Aroma Jahe pada Semangkuk Tahok

Aku telah selesai menjelajah Keraton Surakarta Hadiningrat berserta alun-alunnya, Pasar Klewer dan Masjid Agung Keraton Surakarta. Aku mulai menyusuri pangkal selatan Jalan Jend. Sudirman menuju utara. Inilah area pemerintahan Kota Solo, aku merasa berkesan ketika melewati Balaikota Surakarta yang teramat megah dengan atap Joglonya.

Surakarta City Hall.

Trotoar di depan balaikota tampak dibuat lebih luas tanpa pagar, maklum karena kantor tempat walikota bekerja ini juga berperan sebagai rumah rakyat yang siap menerima keluh kesahnya. Balaikota masih hening pagi itu, waktu belum juga menyentuh pukul sembilan.

Tiba di sebuah pertigaan, penampakan klasik Tugu Jam Pasar Gede sungguh memesona mata. Tugu yang tak tinggi tapi juga tak rendah itu masih menunjukkan taji Kolonialisme Belanda. Inilah area Sudiroprajan dengan ikon utamanya Pasar Gede Hardjonagoro.

Pasar Gede Hardjonagoro.

Aku mulai menuju Pasar Gede Hardjonagoro. Tujuanku cuma satu….TAHOK.

Aku bahkan belum tahu rupa kuliner tradisional Kota Solo itu, bahkan lokasi dan bentuk kedainya pun aku tak pernah membayangkan rupanya. Langkahku semakin dekat dengan bangunan pasar yang tampak hening jika ditengok dari gerbang depannya.

Tetapi aku masih di seberang jalan ketika memperhatikan ada antrian panjang yang berpangkal pada sebuah gerobak dorong. Aku masih tak menahu , apa yang diniagakan di gerobak itu. Setelah mendekat dan membaca spanduk kecil yang menggantung di atap gerobak, aku baru tahu, ternyata kuliner yang kucari sedari tadi ada di depan mata. Inilah Tahok Pak Citro.

Aku: “Pak, ini bahannya apa aja ya?”

Pak Citro: “Ini dibuat dari kembang tahu dan air jahe, Mas”.

Aku: : “Rahadian, kamu mau coba ngga?. Kalau aku sih mau coba”, aku menawarkan kepada Rahadian yang tampak ragu sedari tadi.

Rahadian: “Engga, Pak. Saya ga begitu suka sama jahe. Pak Donny aja yang makan, saya tunggu saja”.

Aku: “Ah, kamu ini gimana, Rahadian. Jauh-jauh ke Solo kok ga nyobain kulinernya. Aneh”, Rahadian hanya tersenyum dan mengambil bangku di pojok trotoar.

Aku mulai mengantri, beberapa pembeli lebih memilih pesanannya dibungkus dan dibawa pulang. Menunjukkan bahwa mereka pelanggan setia kuliner ini. Tak lama mengantri, giliranku untuk mendapatkan samangkuk Tahok. Pak Citro tampak mulai menyentong tipis-tipis kembang tahu itu dan memasukkan ke mangkuk berkali-kali hingga penuh, kemudian menyiramkan air jahe hingga menenggelamkan seluruh kembang tahu itu.

Gerobak Tahok.
Tahok.

Inilah kuliner khas Kota Solo kelima yang kunikmati setelah Es Dawet Telasih, Jenang Suro, Soto Kwali dan Wedang Ronde yang kusantap sehari lalu. Paduan tekstur halus dan kehangatan jahe menjadikan kuliner ini sangat tepat di santap saat pagi hari yang masih meniupkan sisa-sisa angin dingin semalam.

Aku menyudahi pengalaman kuliner ini dengan menyerahkan uang Rp. 7.000 dan mulai meninggalkan gerobak itu. Kini aku menuju ke sisi dalam Pasar Gede Hardjonagoro untuk kedua kalinya semenjak kemarin. Aku masih penasaran dengan Es Dawet Telasih Bu Dermi yang sehari lalu tak kutemukan karena belum buka. Aku memang sempat menyantap Es Dawet Telasih Hj. Sipon sebagi penggantinya.

Tetapi rasa penasaranku masih terbayar dengan tidak keberuntungan. Kedai yang kucari belum juga buka, bahkan pasar masih tampak lengang dan belum banyak pedagang yang hadir. Keinginanku kembali tertunda.

