Beranjak dari Taman Monumen Proklamator Bung Hatta, Aku bergerak turun menyusuri Jalan Istana, melintas Plaza Bukittinggi, menyapa Jam Gadang, menapak di Jalan Minangkabau kemudian masuk ke Jalan Cindua Mato.
Selangkah kemudian, aku memasuki Pasar Atas. Sebagian besar kios masih tertutup karena aku terlalu pagi menyambanginya. Tak ada yang bisa kuperbuat, hanya beberapa kios yang sedang bersiap membuka diri, ditandai dengan si empunya yang sibuk menata barang dagangan.
Senyap.
Kini aku sudah berada di gerbang dengan pemandangan leretan curam anak tangga, dua ekor harimau mengawal gerbang di kiri-kanannya, sementara di ujung bawah sudah terlihat sekelumit keramaian perniagaan, mungkin itulah yang disebut dengan Pasar Banto.
Aku menuruninya perlahan sambil mulut berkomat kamit menghitung bilangan….Benar ternyata, empat puluh anak tangga. Leretan anak tangga inilah yang dikenal dengan nama Janjang Ampek Puluah. Konon empat puluh melambangkan jumlah anggota Niniak Mamak.
Tangga penghubung legendaris.
Sungguh cemerlang Louis Constant Westenenk, Si Asisten Residen Agam (Controleur Agam) yang berkolaborasi dengan Niniak Mamak (Lembaga Adat Minangkabau) dalam mencetuskan integrasi Pasar Atas-Pasar Bawah-Pasar Banto pada awal Abad XX. Kala itu Janjang menjadi fasilitas populer dalam konektivitas pasar. Daya fikir pemimpin pada masa itu, benar-benar diperas untuk menata kota Bukittinggi yang memiliki topografi berbukit dan tidak rata.
Aku tiba di gerbang bawah empat tiang bergaya Eropa dengan signboard besar “Janjang Ampek Puluah”. Toh, akhirya kuketahui bahwa gerbang bawah ini adalah bangunan baru, melengkapi gerbang bagian atas yang sudah lebih dahulu ada.
Gerbang bawah bergaya kolonial.
Gerbang Bawah tampak dari pertigaan Jalan Pemuda, Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Soekarno Hatta.
Sementara di bagian samping dalam gerbang, terdapat prasasti yang berisi sejarah ringkas keberadaan janjang legendaris setinggi 5 meter dan lebar 4,6 meter yang dibangun pada masa lampau itu.
Aku masih saja memandangi keanggunan fasilitas integrasi era kolonial ini, sementara warga tampak mulai berlalu lalang menaik turuni Janjang. Aku memang tak mau lekas meninggalkan area itu, tertegun memikirkan bagaimana perwujudan area ini ketika Janjang belum direalisasikan, mungkin tempatku berdiri itu masih berwujud perbukitan curam yang memisahkan ketiga aktivitas pasar.
Janjang Ampek Puluah hanyalah satu dari seian banyak Janjang di Bukittinggi. Rupaya Pemerintah Kolonial cukup serius dalam mengintegrsikan semua titik ekonomi kota kala itu. Perlu kamu ketahui bahwa masih ada Janjang Saribu, Janjang Koto Gadang dan Janjang Pasanggrahan di kota bernama lama Fort de Kock itu.
Di sisi luar gerbang, lalu lalang angkutan kota mulai mendenyutkan nadi kota. Penampakan angkuh Banto Trade Centre semakin menunjukkan bahwa daerah di sekitarnya dapat diandalkan sebagai mesin penggerak ekonomi kota.
Okay lanjut yuk….Kalau berjalan lurus kedepan, ada apa lagi ya?
Berjalan kaki menyusuri Jalan Veteran, aku perlahan mendekati Hotel De Kock untuk melalukan check-in. Sejuk dan damai itulah gambaran awal di kepalaku mengenai Bukittinggi ketika pertama kali tiba.
1. Jembatan Limpapeh
Setengah perjalanan menuju penginapan, aku sudah terpesona dengan sebuah jembatan gantung. Adalah Jembatan Limpapeh yang membentang diatas Jalan Ahmad Yani. Didirikan pada tahun 1992 dan berfungsi sebagai penghubung antara Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan dengan kawasan Benteng Fort De Kock. Membentang sepanjang sembilan puluh meter dengan lebar kurang lebih tiga meter, menjadikan jembataan ini begitu gagah terlihat dari jalanan.
