Air Asia AK 380 dari Kuala Lumpur ke Jakarta: Mengukur Jejak Chai di KLIA2

<—-Kisah Sebelumnya

Geretan travel bag para pengunjung bandara akhirnya membuatku terbangun…..

Aku bangkit dan terduduk di area sempit nan pendek tepat di bawah pangkal escalator. Kulihat layar telepon pintar, waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Mataku yang masing mengantuk dan badan yang belum benar-benar segar harus kupaksakan untuk mulai beraktivitas.

Aku membuka travel bag, mengaduk-aduk isinya, mencari keberadaan kemaja putih beserta jas dan dasi. Aku harus segera pergi ke toilet untuk menyikat gigi, mencuci muka dan berganti baju formal sebagai persiapan menghadapi rapat ketika aku tiba di Jakarta beberapa jam ke depan.

Selesai urusan toilet, aku berinisiatif untuk segera mencari sarapan di koridor menuju deret gerbang Q, itu karena aku akan dilepas landas dari Gate Q13.

Mataku awas menyapu sekitar koridor hingga akhirnya menemukan sebuah tenant kuliner yang cukup ramai dikunjungi para pelancong.

NOOODLES”, aku membaca nama tenant itu.

Tanpa ragu, aku melangkah menujunya. Seorang pria India menungguku di meja kasir.

Penang Curry Noodle Soup.

Hello, Sir. Welcome. Please see our menu!”, dia menujukkan padaku deretan menu di meja kasir

Penang Curry Noodle Soup….Can you make it less spicy”, aku meminta menu khusus kepadanya karena memang tak suka pedas.

Yes, of course….28.9 Ringgit, Sir”, dia menambahkan.

And Chai….One”, aku mengacungkan jari telunjuk.

What….”, dia agak terheran mendengar kata itu

Chai, Sir…”, aku mengulangnya kembali. Aku justru heran kenapa dia yang berketurunan India tidak tahu istilah Chai

I don’t know what do you say, Sir”, dia menengadahkan kedua tangannya

Teh Tarek, Sir….” Aku menjelaskan dengan cara yang lebih mudah

Oh, I See….6,9 Ringit, Sir”, dia menambahkan tagihan dalam bill ku

Usai membayar 35,8 Ringgit aku pun mulai mencari tempat duduk

Aku mengambil tempat duduk di sofa restoran yang memanjang untuk mendapatkan rasa nyaman. Sedangkan hanya beberapa meter di sisi kananku, seorang karyawan restoran wanita keturunan India tampak tertidur pulas di bangku yang sama. Aku menebaknya sebagai karyawan “Nooodles” karena t-shirt yang dikenakannya.

Makanan yang kupesan tersaji tak lama kemudian. Aku menyantapnya dengan lahap karena memang aku selalu saja suka dengan segenap resep makanan Negeri Jiran, selalu sesuai dengan selera lidahku. Dan Teh Tarik khas Malaysia akhirnya menjadi penutup sarapan pagi itu.

Sekiranya pukul enam pagi, aku meninggalkan restoran “Nooodle” dan mulai bergerak menuju gate. Aku melangkah cepat menujunya walaupun aku tahu bahwa gate masih akan tutup dan aku akan menunggu di surau hingga gate dibuka.

Lima menit melangkah, begitu sumringahnya aku setelah melihat kenyataan bahwa gate room sudah dibuka. Maka aku menyegerakan untuk menjalankan Shalat Subuh untuk kemudian memutuskan untuk mengambil sebuah tempat duduk di pojok ruang tunggu dan memejamkan mata dengan cepat karena sejatinya aku masih digelayuti rasa kantuk akut.

ZZZZZZZZ…….

Entah berapa lama aku tertidur, hingga tiba-tiba….

Hello Sir….Can you wait outside the room?”, seorang airport staff menegur.

Aku yang gelagapan terbangun, mengucek mata dan lamat memperhatikan staff wanita itu.

Yes, Ms….What happen?”, aku yang bingung pun akhirnya bertanya

Can you wait outside, sir. We will start the boarding procedure”, dia menunjuk ke boarding gate.

Tampak empat staff Air Asia sedang menyiapkan diri dan bangku ruangan yang tadinya dipenuhi calon penumpang telah kosong kembali. Itu artinya, aku dibiarkan tidur sendirian di dalam ruangan hingga ditegur oleh staff bandara.

Tanpa pikir panjang, aku keluar dari ruangan dan akhirnya harus berdiri di ujung antrian. Aku terus diperhatikan semua penumpang yang telah mengantri sedari beberapa menit sebelumya dan aku terpaksa harus menyembunyikan rasa malu dalam-dalam.

Tak lama mengantri, antrian itu mulai merangsek masuk kembali ke gate room. Sabar mengantri dari ujung, aku akhirnya tiba di depan pintu, kemudian harus menyerahkan boarding pass dan passport untuk kemudian dipersilahkan masuk ke dalam gate room.

Menuju Gate Q13.
Air Asia AK 380 (Airbus 320 twin-jet).
Cariin bangkuku,gaes!….Nomor 16A.
Sunrise di Kuala Lumpur International Airport Terminal 2.
Tiba di Soekarno Hatta International Airport.

Tak perlu lama duduk, proses boarding akhirnya dimulai.

Melalui aerobridge, aku perlahan mendekati pintu kabin. Dan ketika benar-benar memasuki kabin, aku merangsek ke dalam untuk mencari bangku bernomor 16A.

Di window seat, aku duduk bersebelahan dengan dua orang ustadz asal Malaysia. Tepat di sebelahku adalah sekarang ustadz bergamis dan bertubuh kurus, sedangkan di aisle seat terduduk seorang ustadz berperawakan tambun yang tampak sangat kerepotan untuk duduk di dalam pesawat berjenis Low Cost Carrier (LCC).

Penerbangan menggunakan Airbus A320 twin-jet itu berlangsung selama 1 jam 55 menit dengan jarak tempuh lebih dari 1.100 km.  Pernerbangan pagi itu sangat menyenangkan karena pesawat sama sekali tidak mengalami turbulensi.

Satu momen yang menyita perhatian adalah ketika pesawat Air Asia yang kutumpangi, terbang bersebelahan dengan pesawat Garuda Indonesia yang sama-sama hendak mendarat di Soekarno Hatta International Airport.

Salip menyalip di udara itu akhirya terhenti ketika Air Asia dan Garuda Indonesia menyentuh landasannya masing-masing dan lindap di balik bangunan bandara ketika melakukan taxiing demi mengantarkan masing-masing penumpangnya di terminal akhir yang dituju.

Aku sendiri tiba di Soekarno Hatta International Airport pada pukul 08:30. Itu artinya aku akan terlambat menghadiri rapat di kantor yang rencananya akan dimulai pada pukul 09:00.

Semenjak memasuki bangunan terminal, aku terus berlari menuju konter imigrasi. Aku sengaja memanfaatkan e-passport gate untuk menghindari antrian, mengisi formular bea cukai secara daring dan mencari taksi INKOPAU seharga 300 ribu demi menuju kantor.