Suasana di dalam Pasar Gede Hardjonagoro.

Nantinya aku akan merasakan Es Dawet Telasih Bu Dermi ini dua bulan sejak kadatanganku hari itu.

Menikmati Jenang Suro di Pasar Triwindu

<—-Kisah Sebelumnya

Patung Loro Blonyo yang menyimbolkan Dewi Sri dan Raden Sardono yang mendatangkan kemakmuran.

Pagi tadi aku telah menyambangi keramaian Pasar Gede Hardjonagoro. Dan sore ini, aku akan berkunjung ke sebuah pasar lagi. Pasar memang menjadi daya tarik tersendiri ketika berkunjung ke Kota Solo. Ada sisi keunikan dan kekhasan tersendiri di setiap pasar yang terletak di beberapa penjuru kota itu…..

Aku terperanjat dan melompat dari salah satu twin bed milik Amaris Hotel Sriwedari ketika Rahadian membangunkan tidur yang tak pernah kusengaja. Terlelap dengan pulas selama satu jam, membuat mataku begitu cerah lepas dari kekusutan yang menimpa selama menjalani survey lokasi di Kota Batik.

Sudah jam setengah lima sore, aku dan Rahadian bergegas menuruni lift dan menaiki taksi online yang sudah menunggu kami sejak lima menit lalu di area luar lobby. Walau sebetulnya lokasi yang kutuju tak jauh dari hotel, berkisar satu kilometer, tetapi aku tak akan pernah mengambil resiko kegagalan untuk menyambangi destinasi ini.

Keluar dari hotel, menyusuri Jalan Honggowongsi, bersambung ke Jalan Moh. Yamin dan kemudian menikung di ruas Jalan Gatoto Subroto. Berlanjut memotong jalan protokol kota, taksi online kemudian berhenti di salah satu sisi Jalan Diponegoro….Sampai.

Kini aku sudah menginjak halaman Pasar Triwindu dan tekun memandangi arsitektur pasar itu dari sebelah Patung Loro Blonyo yang patah tangan kanannya. Tampak ornamen wayang menghiasi sisi atap pasar. Dapat kubaca dengan sangat jelas “Selamat Datang di Pasar Triwindu, Pusat Penjualan Barang Antik dan Klitikan”.

Dahulu bernama Pasar Windujenar.
Halaman Pasar Triwindu.
Kios di bagian luar pasar.

Sebelum benar-benar memasukinya pun, sudah bisa terlihat sebuah baju zirah milik prajurit Keraton Solo terpajang gagah di salah satu lapak. Arca-arca berukuran kecil dibariskan rapi di atas lantai. Maka aku tak sabar memasukinya segera.

Kuputuskan mulai menjelajah dalaman pasar hingga menemukan banyak koleksi topeng pewayangan, piring lebar berbahan keramik khas Negeri Tiran Bambu, lampu-lampu gantung antik, bahkan almari berbahan jati tua dijadikan etalase untuk mendisplay setiap barang yang diperjualbelikan. Menjadikan suasanan di pasar terasa magis dan membuat berdiri bulu kuduk.

Aku sempat membelikan beberapa koleksi arca mini sebagai pesanan dari teman sekantor yang juga penggila barang-barang unik. Selebihnya aku hanya menikmati benda-benda penuh seni itu di sepanjang koridor pasar. Pantas saja jika kolektor luar negeri banyak berburu barang antik di sini.

Aku kembali berputar sebelum akhirnya menemukan sebuah keramaian kecil di sekitar pintu pasar. Tampak empat perempuan setengah baya sibuk membuka lapak makanan dan memasang spanduk bertuliskan “Jenang Suro”. Suro adalah pengganti nama Bulan Muharram di Kota Solo. Jadi bisa dipastikan, aktivitas ini ada kaitannya dengan Tahun Baru Islam. Aku mencoba mendekat dan seorang dari mereka melambaikan tangan penuh senyum.

Bagian dalam pasar.
Bagian dalam pasar.

Sini, Mas!”, ucapnya.

Wah ada apa, Bu. Kok ramai?”.

Ini Jenang Suro, mas. Cuma-Cuma. Untuk memperingati tanggal satu Suro”, jelasnya. Benar firasatku, peringatan Satu Muharam.

Mari, Mas dimakan, ini buatan para ibu-ibu pedagang di sini, lho. Pasti enak”.

Jenang Suro gratis.
Hmmh….Super enak.

