Puro Mangkunegaran: Simbol Perlawanan terhadap Kesewenangan

<—-Kisah Sebelumnya

Puro Mangkunageran.

Cerah sekali sore itu. Sudah lewat pukul lima tetapi langit masih saja bercahaya. Aku masih duduk pada sebuah kursi di sisi dalam gerbang depan Pasar Triwindu dan menikmati sajian gratis Jenang Suro*1.  Solo memang sedang menyambut Tahun Baru Islam yang akan datang esok hari, sehingga Paguyuban Pedangang Pasar Triwindu secara sukarela membagikan makanan khas itu ke seluruh pengunjung.

Pasar Triwindu sendiri, pada masa lalunya berjuluk Pasar Windujenar. Sebuah pasar barang seni dan barang antik yang dibangun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII untuk memperingati dua puluh empat tahun masa pemerintahannya. Oleh karenanya pasar ini terletak tak jauh dari istana.

Oleh karena sejarah itulah, kunjungan ke Pasar Trwindu tak akan pernah sempurna jika tak mengunjungi istana raja sang pembuat pasar itu. Bahkan setelah perjalanan surveyku ini selesai, aku menempatkan Pura Mangkunegaran dan Pasar Triwindu sebagai paket destinasi yang sangat dianjurkan untuk dikunjungi oleh selurh peserta Marketing Conference.

Tak lama setelah selesai menyantap Jenang  Suro yang bertabur sambal tumpang khas jawa, aku pun meninggalkan Pasar Triwindu, melewati pelataran depannya yang luas dan kembali menatap bangunan pasar yang sangat khas dan klasik sebelum berucap sampai jumpa lagi.

Aku berjalan perlahan menyusuri  trotoar di sepanjang Jalan Diponegoro, menuju ke utara sejauh tiga ratus lima puluh meter untuk mengunjungi Pura Mangkunegaran. Menginjakkan kaki di ujung pertigaan, maka aku telah sampai di seberang gerbang istana kenamaan itu. Padatnya arus lalu lintas membuatku sedikit berjibaku menyeberangi Jalan Ronggowarsito yang menerapkan sistem satu arah dan melingkari kompleks istana tersebut.

Sementara di salah satu sudut pertigaan menyuguhkan pemandangan penuh keramaian para pengunjung sebuah hotel berpadu restoran berjuluk Omah Sinten Heritage.Setelah kuselidik, nantinya aku baru tahu bahwa restoran itu memang menjadi salah satu tempat favorit bagi kaum muda hingga pegawai kantoran untuk berhangout ria menyambut hari libur nasional esok hari.

Berhasil menyeberangi Jalan Ronggowarsito, aku bergegas menuju pintu gerbang istana melewati jalur setapak sepanjang seratus lima puluh meter dengan pelataran sangat luas di kiri-kanannya. Sebelum benar-benar tiba di gerbang, sebuah bangunan Museum Puro Mangkunegaran meyambutku di sisi kiri gerbang. Museum itu tampak sepi dan tanpa penjaga, membuatku tak bisa memastikan apakah museum tersebut masih menerima tamu untuk berkunjung atau tidak.

Museum Puro Mangkunegaran.
Gerbang istana.

Begitu pula dengan gerbang tinggi istana, pagar besi itu pun tertutup rapat tanpa penjaga. Jelas menandakan bahwa istana tak menerima tamu sore itu. Istana memang ditutup untuk pengunjung tepat pukul lima sore.

Aku hanya bisa menikmati keanggunan istana dari kejauhan dan menatap sekelilingnya dengan kagum. Tapi aku tak pernah kecewa, aku sudah sangat bersyukur bisa mengunjunginya. Inilah istana yang menjadi simbol kekuasaan Kota Solo tempoe doeloe.

Puro Mangkunegaran juga menjadi lambang perlawanan seorang bangsawan atas kekuasaaan VOC dan kesewenangan lokal yang diterapkan Pakubuwono II sebagai pemimpin tertinggi Kasunanan Surakarta. Sebuah perlawanan sengit yang membuahkan kemenangan gilang-gemilang dari seorang Raden Mas Said kala itu.

Petulanganku di Puro Mangkunegaran harus segera diusaikan karena aku tak bisa berbuat apapun di depan gerbang raksasa itu. Aku memutuskan undur diri dan menuju ke destinasi berikutnya yang sudah tertuang dalam daftar panjang surveyku.

Mari kita pergi dari sini !

Kisah Selanjutnya—->

Menikmati Jenang Suro di Pasar Triwindu

<—-Kisah Sebelumnya

Patung Loro Blonyo yang menyimbolkan Dewi Sri dan Raden Sardono yang mendatangkan kemakmuran.

