih berdiri menempel di sebuah tiang besar dan merekam hilir mudik penumpang kereta yang sangat rapat sekali…..Super sibuk. Mungkin aku menjadi manusia tersantai pagi itu di seantero stasiun Tokyo karena masih saja sempat berdiri berlama-lama merekam aktivitas di dalamnya.

Kini saatnya berburu tiket kereta. Aku sudah meniatkan diri untuk mendapatkan one day pass supaya bisa berkeliling Tokyo sepuasnya hingga tengah malam. Mengantrilah diriku di sebuah ticketing vending machine. Dalam antrian, aku terus memperhatikan lekat bagaimana setiap orang megoperasikan mesin itu. Akan tetapi, ketika giliranku tiba pun, aku tetap tak paham. Semua layar penuh dengan tombol dan angka yang merepresentasikan harga tiket. Entahlah itu tujuan kemana. Kutengok ke belakang, para pengantri semakin sebal karena aku terlalu lama mencari tiket. Aku menyerah, aku mudur dan mempersilahkan penumpang lainnya yang terlihat sangat terburu waktu. Aku terus berdiri agak jauh dari ticketing vending machine dan memperhatikan mereka menggunakannya. Tetap saja bingung…. karena mereka memilih menggunakan aksara kanji.

Akihirnya kuputuskan mencari sisi lain stasiun yang lebih sepi. Aku menemukanya di selasar kiri. Ticketing vending machine itu kosong melompong. Kudekati pelan, tenang dan kuperhatikan dengan seksama setiap tombolnya. Akhirnya kutemukan tombol “ENG” yang akan menuntunku menggunakan bahasa internasional. Tapi tak langsung kutemukan kata “One Day Pass”.

Aku terus mencari di direktori “Discount Card” lalu muncullah kata “Tokunai Pass”. Beruntung, aku pernah membaca sebuah artikel tentang perkeretaapian Jepang sebelum berangkat berpetualang. Dalam artikel itu disebutkan bahawa One Day Passnya Jepang bernama Tokunai Pass. Begitu girangnya aku memecahkan permasalahan itu. Oh, ternyata gampang minta ampun, aku saja yang ndeso. Aku menekannya dan setelah membayar senilai 750 Yen (Rp. 97.500).

Wujud Tokunai Pass.
Ini mungkin receiptnya.

Yang kutahu, Tokunai Pass bisa  didapatkan di seluruh stasiun JR Line. Dan bisa digunakan untuk menaiki seluruh kereta JR Line lokal (dalam kota Tokyo) yang relnya terletak di atas permukaan tanah. Jadi tidak bisa digunakan untuk Tokyo Subway bawah tanah.

Begitu mendapatkan tiket, aku langsung menuju platform ke arah Nakano.

Nakano berada di timur Tokyo dengan jarak 15 Km dan waktu tempuh menggunakan kereta berkisar 20 menit. Aku sengaja mencari tempat menginap yang sedikit jauh dari pusat kota karena harganya yang murah.

Platform menuju Nakano.
Tiba di Stasiun Nakano.

Aku menaiku Chuo Line menuju Nakano. Pukul 13:30, aku tiba di Stasiun Nakano. Dan bersiap berjalan kaki menuju Yadoya Guesthouse.

Kisah Selanjutnya—->

Tokyo Shuttle dari Narita International Airport ke Tokyo

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melompat dari pintu depan dan tak lama kemudian wajah-wajah putih bermata sipit  memperhatikan dengan seksama kehadiranku. Senang rasanya aku bisa berbaur dengan kaum menengah di dalam bus itu. Aku bersama seluruh penumpang akan bergerak menuju pusat kota Tokyo. Lalu aku sudah saja mendudukkan diri di baris ketiga dari belakang, sebelah kanan dekat dengan kaca jendela. Aku terbantu dengan keberadaan soket elektrik untuk menambah daya gawai pintarku, tetapi sayang Wi-Fi itu tak bisa kumanfaatkan.

Kotak transportasi dengan warna kombinasi sepadan hijau putih itu konsisten menyemburkan campuran emisi dan uap air dari knalpotnya di limit beku udara Narita. Warna nama kombinasi merah-hijau sangat mencolok untuk mengingat brand moda transportasi yang satu kepemilikan dengan perusahaan kereta api swasta raksasa di dua prefektur yaitu Chiba dan Tokyo. Keisei nama perusahaan transportasi itu.

Tokyo Shuttle” begitu nama bus itu, akan merayap selama satu jam menuju Distrik Chiyoda dimana Stasiun Tokyo berada. Menyusuri jalanan kota sejauh 65 Km, bus melewati  jalan tol Higashi Kanto Expressway.