2. Jam Gadang
Sebotol coca cola menutup sesi check-in ku sekaligus sebagai penanda mula untuk penelusuranku sore itu di sekitaran Pasar Atas. Menelusuri Jalan Yos Sudarso yang naik turun, langkahku tiba di sebuah landmark fenomenal yang terkenal di seantero Indonesia.
Jam Gadang, landmark pemberian Ratu Wilhelmina itu tampak gagah menjulang. Lama untuk sekedar menunggu lampu aneka warna muncul dan menyirami seluruh bangunan jam raksasa itu sebagai penanda bergantinya sore ke malam.Karena ketersohorannya, Jam Gadang telah ditetapkan sebagai Titik Nol Kilometer Kota Bukittinggi. Atapnya yang berbentuk gonjong atau atap yang biasa dipakai pada Rumah Gadang menjadikan karya arsitektur Eropa itu memiliki kekayaan adat lokal.
3. Plaza Bukittinggi
Renovasi besar pada Taman Sabai Nan Aluih, menjadikanku hanya mampu menikmati keindahan Jam Gadang dari pelataran sebuah mall yang letaknya berseberangan dengan jam besar itu.
Plaza Bukittinggi dalam beberapa kurun waktu terakhir telah menjadi mall terbaik di Bukittinggi. Brand Ramayana menjadi pemain utama yang menempati tujuh puluh persen dari kapasitas keseluruhan mall ini.
4. Masjid Raya Bukittinggi
Keasyikan menikmati keelokan Jam Gadang hampir saja membuatku kehilangan Shalat Maghrib. Aku mencoba menelusuri asal adzan beberapa puluh menit sebelumnya. Menuju ke utara, akhirnya aku tiba di Masjid Raya Bukittinggi.
Masjid yang pada saat terjadinya gempa bumi tahun 2007 menjadi tempat perlindungan bagi warga yang mengungsi karena kerusakan yang diakibatkan oleh gempa besar itu.
5. Pasar Atas Bukittinggi
Jalan Cindua Mato menuju Pasar Atas
Masjid raya yang terletak tepat di pusat Pasar Atas inilah yang membuatku tertarik untuk sekalian menelusuri jalanan menuju ke Pasar Atas. Gelap yang terus melahap hari, membuat pemilik deretan ruko mulai menutup tokonya satu-persatu.
Pasar Atas adalah pasar yang menempatkan beberapa penjual Nasi Kapau, Es Ampiang Dadiah dan Kerupuk Sanjai yang menjadi kerupuk favorit untuk oleh-oleh bagi para pengunjung kota Bukittinggi.
Laparnya perut telah memaksa diriku untuk segera mencari menu santap malam. Makan malam di bawah Jembatan Limpapeh akhirnya menutup dua jam penjelajahan pada malam pertamaku di Bukittinggi
6. Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Hari keduaku dimulai dengan beranjaknya diriku dari hotel pada pagi sepi. Bahkan aktivitas warga belum tampak. Sepi nan dingin tak menyurutkan langkah untuk mengunjungi Tugu Pahlawan Tak Dikenal.
Tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang tak bisa dikenali secara pasti dalam menentang Kolonialisme Belanda pada tahun 1905. Tugu dengan ornamen berbentuk lingkar ular naga besar dan diatasnya berdiri patung seorang pemuda memegang bendera.
7. Taman Monumen Proklamator Bung Hatta
Sementara di seberang depan tugu, tampak sebuah taman dengan patung hitam Bung Hatta. Dikenal dengan nama Taman Proklamator Bung Hatta, taman ini didedikasikan untuk Mohammad Hatta, putera asli Bukittinggi yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama Ir. Soekarno.
8.Janjang Ampek Puluah
Kembali menelusuri Jalan Cindua Mato yang kulewati semalam, aku menuju sebuah tangga penghubung antara Pasar Atas dan Pasar Bawah serta Pasar Banto. Sebuah tangga beton curam dengan empat puluh anak tangga berusia 112 tahun. Inilah perwujudan integrasi fasilitas publik versi tempoe doele. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda dengan satuan kekuasaan setempat sepakat menghubungkan setiap pasar yang ada di Bukittinggi, salah satunya dengan pembuatan janjang atau anak tangga.
9 Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta
Keluar dari gapura bawah dan melewati Banto Trade Centre yang tampak tak terawat, aku menuju ke kediaman Bung Hatta semasa kecil. Walaupun sesungguhnya rumah ini hanya berupa bangunan rekonstruksi, akan tetapi penataan interior dan penampilan eksterior dibuat semirip mungkin dengan kondisi rumah aslinya yang telah runtuh. Jika kamu ingin mengetahui sejarah hidup di balik kegemilangan Bung Hatta dalam karir politiknya, maka datanglah ke tempat ini.
