Jembatan Limpapeh, Jirek dan Cubudak Bungkuak

Burung trulek menutup kunjunganku di Fort de Kock.

Masih ada waktu”….Batin terus memaksa langkah.

Tiket TMSBK digenggaman, lalu di ujung Fort de Kock aku meyaksikan keramaian di bukit sebelah. Sementara fikiran terus membayangkan eloknya Ngarai Sianok, sedangkan segantung jembatan ikonik menyambutku di depan pandangan.

Aku tak bisa mengelak pesonanya…..

Enam Atap Gonjong di pusat, empat utas baja raksasa menahan deck bridge sepanjang 90 meter. Menghubungkan gagahnya dua bukit yang cukup tenar di Bukittinggi yaitu Bukit Jirek dan Bukit Cubudak Bungkuak dengan lebar pijakan 3 meter.

Adalah Jembatan Limpapeh yang nampak perkasa mengangkangi Jalan Ahmad Yani. Telah berjasa selama 28 tahun dalam menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan kawasan benteng Fort De Kock.

Jembatan Limpapeh sendiri adalah penyambut pertama kedatanganku di Bukittinggi sehari sebelumnya. 

Limpapeh” sendiri berarti “Tiang Tengah”. Keunikan jembatan ini adalah selain berada di tengah struktur, pier kembarnya juga membatasi kedua sisi Jalan Ahmad Yani sehingga membentuk sebuah gate penyambut tamu kota di jalan protokolnya.

Jembatan Limpapeh dengan enam gonjong dua lapis.

Sedangkan pada kunjungan keduaku di malam hari pertama, aksara “Jembatan Limpapeh” yang bersinar merah menyala terhiasi dengan siraman cahaya ungu di kedua pilar kembarnya. Benar-benar menjadi pintu kota yang sangat indah di pandang mata.

Di malam hari, Jembatan Limpapeh menjadi penyedap aktivitas kuliner di daerah yang terkenal dengan nama Kampung Cino.

Seperti Janjang yang tersebar di banyak sudut kota, penghubung cantik ini juga merupakan manifestasi integrasi fasilitas kota. Adalah wisata Fort de Kock dan wisata Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) yang menjadi obyek terekspose dari alasan pembangunan jembatan ini. Memudahkan para turis untuk berwisata di kota berjuluk Parijs van Sumatra ini.

Atap gonjong dengan motif batik bunga.

Demi menjaga keamanan dan merawat usia pakai jembatan, pengelola wisata hanya memperbolehkan maksimal 200 pengunjung yang bisa secara bersamaan berada di atas jembatan ini dan setiap pengunjung hanya boleh berfoto diatas jembatan selama maksimal 3 menit saja. Hayu….Taat aturan ya kalau berwisata kesini….Hehehe.

Gunung Marapi berselimut kabut dipandang dari atas jembatan.

Akhirnya aku berkesempatan menikmati pemandangan kota mungil yang pernah menjadi ibu kota Indonesia ini dari ketinggian. Bukan gedung pencakar langit yang tampak dalam pandangan, melainkan hamparan rumah warga, kios-kios perniagaan yang memanjang mengikuti lekuk demi lekuk Jalan Ahmad Yani serta dominasi pepohonan hijau yang diandalkan sebagai area resapan kota.

Gunung Sirabungan terlihat dari jembatan.

Menjadi sensasi tersendiri ketika berada di atas jembatan dalam kondisi yang terus bergoyang sebagai ciri khas sebuah jembatan gantung. Menjadi sebuah kepuasaan tersendiri ketika menikmati pesona kota Bukittinggi dari jembatan yang menjadi ikon unggulan kota setelah keberadaan ikon pertama mereka yaitu Jam Gadang.

Jadi….Kamu harus ke sini ya jika berwisata ke Bukittinggi.

Kisah Selanjutnya—->

Limpapeh Bridge, Jirek and Cubudak Bungkuak

Trulek bird closed my visitation at Fort de Kock.

There’s still time“….Inner continued to force steps.

TMSBK ticket was grasped, then at the end of Fort de Kock I saw a crowd on next hill. While the mind continued to imagine an exquisite Sianok canyon, while a iconic suspension bridge welcomed me at front.

I couldn’t dodge its charm…..

Six Gonjong Roofs in the center, four giant steel strands hold bridge deck along 90 meters. Connecting two strong hills which are quite popular in Bukittinggi, namely Jirek Hill and Cubudak Bungkuak Hill with 3 meters footing width.

Is Limpapeh Bridge which looked mighty straddling on Ahmad Yani Street. It had played a role for about 28 years in connecting Kinantan Wildlife and Cultural Park (TMSBK) with Fort de Kock fortress area.

Limpapeh Bridge itself was the first greeter for my arrival in Bukittinggi a day before.

Limpapeh” itself means “Centre Pillar“. The uniqueness of this bridge is besides in structure centre, its twin pillars also limit both sides of Ahmad Yani Street so that it form a welcome gate for city guests on its protocol road.

Limpapeh Bridge with two layers of six Gonjong roofs.

Whereas on my second visitation on my first night, alphabets board “Limpapeh Bridge” which glowed bright red was decorated with a splash of purple light on both of its twin pillars. Really become city gate which is very beautiful in eyes view.

In evening, Limpapeh Bridge is culinary activities condiment in an area known as Kampung Cino.

Like Janjang which is spread in many city corners, this beautiful link is also a integration manifestation of city facilities. That are a Fort de Kock tourism and Wildlife Cultural Park Kinantan (TMSBK) tourism which are be exposed objects from construction reason of this bridge. It makes easy for tourists to exploring in the city with its nicknamed Parijs van Sumatra.

Gonjong roof with floral batik motifs.

In order to maintain security and maintain bridge’s age of use, venue management only allows a maximum of 200 visitors who can simultaneously be on this bridge and each visitor can only take pictures on the bridge for a maximum of 3 minutes. Okay….Let’s obey the rules if you visit it !….Hehehe.

Marapi Mountain which is shrouded in fog looked from the bridge.

Finally I had an opportunity to enjoy views of this tiny city which had ever been Indonesia capital from a height. Not skyscrapers which appeared in view, but an expanse of citizen’s houses, commercial shops which extend along Ahmad Yani Street curves and green trees dominance which are relied upon as a water catchment area of the city.

Sirabungan Mountain was seen from the bridge.

Being a sensation when you are on the bridge in a condition which alway sway as a main characteristic of suspension bridge. Being a satisfaction when enjoying the charm of Bukittinggi from the bridge which became a city’s flagship icon after its first icon, i.e Gadang Clock Tower.

So….You have to come here if you travel to Bukittinggi.