Salah Tiket Menuju Jakabaring Sport City

<—-Kisah Sebelumnya

Suasana di Stasiun Demang.

Aku bergegas melompat ke salah satu gerbong LRT Sumatera Selatan. Di gerbong tengah tepatnya. Suasana di dalam gerbong tentu tak akan pernah penuh karena aturan PPKM Level 3 yang masih diterapkan pemerintah provinsi. Bangku LRT itu berselang-seling diduduki penumpang.

Aku?….Ya, aku lebih memilih berdiri saja di dekat pintu gerbong.

Sesaat kemudian, LRT berjalan lagi menyusuri jalur layangnya.

Di satu sisi, suara gesekan roda dan rel yang khas Ketika LRT berjalan membuatku rindu akan suasana serupa yang sering kutemukan di luar negeri. Maklum hamper dua tahun lamanya aku absen bepergian ke luar negeri.

Di sisi lain, aku sangat bangga karena salah satu provinsi di Indonesia telah berhasil membangun dan mengoperasikan LRT. MRT dan LRT selalu saja menjadi transportasi elit dalam pola pikirku.

Aku sungguh beruntung, dengan berdiri di dalam gerbong, aku bisa dengan leluasa mengamati pemandangan kota di bawah jalur layang LRT. Pemandangan terindahnya tentu ketika rangkaian gerbong LRT melintasi lebarnya sungai Musi.

Heiiii…..Aku tak berhenti di Stasiun Ampera walaupun tiket yang kubeli seharusnya hanya bisa mengantarkanku hingga stasiun itu. Aku memang salah memilih tujuan ketika membeli tiket di Stasiun Demang.

Aku cuek saja mengikuti arus LRT demi menuju Stasiun Jakabaring. Aku sudah bersiap diri apabila harus membayar denda ketika turun beberapa menit ke depan.

Dalam 25 menit akhirnya aku benar-benar tiba….

Melompat dari gerbong, aku langsung menuju ticket collection gate. Memindai tiket yang kumiliki dan ternyata gerbang keluar itu terbuka. Itu artinya aku tidak perlu membayar biaya tambahan atas kesalahanku dalam membeli tiket.

Mungkin saja rute Stasiun Demang menuju Stasiun Jakabaring dan Stasiun Demang menuju Stasiun Ampera memilki tarif yang sama. “Ah itu tak perlu dipermasalahkan….Yang terpenting aku sudah tiba di tujuan”, aku membatin.

Aku bergegas menuruni stasiun melalui sebuah escalator dan akhirnya berdiri tepat di sisi Jalan Gubernur H. Bastari. Sudah menjadi kebiasaan, aku mulai mengabadikan beberapa situasi di sekitar Tugu Parameswara.

Parameswara sendiri adalah nama seorang raja besar di Palembang. Dipercaya dalam berbagai jejak sejarah bahwa seluruh keturunan etnis Melayu berasal dari Kota Palembang. Hal ini tentu tak bisa dipisahkan dari perpindahan Raja Parameswara dari Kota Palembang menuju ke Temasek (sekarang Singapura). Di masa keemasannya, beliau terkenal dengan julukan Iskandar Syah setelah menjadi penguasa di Kesultanan Melaka di Malaysia.

Suasana Tugu Parameswara sangatlah ramai ketika aku mengambil beberapa foto ikonik. Hal ini dikarenakan letak tugu yang berada di sebuah bundaran. Selain itu, tugubtersebut juga menjadi tengara utama di pintu masuk kompleks Jakabaring Sport City.

Jakabaring?…Apa sebetulnya makna katanya?

Jakabaring adalah singkatan “Ja” yang berarti Jawa, “Ka” berarti Kaba (sebutan orang Semendo), “Ba” berarti Batak, dan “Ring” yang berarti Komering. Itulah keempat suku yang banyak meninggali Kota Palembang.

Tugu Parameswara yang menyiratkan sejarah Melayu.
Jalan Gelora Sriwijaya – Jalur masuk ke Stadion Gelora Sriwijaya.
Sungai artifisial yang dibuat mengelilingi stadion.
Tiba juga di Plaza Stadion.

Salah satu hal yang membuatku berkesan saat berada di Jakabaring Sport City adalah ketika beberapa pengemudi sepeda motor ikut berpose narsis Ketika aku mengabadikan beberapa spot di sekitar Tugu Parameswara tersebut. Keramahan warga Palembang tersebut mampu memunculkan tawa dan secara tak langsung membuatku merasa seakan sangat dekat dengan rumah.

Semakin lama berada di bawah tugu ikonik itu, membuatku kesabaranku habis…..Eits, kesabaran untuk bertemu destinasi inti di kompleks olahraga itu ya….Bukan limit kesabaran untuk baku hantam….Iissh iisshh iisshh.

Maka aku menyegerakan langkah demi menuju Kompleks Stadion Gelora Sriwijaya. Aku perlahan menelusuri jalur panjang menuju ke stadion utama, memanfaatkan trotoar sisi kiri Jalan Gelora Sriwijaya dengan terus mengikuti sekelompok warga yang sedang berjalan bersama menuju ke tempat yang sama.

Suasana dikiri kanan jalur masuk itu tampak hijau. Tak sedikit dahan pepohonan yang menjulur ke arah jalan dan menjadi atap alam trotoar.

