Mengunjungi Istana Gyeongbok

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Distrik Jung menggunakan Seoul Metro Line 4 menuju Stasiun Hongik University yang berjarak sepuluh kilometer. Aku harus menaruh tentengan plastik di Kimchee Guesthouse Sinchon. Melakukan eksplorasi dengan menenteng plastik hitam hanya akan membuat wajahku semakin kampungan saja.

Keindahan Istana Gyeongbok (sumber: http://www.agoda.com)

Dalam tiga puluh menit aku tiba.

Tanpa sempat duduk sejenak, aku langsung saja meninggalkan kembali penginapan. Kali ini aku akan menuju ke istana terbesar di Korea.

—***—

Kini aku dibawa Seoul Metro Line 2. Kembali berdiri karena gerbong penuh dengan penumpang, mengharuskan tangan kananku merengkuh hand strap di atas supaya tidak terjatuh karena kereta sering melakukan pengereman di setiap stasiun yang disinggahi.

Hanya saja, situasi menjadi aneh. Seorang gadis berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya dan sesekali melihat ke arahku. Aku memang tak menatapnya tetapi setidaknya aku bisa meliriknya samar. “Duh, ada yang memperhatikanku”, aku membatin.

Aku sesekali melirik gadis itu yang terus tertawa pelan. Ketawaan itu membuatku melakukan instropeksi. “Apakah ada yang salah denganku?“. Aku mencoba memperhatikan diri sendiri, tetapi tetap saja tak segera menemukan kejanggalan itu.

Hingga akhirnya, aku terjungkal dalam rasa malu ketika menemukan sumber masalah itu. Ternyata terdapat jahitan benang besar di pangkal tangan sebelah kanan. “Aduh, kenapa pula aku tak memeriksa jaket bekas ini ketika membelinya di Pasar Baru”, Aku perlahan menurunkan tangan kanan, lalu memeriksa pangkal tangan sebelah kiri. Mengetahui jahitannya dalam kondisi bagus maka aku bergantian memegang hand strap dengan tangan kiri. Perlahan aku menoleh ke kedua gadis itu dan mengangguk penuh malu. Ternyata kedua gadis itu merespon dengan cara yang sama.

Damn, sepanjang sepuluh hari perjalanan, aku baru tahu bahwa di pangkal tangan kanan winter jacket bekasku terdapat jahitan besar penutup sobekan”, aku menggerutu sambil menggelengkan kepala.

Kejadian itu menyematkan rasa malu hingga aku turun di Stasiun Euljiro 3(sam)-ga untuk berpindah ke Seoul Metro Line 3. Kini aku kembali mengikuti laju Seoul Metro ke Stasiun Gyeongbokgung di utara kota. Kali ini aku terduduk hingga tiba di stasiun itu.

Untuk menggapai Istana Gyeongbok, hanya diperlukan berjalan kaki sejauh tiga ratus meter dari Stasiun Gyeongbokgung. Memasuki pelataran gerbang Istana Gyeongbok, banyak turis yang mengenakan pakaian hanbok. Pakaian itu memang efektif menciptakan aura bangsawan bagi siapapun yang mengenakannya.

Sementara itu, di setiap sudut pelataran dijaga ketat oleh aparat kepolisian setempat. Tampak jelas Istana Gyeongbok ditutup sore itu, tak ada seorang turis pun yang diperbolehkan masuk. Entah sedang ada momen apakah sore itu?. Praktis aku hanya bisa menikmati kunjungan dengan memasuki National Palace Museum of Korea yang terletak di pelataran yang sama dengan Istana Gyeongbok.

National Palace Museum of Korea (sumber: http://www.theseoulguide.com)

Mengunjunginya cuma-cuma, aku dituntut memahami kisah dan seluk beluk Istana Gyeongbok dari berbagai peninggalan yang dipamerkan di museum. Museum berusia 113 tahun tersebut tampak bersih dan terawat. Walaupun aku tak faham sepenuhnya, setidaknya aku bisa menikmati benda-benda bersejarah seperti beberapa helai pakaian adat, catatan kuno, stempel dan beberapa lukisan era Dinasti Joseon.

Dengan selesainya eksplorasi di tempat penyimpan sejarah Korea Selatan yang berjuluk Deoksugung Museum tersebut maka petualanganku sore itu hanya menyisakan satu destinasi lagi….Distrik Gangnam.