Benar adanya, aku harus terlambat 30 menit dalam mengikuti rapat. Hanya saja tak semua orang tahu bahwa aku langsung menghadiri rapat di kantor sepulang dari Phuket dan mendarat di Soekarno Hatta International Airport.

Dasar travel maniac kamu, Donny….

—-TAMAT—-

Berjibaku di Imigrasi Soetta: “From Kebumen Around the World”

<—-Kisah Sebelumnya

Tak berapa lama usai menyantap seporsi makanan cepat saji itu, aku bergegas menuju check-in zone. Maka aku mendapati check-in desk sudah mulai dibuka. Aku pun memutuskan untuk mengantri demi mendapatkan boarding pass.

Mataku awas mengamati para pengantri. Kuperhatikan banyak sekali warga Malaysia dalam baris antrian. Paspor merah hati itu begitu kukenal dengan baik. Kenyataan bahwa banyak warga asing telah bepergian ke Indonesia membantu menenangkan hatiku sendiri di awal perjalanan panjang yang akan kulalui.

Saatnya giliranku untuk menghadap petugas di check-in desk, aku melangkah tenang. Perkiraanku tepat, petugas tersebut menanyakan seluruh tiket yang sudah kubeli ketika dia tahu bahwa tujuanku di Kuala Lumpur hanya untuk sekedar transit.  Aku yang sudang menyiapkan folding file dengan mudah mencari lembar demi lembar pemesanan tiket pesawat yang dimaksud. Usai memeriksa segenap dokumen yang kuberikan, petugas tersebut memberikanku boarding pass dan aku diizinkan menuju konter imigrasi.

Boarding Pass Air Asia QZ 206 (Jakarta – Kuala Lumpur).

Melangkahlah aku mengikuti signboardInternational Departure”, hingga akhirnya tiba di Imigration Zone. Inilah bagian yang paling mendebarkan, kondisi itu diperparah dengan pasporku yang masih kosong dengan stempel imigrasi dari negara manapun, mengingat semenjak aku memperpanjang paspor tersebut pada tahun 2020, aku tak pernah melakukan perjalanan lagi karena pandemi masih merajalela.

Antrian yang tak terlalu panjang, membuatku dengan cepat dipanggil menuju konter imigrasi. Pertanyaan-pertanyaan yang kukhawatirkan benar-benar muncul. Entah bagaimana sistem imigrasi merekam jejak perjalananku, petugas pria itu menanyaiku dengan wajah serius.

Lanjut kemana nih?”, rupanya dia tahu aku hanya akan transit di Kuala Lumpur.

Ke Uzbekistan, Kazakhstan, Turki dan Serbia, Pak”, aku menjawab tegas.

Udah pernah pergi kemana saja, Mas?”, dia melanjutkan interogasi.

Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan dan Timur Tengah sudah semua, Pak. Bapak saya kasih paspor lama saya untuk diperiksa ya, Pak”, aku mengambil paspor lamaku yang covernya telah digunting di ujungnya.

Saya travel blogger, Pak. Perjalanan saya bersponsor”, aku menambahkan.

Oh, ya. Ada alamat websitenya, Mas?”, dia berubah menjadi antusias

travelingpersecond.com. Silahkan diintip, Pak”, aku menuntunnya menuju blog yang sudah kurintis sedari lima tahun lalu.

Lo hiya, loh…..Ini gambar dimana, Mas?”, dia menunjukkan gambar dari kamera pintarnya.

Oh, itu di Bahrain, Pak”, aku pun tertawa memberikan informasi kepadanya.

Hahahaha, from Kebumen around the world ya kamu, Mas”, petugas pria itu terkekeh. “Silahkan lanjut Mas Donny”, akhirnya dia memberikan akses bagiku untuk masuk ke ruang tunggu. Yang perlu kamu tahu bahwa Kebumen adalah tempatku menumpang lahir.

Alangkah leganya hatiku malam itu, secara yuridis aku sudah keluar dari wilayah Republik Indonesia dan bersiap untuk mengarungi petualangan nan jauh di sana.

Menuruni escalator, aku turun satu lantai ke bawah untuk menuju ke Gate 3. Dengan tegap aku mengayunkan langkah demi langkah, ada sebersit rasa berani yang mulai muncul di dada. Aku tersenyum penuh percaya diri.

Ruang tunggu Gate 3 di Terminal 3-Existing Soetta.

Tapi sebentar dulu kawan……Untuk mendapatkan perlindungan Tuhan

Maka setiba di tikungan koridir menuju Terminal 3 Existing, aku memutuskan menuju mushola demi menunaikan ibadah Shalat Isya, aku menjamaknya dengan ibadah Shalat Maghrib dalam satu waktu.

Kisah Selanjutnya—->

Super Air Jet IU 872 dari Jakarta (CGK) ke Palembang (PLM)

<—-Kisah Sebelumnya

Jalur penerbangan Super Air Jet IU 872 (Sumber: flightware)

Tepat pukul setengah delapan aku tiba di depan X ray screening gate pertama Soekarno Hatta International Airport di Terminal 2D.

“Sudah lengkap semua syaratnya, Pak?”, seorang Aviation Security menanyaiku sebelum aku memasukkan backpack ke X-ray Scanner.

“Oh….Sudah Pak….Ini, Pak”, aku menunjukkan foto validasi kelayakan terbang kepadanya

Dia pun mengangguk dan mempersilahkan aku untuk melanjukan pemeriksaan.

Dengan mudah aku melalui X-ray screening gate tersebut dan segera melanjutkan langkah ke check-in desk. Sebetulnya aku sudah melakukan online check-in pada 24 jam sebelum keberangkatan. Seharusnya aku tidak perlu menuju check-in desk untuk meminta boarding pass. Aku hanya perlu menunjukkan e-boarding pass kepada petugas aviation security di X-ray screening gate kedua.

Tetapi karena kebiasaanku yang tidak puas kalau tak mendapakan printed boarding pass, aku pun bersikukuh untuk tetap menuju check-in desk walaupun harus melewati beberapa antrian.

Aku akhirnya memilih mengantri di Desk No. 31. Bersyukur hanya perlu untuk mengantri selama lima belas menit, aku mendapatkan printed boarding pass.

Maka dalam jarak satu jam dari boarding time, aku bergegas menuju Gate D7. Aku pun tiba di ruang tunggu Gate D7 lima belas kemudian. Berada setengah jam sebelum boarding time membuatku hatiku merasa lebih tenang.

—-****—-

Boarding time tiba tepat waktu….

Pukul setengah sembilan, pengumuman memenuhi langit-langit bandara. Gate D7 untuk penerbangan Super Air Jet IU 872 telah dibuka. Aku bergegas menuju aerobridge untuk masuk ke kabin pesawat.

Pesawat yang kunaiki berjenis Airbus A320. Pagi itu menjadi waktu yang sangat berkesan bagiku oleh karena IU 872 menjadi penerbangan pertamaku bersama Super Air Jet, sebuah maskapai penerbangan baru yang sejatinya masih menjadi bagian dari Lion Group yang merupakan perusahaan induk maskapai penerbangan berbiaya murah di Indonesia.

