Makan Malam di Tepian Banpo Bridge

<—-Kisah Sebelumnya

Banpo Bridge yang gagah mengangkangi Han River.

Untung aku tak tenggelam dalam pulasnya tidur siang di Kimchee Guesthouse Sinchon. Lewat sedikit dari jam lima sore aku terbangun. Segera membongkar isi backpack, aku mencari toiletries bag dan microfiber towel untuk keperluan mandi pertamaku sejak 35 jam yang lalu.

Aku sengaja berlama-lama mengguyur diri dengan air hangat walaupun aku tahu ada seorang penghuni penginapan yang beberapa kali mengetuk pintu sebagai tanda memintaku untuk mempercepat mandi….Jahat banget guwe, kannn.

Usai mencuci kaos kaki, aku pun keluar dari kamar mandi dan melempar senyum pada seorang tamu perempuan asal Tiongkok yang menunggu sedari tadi. Tentu saja senyum hangatku itu berbalas cemberutan bibir darinya. “Maaf neng, abang dah lama kagak mandi, hampura nyakkk…..” .

Usai berganti baju dan mengenakan semua perlengkapan musim dingin, aku bersiap melanglang Seoul lagi hingga malam nanti.

Aku masih ingat dengan kata teman-teman sekantor yang memintaku untuk mengunjungi sebuah jembatan yang sering dijadikan latar dalam drama-drama Korea terkenal. Walaupun aku mengindahkannya ketika berangkat, tetapi entah kenapa sore itu aku berkeinginan kuat untuk mengunjunginya juga. Kata teman-temanku, jika malam tiba, di Banpo Bridge sering ada air mancur pelangi, perpaduan antara air mancur dengan permainan cahaya di kedua sisi jembatan. “Oke lah….ndak ada salahnya aku kesana walau bukan penggemar drama Korea”, aku akhirnya sudah memutuskan tujuan.

Dari Stasiun Hongik University, kini aku akan menuju ke Stasiun Seoul Express Bus Terminal, tempat pertama kali aku menginjakkan kaki di Seoul. Kenyang nanggung dari sepotong Kimbab yang kusantap di Stasiun Hongik University siang tadi sirna sudah. Kini perut mulai berdangdut ria merayakan kesewotanku menahan lapar. Tetapi karena kekhawatiran terjebak malam di Banpo Bridge aku memutuskan untuk menunda keinginan makan malam itu.

Aku segera melangkah menuju Stasiun Hongik University, menjemput kedatangan Seoul Metro Line 2 dan menuju ke destinasi yang kusasar. Saking fahamnya jalur Seoul Metro karena sedari pagi terus-menerus memelototi peta jalurnya, menjadikanku aware jika aku harus transit dahulu di Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga dan harus pindah tumpangan di Seoul Metro Line 3.

Kurang lebih memerlukan waktu setengah jam untuk sampai di Stasiun Seoul Express Bus Terminal. Keluar dari gate 8-1 di stasiun itu, aku berjalan kaki menuju Banpo Hangang Park, sisi terbaik untuk menikmati indahnya Banpo Bridge.  

Perlu waktu 20 menit untuk bisa untuk bisa tiba di taman yang berada di tepian Han River. Memasuki taman yang mulai gelap dengan minim penerangan sebetulnya sedikit menciutkan nyali. Beruntung ada serombongan keluarga Korea yang memasuki taman dan menuju tempat yang sama. Dengan pura-pura menunjukkan ketenangan aku menguntitnya dari belakang….Hahaha, dasar pengecut kamu, Donny.

Rombongan yang sibuk berjalan sembari menyiapkan beberapa kamera itu membuatku yakin bahwa mereka akan menuju Banpo Bridge view point. Benar adanya, saya dan rombongan keluarga lokal itu akhirnya tiba di tepian sungai secara bersamaan.

Yeaaa…..nyampai juga.

Penampakan Banpo Bridge dengan gemerlap lampu memang tampak indah mengangkangi Han River. Aku sangat antusias duduk di tepian sungai demi menunggu momen pertunjukan air mancur pelangi itu dimulai. Detik demi detik, menit demi menit, bahkan aku sudah merelakan diri digulung suhu dingin kota, pertunjukan itu tak kunjung hadir.

Alhasil, dengan berakhirnya kunjungan keluarga lokal itu karena kekecewaan yang sama, membuatku terpaksa ikut undur diri dari tempat itu. “Masa iya, aku harus sendirian di tepian sungai yang sepi dan gelap begini….”, geramku sambil menahan lapar yang sedari tadi sungguh mengacaukan konsentrasiku.