Kisah Selanjutnya—->

Namsan Tower Tanpa Gembok Cinta

<—-Kisah Sebelumnya

Sepulang dari Banpo Bridge di Distrik Seocho, aku langsung bergegas tidur demi menyiapkan diri untuk petualangan esok hari. Esok adalah kesempatanku terakhir kali untuk menikmati Seoul karena lusa hari aku harus bertolak ke tanah air.

Huhuhu….Sedih

—-****—-

Sinar matahari pagi menyeruak melewati jendela di tembok miring kamar. Jarum jam telah melewati angka delapan. Usai shalat subuh tadi, aku kembali menyelinap di balik selimut, menolak dinginnya udara pagi yang mampu menembus kaca jendela.

Sadar diri kesiangan, aku melompat dari bunk bed, menyambar toiletries bag dan microfiber towel warna oranye, lalu membasahi badan dengan guyuran hangat shower Kimchee Guesthouse Sinchon. Penghuni lain masih terlelap melanjutkan mimpinya masing-masing, dengkuran-dengkuran ringan sayup terdengar dari koridor penginapan. Beruntunglah aku, inilah kesempatan untuk berlama-lama di shared bathroom. Sebetulnya kebiasaanku berlama-lama di kamar mandi saat bertraveling selalu menyimpan sebuah alasan. Bahwa siraman air hangat yang konsisten menghantam otot betis adalah terapi penghilang lelah terefektif. Tak perlu mencari jasa tukang pijat untuk membuat badan kembali segar.

Usai mandi dan berpakaian musim dingin dengan lengkap,  aku turun ke lantai satu dan memilih duduk sejenak di shared-lobby. Bergabung dengan beberapa turis yang rajin, merekalah yang sudah terlebih dahulu bangun dan menyantap sarapan yang sudah mereka siapkan di kulkas penginapan. Beberapa turis cantik “Negeri Beruang Merah” dan sekelompok traveler “Negeri Matador” tampak khusyu’dengan sarapan pagi buatan mereka masing-masing.

Aku? ….Yups, aku hanya sedikit sibuk membuka peta dan mencoba membuat pola visitasi hari itu. Begitu mereka usai bersarapan dan mulai meninggalkan ruangan, maka aku pun ikut meninggalkan penginapan. Entah mereka mau kemana tetapi aku telah memantapkan diri menuju “Menara Cinta”, apalagi kalau bukan Namsan Tower, julangan pemancar televisi setinggi 237 meter dan telah berusia 52 tahun.

Sebelum memasuki Stasiun Hongik University, aku melaksanakan ritual pagi, yaitu sarapan dengan rumus menu yang itu-itu saja, cup noodle dan nasi putih kemasan, bosan tapi tak ada pilihan.

Mampu ga kamu, empat hari makan beginian melulu?….Saran terbaik, jangan nggembel ke Korea kek guweh.

Mengulang-ulang kebiasaan untuk melawan kebosanan, aku berteriak “Kamsahamnida” kepada kasir sebelum keluar dari 7-Eleven. Biasanya aku selalu menunggu sang kasir melambaikan tangan sebelum keluar dari pintu minimarket. Mendapatkan lambaian tangan yang kumaksud, akhirnya aku benar-benar keluar dari minimarket dan berderap menuju platform Seoul Metro Line 2.

Beberapa detik setelah Seoul Metro singgah di platform,aku melompat masuk. Nuansa pagi yang sepi membuat barisan gerbong Seoul Metro tampak lengang. Ular besi itu mulai menelusuri lorong-lorong bawah tanah. Stasiun demi stasiun kulewati dengan cepat hingga akhirnya aku turun di Stasiun Euljiro sam (3)-ga untuk berpindah menuju Seoul Metro Line 3. Kini sasaran terakhirku adalah Stasiun Chungmuro.

Memerlukan waktu hampir tiga puluh menit untuk tiba di Stasiun Chungmuro. Di tujuan akhir itu, aku keluar dari gate, lalu bergegas mencari halte yang akan dilewati oleh bus bernomor dua untuk menuju Namsan  Tower.

Belum juga lima menit menunggu, bus itu tiba. Aku mengambil tempat duduk di tengah dan dalam sekejap larut mengikuti erangan mesin bus kala menanjaki jalanan berjarak sekitar dua kilometer dari Stasiun Chungmuro.

Perlahan tapi pasti, bus itu sampai juga di pelataran Namsan Tower. Bus berhenti pada sebuah halte nan panjang untuk berbagi dengan bus bernomor lain.