Sore itu aku menikmati bubur panas, bertabur “sambel tumpang” berpadu dengan lembutnya kacang tolo, kikil kulit, potongan omelet dan tahu dalam siraman rempah yang sedap. Bahkan aku menghabiskan dua pincuk kertas saking nikmatnya.

Semua kesan yang kudapat, akhirnya membuatku memutuskan bahwa Pasar Triwindu ini layak untuk dijadikan salah satu destinasi pada acara Marketing Conference nanti.

Kisah Selanjutnya—->

Terlelap di Amaris Hotel Sriwedari

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih berada empat kilometer dari batas barat Kota Solo. Udara tak sepanas tengah hari tadi, kini waktu sudah menunjukkan pukul 14:15 dan aku baru saja selesai mengeksplorasi Museum Pabrik Gula De’ Tjolomadoe. Seporsi rawon dan es susu coklat yang kusantap di dalam museum setidaknya membuatku lebih tenang dan jernih memikirkan tahapan survey berikutnya.

Tapi sudah enam jam sejak aku meninggalkan pelataran Grand Amira Hotel by Azana di daerah Pasar Kliwon tadi pagi. Aku memutuskan untuk segera mengurus proses check-in di Amaris Hotel Sriwedari. Itu berarti, aku harus menuju ke tengah Kota Solo kembali.  Aku memutuskan untuk menempuhnya dengan taksi online.

Tak lama aku memesannya. Hingga taksi online yang kunaiki pun mulai merangsek menuju pusat kota. Setelah menempuh jarak sejauh dua belas kilometer, akhirnya aku tiba di depan Amaris Hotel Sriwedari dalam waktu tiga puluh menit.

Rahadian di meja resepsionis.
Lobby.
Pemandangan dari kamar hotel.

Rahadian segera mengurus proses check-in di meja resepsionis dan aku memilih menikmati segelas orange juce  sebagai fasilitas welcome drink hotel bintang dua itu. Kami segera memasuki kamar dan memutuskan untuk mendinginkan tubuh di bawah siraman shower.

Aku kembali membuka itinerary yang sudah kususun di Jakarta. Aku menghela nafas panjang, karena masih banyak agenda tersisa untuk dijalani.  Tapi sebelum menuju ke tempat berikutnya, aku memutuskan meluangkan waktu sejenak untuk mencatat hal-hal penting yang telah kudapatkan sedari pagi. Aku mulai mencatat hal-hal penting perihal Es Dawet Telasih, Pasar Gede Hardjonagoro, Kereta Wisata Jaladara, Taman Balekambang, Swiss-Belinn Saripetojo dan De’ Tjolomadoe. Catatan itu akan menjadi sebuah laporan survey yang dibutuhkan Seksi Acara Marketing Conference untuk menentukan bentuk konferensi secara lebih mendetail.

Berbagi tugas dengan Rahadian dalam menyusun laporan tersebut, membuat kami lebih cepat dalam menyelesaikannya.  Genap satu jam untuk membuat ulasan detail tentang enam destinasi itu dan laporan itu sempurna terselesaikan setelah kukirimkan via email kepada Bapak Dedi Damhudi yang menjadi Ketua Seksi Acara yang tentu masih berada di Jakarta.

Restoran hotel.
Sarapan di keesokan hari.
Hari ketiga di Solo.

Merasa kelelahan semenjak dua puluh dua jam dari waktu kedatanganku di Kota Solo, aku tertidur di samping laptop yang masih menyala. Sepertinya Rahadian membiarkanku yang pulas tertidur hingga beberapa saat kemudian dia mulai membangunkanku.

Pak Donny….Bangun!. Ayo kita survey lagi. Masih banyak tempat yang harus kita kunjungi!”, ucapnya ringan sembari tersenyum ringan.

Aku sudah berapa lama tertidur, Rahadian?“, sergahku gelagapan.

Satu jam, pak”.

Astaga, sudah sore. Ayo kita berangkat!”, aku melompat dari tempat tidur.

Hampir pukul lima….Aku memutuskan berkemas untuk menuju ke destinasi berikutnya. Aku akan menuju ke timur sejauh dua blok. Destinasi ini berada di daerah Keprabon dan hanya berjarak satu kilometer dari hotel tempatku menginap.  

Mari kutunjukkan tempat itu!.

