Usai Shalat Subuh aku kembali merebahkan badan di kasur empuk G-Hotel Pontianak. Hari itu akan menjadi hari terakhirku di Pontianak. Sore hari sekitar pukul tiga sore aku akan terbang kembali ke Jakarta.
Maka tepat jam dua belas, bersamaan dengan waktu check-out dari hotel, aku akan meluncur menuju Supadio International Airport.
Dan kali ini jejak Koh Hendra belum selesai, karena dia akan mengantarkanku menuju bandara. Padahal aku sudah menolak halus usai dinner semalam. Tetapi Koh Hendra merasa gak enak sama adiknya yang merupakan pimpinanku di tempat kerja jika tak mengantarkanku pulang menuju bandara. Walhasil, aku pun menerima tawaran itu dengan senang hati, kan aku ga perlu pesan transportasi online menuju bandara….Lebih hemat kan tentunya.
Usai berbasuh aku menyempatkan diri untuk bersarapan dengan Pengkang yang semalam terbeli di Pondok Pengkang. Dua potong Pengkang ternyata cukup menjadi pengganti menu sarapan yang sengaja tak kupesan sebagai komplemen kamar di hari terakhirku di Pontianak….Sedikit berhemat.
Menjelang tengah hari aku telah selesai berkemas dan bersiap menuju bandara. Aku duduk di salah satu sofa lobby milik G-Hotel usai check-out dan tak berapa lama Koh Hendra menampakkan batang hidungnya di pintu lobby. Waktu pulang telah tiba….
Dalam perjalanan, aku kembali menjadi pendengar yang baik atas cerita-cerita Koh Hendra. Dia bercerita mengenai asal nama Pengkang yang sebetulnya berasal dari kata “Panggang” yang kemudian warga keturunan tak begitu fasih mengucapkannya sehingga keluarlah nama “ Pengkang”.
Selain itu, Koh Hendra bercerita tentang suka dukanya menjadi ketua paguyuban ojek online di Pontianak. Perjalanan menuju bandara itu juga diwarnai dengan adanya insiden kecelakaan yaitu jatuhnya sepeda motor di depan mobil yang dikemudiakan Koh Hendra. Beruntung kedua pengendaranya selamat. Hanya saja sedikit membuat kemacetan sesaat.
Kurang dari jam satu siang aku tiba di bandara. Saatnya berpamitan dengan Koh Hendra. Memasuki departure hall, aku segera menuju konter check-in. Sempat menunggu beberapa saat hingga konter check-in dibuka, akhirnya aku mendapatkan boarding pass. Setelahnya aku menyempatkan shalat jama’ sebelum menuju ke gate.
Menjadi imam bagi beberapa petugas Aviation Security akhirnya aku menyelesaikan kewajiban shalat dan segera beranjak menuju gate.
Aku akan dijadwalkan terbang dari Gate 3. Mengingat aku akan tiba di Jakarta sore hari maka kuputuskan untuk membeli beberapa makanan kemasan sebagai bekalku nanti pulang dari Soetta ke Kampung Rambutan.
Satu jam lamanya aku menunggu, akhirnya waktu boarding pun tiba….
Melalui aerobridge, aku menuju kabin dan mencari keberadaan bangku bernomor 33F sebagai tempatku duduk. Kali ini aku akan terbang Bersama Boeing 737-800 (twin jet). Pesawat akan menempuh perjalanan udara sejauh 732 Kilometer dan kecepatan rata-rata 650 km/jam. Perjalanan ini sendiri akan memakan waktu 1 jam 10 menit.
Tak perlu menunggu waktu lama bagi JT 715 untuk airborne dan memasuku cruise phase. Cuaca pada pernerbangan kali ini berlangsung dalam kondisi yang sangat cerah dibandingkan dengan keberangkatanku beberapa hari lalu.
Aku dan Koh Hendra.
Bersiap take-off.
Airborne di atas kota Pontianak.
Indah banget kan?….
Gugusan pulau di sepanjang penerbangan.