Higashi Kanto Expressway di Prefektur Chiba.
JR Bus Kanto melintas.
Willer Express Bus mengejar.

Antar ruas jalan tol itu berbataskan guard rail dan setiap ruasnya hanya bersusun dua jalur. Jalan tol antar distrik yang biasa saja. Sebagian pepohonan yang tampak gersang akibat dormancy  menjadi pemandangan yang sering dalam perjalanan ini, menyisakah jari jemari dahan yang menunjuki langit.

Sementara sutet-sutet raksasa berjarak konsisten mengangkangi tol, mengalirkan listrik antar kota dengan gagahnya. Masuk lebih jauh, perjalanan mulai mempertontonkan kanal-kanal lebar dan bersih terawat dengan beberapa apartemen rendah, sedang dan tinggi pada jarak yang tak bisa dibilang rapat.

Ketika sebagian besar penumpang terlelap dan tertelan laju bus itu, fikiranku semakin runyam. Aku tak bisa menikmati injakan halus pedal gas sang sopir yang berhasil menyirap semua penumpangnya itu.

Apakah nanti akan semudah membalikkan telapak tangan saat mencari kereta ke Nakano?”.

“Bagaimana mencari tombol untuk membeli one day pass di stasiun nanti?”.

Bisakah aku menahan hawa dingin mencekat ini di luar sana?”

Aku tenggelam dalam kegelisahanku sendiri sepanjang perjalanan. Tak mampu menikmati dengan sepenuh hati pemandangan indah di luar sana. Padahal, bukannya selama ini aku merindukan Jepang. Duh….

Semakin pendek jarak dengan pusat kota, pemandangan berganti. Kanal-kanal yang masih saja bersih di jejali dengan bangunan-bangunan apartemen dan perkantoran yang berbaris rapat menongkrongi sepanjang kanal. Tapi tetap saja, semua tampak rapi, bersih dan teratur. Sungguh beradab bangsa itu.

Memasuki Distrik Koto, Prefektur Tokyo.
Ariake-nishi canal.
Heikyu River.

Aku tiba di Stasiun Tokyo dan diturunkan di halte bus berbentuk persegi panjang dengan 5 kaki yang diletakkan pada dua sisinya saja, di pinggir Sotobori-dori Avenue tepat di depan Tekko Building. Aku tak pernah menemukan petunjuk pasti menuju gerbang stasiun itu.

Bahkan belum juga mencari petunjuk pun, aku sudah bersusah payah melawan udara musim dingin Jepang. Menjadi semakin heran kenapa penduduk setempat berlalu lalang begitu saja dengan selapis baju kantoran, tanpa sarung tangan, tanpa penutu kepala dan telinga. Berbeda denganku yang sudah berjaket lapis dua dengan tambahan t-shirt di lapisan pertama bajuku, winter gloves dan earmuffs. Masih saja aku bergetar melawan suhu beku itu.

Aku terus menyusuri jalan tanpa petunjuk latin itu. Hingga kutemukan tulisan latin pertama semenjak aku turun dari bus Tokyo Shuttle. “Tokyo Station”, pelan kubaca signboard besar di atas bangunan stasiun. “TOKYO STATION Yaesu North Entrance”.

Mari menuju Nakano.

Kufikir lebih baik aku segera memasuki stasiun dan mencari kehangatan daripada  membeku di luaran sana.

Saatnya berfikir untuk menuju Nakano.

Link video perjalanan ini: https://youtu.be/pwb_kv0CaeY

Transportasi dari Narita International Airport menuju ke kota Tokyo juga bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Stasiun-Stasiun Utama Tokyo….Sendi Pariwisata Nijūsanku

Dua hari berada di Tokyo membawaku mengalami sendiri hiruk pikuk kota itu. Sedikit moral yang Saya dapatkan sebagai hasil interaksi dengan beberapa warga kota. Seakan Saya telah membuktikan cerita-cerita baik tentang sifat orang Jepang yang selama ini hanya Saya dengar dan baca dari media.

Bagaimana Saya tidak mengamini sifat baik mereka ketika tiba-tiba Bapak setengah baya berlari menghampiriku di sekitaran stasiun Nakano hanya untuk menyerahkan dompetku yang tak terasa jatuh. Juga sifat mereka dalam menghargai setiap detik waktu seolah menjadi jiwa dalam keteraturan sistem jaringan kereta mereka yang sesungguhnya sangat masif dan rumit tapi terlihat mudah seolah tinggal menjetikkan dua jari tangan.