10. Fort De Kock
Selesai berkunjung di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, aku niatkan berjalan kaki menuju Benteng Fort de Kock melalui Jalan Pemuda yang lumayan panjang mendaki dan berkelok dari selatan ke utara. Tapi ternyata aku tak mampu lagi di pertengahan jalan, kupanggil tranportasi online untuk mengantarkanku tepat di gerbang depan Fort de Kock.
Benteng Fort de Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek sebagai kubah pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
11. Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK)
Dari Fort de Kock, aku hanya perlu menyeberangi Jembatan Gantung Limpapeh menuju sebuah kebun binatang terkenal di Bukittinggi.
Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) merupakan salah satu kebun binatang tertua yang ada di Indonesia dan satu-satunya di Sumatra Barat dengan koleksi hewan terlengkap di pulau Sumatra.
12. Museum Rumah Adat Baanjuang
Semakin berkembangnya kebun binatang ini, maka pada tahun 1935 dibangunlah Rumah Adat Baanjuang di dalamnya.
Difungsikan sebagai museum, rumah adat ini didedikasikan untuk mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau. Di dalamnya dipertunjukkan berbagai pakaian, perhiasan dan alat-alat kesenian khas Minang.
13. Museum Zoologi
Tak jauh….Di timur laut kebun binatang, terdapatlah Museum Zoologi berwarna hijau sengan harimau sumatera dan ikan mas sebagai ikon museum. Museum yang didirikan bersamaan dengan Museum sejenis di Bogor pada 1894. Dua ribu jenis binatang diawetkan dan dipamerkan di dalam museum ini.
14.Ngarai Sianok
Aku meninggalkan Fort de Kock dari pintu masuknya. Niatan berikutnya adalah bermain ke Ngarai Sianok. Sebuah lembah yang terbentuk dari patahan alami, memiliki dinding tegak lurus dengan sungai Sianok mengalir di tengahnya.Tetapi sangat disayangkan hujan turun begitu lebatnya. Selepas turun dari ojek online, aku serasa tak bardaya dan menunggu hujan reda. Dibawah pohon aku terus mengamati lembah siku-siku pada topografi area ini.
Cekungan dereta tebing itu seakin diperindah dengan alira air sungai tepat d bawah jurang-jurang tinggi.
15. Lobang Jepang
Hujan mulai menipis tapi tetap tak kunjung reda, mengakibatkan asa menikmati ngarai lebih lama harus kuakhiri. Aku mendapatkan ojek online dengan pengendara wanita berjilban berumur setengah baya. Di bawah hujan yang mulai mengerimis aku menuju Taman Panorama.
Sebelum mengeksplore Taman Panorama aku sempatkan untuk menelusuri sebuah lobang pertahanan terpanjang di Asia. Lobang Jepang yang dibuat atas perintah Letnan Jenderal Moritake Tanabe, Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang. Sangat dalam, panjang dan mengagumkan.
16.Taman Panorama
Akhirnya kunjungan penutup jatuh di Taman Panorama, sebuah taman besar dengan dua buah pintu masuk di tepian Jalan Panorama. Dengan tiket seharga Rp. 15.000, aku bisa berusaha menikmati taman rindang ini pada detik-detik terakhirku di Bukittinggi.
Meninggalkan taman dan kembali ke hotel, aku bersiap menuju kantor travel untuk menuju Padang. Pukul 13:00 aku akhirnya benar-benar meninggalkan Kota Bukittinggi. Selamat tinggal Bukittinggi.
Jadi bagi kalian yang berniat ke Sumatera Barat….Berkunjunglah Ke Bukittinggi dan nikmati sejuknya udara kota.
Moving from Bung Hatta Proclamator Monument Park, I moved down along Istana Street, across Plaza Bukittinggi, greeting Gadang Clock Tower, treading on Minangkabau Street and then entering Cindua Mato Street.
A step later, I entered Pasar Atas. Most of stalls were still closed because I was too early to visited it. There was nothing I could do, only a few stalls which were preparing to open, marked by its owners who was busy arranging their trade goods.
Quiet.
Now I was at a gate with a view of steep steps, two tigers guard it on either side, while at lower end was seen a bit of trading crowd, maybe that was Banto Market.
