Memantau Pesona Pasar Hongkong dari Vihara Tri Dharma Bumi Raya

<—-Kisah Sebelumnya

Kuserahkan Rp. 134.000 kepada resepsionis laki-laki yang bertugas di Hotel Sahabat Baru sebagai biaya menginapku semalam saja. Setelah diberikan sebuah kunci, maka aku keluar dari lobby dan melintasi halaman hotel yang berbentuk letter-u tersebut. Masuk di gedung seberang, aku berusaha tampak santai ketika melewati dua orang waria yang duduk di bangku panjang di pangkal koridor hotel.

“Astagfirullah….”, aku hanya menunduk dan tak menghiraukan keduanya untuk segera menggapai kamar bernomor pintu 9.

Khawatir tersalip gulita, aku segera mengambil kamera dan tanpa duduk sebentar pun, mulai melangkahkan kaki meninggalkan hotel. Menyusuri Jalan Pasar Turi yang termakan gelap, aku terus berjibaku melawan ragu untuk memulai eksplorasi di malam hari nan sepi.

Melintasi Vihara Setya Bumi Raya yang memendarkan cahaya merah dan menerangi jalanan yang kulewati membuatku semakin percaya diri melewati ruas demi ruas jalan di sekitarnya.

Kini aku sudah berganti ruas di Jalan Kurau yang kembali gelap, melintasi Sungai Singkawang dan tiba di Pasar Beringin. Langkahku dikejutkan dengan sebuah tarikan tangan dari sebelah kanan. Tak salah lagi, suara Pekerja Seks Komersial  itu sangat memohon kepadaku. Aku berusaha meminta maaf sehalus mungkin dan mulai menarik lengan dari cengkeraman lembutnya. “Maaf, saya sedang buru-buru….”, aku berusaha cepat meninggalkannya.

Hhmmhh, ada-ada saja….

Hatiku sedikit lega, ketika aku mulai menemukan keramaian di Jalan Setia Budi. Gerobak-gerobak food street berjajar rapi di sepanjangnya. Motor dan mobil banyak terparkir di sisi jalan sebagai pertanda bahwa warga lokal sedang menikmati sajian kuliner di sepanjang jalan yang masuk ke dalam aera Condong.

Vihara Setya Bumi Raya dekat penginapan.
Keramaian di Jalan Setia Budi.

Aku yang masih kenyang seusai memakan seporsi bakso dan nasi putih di Pondok Mutiara saat menempuh perjalanan Pontianak – Singkawang beberapa jam sebelumnya hanya berjalan pelan menikmati suasana nan ramai itu. Aku semakin betah saja karena  paparan asap dari gerobak-gerobak kuliner itu begitu memanjakan indra penciumanku dan siapa saja yang melewatinya.

Setiba di ujung jalan yang terputus sebagai sebuah pertigaan, aku melangkah mendekati sebuah spot di ujung kanan yang tampak dipenuhi khalayak. Tentu aku tahu tentang spot itu dan memang menjadi tujuanku melangkahkan kaki malam itu.

Adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang telah sekian lama menjadi ikon penting Singkawang yang berjuluk “Kota Seribu Kelenteng”. Menjadi tempat peribadatan umat Tri Dharma (Buddha, Tao dan Konghucu) tertua di kota tersebut, konon kelenteng yang hampir berusia satu setengah abad itu pernah menjadi tempat peristirahatan warga Tionghoa yang akan menambang emas di daerah Baengkayang.

Keindahan vihara ini terasa semakin paripurna karena keberadaan Pasar Hongkong yang terletak tepat di sebelah timurnya. Gerbang besar pasar kuliner malam itu hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Singkawang dari lokasi vihara berdiri.

Menyusuri kawasan Pasar Hongkong, aku sendiri hanya menikmati keriuhan warga lokal dan pendatang dalam menjajakan uangnya demi mendapatkan porsi-porsi kuliner kesukaan mereka masing-masing.

Tak hanya menikmati sajian kuliner jalanan, beberapa anak muda juga tampak asyik menikmati malam di Kopi Tiam Rusen yang tampak mencolok berdiri di tepian Jalan Niaga.

Satu jam berada di Pasar Hongkong menjadi waktu yang serasa bergulir cepat. Di kala mata belum puas mengagumi keramaian dan aroma harum kawasan kuliner itu, aku harus  segera meninggalkannya karena aku masih menyimpan rasa khawatir untuk melintasi jalan pulang yang tentunya akan semakin sunyi seiring dengan semakin beranjaknya malam.

Vihara Tri Dharma Bumi Raya.
Gerbang menuju Pasar Hongkong.
Kopi Tiam Rusen yang ramai pengunjung.

Akhirnya aku memutuskan berjalan kaki kembali menuju Hotel Sahabat Baru yang berjarak satu setengah kilometer dari Pasar Hongkong.

Untuk mengurangi resiko, aku mengambil jalan yang berbeda dengan jalan saat berangkat. Lebih jauh jalurnya, tapi kurasa itu akan lebih aman karena jalan yang kulewati adalah jalan besar nan terang benderang.

Melintasi Jalan Niaga, aku terus menatap keberadaan Tugu Naga Emas di perempatan sana.

“Itulah perempatan dimana aku harus berbelok ke kiri menuju penginapan”, aku mulai menetapkan jalur.

Dari tugu itu, aku menyusuri Jalan Kepol Mahmud yang akan tersambung dengan Jalan Pasar Turi, ruas jalan dimana penginapanku berada.

Tugu Naga Emas di sebuah perempatan kawasan pertokoan Jalan Niaga.
Jalan GM Situt, penghubung Jalan Kepol Mahmud dan Jalan Pasar Turi.

Aku tiba tanpa kurang satu apapun dalam dua puluh menit dan memutuskan untuk segera berbasuh dan beristirahat setelahnya.

Selamat malam Singkawang.

Kisah Selanjutnya—->