Langkahku mengunjungi beberapa obyek pariwisata Nijusanku (sebutan lain Tokyo) lantas mengantarkanku memasuki beberapa stasiun-stasiun utama di Tokyo yang menjadi akses pariwisata mereka.

Saya pun ingin menghadirkannya sekilas kepada Kalian yang belum sempat kesana untuk menjadi gambaran pertama sebelum Kalian melihatnya sendiri suatu saat.

1. Stasiun Tokyo

IMG_20161229_125316

Momen ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tokyo

Stasiun termegah di saentaro Tokyo yang pernah Saya lihat. Main Hub nya si cepat “Shinkansen”. Menjadi sangat strategis juga karena menjadi titik perlintasan Tokyo Metro (kereta regular bawah tanah) dan Local JR-East Line (kereta reguler diatas tanah).

Selain kereta, Stasiun Tokyo juga terkoneksi dengan jaringan bus dalam dan antar kota.

Konektivitas Stasiun Tokyo

Kiri : Konektivitas Shinkansen di stasiun Tokyo

Kanan Atas : Shinkansen Track Gate

Kanan Bawah : Kantor JR Expressway Bus

2. Stasiun Shibuya

Shibuya Station2

Kiri: Halaman depan Stasiun Shibuya

Kanan Atas : Salah satu gate di Stasiun Shibuya

Kanan Bawah: Yamanote Line track di Stasiun Shibuya

Terletak 9 km di barat daya Stasiun Tokyo. Adalah salah satu stasiun komuter tersibuk di Tokyo. Menjadi sangat vital karena mobilisasi ke dan dari kota-kota di sekitar Tokyo sangat tergantung dari keberadaan stasiun ini.

Shibuya Tourism

Kiri : Patung Hachiko

Kanan: Salah satu sisi Shibuya Crossing

Shibuya sendiri menghadirkan beberapa spot wisata gratis diantaranya Patung Hachiko -anjing yang setia menunggu tuannya hingga mati didepan stasiun- dan tentu Shibuya Crossing yang menjadi penyeberangan tersibuk di dunia yang konon mampu menyeberangkan 50.000 pejalan kaki selama 30 menit.

3. Stasiun Ueno

Ueno Station2

Kiri : Halaman depan stasiun Ueno

Kanan Atas : Salah satu gate di Stasiun Ueno

Kanan Bawah : Yamanote Line Track di Stasiun Ueno

Terletak 6 Km di Utara Stasiun Tokyo, stasiun ini pada masa keemasannya adalah stasiun utama untuk kereta jarak jauh Jepang.

Ueno Tourism

Kalian harus mendatangi Ameyoko Market jika singgah di Stasiun Ueno. Pasar serba ada dengan harga murah dan serba discount. Buat kaum traveler, kalau makan murah datanglah ke tempat ini. Bahkan para traveler Syarí, Kalian akan menemukan makanan halal disini. Saya sendiri melihat banyak penjual kebab halal. Kesan pertama memasuki pasar ini adalah bau ikan…..ya memang ada yang jualan seafood segar beserta bumbu untuk memasaknya di pasar ini.

4. Stasiun Akihabara

IMG_20161229_175716

Foto sesaat setelah turun dari kereta

Terletak 3 Km di utara Stasiun Tokyo, Stasiun ini terletak di pusat di daerah perbelanjaan barang-barang elektronik Akihabara.

Akibahara Tourism

Suasana malam di sekitar pertokoan elektronik Akihabara

Akihabara ibarat surga bagi para penggila barang-barang elektronik. Karena di  sepanjang area ini menyediakan merek-merek terkenal dengan harga murah berikut promo dan discountnya yang fantastis.

5. Stasiun Harajuku

Harajuku Station

Suasana di depan dan di peron Stasiun Harajuku

Terletak 12 Km di sebelah barat Stasiun Tokyo. Harajuku adalah nama wilayah di timur stasiun ini. Harajuku menjadi stasiun tersibuk keenam di seluruh Tokyo.

Harajuku Station Tourism

Kiri : Takeshita Street

Kanan : Kuil Meiji-Jingu

Stasiun Harajuku adalah akses menuju spot wisata Takeshita Street yaitu jalan sepanjang 350 meter yang menjadi cermin muda-mudi Jepang dengan berbagai pakaian unik dan menarik. Sepanjang jalanan ini juga memanjakan wisatawan dengan toko-toko kuliner dan fashion.

Sementara itu 700 m di utara stasiun ini, Kalian bissa mengunjungi Kuil Meiji-Jingu. Kuil megah untuk mengabadikan Kaisar Meiji. Suasana hijau dan segar kuil ini tercermin dari lingkungan sekitar kuil yang berupa hutan yang sangat bersih dan terawat.