I slowly descended while my mouth muttering count numbers….It’s true, forty steps. These rows of stairs are known as Janjang Ampek Puluah. It is said that forty symbolizes number of Niniak Mamak members.
Legendary connecting stairs.
Brilliant thinking for Louis Constant Westenenk (Agam Resident Assistant/Controleur Agam) who collaborated with Niniak Mamak (Minangkabau Customary Institution) in sparking an idea to integrated of Pasar Atas (Upper Market) – Pasar Bawah (Lower market) – Banto Market in early 20th century. At that time, Janjang became a popular facility in market connectivity. The thinking power of leaders at that time was really squeezed in order to organize Bukittinggi city which had a hilly and uneven topography.
I arrived at lower gate with four poles and European style, also with a large signboard “Janjang Ampek Puluah“. After all, I finally knew that this lower gate was a new construction, complementing the upper gate which had already existed.
Colonial style lower gate.
The Lower Gate was seen from T-junction of Pemuda Street, Perintis Kemerdekaan Street and Soekarno Hatta Street.
While at inner side of lower gate, there is an inscription which contains a brief history of legendary Janjang existence as high as 5 meters and 4.6 meters in wide which was built in the past.
I was still staring at the elegance of this colonial era integration facility, while residents seemed to be moving up and down at Janjang. I really didn’t want to leave this area quickly, stunned to think of how form of this area when Janjang hadn’t been built, maybe where I stood was still in the form of steep hills which separating three market activities.
Janjang Ampek Puluah is just one of many Janjang in Bukittinggi. Apparently Colonial Government was quite serious in integrating all city economic spots at that time. You need to know that there are still Janjang Saribu, Janjang Koto Gadang and Janjang Pasanggrahan in the town which called as Fort de Kock in its past time.
At outer side of gate, public transportations start to generating city pulse. The appearance of imperious Banto Trade Center increasingly shows that the surrounding area can be relied upon as a driving force for city’s economy.
Okay let’s continue….If you go straight ahead, what else is there?
Walking through Veteran Street, I slowly approached De Kock Hotel to check-in. Cool and peaceful is an image in my head about Bukittinggi when I arrived.
1. Limpapeh Bridge
Halfway to hotel, I was fascinated by a suspension bridge. It is the Limpapeh Bridge which stretches over Ahmad Yani Street. It was built in 1992 and have function as a link between Wildlife Cultural Park Kinantan and Fort De Kock Fortress area. Stretching along ninety meters with approximately three meters in width, making this bridge so dashing visible from Ahmad Yani Street.
2. GadangClock Tower
A bottle of coca cola closed my check-in session as well as a starting marker for my exploration around Pasar Atas that afternoon. Walking through Yos Sudarso Street with up-down contour, my steps arrived at a phenomenal landmark which is famous throughout Indonesia.
Gadang Clock Tower, a landmark which was given by Queen Wilhelmina, looked dashing. Needed long time in waiting for different color lights to appear and illuminated entire this giant clock tower as a marker of switching from evening to night. Because of its fame, Gadang Clock Tower has been designated as Kilometer Zero Point of Bukittinggi City. “Gonjong” shaped roof or roof style which was commonly used in “Gadang House” (typical house of West Sumatra) makes this European architectural art possess a local customs wealth.
3. Bukittinggi Plaza
Major renovations at Sabai Nan Aluih Park, made me only able to enjoy the beauty of Gadang Clock Tower from mall courtyard which is located opposite this big clock tower.
Bukittinggi Plaza in the last few years had became the best mall in Bukittinggi. Ramayana (Indonesia’s prominent department stores) becomes main player which occupies seventy percent of overall mall capacity.
4. Bukittinggi Grand Mosque
Fun in enjoying the beauty of Gadang Clock Tower almost made me lose Maghrib Prayers. I tried to trace azan origin several minutes before. Heading north, I finally arrived at Bukittinggi Grand Mosque.
The mosque which in earthquake 2007 became a refuge for residents who evacuated because of damage which was caused by the massive earthquake.
5. Pasar Atas Bukittinggi
Cindua Mato Street towards Pasar Atas
Grand mosque which is precisely located in the center of Pasar Atas (a famous market in Bukittinggi) made me interested to explore road towards Pasar Atas. Dark which continued to devour the day, made shop owners began to close them one by one.
Pasar Atas is a market which places several sellers of Kapau Rice, Ampiang Dadiah Ice and Sanjai Crackers which are favorite crackers for souvenirs which were bought by Bukittinggi visitors.