Jarak Namsan Tower dan halte bus yang berkisar 600 meter harus ditempuh dengan ayunan langkah. Akhirnya aku harus rela terengah-engah menanjaki jalur sisa menuju Namsan Tower. Di pertengahan langkah, engahan itu ternyata tak sempat kurasakan karena aku justru sering berhenti dan terpesona melihati pemandangan di bawah sana yang memamerkan keindahan Seoul dari ketinggian Gunung Namsan. Bisa dibayangkan jika malam tiba….Betapa indahnya.

Di depan Namsan Tower atau N Seoul Tower nama resminya.

Menaiki Namsan Tower memang identik dengan percintaan pasangan kekasih. Di atas tower, pasangan kekasih akan membeli sebuah gembok, lalu menamai gembok itu dengan nama mereka berdua yang kemudian dibubuhi tanda hati berwarna merah. Kemudian pasangan tersebut akan menguncikan gemboknya pada sebuah etalase panjang yang memajang beragam gembok cinta dari beberapa kurun waktu.

Yah….Aku nulis apa dong kalau beli gembok?

Duh….Siapa saja tuh yang jatoh cinta?

Namsan Tower selain menyajikan lansekap aerial kota Seoul, juga menawarkan beberapa resto kenamaan yang mungkin akan terasa murah bagi mereka yang dimabuk asmara, kalau buat saya ya ndak ada bedanya, tetap aja restoran adalah barang mahal.

Kunjungan di Namsan Tower memang terasa hambar jika dilakukan sendirian. Itulah alasan mengapa aku tak berlama-lama di atas. Aku memutuskan turun dan memilih menyeruput kopi buatan G-25 minimarket di seberang halte.

Memasuki minimarket, menyeduh secangkir kopi panas, lalu menyeruputnya perlahan. Tetapi aku terus diliputi rasa penasaran di setiap seruputan. Aku terus mengamati lalu lalang bus dengan nomor yang berbeda-beda, bukan bus no.2  saja seperti yang kutunggangi tadi.

Apa mungkin aku bisa mencari bus yang bisa langsung menuju Namdaemun Market  dari sini tanpa harus kembali ke Stasiun Chungmuro”, batinku kritis penuh rasa ingin tahu.

Kuputuskan menyeruput kopi hitam sambil berjalan menuju halte panjang di seberang minimarket. Aku begitu khusyu’ menyisir satu demi satu papan rute yang tertempel di halte. “Yes…I get it”, aku berseru riang ketika menemukan bus bernomor 402 yang secara langsung dapat membawaku menuju Namdaemun Market dari Namsan Tower.

Jadi aku hanya perlu menunggu bus saja sembari menghabiskan kopi………

Kisah Selanjutnya—->

Makan Malam di Tepian Banpo Bridge

<—-Kisah Sebelumnya

Banpo Bridge yang gagah mengangkangi Han River.

Untung aku tak tenggelam dalam pulasnya tidur siang di Kimchee Guesthouse Sinchon. Lewat sedikit dari jam lima sore aku terbangun. Segera membongkar isi backpack, aku mencari toiletries bag dan microfiber towel untuk keperluan mandi pertamaku sejak 35 jam yang lalu.

Aku sengaja berlama-lama mengguyur diri dengan air hangat walaupun aku tahu ada seorang penghuni penginapan yang beberapa kali mengetuk pintu sebagai tanda memintaku untuk mempercepat mandi….Jahat banget guwe, kannn.

Usai mencuci kaos kaki, aku pun keluar dari kamar mandi dan melempar senyum pada seorang tamu perempuan asal Tiongkok yang menunggu sedari tadi. Tentu saja senyum hangatku itu berbalas cemberutan bibir darinya. “Maaf neng, abang dah lama kagak mandi, hampura nyakkk…..” .

Usai berganti baju dan mengenakan semua perlengkapan musim dingin, aku bersiap melanglang Seoul lagi hingga malam nanti.

Aku masih ingat dengan kata teman-teman sekantor yang memintaku untuk mengunjungi sebuah jembatan yang sering dijadikan latar dalam drama-drama Korea terkenal. Walaupun aku mengindahkannya ketika berangkat, tetapi entah kenapa sore itu aku berkeinginan kuat untuk mengunjunginya juga. Kata teman-temanku, jika malam tiba, di Banpo Bridge sering ada air mancur pelangi, perpaduan antara air mancur dengan permainan cahaya di kedua sisi jembatan. “Oke lah….ndak ada salahnya aku kesana walau bukan penggemar drama Korea”, aku akhirnya sudah memutuskan tujuan.