Pagi tadi aku telah menyambangi keramaian Pasar Gede Hardjonagoro. Dan sore ini, aku akan berkunjung ke sebuah pasar lagi. Pasar memang menjadi daya tarik tersendiri ketika berkunjung ke Kota Solo. Ada sisi keunikan dan kekhasan tersendiri di setiap pasar yang terletak di beberapa penjuru kota itu…..

Aku terperanjat dan melompat dari salah satu twin bed milik Amaris Hotel Sriwedari ketika Rahadian membangunkan tidur yang tak pernah kusengaja. Terlelap dengan pulas selama satu jam, membuat mataku begitu cerah lepas dari kekusutan yang menimpa selama menjalani survey lokasi di Kota Batik.

Sudah jam setengah lima sore, aku dan Rahadian bergegas menuruni lift dan menaiki taksi online yang sudah menunggu kami sejak lima menit lalu di area luar lobby. Walau sebetulnya lokasi yang kutuju tak jauh dari hotel, berkisar satu kilometer, tetapi aku tak akan pernah mengambil resiko kegagalan untuk menyambangi destinasi ini.

Keluar dari hotel, menyusuri Jalan Honggowongsi, bersambung ke Jalan Moh. Yamin dan kemudian menikung di ruas Jalan Gatoto Subroto. Berlanjut memotong jalan protokol kota, taksi online kemudian berhenti di salah satu sisi Jalan Diponegoro….Sampai.

Kini aku sudah menginjak halaman Pasar Triwindu dan tekun memandangi arsitektur pasar itu dari sebelah Patung Loro Blonyo yang patah tangan kanannya. Tampak ornamen wayang menghiasi sisi atap pasar. Dapat kubaca dengan sangat jelas “Selamat Datang di Pasar Triwindu, Pusat Penjualan Barang Antik dan Klitikan”.

Dahulu bernama Pasar Windujenar.
Halaman Pasar Triwindu.
Kios di bagian luar pasar.

Sebelum benar-benar memasukinya pun, sudah bisa terlihat sebuah baju zirah milik prajurit Keraton Solo terpajang gagah di salah satu lapak. Arca-arca berukuran kecil dibariskan rapi di atas lantai. Maka aku tak sabar memasukinya segera.

Kuputuskan mulai menjelajah dalaman pasar hingga menemukan banyak koleksi topeng pewayangan, piring lebar berbahan keramik khas Negeri Tiran Bambu, lampu-lampu gantung antik, bahkan almari berbahan jati tua dijadikan etalase untuk mendisplay setiap barang yang diperjualbelikan. Menjadikan suasanan di pasar terasa magis dan membuat berdiri bulu kuduk.

Aku sempat membelikan beberapa koleksi arca mini sebagai pesanan dari teman sekantor yang juga penggila barang-barang unik. Selebihnya aku hanya menikmati benda-benda penuh seni itu di sepanjang koridor pasar. Pantas saja jika kolektor luar negeri banyak berburu barang antik di sini.

Aku kembali berputar sebelum akhirnya menemukan sebuah keramaian kecil di sekitar pintu pasar. Tampak empat perempuan setengah baya sibuk membuka lapak makanan dan memasang spanduk bertuliskan “Jenang Suro”. Suro adalah pengganti nama Bulan Muharram di Kota Solo. Jadi bisa dipastikan, aktivitas ini ada kaitannya dengan Tahun Baru Islam. Aku mencoba mendekat dan seorang dari mereka melambaikan tangan penuh senyum.

Bagian dalam pasar.
Bagian dalam pasar.

Sini, Mas!”, ucapnya.

Wah ada apa, Bu. Kok ramai?”.

Ini Jenang Suro, mas. Cuma-Cuma. Untuk memperingati tanggal satu Suro”, jelasnya. Benar firasatku, peringatan Satu Muharam.

Mari, Mas dimakan, ini buatan para ibu-ibu pedagang di sini, lho. Pasti enak”.

Jenang Suro gratis.
Hmmh….Super enak.

Sore itu aku menikmati bubur panas, bertabur “sambel tumpang” berpadu dengan lembutnya kacang tolo, kikil kulit, potongan omelet dan tahu dalam siraman rempah yang sedap. Bahkan aku menghabiskan dua pincuk kertas saking nikmatnya.

Semua kesan yang kudapat, akhirnya membuatku memutuskan bahwa Pasar Triwindu ini layak untuk dijadikan salah satu destinasi pada acara Marketing Conference nanti.

Kisah Selanjutnya—->