Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Paradise Hostel: Menolak Tertangkap Petugas Keamanan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyusuri jalan setapak nan sempit berbahan beton, untuk kemudian memasuki area hostel dari sisi belakang. Akhirnya aku pun tiba di pekarangan hostel.

Terimakasih, Tuhan”, aku bersyukur dalam hati, “Ternyata memang tempat ini yang kucari

Aku memang beruntung, karena secara tak sengaja telah memasuki pekarangan hostel yang sedang kucari, Paradise Hostel. Aku mengucek mata, meyakinkan sekali lagi, membaca papan nama di lokasi minim cahaya. Memastikan untuk yang terakhir kali.

Berhasil meyakinkan diri maka tanpa pikir panjang aku membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Aku terhenyak kaget karena aku membuka sebuah pintu ruangan bersama para tamu. Tak kurang dari lima penginap tampak menikmati kopi hangat, sajian makanan, menonton TV dan bercanda bersama.

Hellooo, where is the reception desk, Sir?”, aku melemparkan tanya kepada salah satu dari mereka.

“There”, seorang pria di antara mereka menunjuk sebuah arah.

Oh, Okay, Thanks, Sir”, aku pun bergegas menutup pintu itu.

Aku mencari pintu lain yang dimaksud dan menemukan di sisi barat bangunan. Benar saja, aku menemukan meja resepsionis ketika masuk dari pintu itu.

Seorang lelaki muda tampak tenggelam dalam kesibukannya di meja resepsionis. Bukan berwajah Uzbekistan dalam pandanganku, tetapi lebih mirip berwajah Asia Selatan.

Hello, Sir. Can you check a reservation by Donny via Booking.com!”,

Hello, brother. Ok, please wait!”, dia mulai menatap layar monitor.

Yesss, I find you. For 3 nights, isn’t?

Yes, I had guaranteed my booking with a credit card. Can you check it?

Wait”, tatapannya kembali ke layar monitor. “I didn’t find any payment in your booking. I think you must pay your room in the hostel”.

Let me check my credit card account”, aku sibuk memeriksa aplikasi kartu kredit salah satu bank nasional di layar telepon pintarku.

Okay, no billing on my credit card. How much must I pay?”

280.000 Som

Aku menyelesaikan pembayaran dengan cepat, untuk kemudian pria muda itu memberikanku kunci kamar dan menunjukkanku lokasi kamar, dapur bersama, ruang tamu bersama, ruang makan bersama dan kamar mandi bersama khusus pria…..Begitulah, semua serba “bersama” jika kamu menginap di sebuah dormitory. Tapi itu asyik loh, gaes…..Wkwkwkwk.

Aku telah mendapatkan kamar, memasukinya, dan kemudian duduk di salah satu bunk bed. Untuk sejenak aku menghangatkan badan yang beku setelah setengah jam lamanya berjibaku di jalanan Tashkent tanpa persiapan.

Tempat tidurku bersama sekelompok turis Turki.
Tempatku makan dan berkenalan dengan turis dari berbagai negara.

Perlahan aku membuka backpack, mengaduk-aduk isinya, mencari dua kerat roti yang kudapat dari penerbangan Uzbekitan Airways HY 554. Aku juga masih menyimpan beberapa snack pemberian Dasha, penumpang wanita yang duduk di sebelahku selama penerbangan.

Aku yang kelaparan, menyantap sisa makanan yang kupunya di ruang tamu bersama. Aku tak mempedulikan tatapan aneh para tamu-tamu Turki yang sedang berkumpul di ruang yang sama.

Tak lupa aku menyisakan sebungkus kecil biskuit untuk sarapan esok hari. Tak mungkin bagiku keluar mencari makanan malam itu.

Untuk sementara aku merasa tenang, kenyang dan relaks.

Membuatku cepat terlelap di atas bunk bed usai membasuh badan di bawah shower hangat Paradise Hostel.

—-****—-

Pagi sekali…..Masih gelap di Tashkent.