Berjalan meninggalkan keelokan Banpo Bridge, aku sungguh beruntung bisa melihat keberadaan gerai mungil 7-Eleven di sisi lain taman.  Cahaya lampu dari dalamnya mengisyaratkan bahwa gerai itu masih buka. Lantas tak berfikir panjang, aku mempercepat langkah mendekatinya. “Enak nih, cup noodles disantap dengan nasi….”, semangatku hadir sembari mengingat cara makan sederhana yang selalu kupraktikkan selama berkunjung ke Korea Selatan.

Aku berseru girang berhasil mendapatkannya. Kegirangan itu semakin bertambah karena gerai 7-Eleven itu menyediakan tenda di sisi luarnya untuk menyantap makanan yang dibeli dari gerai. Unik, tenda itu dihangatkan dengan sebuah kipas angin yang baling-balingnya dibuat dari filamen pemanas.

Tuh……..

Kisah Selanjutnya—->

Tidur Siang di Kimchee Guesthouse Sinchon

<—-Kisah Sebelumnya

Lupa ambil foto pas nginep….Hihihi.

Aku masih saja bediri termangu di utara alun-alun untuk menikmati kegagahan Gwanghwamun Gate , gerbang enam abad milik Istana Gyeongbok. Alun-alun Gwanghwamun dengan dasar batuan andesit serta paduan hijaunya rumput taman tampak mulai dipenuhi oleh arus kunjungan para pelancong.

Selain patung Admiral Yi Sunshin, patung emas Raja Sejong yang Agung-sang raja keempat Dinasti Joseon adalah tujuan penting para pelancong. Mereka terlalu terpesona dengan patung-patung itu ketika aku lebih memilih memperhatikan kesibukan Kedutaan Besar Amerika Serikat di tepian Sejong-daero Avenue yang bersebelahan dengan National Museum of Korean Contemporary History.

Tak terasa waktu telah bergulir lewat dari tengah hari, sisa kantuk usai bermalam di Seoul Express Bus Terminal membuatku tak mampu menyembunyikan rasa kantuk di pelupuk mata. Badan yang belum terguyur air semenjak 30 jam yang lalu juga membuat tubuh tak merasa nyaman.

Lebih baik pulang ke penginapan saja”, begitu seru batin menggugurkan semangatku untuk melanjutkan eksplorasi. “Sial….Aku menyerah kali ini”, dengan bersungut-sungut kesal, aku memasuki gerbang Stasiun Gwanghwamun.

Selamat tingga Distrik Jongno”, lirih batinku ketika melompat masuk ke gerbong Seoul Metro Line 5. Tanpa memperhatikan keriuhan di dalam gerbong, aku segera mengarah ke tempat duduk kosong di dekat sambungan. Tanpa basa-basi aku segera memejamkan mata saking kantuknya.

Aku kini menuju ke Stasiun Hongik University dengan sekali transit di Stasiun Chungjeongno karena untuk menuju Kimchee Guesthoouse Sinchon di Distrik Seodaemun aku harus menunggang Seoul Metro Line 2.

24 menit kemudian aku tiba di tujuan. Sebelum benar-benar meninggalkan Stasiun Hongik University, aku menyempatkan diri menuju T-Money card vending machine di pojok koridor untuk mengisi T-Moneyku yang hampir kehabisan saldo. Kali ini aku memenuhi kartu perjalanan kota Seoul itu dengan 10.000 Won, angka yang lebih dari cukup hingga akhir petualanganku di Seoul.

Hilir mudikku di Stasiun Hongik berakhir di sebuah G-25 minimarket untuk sekedar makan siang seadanya. Sepotong Kimbab kemasan berhasil kudapatkan dengan harga 1.300 Won saja. Kenyang atau tidak, hanya itu jatah makan siang yang harus kuterima.

Usai menyantapnya di meja minimarket, aku segera menaiki escalator yang menjulang menuju permukaan, melewati gang Sinchon-ro 2-gil, menyeberangi Sinchon-ro Avenue, lalu bergegas menuju penginapan.

Hooohh….You, Donny. Welcome, your room is ready”, begitu sosok resepsionis yang sama sejak pagi tadi menyambut kedatanganku.

Hi, Sir….Thank you. I think I should go to bed soon….Hahaha”, aku menjawabnya ringan sambil merengkung backpack biru yang sedari pagi kutaruh di pojok ruangan depan.

Oh yeah, you look tired

Yes, I spent my last night at Seoul Express Bus Terminal”, aku mengiyakan.

Usai resepsionis itu me-scan passport yang kuberikan, kunci kamar pun diberikan. Tak menunggu lama, aku segera naik ke lantai atas, memasuki kamar, melepas winter jacket dan sepatu, kemudian segera melompat ke bunk bed untuk memulaskan diri hingga sore nanti.

