Moored at Kedai Payang Market

<—-Previous Story

“I’m not from India, I’m from Iran”, the bunk bed neighbor’s traveler answered my question.

“Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, he suddenly asked the receptionist and hotel owner.

I inwardly laughed at that “funny” scene that morning, a light conversation before I set out to explore Kuala Terengganu for the first time since arriving.

I rushed down the stairs to get out of The Space Inn, along Engku Pengiran Anom 2 Street, heading north, repeating the original way when heading to the inn. Of course, I went back to Air Jernih Street, met again at the intersection where Politectic Kuala Terengganu became a landmark besides PMINT Tower and retraced Masjid Abidin Street until I arrived back in east side of Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

The east side of Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Rows of Interstate Bus ticket counters.
So here it was…. The tree just got “dressed up”……

It was just that, two hundred meters before arriving at bus terminal, I was fascinated by the art of yarn bombing which pinned colorful knitted threads to a row of trees in a side of Masjid Abidin Street’ sidewalk, right on the west side of PB Square. Make the city atmosphere more lively.

Arriving at bus terminal, I immediately struggled to find an Interstate Bus ticket to go to Kuala Lumpur the day after tomorrow.

“There are even cheaper ones, Sir?”, I joked at an Arowana Bus ticket counter staff.

“Nothing…. It’s only 43 Ringgit, Sir…. this is the cheapest”.

“Okay, I’ll take one, Sir …. For the date of 31st”.

A few minutes ago, I had secured a ticket to Kuala Lumpur, now I was a little calmer to start exploring my first destination.

Yupsz, I was going to Kuala Terengganu’s market.

That market is only a kilometer from Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, so I decided to just walk. I slowly enjoyed the crowds around Kampung Daik Street, under the shade of roofed corridor along sidewalk, what a comfortable way to walk. My steps also had to turn right in front of Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota’s Office, which were identical in color to the fire brigade offices in Jakarta (my hometown), bright red.

Now I felt reluctant to continue swinging steps due to the scorching heat of sun in the path in front of me that wasn’t longer covered. Finally, I decided to take a break at the end of covered corridor, sitting in a concrete bench, waiting for the cloud to cover the sun.

Kuala Terengganu fire department.

A few moments of waiting while enjoying the passing of local residents, the cloud was present, now the street didn’t sting anymore, I immediately took a quick step down Sultan Zainal Abidin Street. Finally, two hundred meters ahead, I arrived at Kedai Payang Market which was starting to get busy.

The Kedai Payang Market dis seem to show off its beauty, it was said that the two-year-old building functions to replace the old building that had retired.

Rows of tents with white cloth roofs stretched across market’s face, separating the parking area from commercial area. The large tents showed that  market’s interior area wasn’t enough to facilitate the bustling commerce in downtown Kuala Terengganu.

Now I’ve entered market inside which was very crowded, the stalls with red brick motifs still looked new, the alleys seemed full of visitors passing by. Several clowns and pet equipment sellers were seen cramming into several corners of stalls selling songket, batik, handicrafts and traditional snacks from Terengganu. While in the back area, it appeared that a special area was provided for a row of culinary stalls with a mainstay menu of Nasi Dagang, Laksa, Nasi Lemak and several other specialties.

Kedai Payang Market back view.
The market front.
Market atmosphere.
Rows of clothing stalls.
Culinary stalls behind the market.
Come on, first enjoy the beauty of Terengganu River!

I just kept going until I reached its backyard. Apparently that market is right on the outskirts of very clean Terengganu River. Bot Penambang (Passenger Boats) could be seen moving back and forth to mobilize Terengganu residents from a bank to another. The Bot Penambang (Passenger Boat), which is relied upon as the city’s water taxi, seems to have originalized the atmosphere of Terengganu that morning.

The beauty of the expanse of Terengganu River finally started to make me fall in love with that city and managed to tame me to just linger for a while enjoying the gentle breeze in a concrete gazebo which is part of public facilities belonging to Pasar Kedai Payang.

“Don’t be in a hurry, Donny….Sit down and enjoy”.

Next Story—->

Tertambat di Pasar Kedai Payang

<—-Kisah Sebelumnya

I’m not from India, I’m from Iran”, begitulah ucapan gemulai pejalan pria tetangga bunk bed menjawab pertanyaanku.

Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, dia tetiba memberikan pertanyaan kepada resepsionis sekaligus si empunya hotel.

Aku tertawa dalam hati menemukan adegan “lucu”pagi itu, percakapan ringan sebelum aku beranjak melakukan eksplorasi Kuala Terengganu untuk pertama kali semenjak tiba.