Aku memang sudah sejak lama memendam rasa untuk mencicipi maskapai yang didirikan untuk kaum milenial tersebut. Maskapai yang mengandalkan warna khaki sebagai warna utama maskapai. Warna itu menjadikan penampilan pesawat begitu elegan. Tentu warna dasar itu juga tersemat sebagai warna seragam air crew yang lebih memilih menggunakan jenis seragam taktikal casual.

Penerbangan ketigaku selama pandemi.
Air crewnya keren seragamnya.
Meninggalkan Cengkareng.
Cantiknya langit selama penerbangan.
Mendekati Palembang.

Memasuki kabin pesawat, aku bergegas mencari bangku bernomor 29F, posisi window seat yang memungkinkan bagiku untuk leluasa mengambil gambar selama penerbangan. Begitulah keuntungan utama ketika kita memesan tiket penerbangan di seluruh maskapai yang tergabung dengan Lion Group, dimana para calon penumpang bisa memilih kursi ketika melakukan online check-in tanpa biaya tambahan.

Penerbangan Super Air Jet IU 872 sendiri adalah penerbangan dari Jakarta menuju Palembang dengan waktu tempuh sekitar 44 menit dan rentang jelajah 420 kilometer. Adapun ketinggian terbangnya adalah 28.000 feet dan kecepatan maksmial 820 km/jam.

Penerbanganku ke Palembang kali berjalan dengan mulus dan minim turbulensi sehingga memberikan kesan yang cukup baik terhadap penerbangan pertamaku bersama Super Air Jet.

Aku sudah tak sabar untuk segera mendarat di Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport demi mengeksplorasi Kota Palembang….

Sebagai alternatif, tiket pesawat dari Jakarta ke Palembang bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Terminal 2D Soetta

Sehari sebelum keberangkatan….

Matahari mulai lengser dari titik tertingginya, aku sedang berada di daerah Bintaro untuk bertemu salah seorang klien perusahaan. Pada saat itulah, aku mampir sejenak mengunjungi sebuah perusahaan farmasi ternama untuk melakukan tes antigen. Was-was berharap, akhirnya aku mendapatkan hasilnya setengah jam kemudian melalui pesan whatsapp sembari menyeruput arabica di sebuah kedai kopi.

“Yes….Negatif”, hatiku berseru, kedua tanganku mengepal pertanda sebuah keberhasilan. “Welcome, Palembang”, aku pun segera menyeruput habis kopiku.

—-****—-

Keesokan paginya….

Aku terbangun oleh dering alarm tepat pukul empat pagi, untuk kemudian berbasuh, lalu berlanjut dengan memasak telur mata sapi untuk menjadi menu sarapanku. Aku bisa sedikit bersantai karena telah melakukan packing pada malam hari sebelum terlelap.

Akhirnya hantaran ojek online membuatku tiba di Shelter Bus DAMRI Kampung Rambutan tepat waktu.

Tepat setengah jam sebelum keberangkatan bus di pukul enam pagi, aku segera beranjak ke dalam kabin bus, mengambil tempat duduk di bagian tengah, lalu berfokus untuk mencari penginapan melalui sebuah aplikasi e-commerce penginapan langgananku. Setelah menelusuri secara online beberapa penginapan di Palembang, akhirnya aku memilih untuk menginap di daerah Siring Agung. Bersyukur aku mendapatkan penginapan dengan harga sangat terjangkau, cukup membayar dengan kartu kredit sebesar Rp. 105.000/malam saja untuk petualangan 3D2N ku di “Bumi Sriwijaya”.

Pening karena menatap smartphone selama hampir setengah jam di dalam bus yang sedang melaju di jalan bebas hambatan, maka aku memaksa diri untuk memejamkan mata. Sementara bus DAMRI yang kunaiki secara konsisten melahap Tol Lingkar Luar Barat menuju bandara.

Dan mataku kembali terbuka ketika bus berhenti di depan Hotel Ibis Budget Jakarta Airport. Seperti biasa, seorang checker dan timer menaiki bus dan menghitung jumlah penumpangnya. Selesai dengan urusan pengecekan, bus pun berlanjut bergerak demi menuju Terminal 3 Ultimate untuk menurunkan penumpang.

Seusainya, bus perlahan memasuki Terminal 1 dan berlanjut menuju ke Terminal 2. Maka turunlah aku di Terminal 2D, menyesuaikan penerbangan Super Air Jet IU 872 yang akan diterbangkan dari Gate D7.

Hampir pukul tujuh….

Aku tiba di depan Domestic Departures Hall 3. Mengingat penerbanganku masih berada di masa pandemi, maka aku pun bergegas menuju ke dalam bangunan bandara. Ada prosedur pemeriksaan kelayakan penerbangan yang harus kulakukan dan terkadang pemeriksaan itu harus melewati antrian super panjang. Tentu aku tak mau terlambat dalam mengejar boarding time penerbanganku yang pagi itu tinggal berjarak satu setengah jam saja.

Aku mengantri di area mesin validasi yang memiliki empat lajur antrian. Mengambil lajur antrian paling kiri, maka aku harus bersabar hingga menunggu giliranku untuk melakukan validasi tiba.

Bus DAMRI Kampung Rambutan-Soetta
Bersiap untuk berpetualang.
Tiba di Terminal 2D.
Mengantri untuk mendapatkan validasi kelayakan terbang,
yuk berburu boarding pass!

Dalam sepuluh menit, akhirnya waktu itu tiba. Aku memasukkan Nama dan Nomor NIK pada mesin validasi dan akhirnya aku mendapatkan validasi layak terbang. Aku hanya perlu memfoto validasi itu dengan smartpohone yang nantinya akan kutunjukkan kepada ground staff saat melakukan check-in.

Okay….

Saatnya menuju check-in desk…..

Kisah Selanjutnya—->

The Middle East Aroma in Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta International Airport

DAMRI Bus Terminal Kampung Rambutan – Soekarno Hatta International Airport.

Saturday afternoon was very sunny. The impatience that had enveloped my heart since morning had already collapsed. A faint smile continued to hang in the corners of my lips after I got off city transportation and stepped onto DAMRI shelter, which was part of JA Connexion’s mode of transportation.

On 15:30 hours, after confirming that the fleet in front me was the fastest bus which would depart to Soekarno Hatta International Airport, I jumped into it through its front door and sat behind the driver in left seat coloumn.

After all the passengers entered, an officer of Kampung Rambutan Terminal entered and withdrew a retribution of a thousand Rupiah to all passengers. “How come the retribution isn’t just included in the ticket price,” I asked myself.

Shortly after, the bus departed….Slowly speeding out of terminal, briefly passing through a side of toll road and then entering the toll gate a few meters ahead.

At the beginning of journey in toll road, the congestion began to be felt, but I wasn’t really worried about that situation because I was on 4 hours 20 minutes before my flight. I also enjoyed the 50 km journey very comfortably.