Di atas awan.
Bersiap landing di Soekarno Hatta International Airport.
Thanks Lion Air.
Dari udara aku bisa melihat dengan jelas gradasi menarik warna biru pantai Belitung. Juga bisa melihat dengan jelas Pulau Karimata dengan jernihnya.
Perjalanan yang sedetikpun aku tak mampu memejamkan mata saking indahnya pemandangan akhirnya mengantarkanku mendarat dengan mulus di landas pacu Soekarno Hatta International Airport.
Setibanya di bandara, aku segera berburu bus DAMRI demi menuju Terminal Kampung Rambutan.
Usai menunaikan Shalat Ashar, aku menunggu kedatangan Koh Hendra di serambi Masjid Raya Mujahidin. Dia sudah menelponku sejak sebelum Ashar dan memintaku menunggu di masjid hingga dia datang.
Dalam menunggu, aku selalu celingukan ketika melihat mobil memasuki area parkir, selalu berfikir Koh Hendra telah tiba, padahal aku sendiri belum tahu jenis mobilnya….Ada-ada saja.
Hampir setengah jam menunggu. Akhirnya panggilan telepon dari Koh Hendra tiba.
“Assalamu’alaikum, aku di parkiran masjid sebelah barat, Bang. Bisa jalan ke arah sini engga?”, Koh Hendra menegaskan posisinya.
“Baik, saya ke sana, Koh”, tak berselang lama aku pun bersua dengannya.
Perkenalan singkat terjadi di belakang kemudi Avanza berkelir biru muda. Dari perkenalan itu aku baru tahu bahwa Koh Hendra berasal dari keluarga multi agama yang rukun.
Aku akan menempuh perjalanan menuju daerah Peniti di Kecamatan Siantan yang berjarak hampir empat puluh kilometer di utara Kota Pontianak.
Sebetulnya aku sudah pernah melewati daerah Peniti, yaitu saat pergi menuju Singkawang beberapa hari lalu ketika pertama kali tiba di Pontianak. Jadi aku tak terlalu asing dengan suasana jalan menuju ke sana.
Perjalanan itu berlangsung dalam suasana yang sangat akrab walaupun aku baru mengenal Koh Hendra. Aku lebih banyak mendengarkan cerita serunya ketika di berda’ wah hingga ke dalam pelosok Kalimantan Barat.
Tak terasa perjalanan satu jam dua puluh menit yang kutempuh telah mengantarkanku di halaman depan Pondok Pengkang.
Masuk ke dalam restoran, rasa budaya yang kental tersirat dalam interior rumah makan yang menggunakan tiang-tiang besar dengan ukiran khas Kalimantan. Sedangkan deretan meja makan dengan enam kursi berwarna hijau di setiap mejanya juga memilik ukiran kayu yang otentik. Aku dan Koh Hendra kemudian memutuskan duduk di salah satu meja di pojok selatan ruangan.
Begitu tiba, tampak beberapa pekerja rumah makan mendatangi Koh Hendra dan interaksi pertama yang mereka lakukan adalah saling memeluk satu sama lain. Cukup kumaklumi karena area dimana Pondok Pengkang itu berdiri merupakan bagian dari kampung Koh Hendra semasa kecil. Jadi kebanyakan pekerja di restoran ini adalah teman semasa kecilnya, tak khayal pertemuan tak direncanakan itu menjadi reuni mini bagi mereka.
Menghiraukan daftar menu di meja makan, Koh Hendra langsung saja menyebut sajian yang hendak kami santap, yaitu sebakul nasi putih, seporsi kepiting asam manis, sambal kepah (kerang), udang gala asam manis, cah kangkung dan dua gelas jeruk hangat.
Aku faham, bahwa Koh Hendra tentu tahu menu andalan di restoran tersebut. Tentu aku hanya mengamini saja pesanan itu. Toh aku kan lagi ditraktir jadi aku menikmati saja sajian yang dipesan oleh Koh Hendra.