Kisah Selanjutnya—->

Bukchon Hanok Village: Destinasi Pertama di Seoul

<—-Kisah Sebelumnya

Kamsahanida……”, ujarku keras terlontar teruntuk petugas kasir perempuan CU Minimarket di pojok sana. Aku telah rampung menyantap nasi putih kemasan dan cup noodle yang membuat bibirku terasa membara saking pedasnya.

Cheonmanneyo….”, kasir cantik putih itu melempar senyum sembari melambai tangan ketika aku sudah berada di depan pintu kaca hendak menjangkau handlenya.

Keluar dari minimarket, aku melangkah cepat menuju gerbang Stasiun Hongik University yang tak jauh lagi, tepat di sebelah kiri tikungan di depan sana.

Menuruni escalator super panjang menukik menuju bawah tanah, aku mulai membuka denah cetakanku sendiri, lalu menunjuk sebuah titik tujuan. “Aku harus menuju Stasiun Anguk”, batinku berseru sembari melipat denah dan memasukkan ke saku belakang.

Kini aku berada di batas platform. Menjelang siang, suasana stasiun bawah tanah lengang. Tetiba, pertunjukan romansa jalanan di ujung platform sana memudarkan rasa antusiasku dalam menunggu kedatangan Seoul Metro. Sepasang sejoli tampak berpeluk pinggang sembari bertatap mesra. Sesekali sang pria cuek menyosor gadis di depannya….”Buseeet….”, seloroh iriku keluar juga. Pertunjukan seperti itu memang tak membuatku heran karena sudah kerap kujumpai di moda transportasi yang sama milik Negeri Singa atau Kota Shenzen. “Anggap saja sebagai bonus perjalanan…”, batinku tersenyum kecut.

Pelukan mesra mereka terlepas beberapa saat setelah derap suara Seoul Metro terdengar dari lorong kanan. Seoul Metro mendecit lembut dan berhenti di hadapan, mereka mengakhiri romansa dan penonton tunggalnya pun ikut menaiki kereta.  

Seoul Metro Line 2 merangsek meninggalkan Distrik Seodaemun menuju timur. aku akan berwisata ke Distrik Jongno yang berjarak delapan stasiun dan harus berpindah ke Seoul Metro Line 3 di Stasiun Euljiro 3(sam)-ga serta membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Sesuai perkiraan waktu, kini aku sudah berdiri di depan pintu Seoul Metro ketika announcer sound mengatkan bahwa kereta akan segera merapat ke Stasiun Anguk. Setelah berhenti sempurna, aku melompat meninggalkan gerbong yang sedari menaikinya, tak ada kejadian berkesan lain setelah romansa setengah jam lalu.

Keluar dari Stasiun Anguk, aku dihadapkan pada Yulgok-ro Avenue. Percaya diri mengambil langkah ke kiri mengantarkanku pada sebuah simpang lima yang ramai dengan gerai fashion, kuliner dan kosmestik. Sepertinya aku salah jalan.

Aku berdiri terpaku di sebelah tugu Enso yang berlokasi tepat di salah satu sisi simpang lima tersebut. Enso sendiri adalah kuas kaligrafi tradisional asli Korea Selatan. Mengamati perilaku masyarakat lokal yang sibuk berbelanja. Sementara beberapa kelompok turis asal Eropa tampak sedang bercakap-cakap di gerai Tourist Information yang terletak di samping tugu. Sepertinya aku harus ke gerai itu dan menanyakan arah destinasi yang kutuju. Akhirnya aku melangkah menujunya.

Aku: “Hello, Ms. Can me know which way thet I need to choose toward Bukchon Hanok Village?

Dia: “Hi, Sir. You can go straight there and then turn left in crossroad. You will arrive in Bukchon Hanok Village with walking about 600 meter”.

Aku: “Very clear, thank you, Ms

Dia: “You are welcome. And this tourism map is for you”, dia tersenyum  sembari menyerahkan selembar denah pariwisata Seoul untukku.

Aku pun segera melangkah menuju utara. Sedikit santai sembari menikmati keramaian jalanan Bukchon-ro, akhirnya aku tiba di Bukchon Hanok Village dalam 20 menit. Perkampungan budaya ini berlokasi di sebelah barat jalan utama.

Notre Dame Education Center di Bukchon Hanok Village.

Diluar dugaa, ini berbeda dengan Gamcheon Culture Village di Busan yang kukunjungi beberapa hari lalu. Bukchon Hanok Village menampilkan deretan Hanok (rumah tradisional Korea Selatan) yang tersusun rapi memanjang mengikuti kontur jalan setapak. Kayu-kayu yang menjadi bagian dari bangunan Hanok tampak terawat mengkilap, Gang-gang yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki nampak rapih dan bersih. Inilah perumahan bangsawan era Dinasti Joseon yang berusia lebih dari enam abad dan menjadi kebanggaan Distrik Jongno.