Kisah Selanjutnya—->

Dawet Telasih dan Pasar Gede Hardjonagoro

<—-Kisah Sebelumnya

Pintu utara Pasar Gede Hardjonagoro.

Walau Rahadian baru tiba di Solo saat pagi buta dan sempat menumpang mandi serta sarapan, maka sesuai jadwal, aku tetap melakukan check-out dari Grand Amira Hotel by Azana. Waktu sudah menunjukkan pukul 8:30 WIB saat kami keluar ke pelataran hotel.

Aku segera memesan taksi online dan meluncur  menuju daerah Sudiroprajan untuk melakukan survey kuliner pertama. Kuliner istimewa yang kusasar adalah Es Dawet Telasih, yaitu dawet berkomposisi ketan hitam, jenang sunsum, tape ketan, biji telasih, gula cair, santan dan es batu.

Aku diturunkan di pintu utara Pasar Gede Hardjonagoro tepat di sebelah Tugu Jam Pasar Gede. Bangunan tua dari pasar peninggalan Belanda ini memang mengagumkan. Perpaduan arsitektur Jawa-Kolonial tersirat jelas dari penampakan dinding bergaya Kolonial dan atap bergaya Jawa. Berdinding tebal, langit-langit ruangan yang tinggi dan jendela memanjang ke atas.

Saat aku tiba, area pelataran sudah terasa sibuk pagi itu. Arus pengunjung yang keluar masuk pasar untuk berbelanja, para pedagang yang berbondong untuk memasukkan barang dagangan ke dalam pasar, riuh rendah teriakan tukang becak yang mencari penumpang serta kesibukan para pedagang kuliner ringan di area luar pasar membuat suasana pasar terbesar di kota Solo itu menjadi sangat hidup.

Suasana di luar Pasar Gede Hardjonagoro.
Suasana di luar Pasar Gede Hardjonagoro.
Tugu Jam Pasar Gede.
Suasana dalam Pasar Gede Hardjonagoro.
Suasana dalam Pasar Gede Hardjonagoro.
Suasana dalam Pasar Gede Hardjonagoro.

Aku bergegas memasuki area dalam pasar untuk mencari keberadaan Kedai Es Dawet Telasih Bu Dermi yang konon sangat terkenal di seantero Solo. Bagaimana tidak, konon racikan resep Es Dawet Telasih Bu Dermi sudah berusia 90 tahun dan tidak berubah sama sekali sejak pertama dibuat. Bahkan Es Dawet Telasih ini telah menjadi langganan Bapak Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia) saat pulang ke Solo.

Menyibak gang-gang sempit di tengah pasar membuatku hanyut dalam rasa perniagaan masyarakat Solo. Dan akhirnya keadaan kurang menguntungkan menimpaku. Ketika tiba di depan Kedai Es Dawet Telasih Bu Dermi, kedai itu masih tutup dan lengang. Aku mencoba bertanya kepada beberapa pedagang di dalam pasar perihal kapan kedai itu akan dibuka.

Mengke jam sedoso, mas”, begitu mereka menjawab.

Oalah, aku terlalu pagi melakukan survey dawet ini.

Dugi jam kalih biasanipun sampun telas, Mas”, mereka menambahkan informasi ketika aku terduduk di salah satu bangku kedai kosong itu.

Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan dan merasakan Es Dawet Telasih untuk menguji rasanya, karena para peserta Marketing Conference nantinya akan diarahkan ke Pasar Gede Hardjonagoro untuk mencicipi kuliner itu.

Aku mencoba menelusuri gang-gang lain dalam pasar, hingga menemukan Kedai Es Dawet Telasih Ibu Hj. Sipon. Tanpa fikir panjang aku segera memesan seporsi dengan harga Rp. 8.000. Begitu pelan kunikmati, memang Es Dawet Telasih ini sangat spesial rasanya, perpaduan gurih, manis, tekstur lembut dan sejuk menjadi satu kesatuan yang menggugah selera. Akhirnya kuputuskan, Es Dawet Telasih menjadi destinasi kuliner pertama untuk Marketing Conference nanti.

Salah satu kedai Es Dawet Telasih.
Ibu Hj. Sipon.
Es Dawet Telasih.

Setelah menikmati Es Dawet Telasih, aku dan Rahadian bergegas menuju ke Dinas Perhubungan Kota Solo untuk mencarter Kereta Wisata Jaladara.

Kisah Selanjutnya—->