Sepintas dari papan nama restoran disebutkan beberapa menu di dalamnya yaitu Pengkang, Sambal. Kepah, Sate Kepah dan Burung Punai. Dan Koh Hendra sempat bercerita dalam perjalanan bahwa resep resotoran ini selalu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi sudah dipastikan resep dan rasanya sangat otentik.
Begitu menu pesanan itu tersaji maka aku yang kelaparan, menyantap segenap menu dengan sangat lahap. Ternyata menu pilihan Koh Hendra memang memiliki cita rasa yang luar biasa.
Halaman depan Pondok Pengkang.
Yuk cari tempat duduk yang nyaman….!
Udang Gala Asam Manis.
Sambal Kepah (kerang).
Membakar dua ribu jepit pengkang dalam sehari dengan arang batok kelapa
Udang Gala yang merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar restoran.
Tak perlu menunggu lama, sajian di atas meja itu pun ludes tak bersisa. Berhubung masih berada di pertengahan waktu Shalat Maghrib maka Koh Hendra berinisiatif mengajakku shalat berjama’ah dengan karyawan restoran di musholla yang terletak di sisi utara restoran.
Sekembali dari musholla, aku tertarik dengan aktivitas di dapur Pondok Pengkang. Maka aku memohon izin untuk memotret beberapa gambar di dalam dapur untuk kusajikan dalam tulisan ini.
Kembali duduk di meja maka,. Ternyata Koh Hendra sudah memesankanku beberapa jepit Pengkang yang ditaruhnya dalam plastik dan dia telah membayar semua hidangan yang kita santap tadi. Jika memperhatikan daftar menu di meja makan aku memperkirakan bahwa semua sajian yang dipesan berharga tak kurang dari Rp. 400.000….Wah menu mewah tentunya buat seorang backpacker sepertiku.
Sudah hampir tengah hari ketika aku selesai mengeksplorasi Kompleks Perkampungan Budaya di Jalan Sultan Syahrir. Aku pun memutuskan untuk undur diri demi menuju ke destinasi berikutnya.
Aku kembali berjalan kaki menelusuri Jalan Sultan Syahrir dan berlanjut ke Jalan Sultan Abdurrahman.
Karena terpapar lapar maka di sepanjang jalan aku mencari keberadaan rumah makan. Hingga akhirnya aku menemukan rumah makan Padang di sisi jalan Sultan Abdurrahman, “Rumah Makan Mandala” namanya.
“Cumi, Da. Makan sini ! ”, aku memesan sebuah menu ke pemilik rumah makan yang tampak asli berperawakan Minang. Seporsi nasi cumi itu kutebus dengan harga Rp. 27.000 bersamaan dengan tambahan segelas es jeruk.
Aku memang tak berlama-lama bersantap siang, mengantisipasi langit yang semakin gelap. Melangkah sebetar daru rumah makan, aku mulai keluar dari jalan utama dan memasuki Jalan Mohammad Sohor yang kedua ruasnya dipisahkan oleh parit.
Berjalan keluar dari jalan utama sejauh lebih dari setengah kilometer aku berganti arah di Jalan H. Siradj. Aku mulai memasuki jalur perkampungan dan menyasar Masjid Raya Mujahidn dari sisi belakang.
Taman Akcaya di Jalan Sultan Syahrir.
Ujung Jalan H. Siradj.
Genap berjalan kaki selama setengah jam dan menempuh jarak hampir 2,5 kilometer untuk kemudian aku tiba di Masjid Raya Mujahidin sisi selatan.
Usai mengambil beberapa foto masjid dari beberapa sudut pandang di halamannya, aku memutuskan untuk menunaikan Shalat Dzuhur yang sudah terlambat.
Selesai bersuci di bangunan yang terpisah dari bangunan utama masjid, aku segera memasuki ruangan utama masjid di lantai dua. Masu untuk pertama kalinya, aku terkesima dengan desain interior masjid yang super megah.