An hour and a few minutes, I arrived at the drop off zone of Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta International Airport. Through Departure Hall Gate 3, I started looking for Malaysia Airline MH 724 flight status.

The flight number which had not been listed in the Flight Information Display System (FIDS), made me dare to ask a female officer at the information center desk and finally I got information that check-in desk C would be used to process administration of Malaysia Airlines flight MH 724.

Waiting seats at Departure Hall Terminal 3 Ultimate

Knowing this information, I decided to wait in the nearest seat with check-in desk C. While waiting for the check-in desk to open, I was stunned by the busyness of a pair of tour guides who were busy organizing their group, which I didn’t know where would they go? The two of them gathered the group and loudly conducted a briefing so that their voices could be heard by anyone around the corner waiting for Terminal 3 Ultimate.

An hour of waiting, finally the check-in desk opened and I immediately queued at C24 queue column to get my boarding pass to Kuala Lumpur. That time Kuala Lumpur would only be a stopover, because I would explore Kuala Terengganu, a city located 450 km north of Kuala Lumpur.

Check-in desk C Terminal 3 Ultimate

Kuala Terengganu would be the fifth city in Malaysia which I would enjoy after Kuala Lumpur, Johor Bahru, Ipoh and Penang….. Ahhhh, that afternoon I couldn’t wait to arrive in Kuala Terengganu.

A visit to Kuala Terengganu was the intention which emerged after I met Mariya, a solo-traveler from Malaysia in Seoul. The charm of Kuala Terengganu told by Mariya had hypnotized my subconscious to visit it. It took three years to realize that dream.

But again, Kuala Terengganu was also not the only destination in my trip that time, because my target points were certainly in places which were further away, i.e countries in the Middle East region.

Back to Terminal 3 Ultimate…..

Now I was heading to the immigration counter to hunt for a departure stamp. In front of immigration area, I tried to complete immigration check process through immigration autogate but there was an officer who held me back and forbade me to pass through that route. I was directed to the immigration counter with an officer ready to check. Facing an immigration officer, I handed over my passport and boarding pass.

Immigration staff: “Return ticket, Sir?”

Me: “Here, Sir”, I handed over a print out of Philippine Airlines flight ticket with Doha-Jakarta route and transit in Manila.

Immigration staff: “Alone, Sir?. On what occasion?”

Me: “Solo-Backpacking, Sir”

The immigration staff was finally busy researching page by page details on my passport.

Immigration staff: “Where will you go, Sir?”

Me: “Kuala Terengganu-Kochi-Dubai-Oman-Bahrain-Qatar, Sir”

Immigration staff: “May I see the visas, Sir?”, his face was still cold and serious.

Me: “Just a minute, Sir”, I opened my zipper bag and took out India Visa, United Arab Emirates Visa, Oman Visa and Bahrain Visa, “Here, Sir”

The immigration staff checked that visas I was given one by one.

Immigration staff: “Ok. Be careful, Sir.”

My ticket….Yuuuuuuu.

I came out of the immigration counter with a sigh of relief and immediately put all my documents back in zipper bag. Now I would head to Terminal 3 Existing to prepare to fly with Malaysia Airlines.

Next Story—->

Air Asia AK 382 from Kuala Lumpur to Jakarta

<—-Previous Story

Flight Information Display System (FIDS) in front of sleep place.

Entering Friday, around half past five, when the dawn of Malaysia arrived, I sat down to awake from sleep in one of seat row in Transportation Hub located at Gateway@klia2 mall level 1. I was still rubbing my eyes when several other travelers were still snoring around .

I forced my feet to step into the 1st floor mosque which was located outside the terminal building in order to fulfill my obligations to “The Creator” who had given time and funds for an adventure through East Asia….Thank you, God.

My scheduled flight time at seven in the morning made me not dare to budget for breakfast time. I only bought two packaged chocolate buns at a convenience store located next to NZ Curry House as lunch in the plane.

At five o’clock, I went to the check-in desk in 3rd floor of Main Terminal Building to get a boarding pass to Soekarno Hatta International Airport. Shortly after, I headed to the immigration counter to get permission to leave Malaysia. As predicted, everything happened easily and quickly.

Half an hour before boarding, I arrived at the gate and found an Air Asia AK 382 nicely parked in front of it. Shortly after my arrival, the gate was actually opened. I started entering the waiting room after reporting my boarding pass and passport to the ground staff who checked every passenger.

A few minutes later….The pilot, co-pilot and several flight attendants entered the plane to preparing. The bustle of loading in the fuselage, filling avtur and loading inflight meal became a sight that caught my attention at every stage until everything ended well.

The boarding announcement filled the airport ceiling, I immediately queued, then entered the cabin through the aerobridge full of joy because soon my adventure would be over. I found a seat right at the tail of plane. Understandably, this was a cheap ticket which was purchased nine months before the flight.

Since the boarding process, demonstration of flight safety procedures, taxiing, take-off, airborne to cruising, I hadn’t even touched the Travel 360 magazine which was Air Asia’s inflight magazine. Of course I was bored, I had read it many times since the QZ 200 (Jakarta-Kuala Lumpur), AK 170 (Kuala Lumpur-Kaohsiung) and D7 505 (Seoul-Kuala Lumpur) flights. For more than twelve hours during those three flights, I had finished reading the inflight magazine.

After enjoying the packaged chocolate bread, I quickly felt asleep. A sleepless night on last night made my eyes no longer helpless to stay awake while in the air. I was sleeping….and hopefully not snoring……????

I was really asleep until the announcement of plane that would soon land at Soekarno Hatta International Airport woke my eyes. Leaving behind a bit of a headache and taking a little time to clear the eyes, I could see the streaks moving fast out there and watching from the window. The plane was landing…

Spoilers on the wings of plane seemed to stand to help contain the wind speed to stop the fuselage speeding down the runway. Shortly after, the plane started taxiing and stopped in the apron.

Ohh… It was over.

With a faint smile, I left the fuselage via aerobridge and entered the airport building. I immediately went to the immigration counter to certify my passport with an arrival stamp.

After that I immediately went to DAMRI Bus counter to go to the Kampung Rambutan Terminal and went home….

To get flight tickets from Kuala Lumpur to Jakarta, you can search for them 12go Asia with the following link:  https://12go.asia/?z=3283832

THE END

Lion Air JT 715 dari Pontianak (PNK) ke Jakarta (CGK)

Usai Shalat Subuh aku kembali merebahkan badan di kasur empuk G-Hotel Pontianak. Hari itu akan menjadi hari terakhirku di Pontianak. Sore hari sekitar pukul tiga sore aku akan terbang kembali ke Jakarta.

Maka tepat jam dua belas, bersamaan dengan waktu check-out dari hotel, aku akan meluncur menuju Supadio International Airport.