Di spot lain, tepatnya di ujung timur jalan telah menanti sebuah plaza luas yang digunakan warga untuk sekedar duduk dan beraktivitas ringan menikmati pagi, juga menjadi tempat yang nyaman untuk anak-anak berlarian dan bermain, serta menjadi spot terbaik untuk berswa foto dengan latar belakang Stadion Gelora Sriwijaya.

Akhirnya aku mulai membaurkan diri dengan bergabung Bersama warga sekitar di plaza itu. Merasakan aura kekeluargaan di area plaza.

Sejenak aku menikmati keindahan di pagi yang cerah itu.

Semangkuk Bubur Ayam Bandung Menuju Stasiun Demang

<—-Kisah Sebelumnya

Kamar seharga Rp. 105.000/malam.

Dengan dihantarkan ojek online akhirnya aku tiba juga di RedDoorz near Griya Agung 2. Di penginapan itulah aku akan menginap selama 3 hari 2 malam selama berada di Palembang. Aku tiba menjelang kumandang adzan Maghrib.

Malam itu aku tak mencari sesuatu yang spesial, melainkan hanya menikmati seporsi Pecel Lele dari sebuah tenda makan yang berada tepat di seberang hotel tempatku menginap.

Selebihnya aku mengistirahatkan badan lebih awal demi membalas kurangnya waktu tidur di malam sehari sebelumnya.

—-****—-

Pukul setengah delapan pagi….

Aku betul-betul sudah siap melakukan eksplorasi hari keduaku di Palembang. Aku sudah berecana untuk mengunjungi markas besar Laskar Wong Kito yang pernah menjadi kampiun Liga Indonesia pada awal tahun 2000-an.

Karena lokasi Gelora Sriwijaya yang terletak berdekatan dengan Stasiun LRT Jakabaring maka aku memutuskan untuk menujunya dengan memanfaatkan jasa LRT Sumatera Selatan. Setelah kuperhatikan rutenya, stasiun LRT terdekat dari tempatku menginap adalah Stasiun Demang. Oleh karenanya aku akan memulai perjalanan pagi itu dari stasiun tersebut.

Untuk menghemat ongkos, maka aku memutuskan untuk berjalan kaki saja demi menggapai Stasiun Demang. Itu berarti aku haru menapaki jalur pejalan kaki sejauh hampir satu setengah kilometer.

Sembari mencari menu sarapan yang tepat”, aku menguatkan niat.

Perjalanan pun dimulai dari Jalan Sei Hitam.

Kamu tahu kan makna kata “Sei”?

Yups….”Sei” dalam Bahasa Melayu bermakna “Sungai”. Hal ini memberikan arti bahwa penginapan dimana aku tinggal sangat dekat dengan bantaran Sungai Hitam, walaupun aku tak pernah menjumpainya….Atau mungkin itu hanya persepsiku sendiri.

Sejauh menelusuri Jalan Sei Hitam, aku tak menemukan satupun kedai makanan yang bisa kusinggahi demi mendapatkan seporsi menu sarapan.

Maka kubuangkan langkah menuju Jalan Inspektur Marzuki. Melangkah menuju ke timur, mataku awas menyapu sekitar. Sesuai insting, aku menemukan sebauh kedai bubur ayam yang menebarkan aroma harum ke sekitar. Tanpa ragu, aku pun memasuki kedai itu.

Yuk sarapan!…..
Sumpah….Ini enak banget.
Ruas Jalan Inspektur Marzuki.

Ternyata baru ada satu pengunjung di dalamnya. Aku mengambil duduk di salah satu spot dan berlanjut dengan memesan seporsi bubur ayam kepada seorang ibu sang pemilik kedai.

Tak menunggu lama, pesananku tiba. Aku pun mulai menyendok bubur ayamku suap demi suap. Aku merasakan cita rasa yang familiar di lidah. Tentu ini tak lepas dari pemilik kedai yang berasal dari Bandung. Sesekali si ibu berbicara menggunakan Bahasa Sunda ketika bercakap dengan pria yang kuduga adalah suaminya. Juga tepampang jelas sebuah tulisan “Bubur Bandung” berukuran besar di dinding kedai.

Beberapa saat kemudian, pengunjung lain mulai berdatangan. Tampaknya “Cakwe” menjadi menu popular di kedai bubur tersebut. Banyak pengunjung yang memesannya dan membungkusnya pulang.

Usai menikmati semangkuk bubur ayam, aku pun melanjutkan perjalanan. Meneruskan langkah di Jalan Inspektur Marzuki yang berkontur menanjak dan menurun membuatku terkadang berada di ketinggian. Di titik itulah penampakan Stasiun Demang yang sedang kutuju terlihat dengan jelas.

Semakin bersemangat untuk mendekatinya, maka aku mempercepat langkah.

Aku akhirnya benar-benar tiba di salah satu stasiun di rute LRT Sumatera Selatan. Menaiki escalator dari salah satu sisi Jalan Demang Lebar Daun, mengantarkanku berada di dalam bangunan stasiun.

Rupanya nama stasiun ini sesuai dengan nama jalan raya yang berada tepat di bawahnya”, aku membatin.

Tiba di konter penjualan tiket, entah kenapa aku tetiba berucap “Stasiun Ampera, Kak”.

Jelas itu tujuan yang salah….

Tiba di Stasiun Demang.
Stasiun Demang bagian dalam.
Platfiorm Stasiun Demang.

Fine!….Aku sudah terlanjur membeli tiket yang salah dan harus segera menaiki LRT yang pintunya sudah terbuka dan menungguku untuk naik ke dalamnya…..

Kisah Selanjutnya—->