Nama “Mujahidin” tak lain untuk menghargai perjuangan rakyat Pontianak dalam perjuangan kemerdekaan serta perjuangan syiar agama Islam di kota itu. Masjid berusia hampir setengah abad itu tentu menjadi kebanggan masyarakat Pontianak karena kemegahan dan kemakmurannya.
Menempati lahan seluas 4 hektar, masjid ini mampu menampung hingga 9.000 jama’ah di dalamnya. Dipergagah dengan keberadaan 4 menara kembar di setiap sisinya dan disetiap ornament masjid mengandalkan mozaik khas Kalimantan.
Masjid Raya Mujahidin.
Ruangan utama di lantai 2.
Ruangan utama di lantai 2.
Adalah empat bangunan terkenal yang mengilmahi arsitektur masjid ini, yaitu Masjid Cordoba dan Istana Alhambra di Spanyol serta Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Arab Saudi.
Purna menunaikan shalat tetiba gawai pintarku mengantarkan sebuah pesan. Ternyata pesan singkat itu berasal dari salah satu pimpinanku di kantor yang asli Pontianak. Dengan kebaikannya, dia menawarkan aku berwisata kuliner ke Pondok Pengkang di daerah Peniti, Kecamatan Siantan.
Sebetulnya aku menolak dengan halus permintaan itu, tetapi memang dia memberikan saran “ Belum ke Pontianak kalau kamu belum berwisata kulier ke Pondok Pengkang, Donny. Jangan khawatir, kamu tunggu saja di masjid, nanti abangku akan menjemput dan mengantarkanmu ke sana, Namanya Koh Hendra”, begitu ucapnya.
Apa boleh buat, tentu ini menjadi sebuah rezeqi yang tak boleh ditolak. Maka aku segera menghentikan eksplorasiku di Masjid Raya Mujahidin dan mengambil duduk di salah satu sisi terasnya demi menunggu kehadiran Koh Hendra yang akan datang menjemputku
Menjadi bandar udara pertama yang akan kukunjungi di Pulau Kalimantan, Supadio International Airport tentu akan segera mengantarkanku ke beragam destinasi wisata Kalimantan Barat yang menarik untuk ditelusuri.
Pukul sepuluh lebih sekian menit, Lion Air JT 712 berhasil merapat di apron. Alhamdulillah penerbangan berlangsung dengan sangat lancar tanpa kurang satu apapun.
Aku pun bergegas menarik backpack 45L dari bagasi begitu lampu tanda sabuk pengaman dipadamkan. Aku bersemangat untuk segera meninggalkan kabin dan menghirup udara Borneo.
Tak menunggu lama, pintu kabin bagian depan pun dibuka dan aku yang berada di kursi buncit tetap saja harus keluar paling akhir walau menjadi yang pertama bersiap keluar.
Seperti biasa….
Aku menghentikan langkah di pertengahan aerobridge, menepi di salah satu sisinya dan melakukan pengamatan di sekitar apron. Melihat proses unloading di sisi kanan dan melihat muka bandar udara di sisi kirinya.
“Berarti ini yang kesembilan…Emmhhh….Yups benar sembilan”, aku kembali mengingat dan kemudian mantab menyebutkan nomor itu dalam batin….Yupz, ini bandara di tanah air kesembilan yang pernah aku singgahi.
Walaupun berfungsi sebagai akses utama menuju Pontianak, sesungguhnya bandar udara ini berlokasi di Kab. Kubu Raya.
Ternyata sudah menjalani renovasi empat tahun lalu.
Selepas aerobridge, aku mulai menyusuri koridor kedatangan. Tampak nyata bahwa bandara itu baru saja mendapatkan sentuhan renovasi. Segenap interiornya tersemat sentuhan-sentuhan modern.
“Nuwun semu, Mas….”, suara itu datang dari sebelah kiri. Membuatku tersadar bahwa aku telah menghalangi koridor.
“Oh, ngapunten, Mas….”, aku refleks menjawab. “Loh, Mase nJawine pundi?….Katah nggeh tiyang nJawi wonten mriki?”, aku meneruskannya dengan pertanyaan lain sembari menyejajari langkahnya.