Hungry stomach has forced myself to immediately look for dinner. Dinner under Limpapeh Bridge finally closed my two hours exploration on my first night in Bukittinggi
6. Unknown Hero Monument
My second day exploration began with leaving the hotel on a quiet morning. Even residents’ activities hadn’t been seen. Quiet and cold didn’t dampen my steps to visit Unknown Heroes Monument.
This monument was built to commemorate heroes who couldn’t be identified in opposing Dutch Colonialism on 1905. The monument with a circular shaped ornament of large dragon and on its top stands a statue of a young man who holding a flag.
7. Bung Hatta Proclamator Park Monument
While across the front of monument, there is a park with a black statue of Bung Hatta. Known as Bung Hatta Proclamator Park, this park was dedicated to Mohammad Hatta, the native son of Bukittinggi who proclaimed Indonesian independence with Ir. Sukarno.
8.Janjang Ampek Puluah
Returning to Cindua Mato Street which I passed last night, I headed for a connecting stairway between Pasar Atas and Pasar Bawah also Pasar Banto (three markets in Bukittinggi). A steep concrete staircase with forty stairs which is 112-year-old. This is embodiment of public facilities integration in past time. At that time, Dutch East Indies Government and several local powers agreed to connect every market in Bukittinggi, one of which was by making janjang or stairs.
9. Bung Hatta Birthplace Museum
Coming out of lower gate and passing through Banto Trade Centre which looked unkempt, I headed to Bung Hatta residence when he was a child. Even though this house is actually only a reconstruction building, but its interior arrangement and exterior appearance are made as closely as possible to condition of the original house which has collapsed. If you want to know about life history behind Muhammad Hatta glory in his political career, then come to this place.
10. Fort De Kock
After visiting Bung Hatta Birthplace Museum, I intended to walk to Fort de Kock through Pemuda Street with quite a long climb walking and meanders from south to north. But apparently I wasn’t strong in middle of journey, I called for online transportation to drive me at Fort de Kock front gate.
Fort de Kock was built by Captain Bauer in 1825 on Jirek Hill as the defense dome of Dutch East Indies Government in facing popular resistance i.e Paderi War which led by Tuanku Imam Bonjol (Indonesia’s national hero).
11. Wildlife Cultural Park Kinantan
From Fort de Kock, I just needed to cross Limpapeh Suspension Bridge to a famous zoo in Bukittinggi.
Wildlife Cultural Park Kinantan is one of the oldest zoos in Indonesia and the only one in West Sumatra with the most complete collection of animals on Sumatra island.
12. Baanjuang Traditional House Museum
As the zoo grew, in 1935 the Baanjuang Traditional House was built in it.
Functioned as a museum, this traditional house is dedicated to elevating the traditional culture of Minangkabau people. Its inside were exhibited various clothes, jewelries and typical Minang art tools.
13. ZoologicalMuseum
Not far away….In northeast of the zoo, there is a Zoological Museum with Sumatran tiger and goldfish as its icons. The museum was established in conjunction with a similar museum at Bogor in 1894. Two thousand species of animal are preserved and exhibited in this museum.
14.Sianok Canyon
I left Fort de Kock from its entrance. My next destination was Sianok Canyon. A valley formed by natural fracture, has a wall which is perpendicular to Sianok River which flowing in the middle. But it was unfortunate that the rain fell so heavily. After getting off from an online motorcycle taxi, I felt like I was hopeless and just waited for rain to stop. Under a tree, I continued to observe valley in a side of Sianok Canyon.
15. Japanese Tunnel
The rain began to thin but still never let up. It caused my hope to enjoying the canyon for a longer time had to ending. I get a online motorcycle taxi with middle-aged women as the rider. Under light drizzle, I headed for Panorama Park.
Before exploring Panorama Park, I made time to explore the longest defensive hole in Asia. A Japanese tunnel made by order of Lieutenant General Moritake Tanabe, 25th Division of Japanese Army Commander. Very deep, long and amazing.
16.PanoramaPark
Finally the closing visit fell at Panorama Park, a large park with two entrances on edge of Panorama Steet. With a ticket for USD 1.1, I tried to enjoy this shady garden in my last seconds in Bukittinggi.
Leaving the park and returning to hotel, I prepared to go to a travel agent office to reach Padang city. On 13:00, I finally left Bukittinggi. Goodbye Bukittinggi.
So for you who intend to go to West Sumatra….Visit Bukittinggi and enjoy the cool air there.