Mengaji Ala Bacpacker di Masjid Raya Bukittinggi

Seketika aku tersadar bahwa aku belum menunaikan kewajiban Shalat Maghrib. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul  19:10 dan suara shalawatan telah menghilang sejak tadi. Lalu waktu memaksaku untuk segera beranjak dari pelataran Plaza Bukittinggi.

Menyusuri Jalan Cinduo Mato, aku sudah tak menemukan keramaian seperti yang kubayangkan. Sebagian besar ruko di kiri-kanan jalan sudah mulai menutup pintu. Hanya beberapa yang bertahan karena masih harus melayani pelalu-lalang tersisa di jalanan.

Aku tiba di Masjid Raya Bukittinggi. Bangunan delapan jendela lengkung di lantai kedua. Tepat terletak di sisi jalan dan ditandai dengan satu buah menara berpendar kehijauan di salah satu sudut depannya.

Halaman depan Masjid Raya Bukittinggi.

Memasuki area teras, satu hal yang menarik perhatian adalah disediakannya tempat duduk beton untuk kaum perempuan di sisi kiri, sedangkan para pria diletakkan di sayap kanan. Pemisahan dimulai semenjak memasuki teras.

Tempat duduk kaum hawa dibalik pagar beton.

Aku menunaikan kewajiban Shalat Maghrib di gelaran karpet merah, sedangkan jamaáh lain tengah khusyu’ mendengarkan tausiyah pemuka agama yang berkhutbah dari sebelah mimbar. Kutenangkan fikiran, duduk bersimpuh dan menyirami kerasnya hati dengan nasehat-nasehat surgawi, sesuatu yang jarang lagi kuikuti.

Ceramah sang ustadz yang kuikuti hingga tuntas.

Aku keluar bersama jama’ah, Kaum Adam dan Hawa teratur keluar pada jalurnya. Pasangan suami-istri satu persatu meninggalkan masjid dengan berbonceng motor, beberapanya menaiki sepeda kayuh. Sementara para pemuda tampak memasuki gang-gang sempit menuju peraduannya masing-masing.

Ujung jalan Canduo Mato berangsur sepi. Rona terang deretan ruko mulai ditinggalkan pengunjung. Beberapa empu toko masih bersabar menunggu pembeli tersisa yang akan datang.

Berburu keramaian, aku memintas di Jalan Minangkabau lalu memasuki Jalan Ahmad Yani. Aku benar-benar menemukannya. Parking lot di sepanjang halaman pertokoan masih berjejal kendaraan roda empat, membuatku semakin bersemangat untuk menunda pulang ke penginapan.

Jalan Ahmad Yani di ujung selatan.

Aku terus melangkah melewati sebuah pertigaan yang dipotong Jalan Ahmad Karim dari kiri selatan. Berlanjut menemukan warung-warung tenda yang berjajar memanjang di salah satu sisi jalan dengan pemandangan Jembatan Limpapeh yang menyala penuh rona.

Deretan kuliner kaki lama di sepanjang Jalan Ahmad Yani.
Ahhhh….Sate Padang ajalah yang cuma Rp. 15.000.

Aroma sate yang semenit lalu tuntas terkunyah pengecap dengan sekejap mengusir kantuk yang menggelayuti kelopak mata sejak sesi nasehat surgawi sang ustadz di Masjid Raya Bukittinggi.

Berlanjut dengan menggusur bangku bakso ke penyeduh kopi keliling, waktuku perlahan terhempas bersamaan dengan semakin sirnanya lalu lalang kuda-kuda besi berplat BA.

Derajat suhu malam itu cepat sekali berkurang, aku yang tak berjaket sungguh merasakan dinginnya udara Bukittinggi, memaksaku segera undur diri dan melangkah pelan menuju penginapan. Esok hari aku akan terjaga lebih dini dan berkeliing kota sedari pagi.

Memasuki lantai satu penginapan, Noah, Si Insinyur Amerika itu melambaikan tangan kanannya dan menyapaku dengan senyum lebar. Sebotol beer besar ada di tangan kirinya. “I will sleep early”, ucapku kepadanya. Dia menaikkan jempol kanannya sambil berucap pendek “See you tomorrow”.

Good night Bukittinggi.

Kisah Selanjutnya—->

Following Sermon with Backpacker Style in Bukittinggi Grand Mosque.

I instantly realized that I hadn’t fulfilled yet Maghrib Prayer. While time had shown at 19:10 hours and prayer sounds had disappeared since earlier. Then time forced me to immediately move from Bukittinggi Plaza courtyard.

Walking through Cinduo Mato Street, I didn’t find a crowd like I imagined. Many shops on either side of road had begun to close its door. Only few shops still opened because they still had to serve some customer who passing through on streets.

I arrived at Bukittinggi Grand Mosque. A holy building with eight arched windows on second floor. Right on road side and marked by a green glowing tower in one of its front corners.

The front yard of Bukittinggi Grand Mosque.

Entering its terrace area, one thing which attracted my attention was concrete seating provision for women on left side, while men seating was placed on right wing. Separation began since entering its terrace.

Women’s seat behind a concrete fence.

I fulfilled Maghrib Prayer on red carpet, while other worshipers were solemnly listening sermon from religious leader who preached from pulpit. I calmed my mind, sat cross-legged and watered my hard heart with heavenly advice, something I rarely followed.

Ostad’s sermon which I followed to the end.

I went out with congregation, the Adam and Eve folk regularly came out on track. Married couples left the mosque one by one by riding motorbikes, some rode bicycles. While youths were seemed to entering narrow alleys towards their homes.

The end of Canduo Mato Street was gradually deserted. Bright shades of shophouses began to be abandoned by visitors. While some traders were still patient waiting for remaining buyers who would came.

Hunting for crowds, I crossed Minangkabau Street then entered Ahmad Yani Street. I really found it. Parking lots along shophouses were still packed with four-wheeled vehicles, making me even more excited to postpone my returning to the inn.

Ahmad Yani Street at southern end.

I continued to step past a T-junction which is cuted by Ahmad Karim Street from south left. Then continued with found tent stalls which lined lengthwise on one side of Ahmad Yani Street with Limpapeh Bridge view which was full of lights.

Row of culinary stalls along Ahmad Yani Street.
Ahhhh….Padang Satay was only USD 1.1.

Satay scent which a minute ago was completely chewed by sense of taste, instantly drove out drowsiness which clung my eyelids since Ostad’s heavenly sermon at Bukittinggi Great Mosque.

Continued with displacing meatball bench to a coffee maker, my time slowly depleted at the same time with increasingly disappearing of “iron horses” bustles with vehicle license plate BA.

Temperature degree that night quickly diminished, I who didn’t wear jacket really felt Bukittinggi cold air, forced me to immediately withdrawed from street and slowly walked towards the inn. Tomorrow I would early wake up and walking around the city in early morning.

Memasuki lantai satu penginapan, Noah, Si Insinyur Amerika itu mEntering the first floor of hotel, Noah, an american engineer waved his right hand and greeted me with a big smile. A large beer bottle was in his left hand. “I will sleep early“, I told him. He raised his right thumb while saying a short word, “See you tomorrow”.

Good night Bukittinggi.