“Kulo saking Malang….Njih lumayan katah, Mas….Nopo Mase nembe jalan-jalan tho?”, dia mengimbangi percakapan.
“Njih, Mas….Namung backpackeran niki”, aku menjawab sekenanya. “Mase, mesti anak kuliahan niki”, aku melihat penampilannya yang seperti seorang pelajar.
“Njih, Mas…Leres. Mase bade tindak pundi tho?”,dia terus berjalan , menggendong backpack dan menenteng tas di setiap tangannya.
“Singkawang, Mas”, aku menjelaskan sembari mengotak-atik settingan Canon EOSku.
“Oalah…Kota Amoy….Mantab….Ngatos-atos nggih mas”, dia tampak mulai terburu waktu.
“Njih, Mas”, aku melambaikan tangan kepadanya.
Percakapan itu berakhir tepat di pertengahan escalator menuju arrival hall. Melompat di ujung escalator, aku kembali merasa ngeri. Begitu penuhnya balai kedatangan dengan para penumpang yang sedang mengantri menulis sesuatu pada lembaran.
“Itu apa, Bang?”, tanyaku pada salah satu dari mereka yang sudah selesai mengisi.
“Ini manual eHAC, Bang”
“Oh, Okay”, aku sudah mengisi eHAC (electronic-Health Alert Card) semalam di Aplikasi PeduliLindungi sehingga hanya memerlukan sedikit arahan dari petugas.
Setelah menemui seorang aviation security, dia menjelaskan bahwa aku hanya perlu men-scanbarcode eHAC ku di ujung antrian tanpa perlu mengisi form manual.
Arrival hall.
Tempat pengambilan bagasi.
Sisi luar bandara yang namanya diambil dari nama seorang pilot yang gugur pada kecelakaan pesawat terbang di Bandung.
Benar saja, aku melewati tahap akhir pemeriksaan dengan mudah. Setelahnya, aku hanya melintas saja di area coveyor belt karena memang tak memiliki bagasi yang harus diambil. Aku hanya membawa backpack yang sebetulnya over muatan. Bobot tas seberat hampir sepuluh kilogram bisa lolos masuk ke kabin dari pemeriksaan di konter check-in di Soekarno Hatta International Airport. Tapi toh tetap tak masalah apabila itu ketahuan karena Lion Air JT 712 menyediakan kuota bagasi seberat dua puluh kilo untuk setiap penumpangnya.
“Aku harus segera bertolak ke Singkawang”, aku mulai berfikir. “Aku harus berburu pemberangkatan DAMRI terdekat”.
Menghindari kebingungan, aku bertanya kepada seorang aviation security perihal keberadaan bus DAMRI menuju ke Singkawang. Tetapi jawaban petugas itu membuatku hilang harapan. Bagaimana tidak, bus DAMRI ke Singkawang saat itu hanya berangkat sekali saja pada pukul tujuh pagi dan akan kembali dari Singkawang menuju Pontianak pada pukul lima sorenya. Hal itu disebabkan karena kebijakan PPKM beberapa minggu sebelumnya sehingga Pontianak mengalami sepi pengunjung.
Artinya aku harus mencari transportasi lain menuju ke Singkawang….
Dan aku sudah cukup faham, bahwa tak ada pilihan lain, aku harus menunggang taksi menuju ke Singkawang jika tak ingin kemalaman.
—-****—-
DEPARTURE HALL
Aku hanya memiliki masa lima hari untuk melanglang Kalimantan Barat. Jadi aku memutuskan untuk memfokuskan eksplorasi di dua kota saja, yaitu Singkawang dan Pontianak. Karena keberangkatanku menuju Pontianak jatuh di hari Kamis maka pada hari Seninnya aku harus kembali ke ibu kota.
Perjalananku menuju ibu kota dimulai dari G-Hotel yang terletak di pusat kota. Kali ini aku tak perlu memesan ojek online, karena Bang Hendra akan menjemputku di lobby hotel dan mengantarkanku ke bandara.