Jam 6 pagi tepatnya……

Paradise Hostel masih senyap, lampu di semua ruangan masih padam. Aku berjinjit ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, membasahi rambut dan mencuci muka. Aku tak akan mandi pagi itu. Begitulah kebiasaan diri saat ber solo-traveling, aku hanya akan mandi ketika hendak beranjak tidur malam saja….Jangan ditiru ya….Kebiasaan jorok itu….Hahaha.

Aku masih memiliki sebungkus kecil biskuit dan sebungkus salted peanuts yang bisa kunikmati sebagai menu ringan sarapan. Air minum hangat?….Ya, aku menemukannya dengan mudah di pantry bersama hostel.

Menjelang pukul tujuh pagi, dua staff Paradise Hostel mulai bangun dan membersihkan ruangan. Sepertinya mereka tinggal di dormitory itu. Seorang staff tampak masih muda, berparas cantik dan berambut panjang kepirangan khas gadis Uzbekistan. Seorang lagi adalah perempuan setengah baya yang aku tebak adalah ibu gadis itu. Wajahnya tampak mirip.

Nantinya, selama tiga malam menginap di dormitory itu, dua perempuan super baik itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan bagiku.

Pukul delapan….Beberapa penginap sudah mulai bangun dan duduk di ruang bersama. Bahkan,  satu rombongan pejalan dalam waktu singkat memenuhi ruangan, hampir seluruh bangku di meja makan berukuran panjang diakuisisi oleh mereka.

Tiga gadis muda dalam rombongan sibuk menuangkan berbagai macam makanan. Berkerat-kerat roti, potongan keju yang melimpah dan berbungkus-bungkus biskuit mereka hidangkan di meja panjang. Sesaat kemudian, sekitar enam belas anggota rombongan bersarapan bersama dengan duduk berhadap-hadapan. Mereka sepertinya rombongan mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan bersama.

Aku yang sendirian dan tak berteman memilih untuk menepi dan duduk di sebuah sofa depan TV dan menikmati menu sarapan super sederhanaku.

Pukul sembilan pagi,…..

Aku melongok keluar jendela. Tampak jalanan kecil di depan hostel sesekali dilintasi oleh warga lokal yang sudah memulai aktivitas rutinnya. Satu dua mobil mulai dinyalakan untuk memanasi mesin.

Saatnya memulai eksplorasi”, aku merengkuh winter jacket yang kusampirkan di sebuah kursi.

Bagian depan Paradise Hostel.

Sewaktu kemudian aku sudah berada di tepian Navoiy Shoh Ko’chasi. Menuju ke timur, aku berusaha mengalahkan dinginnya suhu -4oC.

Aku bermaksud menuju ke Abdulla Qodiry Station dan akan mengunjungi Distrik Chorsu.

Di sebuah trotoar, aku yang terpesona dengan bentuk-bentuk bangunan khas Uzbekistan di sepanjang jalan memutuskan untuk sesekali berhenti demi mengabadikan pemandangan kota.

Pada satu titik, aku diteriaki oleh seorang security dari sebuah kantor pemerintah. Aku tahu bahwa teriakan itu tertuju padaku, sepertinya dia hendak melarangku untuk mengambil foto. Aku meliriknya yang sedang berlari kecil dari halaman gedung menuju ke trotoar tempatku berdiri.

Aku yang paham kondisi itu memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu secepat kilat. Berpura-pura tidak mengetahui keberadaan secutiry itu, aku melangkah cepat meninggalkan lokasi.

Beberapa detik kemudian, tanpa menengok ke belakang pun aku tahu bahwa security bertubuh tegap itu berhenti lalu memandangiku dari kejauhan. Dia enggan mengejarku karena aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya.

Aku sepenuhnya paham bahwa pada masa lalu tidak sembarangan orang boleh mengambil foto di jalanan Uzbekistan. Mungkin pemerintah Uni Soviet merasa perlu menjaga diri di masa perang dingin dari tindak spionase.

Memang aturan mengambil foto itu telah dihapuskan tetapi toh kenyataannya beberapa warga mereka masih merasa aneh ketika seorang asing mengambil foto di tempat-tempat umum.