Dan kali ini jejak Koh Hendra belum selesai, karena dia akan mengantarkanku menuju bandara. Padahal aku sudah menolak halus usai dinner semalam. Tetapi Koh Hendra merasa gak enak sama adiknya yang merupakan pimpinanku di tempat kerja jika tak mengantarkanku pulang menuju bandara. Walhasil, aku pun menerima tawaran itu dengan senang hati, kan aku ga perlu pesan transportasi online menuju bandara….Lebih hemat kan tentunya.

Usai berbasuh aku menyempatkan diri untuk bersarapan dengan Pengkang yang semalam terbeli di Pondok Pengkang. Dua potong Pengkang ternyata cukup menjadi pengganti menu sarapan yang sengaja tak kupesan sebagai komplemen kamar di hari terakhirku di Pontianak….Sedikit berhemat.

Menjelang tengah hari aku telah selesai berkemas dan bersiap menuju bandara. Aku duduk di salah satu sofa lobby milik G-Hotel usai check-out dan tak berapa lama Koh Hendra menampakkan batang hidungnya di pintu lobby. Waktu pulang telah tiba….

Dalam perjalanan, aku kembali menjadi pendengar yang baik atas cerita-cerita Koh Hendra. Dia bercerita mengenai asal nama Pengkang yang sebetulnya berasal dari kata “Panggang” yang kemudian warga keturunan tak begitu fasih mengucapkannya sehingga keluarlah nama “ Pengkang”.

Selain itu, Koh Hendra bercerita tentang suka dukanya menjadi ketua paguyuban ojek online di Pontianak. Perjalanan menuju bandara itu juga diwarnai dengan adanya insiden kecelakaan yaitu jatuhnya sepeda motor di depan mobil yang dikemudiakan Koh Hendra. Beruntung kedua pengendaranya selamat. Hanya saja sedikit membuat kemacetan sesaat.

Kurang dari jam satu siang aku tiba di bandara. Saatnya berpamitan dengan Koh Hendra. Memasuki departure hall, aku segera menuju konter check-in. Sempat menunggu beberapa saat hingga konter check-in dibuka, akhirnya aku mendapatkan boarding pass.  Setelahnya aku menyempatkan shalat jama’ sebelum menuju ke gate.

Menjadi imam bagi beberapa petugas Aviation Security akhirnya aku menyelesaikan kewajiban shalat dan segera beranjak menuju gate.

Aku akan dijadwalkan terbang dari Gate 3. Mengingat aku akan tiba di Jakarta sore hari maka kuputuskan untuk membeli beberapa makanan kemasan sebagai bekalku nanti pulang dari Soetta ke Kampung Rambutan.

Satu jam lamanya aku menunggu, akhirnya waktu boarding pun tiba….

Melalui aerobridge, aku menuju kabin dan mencari keberadaan bangku bernomor 33F sebagai tempatku duduk. Kali ini aku akan terbang Bersama Boeing 737-800 (twin jet). Pesawat akan menempuh perjalanan udara sejauh 732 Kilometer dan kecepatan rata-rata 650 km/jam. Perjalanan ini sendiri akan memakan waktu 1 jam 10 menit.

Tak perlu menunggu waktu lama bagi JT 715 untuk airborne dan memasuku cruise phase. Cuaca pada pernerbangan kali ini berlangsung dalam kondisi yang sangat cerah dibandingkan dengan keberangkatanku beberapa hari lalu.

Aku dan Koh Hendra.
Bersiap take-off.
Airborne di atas kota Pontianak.
Indah banget kan?….
Gugusan pulau di sepanjang penerbangan.
Di atas awan.
Bersiap landing di Soekarno Hatta International Airport.
Thanks Lion Air.

Dari udara aku bisa melihat dengan jelas gradasi menarik warna biru pantai Belitung. Juga bisa melihat dengan jelas Pulau Karimata dengan jernihnya.

Perjalanan yang sedetikpun aku tak mampu memejamkan mata saking indahnya pemandangan akhirnya mengantarkanku mendarat dengan mulus di landas pacu Soekarno Hatta International Airport.

Setibanya di bandara, aku segera berburu bus DAMRI demi menuju Terminal Kampung Rambutan.

Akhirnya aku pulang.

TAMAT

Supadio International Airport: Pertama dan Kesembilan

<—-Kisah Sebelumnya

ARRIVAL HALL

Menjadi bandar udara pertama yang akan kukunjungi di Pulau Kalimantan, Supadio International Airport tentu akan segera mengantarkanku ke beragam destinasi wisata Kalimantan Barat yang menarik untuk ditelusuri.

Pukul sepuluh lebih sekian menit, Lion Air JT 712 berhasil merapat di apron. Alhamdulillah penerbangan berlangsung dengan sangat lancar tanpa kurang satu apapun.

Aku pun bergegas menarik backpack 45L dari bagasi begitu lampu tanda sabuk pengaman dipadamkan. Aku bersemangat untuk segera meninggalkan kabin dan menghirup udara Borneo.

Tak menunggu lama, pintu kabin bagian depan pun dibuka dan aku yang berada di kursi buncit tetap saja harus keluar paling akhir walau menjadi yang pertama bersiap keluar.

Seperti biasa….

Aku menghentikan langkah di pertengahan aerobridge, menepi di salah satu sisinya dan melakukan pengamatan di sekitar apron. Melihat proses unloading di sisi kanan dan melihat muka bandar udara di sisi kirinya.

Berarti ini yang kesembilan…Emmhhh….Yups benar sembilan”, aku kembali mengingat dan kemudian mantab menyebutkan nomor itu dalam batin….Yupz, ini bandara di tanah air kesembilan yang pernah aku singgahi.

Walaupun berfungsi sebagai akses utama menuju Pontianak, sesungguhnya bandar udara ini berlokasi di Kab. Kubu Raya.
Ternyata sudah menjalani renovasi empat tahun lalu.

Selepas aerobridge, aku mulai menyusuri koridor kedatangan. Tampak nyata bahwa bandara itu baru saja mendapatkan sentuhan renovasi. Segenap interiornya tersemat sentuhan-sentuhan modern.

Nuwun semu, Mas…., suara itu datang dari sebelah kiri. Membuatku tersadar bahwa aku telah menghalangi koridor.

Oh, ngapunten, Mas….”, aku refleks menjawab. “Loh, Mase nJawine pundi?….Katah nggeh tiyang nJawi wonten mriki?”, aku meneruskannya dengan pertanyaan lain sembari menyejajari langkahnya.

“Kulo saking Malang….Njih lumayan katah, Mas….Nopo Mase nembe jalan-jalan tho?”, dia mengimbangi percakapan.

“Njih, Mas….Namung backpackeran niki”, aku menjawab sekenanya. “Mase, mesti anak kuliahan niki”, aku melihat penampilannya yang seperti seorang pelajar.

“Njih, Mas…Leres. Mase bade tindak pundi tho?”,dia terus berjalan , menggendong backpack dan menenteng tas di setiap tangannya.

“Singkawang, Mas”, aku menjelaskan sembari mengotak-atik settingan Canon EOSku.

“Oalah…Kota Amoy….Mantab….Ngatos-atos nggih mas”, dia tampak mulai terburu waktu.