Bang Hendra sendiri adalah kakak kandung dari teman karibku di kantor yang asli Pontianak. Aku baru berkenalan dengan Bang Hendra sehari sebelum kepulanganku. Kemarin aku dijemputnya di Masjid Raya Mujahidin untuk diantarkan ke Pondok Pengkang di daerah Siantan. Begitu beruntungnya aku memiliki banyak teman yang baik hati.
Sebelum jam satu siang, Bang Hendra telah menurunkanku di drop-off zone Supadio International Airport. Kali ini aku akan turut serta dalam penerbangan Lion Air JT 715 yang berencana take-off pada pukul tiga sore.
Usai mengambil beberapa potret bandara dari beberapa posisi terbaik, aku memutuskan segera masuk ke departure hall dengan memperlihatkan e-ticket dan identitas diri kepada petugas aviation security yang berjaga di pintu masuk.
Sama ketika berangkat dari Soekarno Hatta International Airport, kali ini aku tak perlu mengantri di meja verifikasi layak terbang. Oleh petugas aviation security, aku diminta lansung menuju konter check-in karena telah memiliki hasil PCR di aplikasi PeduliLindungi.
Tetapi sayang, konter check-in masih dalam tahap persiapan sehingga aku harus menunggu seperempat jam lamanya hingga konter tersebut benar-benar dibuka. Dan entah kenapa, departure hall dipenuhi oleh banyak tentara yang akan melakukan penerbangan.
“Kak, semalam saya gagal check-in online. Apakah saya bisa diberikan window seat di bagian belakang kabin”, pintaku pada ground staff wanita yang bertugas setelah konter dibuka.
Dia hanya tersenyum mengangguk sebagai pengganti jawaban lisan. Atas kebaikannya, aku diberikan bangku bernomor 33F, selisih satu bangku dengan bangku saat aku berangkat dari Jakarta lima hari lalu.
Mendapatkan boarding pass jauh dari boarding time tentu membuatku lega. Aku menyempatkan Dzuhur di sebuah mushola di lantai pertama bandara. Kali ini aku ditunjuk sebagai imam oleh beberapa petugas aviation security yang akan menunaikan Dzuhur juga di saat yang sama.
Bangunan bandara dengan tiga identitas etnis, yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa.
Drop-off zone.
Bagian luar departure hall.
Check-in desk.
Mushola lantai satu.
Usai shalat, aku segera menaiki escalator demi menuju lantai 2. Setibanya di atas, salah satu sisi selasar dimanfaatkan untuk memajang foto-foto sejarah masa lalu yang terkait dengan Bandar Udara Supadio. Dari deretan foto itu aku tahu bahwa Bandar Udara Supadio memiliki nama lama Airport Sungai Durian. Tertampil pula potret Soekarno yang sedang mengunjungi bandara tersebut di suatu masa.
Sisi lain lantai dua juga dipenuhi oleh executive lounge, souvenir outlet, coffee shop, minimarket dan restoran.
Kini aku tiba di hamparan bangku tunggu yang langsung berhadapan dengan gate. Mataku menyapu sekitar demi mencari keberadaan minimarket untuk mencari sesuatu sebagai pengganti makan siang. Maklum, aku hanya bersarapan dengan dua potong Pengkang yang kubawa dari Siantan tadi malam. Pantas saja, siang itu aku cepat sekali merasakan lapar.
Demi menjaga protokol kesehatan dengan menghindari makan di tempat umum, akhirnya aku memutuskan untuk menyantap roti dan beberapa keping biskuit saja. Aku membelinya di sebuah minimarket dan menyantapnya di kursi tunggu yang lengang sembari menunggu boarding time tiba.
Foto-foto sejarah.
Commercial zone lantai 2.
Ruang tunggu sebelum gate.
Hingga akhirnya, tepat pukul setengah tiga sore, panggilan untuk boarding tiba. Kini saatnya bersiap diri untuk mengikuti penerbangan menuju Jakarta.