Suasan trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi.
Gedung National Library of Uzbekistan.
Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiry Station.

Usai menyeberangi lebarnya Amir Temur Ko’chasi dan menempuh jarak hampir 1 Km, aku tiba di stasiun.

Aku menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. Sejenak aku menikmati udara hangat di ruangan bawah tanah itu. Aku berhenti sejenak mengamati situasi, berusaha memahami bagaimana warga lokal membeli tiket MRT.

Sebuah loket tampak dijejali warga lokal yang mengantri untuk mendapatkan tiket. Ada selembar kertas bertuliskan 1,400 Som di atas lubang loket. Aku yakin bahwa nominal itu adalah harga tiket MRT.

Aku mempersiapkan uang koin sisa menaiki bus kota semalam dan mulai mengantri di loket. Usai mendapatkan tiket, aku pun mencari pintu masuk menuju platform.

METROGA KIRISH”. Aku melihat signboard berwarna kuning tergantung di langit-langit koridor.

Aku yakin itu adalah pintu masuk menuju platform. “KIRISH” bermakna akses dalam Bahasa Indonesia.

Tanpa ragu sedikitpun….Aku pun melangkah memasukinya.

Kisah Selanjutnya—->

Bus Kota Tashkent No. 67: Mencari Penginapan

<—-Kisah Sebelumnya

Bus kota berkelir hijau muda dengan desain modern yang kutunggangi perlahan tapi pasti menembus gelapnya jalanan bandara, melewati jalanan sepi dan kosong di pinggiran kota.

Seiring laju bus, perlahan cahaya jalanan mulai tampak di sejauh tatapan memandang.

Selamat datang, Tashkent”, tatapku berbinar bak memenangkan sebuah pertarungan.

Kabin mulai dipenuhi warga lokal ketika bus menepi di sebuah halte yang sepertinya berada di perbatasan kota. Membuatku harus menyerahkan kursi kepada seorang perempuan tua yang tampak kepayahan menaiki bus dari pintu tengah.

Dia tersenyum padaku dengan beberapa giginya yang telah tanggal ketika menduduki bangku yang kuberikan. Tak berkomunikasi apapun, aku hanya membalasnya dengan senyuman pula.

Aku sendiri sedikit kepayahan berdiri di dalam bus malam itu. Si pengemudi tak lembut memainkan pedal gas sehingga beberapa kali aku terpontang-panting ke depan-belakang karena injakan rem dan gas yang sering mendadak. Walaupun di sisi lain, aku melihat warga lokal tampak tenang-tenang saja ketika bus itu terkadang berjalan ndut-ndutan.

Aku mulai melihat kepadatan kendaraan ketika bus kota memasuki ruas Yusuf Hos Hojib Ko’chasi. Di jalan itu, bus tersendat di depan Gedung Kementrian Dalam Negeri Uzbekistan yang berdiri perkasa di sisi barat jalan. Gedung bertembok tebal, berbentuk persegi dengan sudut menyiku sempurna di setiap ujung bangunannya itu menjadikan suasana sekitar beraura metropolis. Aku terus mengamati setiap jengkal gedung itu dari balik kaca bus kota.

Bus terus merangsek di Sharof Rashidov Shoh Ko’chasi. Inilah jalan yang menyematkan nama tokoh masa lalu Uzbekistan dari Partai Komunis. Di salah satu sisi jalan itu tertampil sebuah gedung dengan arsitektur mirip sebuah masjid yang memendarkan warna hijau terang. Ternyata itu bukanlah bangunan masjid, melainkan sebuah Central Exhibition Hall. Bangunan dengan bagian bawah keseluruhannya adalah deretan pintu dengan lekuk-lekuk runcing di atasnya.

Gedung Markaziy Ko’rgazmalar Zali.

Bus kemudian mengambil arah ke timur melewati bangunan klasik Pusat Hak Asasi Manusia milik pemerintah, terus melaju dan merangsek di Islam Karimov Street hingga menemui jalan melingkar di Amir Temur Square. Aku begitu berkesan melewati markah kota yang terkenal itu. Siapa yang tak tahu Amir Temur Square yang merupakan taman kota utama di Tashkent dengan simpanan sejarah di dalamnya. Tetapi sejenak rasa antusiasku redam dengan kondisi gelap di sepanjang taman.