“Njih, Mas”, aku melambaikan tangan kepadanya.

Percakapan itu berakhir tepat di pertengahan escalator menuju arrival hall. Melompat di ujung escalator, aku kembali merasa ngeri. Begitu penuhnya balai kedatangan dengan para penumpang yang sedang mengantri menulis sesuatu pada lembaran.

“Itu apa, Bang?”, tanyaku pada salah satu dari mereka yang sudah selesai mengisi.

“Ini manual eHAC, Bang”

“Oh, Okay”, aku sudah mengisi eHAC (electronic-Health Alert Card) semalam di Aplikasi PeduliLindungi sehingga hanya memerlukan sedikit arahan dari petugas.

Setelah menemui seorang aviation security, dia menjelaskan bahwa aku hanya perlu men-scan barcode eHAC ku di ujung antrian tanpa perlu mengisi form manual.

Arrival hall.
Tempat pengambilan bagasi.
Sisi luar bandara yang namanya diambil dari nama seorang pilot yang gugur pada kecelakaan pesawat terbang di Bandung.

Benar saja, aku melewati tahap akhir pemeriksaan dengan mudah. Setelahnya, aku hanya melintas saja di area coveyor belt karena memang tak memiliki bagasi yang harus diambil. Aku hanya membawa backpack yang sebetulnya over muatan. Bobot tas seberat hampir sepuluh kilogram bisa lolos masuk ke kabin dari pemeriksaan di konter check-in di Soekarno Hatta International Airport. Tapi toh tetap tak masalah apabila itu ketahuan karena Lion Air JT 712 menyediakan kuota bagasi seberat dua puluh kilo untuk setiap penumpangnya.

“Aku harus segera bertolak ke Singkawang”, aku mulai berfikir. “Aku harus berburu pemberangkatan DAMRI terdekat”.

Menghindari kebingungan, aku bertanya kepada seorang aviation security perihal keberadaan bus DAMRI menuju ke Singkawang. Tetapi jawaban petugas itu membuatku hilang harapan. Bagaimana tidak, bus DAMRI ke Singkawang saat itu hanya berangkat sekali saja pada pukul tujuh pagi dan akan kembali dari Singkawang menuju Pontianak pada pukul lima sorenya. Hal itu disebabkan karena kebijakan PPKM beberapa minggu sebelumnya sehingga Pontianak mengalami sepi pengunjung.

Artinya aku harus mencari transportasi lain menuju ke Singkawang….

Dan aku sudah cukup faham, bahwa tak ada pilihan lain, aku harus menunggang taksi menuju ke Singkawang jika tak ingin kemalaman.

—-****—-

DEPARTURE HALL

Aku hanya memiliki masa lima hari untuk melanglang Kalimantan Barat. Jadi aku memutuskan untuk memfokuskan eksplorasi di dua kota saja, yaitu Singkawang dan Pontianak. Karena keberangkatanku menuju Pontianak jatuh di hari Kamis maka pada hari Seninnya aku harus kembali ke ibu kota.

Perjalananku menuju ibu kota dimulai dari G-Hotel yang terletak di pusat kota. Kali ini aku tak perlu memesan ojek online, karena Bang Hendra akan menjemputku di lobby hotel dan mengantarkanku ke bandara.

Bang Hendra sendiri adalah kakak kandung dari teman karibku di kantor yang asli Pontianak. Aku baru berkenalan dengan Bang Hendra sehari sebelum kepulanganku. Kemarin aku dijemputnya di Masjid Raya Mujahidin untuk diantarkan ke Pondok Pengkang di daerah Siantan. Begitu beruntungnya aku memiliki banyak teman yang baik hati.

Sebelum jam satu siang, Bang Hendra telah menurunkanku di drop-off zone Supadio International Airport. Kali ini aku akan turut serta dalam penerbangan Lion Air JT 715 yang berencana take-off pada pukul tiga sore.

Usai mengambil beberapa potret bandara  dari beberapa posisi terbaik, aku memutuskan segera masuk ke departure hall dengan memperlihatkan e-ticket dan identitas diri kepada petugas aviation security yang berjaga di pintu masuk.

Sama ketika berangkat dari Soekarno Hatta International Airport, kali ini aku tak perlu mengantri di meja verifikasi layak terbang. Oleh petugas aviation security, aku diminta lansung menuju konter check-in karena telah memiliki hasil PCR di aplikasi PeduliLindungi.

Tetapi sayang, konter check-in masih dalam tahap persiapan sehingga aku harus menunggu seperempat jam lamanya hingga konter tersebut benar-benar dibuka. Dan entah kenapa, departure hall dipenuhi oleh banyak tentara yang akan melakukan penerbangan.

Kak, semalam saya gagal check-in online. Apakah saya bisa diberikan window seat di bagian belakang kabin”, pintaku pada ground staff wanita yang bertugas setelah konter dibuka.

Dia hanya tersenyum mengangguk sebagai pengganti jawaban lisan. Atas kebaikannya, aku diberikan bangku bernomor 33F, selisih satu bangku dengan bangku saat aku berangkat dari Jakarta lima hari lalu.

Mendapatkan boarding pass jauh dari boarding time tentu membuatku lega. Aku menyempatkan Dzuhur di sebuah mushola di lantai pertama bandara. Kali ini aku ditunjuk sebagai imam oleh beberapa petugas aviation security yang akan menunaikan Dzuhur juga di saat yang sama.

Bangunan bandara dengan tiga identitas etnis, yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa.
Drop-off zone.
Bagian luar departure hall.
Check-in desk.
Mushola lantai satu.

Usai shalat, aku segera menaiki escalator demi menuju lantai 2. Setibanya di atas, salah satu sisi selasar dimanfaatkan untuk memajang foto-foto sejarah masa lalu yang terkait dengan Bandar Udara Supadio. Dari deretan foto itu aku tahu bahwa Bandar Udara Supadio memiliki nama lama Airport Sungai Durian. Tertampil pula potret Soekarno yang sedang mengunjungi bandara tersebut di suatu masa.

Sisi lain lantai dua juga dipenuhi oleh executive lounge, souvenir outlet, coffee shop, minimarket dan restoran.

Kini aku tiba di hamparan bangku tunggu yang langsung berhadapan dengan gate. Mataku menyapu sekitar demi mencari keberadaan minimarket untuk mencari sesuatu sebagai pengganti makan siang. Maklum, aku hanya bersarapan dengan dua potong Pengkang yang kubawa dari Siantan tadi malam. Pantas saja, siang itu aku cepat sekali merasakan lapar.

Demi menjaga protokol kesehatan dengan menghindari makan di tempat umum, akhirnya aku memutuskan untuk menyantap roti dan beberapa keping biskuit saja. Aku membelinya di sebuah minimarket dan menyantapnya di kursi tunggu yang lengang sembari menunggu boarding time tiba.

Foto-foto sejarah.
Commercial zone lantai 2.
Ruang tunggu sebelum gate.