So.….tunggu apa lagi guys….Visit Japan.

 

Bus dari Narita International Airport ke Pusat KotaTokyo – Jepang

29 Desember 2016 pukul 11:15, Vanilla Air mendarat mulus di Narita International Airport terminal 3.

Pertama kali mengunjungi Jepang membuat petugas imigrasi meluangkan banyak waktu untuk menanyakan itinerary selama berada di Tokyo dan Osaka. Kelengkapan itinerary memudahkanku melewati konter imigrasi.

Petugas di bandara Narita memang sangat santun memeriksa tamu untuk negerinya. Untuk melakukan pemeriksaan fisik saja mereka meminta izin dengan menjelaskan sesuai prosedur yang terpampang dengan rapi pada file yang dia tunjukkan ke saya.

Satu yang saya ingat setelah pemeriksaan fisik itu ada senyuman hangat petugas sambil berujar : “Are you sure Sir? entering Tokyo just use t-shirt like it?“….Saya berusaha ramah membalas: “No Sir, I will use my jacket after get out from airport“.

Setelah menyantap onigiri sebagai menu lunch siang itu, saya segera beranjak untuk menuju area konter transportasi. Berusaha memahami dengan cepat segala informasi yang ada di area tersebut.

Yang jelas, saya tentu tidak akan menggunakan Narita Sky Access untuk menuju pusat kota Tokyo. Konon hanya butuh 36 menit menuju pusat kota yang berjarak 75km menggunakan kereta ini tetapi tentu butuh kocek lebih….sekitar 1.400 yen untuk dewasa dan 700 yen untuk anak-anak….bye bye Narita Sky Access.

Berfikir dua kali juga jika akan menggunakan Narita Express. Butuh 3.020 yen menggunakan kereta jenis ini menuju Tokyo dalam 1 jam durasi.

Dan walaupun Keisei Main Line, lebih murah dari 2 kereta jenis lain. Sebetulnya hanya perlu merogoh kocek 1.190 yen menuju Tokyo. Kereta ini mirip dengan kereta komuter Jabodetabek. Tetap saja saya memilih moda transportasi terhemat yaitu bus.

perbandingan harga

Harga Narita Sky Access Line Vs Keisei Main Line

A. Bus dari Bandara Narita menuju Pusat Kota Tokyo.

Pilihan terhemat tentu menggunakan bus. Tiketnya berharga 1.000 yen. Hanya perlu menuju konter penjualan tiket bus di bandara Narita kemudian petugas akan memberikan tiket ini:

Tiket

Setelah mendapatkan tiket, Saya segera menuju ke titik pengambilan penumpang. Cukup mudah untuk menemukannya karena petunjuk di bandara Narita sangat informatif.

Bus akan sampai ke pusat kota Tokyo dalam waktu 1 jam dan sebagian besar melewati ruas jalan tol.

Berikut beberapa view selama perjalanan menuju pusat kota Tokyo:

View at expressway

Penumpang akan di turunkan di pemberhentian bus dekat dengan stasiun Tokyo:

Stasiun Tokyo Dropping Point

Kiri: Dropping point

Kanan: Halaman depan stasiun Tokyo

Untuk melanjutkan tujuan menuju ke hostel atau tempat wisata lainnya dari Stasiun Tokyo, saya menggunakan Tokunai Pass yang sebagian besar menggunakan jaringan kereta yang berjalan diatas tanah. Jadi saya tidak pernah menggunakan jaringan kereta bawah tanah selama di Tokyo.

B. Bus dari Pusat Kota Tokyo menuju Bandara Narita.

Nah ketika akan melakukan perjalanan sebaliknya dari pusat kota Tokyo menuju Bandara Narita, bus juga akan berangkat dari Stasiun Tokyo tetapi berbeda dengan tempat dropping ketika saya memasuki kota Tokyo dari Bandara Narita.

Lokasi pengambilan penumpang expressway bus ini bisa ditemukan dari petunjuk yang terpampang jelas di dalam stasiun Tokyo

Bus Gate Stasiun Tokyo

Yaesu Central Side Gate di Stasiun Tokyo

Keluar dari Stasiun Tokyo di Yaesu Central Side Gate lalu berbelok ke kanan maka saya menemukan kantor beserta shelter Expressway Bus:

JR Expressway

Kiri: Kantor expressway bus 

Kanan: Expressway Bus tujuan bandara Narita

dari sinilah bus akan bertolak menuju Bandara Narita.

Okay guys…selamat mencoba.