Aku akan menikmatinya esok hari”, aku bersemangat dalam hati.

Setelah perjalanan selama 40 menit, akhirnya aku tiba di tujuan. Aku memencet tombol ‘STOP’ di salah satu tiang bus ketika bus perlahan melahap kemacetan di sekitar State University of Law. Aku turun dari bus, kemudian, untuk sesaat mengabadikan bentuk bus kota itu di dalam kamera.

Aku sudah benar-benar turun di jalanan Tashkent. Udara hangat dalam bus telah berubah menjadi udara dingin 2 oC. Tarikan nafasku memberat. Udara super dingin masuk melalui celah-celah winter jacket yang kukenakan. Sementara dingin mulai mengikis mental, aku masih saja berdiri di sisi trotoar untuk melihat situasi dan menetapkan jalur yang akan kutempuh dengan berjalan kaki.

Halte bus Yuridik Universiteti.

Sejenak kemudian aku mulai memahami jalur itu. Aku melangkah ke utara melewati trotoar bercahaya remang untuk kemudian tiba di sebuah perempatan besar. Setidaknya cahaya di perempatan itu menenangkan hati. Keberadaan dua polisi lalu lintas membuat aku percaya diri melintasi Navoiy Shoh Ko’chasi, jalan protokol di Tashkent. Malam itu, aku sudah berada di jantung Kota Tashkent.

Jalan delapan jalur dengan dua ruas arah itu sangat ramai dengan kendaraan, hiasan lampu yang membentang di atas jalan juga membuat cantik suasana kota. Sementara itu, tatapku terus tertuju pada sebuah jalur trotoar di sisi utara jalan, trotoar itu menuju ke barat. Aku harus melewati trotoar itu dan mencari keberadaan dormitory yang telah kupesan secara daring.

Menyeberang dua kali di bawah pengawasan polisi lalu lintas berperawakan tinggi besar dan berseragam tebal, aku berhasil menggapai pangkal trotoar yang kumaksud. Trotoar itu tampak remang oleh karena cahaya lampu terkalahkan dengan rindangnya pepohonan besar di sisi lain trotoar. Hanya satu dua warga lokal yang melintas di jalan itu.

Rasa takutku telah kalah dengan udara dingin Tashkent, tak ada pilihan selain segera menemukan penginapan itu, sebelum aku membeku di jalanan. Aku terus melangkah cepat, beberapa warga lokal yang berpapasan denganku menaruh tatapan heran. Mungkin mereka jarang menemukan wajah Asia Tenggara di kotanya. Aku hanya melempar senyum membalas tatapan mereka.

Kusempatkan sesekali mengambil foto di sekitar jalanan hingga langkahku tiba di sebuah gang. Ada pos jaga dengan seorang security yang berjaga, kaca jendela pos itu tertutup rapat demi mencegah udara dingin masuk ke dalamnya.

Sebuah perempatan di Navoiy Shoh Ko’chasi.
Lampu hias di Navoiy Shoh Ko’chasi.
Mencari hostel melalui trotoar itu.
Aku masih penasaran, hostel apakah ini?

Jauh di dalam gang tertera signboard menyala merah bertuliskan “HOSTEL”. Aku yang mencari Paradise Hostel mengindahkan keberadaannya. Aku pun terus melanjutkan langkah, tetapi semakin jauh melangkah, trotoar semakin sepi, juga semakin gelap. Aku mulai khawatir.

Maka kuputuskan untuk kembali ke titik dimana aku melihat tulisan hostel yang kulewati beberapa menit lalu.

Daripada kedinginan, lebih baik aku ke hostel tadi, jika memang bukan Paradise Hostel, aku akan memesan kamar baru di tempat itu”, aku yang menggigil pun telah mengambil keputusan baru.

Aku pun memutar haluan dan melangkah cepat menuju ke hostel yang kumaksud.

Kisah Selanjutnya—->