Dari Stasiun Hongik University, kini aku akan menuju ke Stasiun Seoul Express Bus Terminal, tempat pertama kali aku menginjakkan kaki di Seoul. Kenyang nanggung dari sepotong Kimbab yang kusantap di Stasiun Hongik University siang tadi sirna sudah. Kini perut mulai berdangdut ria merayakan kesewotanku menahan lapar. Tetapi karena kekhawatiran terjebak malam di Banpo Bridge aku memutuskan untuk menunda keinginan makan malam itu.

Aku segera melangkah menuju Stasiun Hongik University, menjemput kedatangan Seoul Metro Line 2 dan menuju ke destinasi yang kusasar. Saking fahamnya jalur Seoul Metro karena sedari pagi terus-menerus memelototi peta jalurnya, menjadikanku aware jika aku harus transit dahulu di Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga dan harus pindah tumpangan di Seoul Metro Line 3.

Kurang lebih memerlukan waktu setengah jam untuk sampai di Stasiun Seoul Express Bus Terminal. Keluar dari gate 8-1 di stasiun itu, aku berjalan kaki menuju Banpo Hangang Park, sisi terbaik untuk menikmati indahnya Banpo Bridge.  

Perlu waktu 20 menit untuk bisa untuk bisa tiba di taman yang berada di tepian Han River. Memasuki taman yang mulai gelap dengan minim penerangan sebetulnya sedikit menciutkan nyali. Beruntung ada serombongan keluarga Korea yang memasuki taman dan menuju tempat yang sama. Dengan pura-pura menunjukkan ketenangan aku menguntitnya dari belakang….Hahaha, dasar pengecut kamu, Donny.

Rombongan yang sibuk berjalan sembari menyiapkan beberapa kamera itu membuatku yakin bahwa mereka akan menuju Banpo Bridge view point. Benar adanya, saya dan rombongan keluarga lokal itu akhirnya tiba di tepian sungai secara bersamaan.

Yeaaa…..nyampai juga.

Penampakan Banpo Bridge dengan gemerlap lampu memang tampak indah mengangkangi Han River. Aku sangat antusias duduk di tepian sungai demi menunggu momen pertunjukan air mancur pelangi itu dimulai. Detik demi detik, menit demi menit, bahkan aku sudah merelakan diri digulung suhu dingin kota, pertunjukan itu tak kunjung hadir.

Alhasil, dengan berakhirnya kunjungan keluarga lokal itu karena kekecewaan yang sama, membuatku terpaksa ikut undur diri dari tempat itu. “Masa iya, aku harus sendirian di tepian sungai yang sepi dan gelap begini….”, geramku sambil menahan lapar yang sedari tadi sungguh mengacaukan konsentrasiku.

Berjalan meninggalkan keelokan Banpo Bridge, aku sungguh beruntung bisa melihat keberadaan gerai mungil 7-Eleven di sisi lain taman.  Cahaya lampu dari dalamnya mengisyaratkan bahwa gerai itu masih buka. Lantas tak berfikir panjang, aku mempercepat langkah mendekatinya. “Enak nih, cup noodles disantap dengan nasi….”, semangatku hadir sembari mengingat cara makan sederhana yang selalu kupraktikkan selama berkunjung ke Korea Selatan.

Aku berseru girang berhasil mendapatkannya. Kegirangan itu semakin bertambah karena gerai 7-Eleven itu menyediakan tenda di sisi luarnya untuk menyantap makanan yang dibeli dari gerai. Unik, tenda itu dihangatkan dengan sebuah kipas angin yang baling-balingnya dibuat dari filamen pemanas.

Tuh……..

Kisah Selanjutnya—->

Bukchon Hanok Village: Destinasi Pertama di Seoul

<—-Kisah Sebelumnya

Kamsahanida……”, ujarku keras terlontar teruntuk petugas kasir perempuan CU Minimarket di pojok sana. Aku telah rampung menyantap nasi putih kemasan dan cup noodle yang membuat bibirku terasa membara saking pedasnya.

Cheonmanneyo….”, kasir cantik putih itu melempar senyum sembari melambai tangan ketika aku sudah berada di depan pintu kaca hendak menjangkau handlenya.