Aku bergegas menuruni tangga untuk keluar dari The Space Inn, menyusuri Jalan Engku Pengiran Anom 2, menuju utara, mengulang kembali jalur awal ketika menuju penginapan. Tentu aku kembali merunut Jalan Air Jernih, berjumpa lagi perempatan dimana Politektik Kuala Terengganu menjadi tengara selain Menara PMINT serta menapaki ulang Jalan Masjid Abidin hingga tiba kembali di sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Deretan konter tiket penjualan Bus Antar Negara Bagian.
Nah ini dia….Pohon aja “dibajuin”……(gambar akhirnya menyusul tampil karena permintaan teh Uchi…..Hahahaha).

Hanya saja, dua ratus meter sebelum tiba di terminal bus itu, aku terpesona dengan seni yarn bomb-ing yang menyematkan rajutan warna-warni benang pada deretan pohon di salah satu sisi trotoar Jalan Masjid Abidin, tepat di sisi barat PB Square. Membuat suasana kota menjadi lebih hidup.

Setiba di terminal bus, aku langsung berjibaku mencari tiket Bus Antar Negara Bagian untuk pergi menuju Kuala Lumpur esok lusa.

Yang lebih murah lagi ada lagi, Pak Cik?”, selorohku pada seorang penjaga konter tiket Bus Arwana.

Manè adè ….Cukup 43 Ringgit sahajè lah….ini paling murah”.

Okelah, saya ambil satu, Pak Cik….Buat tanggal 31”.

Beberapa menit lalu, aku telah mengamankan satu tiket menuju Kuala Lumpur, kini aku sedikit lebih tenang untuk mulai menjelajah destinasi pertama.

Yupsz, aku mau ke pasar rakyatnya Kuala Terengganu.

Pasar rakyat ini jauhnya hanya satu kilometer dari Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Aku perlahan menikmati keramaian di sekitar Jalan Kampung Daik, di bawah naungan koridor beratap di sepanjang trotoarnya, sungguh jalur yang nyaman untuk berjalan kaki. Langkahku pun harus berbelok tepat di depan kantor Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota yang warnanya identik dengan kantor-kantor pemadam kebakaran di Jakarta, merah menyala.

Kini aku merasa enggan untuk terus mengayunkah langkah gegara panas menyengatnya surya pada jalur di depanku yang sudah tak berpelindung. Akhirnya, aku memutuskan rehat sejenak di ujung koridor beratap, duduk di bangku beton, menunggu naungan awan melintas menutupi sengatan surya.

Kantor pemadam kebakaran Kuala Terengganu.

Beberapa saat menunggu sambil menikmati lalu lalang warga lokal, awan itu pun hadir, kini jalanan tak menyengat lagi, aku segera mengayunkan langkah cepat menyusuri ruas Jalan Sultan Zainal Abidin. Akhirnya, dua ratus meter di depan, aku tiba di Pasar Kedai Payang yang mulai ramai.

Pasar Kedai Payang memang tampak memamerkan keciamikan, konon bangunan berusia dua tahun itu berfungsi menggantikan bangunan lama yang sudah purna tugas.

Deretan tenda beratapkan kain putih tampak memanjang menyejajari muka pasar, memisahkan area parkir dengan area perniagaan. Tenda-tenda besar itu menunjukkan bahwa luasnya bagian dalam pasar tak cukup untuk memfasilitasi ramainya perniagaan di pusat kota Kuala Terengganu itu.

Kini aku sudah memasuki bagian dalam pasar yang sangat ramai, sekat-sekat kios bermotifkan bata merah masih tampak baru, gang-gang tampak penuh dengan lalu lalang para pengunjung. Beberapa badut dan penjual perlengkapan hewan peliharaan tampak menjejal di beberapa pojok kios penjualan songket, batik, kerajinan tangan dan jajanan khas Terengganu. Sementara di area belakang, nampak disediakan area khusus untuk deretan kios kuliner dengan menu andalan Nasi Dagang, Laksa, Nasi Minyak dan beberapa makanan khas lainnya.

Pasar Kedai Payang tampak belakang.
Bagian depan pasar.
Suasana dalam pasar.
Deretan kios pakaian.
Kios-kios kuliner di belakang pasar.
Yuk, nikmati dulu keindahan Sungai Terengganu!.

Aku terus saja meneruskan langkah hingga sampai di halaman belakang. Rupanya pasar ini tepat terletak di pinggiran Sungai Terengganu yang sangat bersih. Tampak Bot Penambang berhilir mudik memobilisasi warga Terengganu dari satu titik tepian ke tepian lain. Bot Penambang yang diandalkan sebagai taksi air kota tampak mengoriginalkan suasana Terengganu pagi itu.

Keindahan hamparan Sungai Terengganu akhirnya mulai membuatku jatuh cinta pada kota ini dan berhasil menjinakkanku untuk sekedar berlama-lama menikmati tiupan sepoi-sepoi angin semilir di sebuah gazebo beton yang merupakan bagian dari fasilitas umum milik Pasar Kedai Payang.

Ga usah buru-buru, Donny….Duduk dan nikmatilah”.

Kisah Selanjutnya—->