Kusempatkan memejamkan mata sejenak begitu menyelesaikan proses check-in di Hotel Sri Indrayani. Semalam yang tak nyenyak di bangku tengah Bus INTRA, bersambung dengan empat jam berjalan kaki demi mengeksplorasi daerah Senapelan telah membuat otot betisku kelelahan dan mataku terasa berat.
Smartphone yang masih mengisi ulang daya itu pun berteriak membangunkanku, tepat satu jam sebelum Shalat Ashar. Waktu shalat memang menjadi pilihan sebagai penanda mula untuk kelanjutan petualanganku di Pekanbaru. Itu karena aku memilih untuk mengunjungi sebuah masjid termegah di seantero Provinsi Riau atau boleh dikatakan sebagai salah satu yang termegah di tanah air.
Tak mengulur lagi keterlambatan bersantap siang, aku menyusuri daerah Pecinan di sepanjang Jalan Dr. Leimena yang tak jauh dari gerbang hotel, hingga menemukan sebuah kedai yang memaparkan harum rempah dan terlihat sangat ramai pengunjung. Seluruh bangku di lantai bawah ruko itu hampir penuh dan tanpa pikir panjang aku segera menduduki satu bangku diantaranya.

Menenggak pelan asam manis es jeruk dingin menjadikan tubuh mendingin sejenak di panasnya kota. Dan tepat di tegukan terakhir, ojek online itu datang menjemputku.
Menuju ke tenggara sejauh tiga kilometer dan tiba di gerbangnya tepat dua puluh menit sebelum waktu Ashar tiba. Begitu banyak polisi di halaman masjid yang tampak tengah mengamankan sebuah agenda penting siang itu. Setiap kendaraan yang masuk area masjid tak luput dari pemeriksaan ketat.
“Mau kemana, Bang”, tegur polisi muda bersenjata laras panjang di gerbang masuk. “Shalat Ashar, pak”, password yang begitu ampuh untuk melewati pemeriksaan itu.


Aku belum juga memasuki ruangan masjid. Sibuk di pelataran menikmati keindahan arsitektur yang tersaji di depan mata. Masjid dominan hijau berusia setengah abad dengan luas area yang kuperkirakan lebih dari sepuluh hektar…..Sungguh, luas sekali.

Mughal masih saja menjadi corak arsitektur yang mendominasi, lengkungan-lengkungan khasnya mirip lengkungan pada persemayaman terakhir Mumtaz Mahal di Agra. Sedangkan nuansa sekeliling masjid sedikit mengadopsi atmosfer Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Corak Melayu disematkan oleh warna hijau pada bangunan utama, warna merah pada ornamen di menara dan kuning emas pada ormanen interior beserta seni kaligrafinya. Lalu adat Melayu digambarkan pada lantai dua tingkat dengan beranda dibawah. Mengadopsi konsep rumah panggung Melayu.

Kini aku bersiap untuk beribadah Ashar, menyucikan diri di lantai bawah dan menaiki tangga demi tangga menuju ruang peribadatan utama di lantai kedua. Atmosfer di dalam yang begitu khusyu’, membuatku merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk mengunjungi rumah Tuhan yang megah ini.

Kulamakan waktu dudukku di bagian belakang untuk menikmati ikon wisata religi Provinsi Riau yang konon bisa menampung hampir lima ribu jama’ah.

Karya arsitektur kenamaan di Pekanbaru ini tak lepas dari tangan dingin Kaharuddin Nasution, Gubernur kedua Provinsi Riau yang memindahkan Ibukota Provinsi dari Tanjung Pinang di Pulau Bintan ke Pekanbaru pada tahun 1960-an. Perpindahan itu tentu membawa konsekuensi baginya untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan mayoritas masyarakat yang notabene memeluk agama Islam. Oleh karena itulah Sang Gubernur merasa penting untuk menghadirkan Masjid Agung An-Nur ini.
Keren ya……