Keluar dari minimarket, aku melangkah cepat menuju gerbang Stasiun Hongik University yang tak jauh lagi, tepat di sebelah kiri tikungan di depan sana.

Menuruni escalator super panjang menukik menuju bawah tanah, aku mulai membuka denah cetakanku sendiri, lalu menunjuk sebuah titik tujuan. “Aku harus menuju Stasiun Anguk”, batinku berseru sembari melipat denah dan memasukkan ke saku belakang.

Kini aku berada di batas platform. Menjelang siang, suasana stasiun bawah tanah lengang. Tetiba, pertunjukan romansa jalanan di ujung platform sana memudarkan rasa antusiasku dalam menunggu kedatangan Seoul Metro. Sepasang sejoli tampak berpeluk pinggang sembari bertatap mesra. Sesekali sang pria cuek menyosor gadis di depannya….”Buseeet….”, seloroh iriku keluar juga. Pertunjukan seperti itu memang tak membuatku heran karena sudah kerap kujumpai di moda transportasi yang sama milik Negeri Singa atau Kota Shenzen. “Anggap saja sebagai bonus perjalanan…”, batinku tersenyum kecut.

Pelukan mesra mereka terlepas beberapa saat setelah derap suara Seoul Metro terdengar dari lorong kanan. Seoul Metro mendecit lembut dan berhenti di hadapan, mereka mengakhiri romansa dan penonton tunggalnya pun ikut menaiki kereta.  

Seoul Metro Line 2 merangsek meninggalkan Distrik Seodaemun menuju timur. aku akan berwisata ke Distrik Jongno yang berjarak delapan stasiun dan harus berpindah ke Seoul Metro Line 3 di Stasiun Euljiro 3(sam)-ga serta membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Sesuai perkiraan waktu, kini aku sudah berdiri di depan pintu Seoul Metro ketika announcer sound mengatkan bahwa kereta akan segera merapat ke Stasiun Anguk. Setelah berhenti sempurna, aku melompat meninggalkan gerbong yang sedari menaikinya, tak ada kejadian berkesan lain setelah romansa setengah jam lalu.

Keluar dari Stasiun Anguk, aku dihadapkan pada Yulgok-ro Avenue. Percaya diri mengambil langkah ke kiri mengantarkanku pada sebuah simpang lima yang ramai dengan gerai fashion, kuliner dan kosmestik. Sepertinya aku salah jalan.

Aku berdiri terpaku di sebelah tugu Enso yang berlokasi tepat di salah satu sisi simpang lima tersebut. Enso sendiri adalah kuas kaligrafi tradisional asli Korea Selatan. Mengamati perilaku masyarakat lokal yang sibuk berbelanja. Sementara beberapa kelompok turis asal Eropa tampak sedang bercakap-cakap di gerai Tourist Information yang terletak di samping tugu. Sepertinya aku harus ke gerai itu dan menanyakan arah destinasi yang kutuju. Akhirnya aku melangkah menujunya.

Aku: “Hello, Ms. Can me know which way thet I need to choose toward Bukchon Hanok Village?

Dia: “Hi, Sir. You can go straight there and then turn left in crossroad. You will arrive in Bukchon Hanok Village with walking about 600 meter”.

Aku: “Very clear, thank you, Ms

Dia: “You are welcome. And this tourism map is for you”, dia tersenyum  sembari menyerahkan selembar denah pariwisata Seoul untukku.

Aku pun segera melangkah menuju utara. Sedikit santai sembari menikmati keramaian jalanan Bukchon-ro, akhirnya aku tiba di Bukchon Hanok Village dalam 20 menit. Perkampungan budaya ini berlokasi di sebelah barat jalan utama.

Notre Dame Education Center di Bukchon Hanok Village.

Diluar dugaa, ini berbeda dengan Gamcheon Culture Village di Busan yang kukunjungi beberapa hari lalu. Bukchon Hanok Village menampilkan deretan Hanok (rumah tradisional Korea Selatan) yang tersusun rapi memanjang mengikuti kontur jalan setapak. Kayu-kayu yang menjadi bagian dari bangunan Hanok tampak terawat mengkilap, Gang-gang yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki nampak rapih dan bersih. Inilah perumahan bangsawan era Dinasti Joseon yang berusia lebih dari enam abad dan menjadi kebanggaan Distrik Jongno.

Sesuai dengan julukannya sebagai “Kampung Utara”, maka desa ini memang terletak di sebelah utara dari dua ikon utama kota Seoul yaitu Sungai Cheonggye dan Distrik Jongno.