Hingga akhirnya, tepat pukul setengah tiga sore, panggilan untuk boarding tiba. Kini saatnya bersiap diri untuk mengikuti penerbangan menuju Jakarta.

Kisah Selanjutnya—->

Terminal 2D Soetta: Mengembalikan Insting yang Lama Pudar

Semenjak terakhir pulang dari Qatar di permulaan 2020, boleh dikata, aku tak pernah lagi berpetualang dalam jarak yang jauh. Terhitung selama hampir dua tahun, aku hanya mengunjungi destinasi yang lokasinya berdekatan dengan ibukota, sebut saja Ujung Genteng, Gunung Pancar, Curug Leuwi Hejo, Dataran Tinggi Dieng, Anyer dan Puncak.

Tapi kini hati tetiba berujung galau ketika cuti lima hari disetujui oleh pimpinan tempatku bekerja. Ditambah dua hari weekend menjadikan liburanku genap satu pekan.

Ketika esok hari hitungan cuti bermula, pikiranku pergi membayang ke segala tempat. Adalah Bali, Lombok dan Labuan Bajo yang ada di pikiran pagi itu.

Tapi aku harus segera melakukan sesuatu sebelum berpikir lebih jauh.

Di hari pertama cuti, aku memutuskan untuk berangkat menuju sebuah rumah sakit kenamaan di bilangan Cibubur yang terkoneksi dengan Program PeduliLindungi untuk melakukan PCR dengan hasil keluar sameday. Aku telah menetapkan niat, apabila hasil PCR negatif maka aku akan memberanikan diri untuk terbang.

Ya, kemanapun….Yang penting naik pesawat”, niat di hati terdalam.

Aku telah merindukan sebuah petualangan panjang. Tentu petualangan yang jauh dari rumah. Aku sudah bersiap diri melakukan perjalanan dengan protokol pandemi.

Aku bersemangat datang ke rumah sakit dan tiba pada pukul setengah sembilan. Menunggang Beat Pop hitam kesayangan, aku tiba di depan para perawat yang bersiap mengambil sample PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan mekanisme drive thru.

Sehari sebelumnya, aku telah melakukan pendaftaran online senilai Rp. 275.000. Inilah pertama kalinya aku menjalankan tes PCR. Tes yang membuatku bersin-bersin hebat bukan kepalang.

Selepas tes, aku pulang dan berdebar menunggu hasil. Dan pada akhirnya, hati diselimuti rasa bahagia ketika aku mendapatkan kabar lewat WhatsApp pada pukul lima sore bahwa PCRku menunjukkan hasil negatif dan hasil itu juga tercantum otomatis di aplikasi PeduliLindungi.

Sempurnanya hasil PCR mengantarkanku menuju tahap berikutnya yaitu berburu tiket.

Aku terjun berselancar di aplikasi e-commerce perjalanan terkenal di Indonesia. Akan tetapi, hasil perselancaran itu akhirnya mengubur dalam-dalam niatku yang sangat berhasrat melawat ke Labuan Bajo ataupun Lombok. Harga tiket pesawat yang terlalu melangitlah yang membuatnya demikian. Alternatif lain menuju Bali pun akhirnya berpotensi menjadi perjalanan tanggung karena sesungguhnya aku pernah menginjakkan kaki di Pulau Dewata.

—-****—-

Malam itu juga, aku mulai mempacking segenap perlengkapan hingga larut malam. Tak lupa, aku mempersiapkan obat-obatan beserta vitamin dengan lebih serius. Bahkan aku memutuskan membawa tablet antivirus sebagai antisipasi jika terjadi hal-hal diluar perkiraan di daerah tujuan.

Online check-in penerbangan pun baru kuselesaikan lewat tengah malam. Mendapatkan posisi duduk di window seat membuatku bersemangat dalam mengisi eHAC (electronic-Health Alert Card). Kuberharap suksesnya online check-in dan terbitnya eHAC akan membuat proses menuju boarding menjadi lebih cepat di keesokan harinya.

Usai memastikan segenap tahap persiapan tuntas, aku memutuskan tidur.

Akan tetapi, aku hanya bisa tertidur ayam tanpa kenyenyakan hingga setengah empat pagi….Seperti biasa, kekhawatiran tertinggal penerbangan menjadi penyebabnya.

Kuputuskan bangun lebih cepat dan melakukan shalat tahajud demi  memohon kepada Sang Kuasa atas keselamatan selama berpetualang. Seusainya, aku segera berbasuh dengan air hangat, bersarapan sekedarnya dan bergegas berburu ojek online untuk mengantarkanku menuju shelter DAMRI Terminal Kampung Rambutan.

Lewat sedikit dari setengah lima pagi, aku tiba di sana. Setelah menyiapkan sebotol air mineral dari sebuah kedai, aku bergegas naik. Bus berangkat tepat pukul lima dan setiap sisi deret bangku hanya boleh diisi oleh satu penumpang. Inilah yang membuat tarifnya melonjak dua kali lipat….Menjadi Rp. 85.000.

Akhirnya naik DAMRI bandara lagi.
Tiba di Terminal 2D Domestik.

Bus melaju cepat membelah jalanan kosong di jalan bebas hambatan. Satu jam kemudian, aku terbangun ketika bus perlahan merapat di Terminal 3-Ultimate. Dengan cekatan aku merogoh lembaran e-ticket dari backpack untuk memastikan terminal tujuan.

Terminal 2D Domestik…”, aku yakin membatin.

Akhirnya aku tiba….

Melompat turun di drop-off zone. Kini aku melangkah ke dalam bangunan bandara. Tentu aku merasakan atmosfer yang berbeda ketika memasukinya. Kondisi bandara sudah tak seperti dulu lagi ketika masa bepergian masih menjadi hal yang tidak berbahaya serta tanpa prosedur kesehatan yang ketat.

Begitu memasuki departure hall, Aku langsung dihadapkan pada antrian panjang calon penumpang yang berburu konfirmasi layak terbang pada sebuah layar LCD. Melihat panjangnya antrian, aku memberanikan diri untuk bertanya pada seorang petugas yang berjaga.

Pak, saya sudah memiliki hasil PCR negatif di dalam aplikasi….Apakah saya bisa mengindahkan antrian itu?”, aku menunjukkan barcode di aplikasi PeduliLindungi.

Terbang jam berapa, pak?”, dia mengangguk-angguk melihat barcode yang kutunjukkan.

Jam delapan, pak

Oh, silahkan bapak langsung saja menuju konter check-in, nanti tunjukkan hasil tes dalam aplikasi ya, pak!

“Baik, pak”

Aku melangkah mantap menuju screening gate pertama dan bisa melewatinya dengan mudah.

Kini aku bergegas menuju konter check-in. Begitu tiba di area konter, aku tetiba merinding karena keramaian calon penumpang yang rapat tak berjarak.

Aku berhenti sejenak dan mengamati dari kejauhan. Aku mencoba mengembalikan insting backpacker yang sudah lama tak terasah. Sepuluh menit aku hanya berdiri menatap ruangan penuh manusia itu. Aku terus mencoba berfikir.