Sesuai dengan julukannya sebagai “Kampung Utara”, maka desa ini memang terletak di sebelah utara dari dua ikon utama kota Seoul yaitu Sungai Cheonggye dan Distrik Jongno.

Selain berfungsi sebagai pelestarian Hanok, desa ini juga berfungsu sebagai pusat kebudayaan, penginapan tradisional, restoran dan tempat minum teh bersama.

Menyusuri bagian dalam perkampungan, beberapa turis perempuan tampak anggun mengenakan Hanbok (baju khas Korea Selatan) demi menyusuri perkampungan budaya ini dengan lebih khusyu’.

Sebuah keindahan yang tersimpan di daerah Gahoe ini akhirnya berhasil kudatangi juga. Sebuah kesan klasik, ketenangan, kesunyian, sarat makna dan keagungan budaya sangat kental kurasakan dalam kunjungan ini.

Kisah Selanjutnya—->

Menjajal Seoul Metro: Menuju Stasiun Hongik University

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berusaha menyejajari Mr. Park yang tampak gesit untuk kecepatan langkah seusianya. Menunggui Seoul Metro di satu sisi platform, kami bercakap ringan saja. Aku bercerita tentang perjalananku menyusuri Asia Timur kepadanya. Kuselipkan beberapa kisah petualangan di Tokyo, Osaka dan Busan beberapa hari lalu. Mr. Park tampak cukup terkesima mendengarkan alur kisah yang kusampaikan seringkas mungkin.

Sedangkan Mr. Park, In Chul Park nama lengkapnya….Menceritakan aktivitas sehari-harinya yang berprofesi sebagai seorang Dokter Spesialis Obsetri dan Ginekologi (Obgyn) di Myongji Hospital  di Distrik Deokyang.

My job is to help the baby to be born”, begitulah dia menyampaikan perihal aktivitas kesehariannya.

Seoul Metro tiba….

Berada di Line 6, kami berdua memasuki gerbong tengah. Seluruh gerbong tampak sepi pagi itu. Para pekerja belum banyak yang memulai aktivitasnya. Kami berdua terduduk di bangku tengah dan melanjutkan percakapan ke topik-topik ringan berikutnya, mulai dari keluarga kecilnya hingga sedikit menyampaikan serba-serbi Kota Seoul, aku kebanjiran informasi berharga pagi itu. Aku lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik dalam percakapan kami berdua.

Dua puluh menit menjadi perjalanan bersama yang berharga bersama Mr. Park. Aku berpamitan lebih dahulu, karena aku harus turun di Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga untuk berpindah ke Seoul Metro Line 2. Sementara Mr. Park masih melanjutkan perjalanan sejauh 14 stasiun lagi menuju Stasiun Hwajeong.

Turun di platform Stasiun Euljiro 3 (sam)-ga, aku mulai mencari koridor terusan menuju Stasiun Hongik University. Melihatku kebingungan mencari koridor itu, seorang lelaki tambun menghampiriku.

Dia: “Hello, Where will you go?”, dia mulai menyapa dengan pertanyaan.

Aku: “Hongik University Station, Sir. Which corridor should I choose?

Dia: “Wait….

Diapun tampak kebingungan dan berinisiatif mencegat seorang petugas Seoul Metro yang sedang melangkah di sebuah koridor. Mereka berdua tampak bercakap dan petugas Seoul Metro itu tampak menunjuk-nunjuk sisi lain bangunan stasiun.

Dia: “You must steps over there!”, lelaki tambun nan baik itu menunjukkanku sebuah arah setelah beberapa menit lalu bertanya kepasa petugas Seoul Metro.

Aku: “Thank you very much, Sir. You are a kind man”, aku sungguh merasa terbantu atas pertolongannya.

Pantas saja susah ditemukan, koridor itu ada di bagian ujung bangunan stasiun dengan bukaan koridor yang tak terlalu besar. Menelusuri koridor, membuatku sampai pada sebuah platform. Kini aku sudah berada di platform yang benar dengan kode warna hijau di setiap petunjuk.

Lima menit kemudian Seoul Metro tiba, aku segera mengalir di lorong-lorong bawah tanah Kota Seoul bersamanya. Seoul Line 2 tampak ramai dengan para mahasiswa. Mimik-mimik muda berpendidikan tampak berjejal di gerbong. Tak mendapatkan tempat duduk, membuatku harus berdiri di sepanjang 20 menit perjalanan lanjutan.

Akhirnya aku tiba di Stasiun Hongik University…..

Saatnya menuju ke Kimchee Guesthouse Sinchon

Kisah Berikutnya—->