Selain berfungsi sebagai pelestarian Hanok, desa ini juga berfungsu sebagai pusat kebudayaan, penginapan tradisional, restoran dan tempat minum teh bersama.

Menyusuri bagian dalam perkampungan, beberapa turis perempuan tampak anggun mengenakan Hanbok (baju khas Korea Selatan) demi menyusuri perkampungan budaya ini dengan lebih khusyu’.

Sebuah keindahan yang tersimpan di daerah Gahoe ini akhirnya berhasil kudatangi juga. Sebuah kesan klasik, ketenangan, kesunyian, sarat makna dan keagungan budaya sangat kental kurasakan dalam kunjungan ini.

Kisah Selanjutnya—->

Menjajal Seoul Metro: Menuju Stasiun Hongik University

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berusaha menyejajari Mr. Park yang tampak gesit untuk kecepatan langkah seusianya. Menunggui Seoul Metro di satu sisi platform, kami bercakap ringan saja. Aku bercerita tentang perjalananku menyusuri Asia Timur kepadanya. Kuselipkan beberapa kisah petualangan di Tokyo, Osaka dan Busan beberapa hari lalu. Mr. Park tampak cukup terkesima mendengarkan alur kisah yang kusampaikan seringkas mungkin.

Sedangkan Mr. Park, In Chul Park nama lengkapnya….Menceritakan aktivitas sehari-harinya yang berprofesi sebagai seorang Dokter Spesialis Obsetri dan Ginekologi (Obgyn) di Myongji Hospital  di Distrik Deokyang.

My job is to help the baby to be born”, begitulah dia menyampaikan perihal aktivitas kesehariannya.

Seoul Metro tiba….

Berada di Line 6, kami berdua memasuki gerbong tengah. Seluruh gerbong tampak sepi pagi itu. Para pekerja belum banyak yang memulai aktivitasnya. Kami berdua terduduk di bangku tengah dan melanjutkan percakapan ke topik-topik ringan berikutnya, mulai dari keluarga kecilnya hingga sedikit menyampaikan serba-serbi Kota Seoul, aku kebanjiran informasi berharga pagi itu. Aku lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik dalam percakapan kami berdua.

Dua puluh menit menjadi perjalanan bersama yang berharga bersama Mr. Park. Aku berpamitan lebih dahulu, karena aku harus turun di Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga untuk berpindah ke Seoul Metro Line 2. Sementara Mr. Park masih melanjutkan perjalanan sejauh 14 stasiun lagi menuju Stasiun Hwajeong.

Turun di platform Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga, aku mulai mencari koridor terusan menuju Stasiun Hongik University. Melihatku kebingungan mencari koridor itu, seorang lelaki tambun menghampiriku.

Dia: “Hello, Where will you go?”, dia mulai menyapa dengan pertanyaan.

Aku: “Hongik University Station, Sir. Which corridor should I choose?

Dia: “Wait….

Diapun tampak kebingungan dan berinisiatif mencegat seorang petugas Seoul Metro yang sedang melangkah di sebuah koridor. Mereka berdua tampak bercakap dan petugas Seoul Metro itu tampak menunjuk-nunjuk sisi lain bangunan stasiun.

Dia: “You must steps over there!”, lelaki tambun nan baik itu menunjukkanku sebuah arah setelah beberapa menit lalu bertanya kepasa petugas Seoul Metro.

Aku: “Thank you very much, Sir. You are a kind man”, aku sungguh merasa terbantu atas pertolongannya.

Pantas saja susah ditemukan, koridor itu ada di bagian ujung bangunan stasiun dengan bukaan koridor yang tak terlalu besar. Menelusuri koridor, membuatku sampai pada sebuah platform. Kini aku sudah berada di platform yang benar dengan kode warna hijau di setiap petunjuk.

Lima menit kemudian Seoul Metro tiba, aku segera mengalir di lorong-lorong bawah tanah Kota Seoul bersamanya. Seoul Line 2 tampak ramai dengan para mahasiswa. Mimik-mimik muda berpendidikan tampak berjejal di gerbong. Tak mendapatkan tempat duduk, membuatku harus berdiri di sepanjang 20 menit perjalanan lanjutan.

Akhirnya aku tiba di Stasiun Hongik University…..

Saatnya menuju ke Kimchee Guesthouse Sinchon

Kisah Berikutnya—->