“Seingatku, selalu ada antrian pendek yang disitu berjajar calon penumpang tanpa bagasi”, aku terus berfikir keras.

Pak, ada antrian konter tanpa bagasi?”, aku memberanikan diri bertanya pada seorang ground staff yang kebetulan melintas.

Oh, di ujung sana pak, konter nomor 46”, dia mengarahkan telunjuknya ke sebuah arah.

Terimakasih pak

Aku bergegas menujunya dan benar saja, aku hanya menemukan antrian lima calon penumpang di depan konter itu. Akhirnya, aku tak perlu mengantri lama dan berhasil menjauhi kerumunan.

Usai mengantongi boarding pass. Aku menuju ke Gate D1 dengan melewati screening gate kedua yang tentunya pemeriksaan berjalan lebih ketat. Aku berhasil melewatinya dengan mudah dan akhirnya bisa duduk di waiting room Gate D1 tepat satu jam sebelum boarding.

Lihat antrian panjang nan rapat itu!
Konter check-in tanpa bagasi. Lebih pendek dan cepat.
Menuju gate.
Gate areas setelah screening gate.
Di depan sana adalah waiting room Gate D1.
Pemandangan apron dari Gate D1.

Kini aku bersiap terbang menuju provinsi ke-12 di dalam petualanganku menaklukkan tanah air.

PONTIANAK….Ya aku bersiap mendarat di Kota Khatulistiwa tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Lion Air JT 257 dari Padang (PDG) ke Jakarta (CGK)

Ini bukan pertama kali bagiku menaiki Lion Air, pernah kunaiki maskapai ini pada rute Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapura, atau sebaliknya. Hanya saja, ini adalah kali pertama pengalamanku menjajal Boeing 737 MAX 8, jenis pesawat fenomenal, yang sedang “grounded “ semenjak kecelakaan ganda, satu di Indonesia dan kedua di Ethiopia, dengan penyebab yang sama.

Aku akhirnya berhasil mengeksplore Minangkabau International Airport dalam gerimis, tapi nanti saja kusampaikan. Aku masih menyimpan sebuah petualangan repetisi ke Padang pada sebuah business trip di awal tahun 2020. Jadi harap bersabar jika ingin mengintip keotentikan Minangkabau International Airport dari blog ala kadar ini.

Drop Zone di Departure Hall Minangkabau International Airport.

Aku diturunkan tepat di depan lobby keberangkatan oleh DAMRI berukuran tiga perempat, tetapi setelahnya, aku tak segera memasuki check-in area. Aku lebih memilih mengambil beberapa gambar ketika hujan sedang merubah fasenya menjadi gerimis lembut. Kulakukan hingga beberapa gambar menjejal di kartu memori Canon EOS M10ku.

Mari segera masuk area check-in!

Penerbangan lokal yang hanya mensyaratkan tampilan booking confirmation di layar telepon pintar serta kartu identitas biru langit bernama sama, memudahkan penumpang memasuki check-in area.

Harus kusediakan kesabaran karena selepas meninggalkan konter check-in, aku akan menunggu Si “Singa Merah” datang lebih lama….Delay, gaesss!. Aku memang telah bersiap dengan kondisi itu. Bukan perkara waktu, tapi perkara terjangkaunya harga tiket maskapai ini yang menjadi prioritasku.

Setelah menaiki escalator menuju Departure Gate, aku duduk sebentar di commercial hall yang berlokasi di sebelah screening gate. Membereskan setiap perlengkapan agar sedikit rapi dan nyaman ketika memasuki kabin pesawat nanti. Sementara backpack 45L milikku memilih berdiam di lambung pesawat demi menyelamatkan payung bermotif pelangi seharga Rp. 50.000 yang kubeli di Pelabuhan Tiga Raja lima hari lalu.

Kejutan tiba, saat menuju musholla untuk menunaikan ibadah shalat maghrib, aku bersua kembali dengan Boris, Tukang Pos dari Slovakia.

Aku        :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

Aku tak lama bercakap karena Boris sudah mulai memasuki antrian menuju gate, dia terbang ke Surabaya, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Malang begitu mendarat. Stasiun Gubeng menjadi pilihannya untuk bertolak dari Kota Pahlawan. Informasi itu kudapat ketika berbincang di jok belakang Maestro Travel lima jam silam. Yang kuamati, botol air mineral pemberianku masih utuh terselip di sebelah kiri backpacknya….Hahaha, entah bagaimana air itu lolos dari screening gate.

Setelah menunggu lama, akhirnya penerbangan JT 257 mulai memanggil penumpangnya. Aku mulai mengantri dan bersiap melakukan perjalanan menuju Soekarno Hatta International Airport dengan penerbangan seharga Rp. 563.000. Tiket ini sendiri kubeli 11 hari sebelum keberangkatan.

Melalui aerobridge, aku memasuki badan pesawat,  sebetulnya aku baru mengetahui bahwa selongsong terbang ini berjenis Boeing 737 MAX 8 setelah salah satu awak pemegang microphone menginformasikannya ketika peragaan standard keselamatan penumpang sedang dilakukan.

Selain gres, kesan pertama yang kudapat setelah duduk di salah satu window seat jenis pesawat ini adalah kelegaan dan tampilan futuristiknya. Pesawat sudah berada pada posisi terbaiknya untuk menyalakan mesin jet, pilot menunggu konfirmasi untuk segera mengudara. Beberapa menit kemudian aku benar-benar meninggalkan Padang.

Malam yang sedikit mendung membuat pesawat sedikit terguncang menubruki awan-awan rendah di langit Minang. Yang kusaksikan kemudian adalah sekuel-sekuel pertunjukan pelita bumi yang dipaksa bejeda oleh awan-awan hitam tipis sebagai bintang iklannya. Indah dan mempesonaku sebagai pengantar tidur. Detik-detik selanjutnya hanyalah

Gelap….

Geelaaap……..

Geeelaaap…………

Aku tidur berselimut rasa capek yang luar biasa setelah enam hari berkeliling tanah Sumatera. Sepertinya aku genap tidur selama 1 jam 45 menit, ekuivalen dengan waktu tempuh penerbangan itu. Terpejam sejauh 700 km lebih bersama halusnya performa pesawat milik maskapai swasta terbesar di tanah air ini.

Aku tiba di Cengkareng lewat tengah malam.
Maskapai yang telah genap mengudara selama 20 tahun.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) adalah mainhub dari Lion Air.

Aku tiba dalam kantuk, lalu tergopoh menyetop kehadiran Bus DAMRI menuju Terminal Kampung Rambutan. Aku tiba di rumah dalam hantaran ojek pangkalan dan mensyukuri nikmat Allah atas kesempatan eksplorasi yang dianugerahkan yang menjadi bab kesekian dalam cerita perjalanan hidupku.

Saatnya menutup cerita perjalanan ke tanah Sumatera. Dan beralih ke perjalanan berikutnya.

Kemana ya????

Yes, SEMARANG…….