Lion Air JT 257 dari Padang (PDG) ke Jakarta (CGK)

Ini bukan pertama kali bagiku menaiki Lion Air, pernah kunaiki maskapai ini pada rute Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapura, atau sebaliknya. Hanya saja, ini adalah kali pertama pengalamanku menjajal Boeing 737 MAX 8, jenis pesawat fenomenal, yang sedang “grounded “ semenjak kecelakaan ganda, satu di Indonesia dan kedua di Ethiopia, dengan penyebab yang sama.

Aku akhirnya berhasil mengeksplore Minangkabau International Airport dalam gerimis, tapi nanti saja kusampaikan. Aku masih menyimpan sebuah petualangan repetisi ke Padang pada sebuah business trip di awal tahun 2020. Jadi harap bersabar jika ingin mengintip keotentikan Minangkabau International Airport dari blog ala kadar ini.

Drop Zone di Departure Hall Minangkabau International Airport.

Aku diturunkan tepat di depan lobby keberangkatan oleh DAMRI berukuran tiga perempat, tetapi setelahnya, aku tak segera memasuki check-in area. Aku lebih memilih mengambil beberapa gambar ketika hujan sedang merubah fasenya menjadi gerimis lembut. Kulakukan hingga beberapa gambar menjejal di kartu memori Canon EOS M10ku.

Mari segera masuk area check-in!

Penerbangan lokal yang hanya mensyaratkan tampilan booking confirmation di layar telepon pintar serta kartu identitas biru langit bernama sama, memudahkan penumpang memasuki check-in area.

Harus kusediakan kesabaran karena selepas meninggalkan konter check-in, aku akan menunggu Si “Singa Merah” datang lebih lama….Delay, gaesss!. Aku memang telah bersiap dengan kondisi itu. Bukan perkara waktu, tapi perkara terjangkaunya harga tiket maskapai ini yang menjadi prioritasku.

Setelah menaiki escalator menuju Departure Gate, aku duduk sebentar di commercial hall yang berlokasi di sebelah screening gate. Membereskan setiap perlengkapan agar sedikit rapi dan nyaman ketika memasuki kabin pesawat nanti. Sementara backpack 45L milikku memilih berdiam di lambung pesawat demi menyelamatkan payung bermotif pelangi seharga Rp. 50.000 yang kubeli di Pelabuhan Tiga Raja lima hari lalu.

Kejutan tiba, saat menuju musholla untuk menunaikan ibadah shalat maghrib, aku bersua kembali dengan Boris, Tukang Pos dari Slovakia.

Aku        :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

Aku tak lama bercakap karena Boris sudah mulai memasuki antrian menuju gate, dia terbang ke Surabaya, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Malang begitu mendarat. Stasiun Gubeng menjadi pilihannya untuk bertolak dari Kota Pahlawan. Informasi itu kudapat ketika berbincang di jok belakang Maestro Travel lima jam silam. Yang kuamati, botol air mineral pemberianku masih utuh terselip di sebelah kiri backpacknya….Hahaha, entah bagaimana air itu lolos dari screening gate.

Setelah menunggu lama, akhirnya penerbangan JT 257 mulai memanggil penumpangnya. Aku mulai mengantri dan bersiap melakukan perjalanan menuju Soekarno Hatta International Airport dengan penerbangan seharga Rp. 563.000. Tiket ini sendiri kubeli 11 hari sebelum keberangkatan.

Melalui aerobridge, aku memasuki badan pesawat,  sebetulnya aku baru mengetahui bahwa selongsong terbang ini berjenis Boeing 737 MAX 8 setelah salah satu awak pemegang microphone menginformasikannya ketika peragaan standard keselamatan penumpang sedang dilakukan.

Selain gres, kesan pertama yang kudapat setelah duduk di salah satu window seat jenis pesawat ini adalah kelegaan dan tampilan futuristiknya. Pesawat sudah berada pada posisi terbaiknya untuk menyalakan mesin jet, pilot menunggu konfirmasi untuk segera mengudara. Beberapa menit kemudian aku benar-benar meninggalkan Padang.

Malam yang sedikit mendung membuat pesawat sedikit terguncang menubruki awan-awan rendah di langit Minang. Yang kusaksikan kemudian adalah sekuel-sekuel pertunjukan pelita bumi yang dipaksa bejeda oleh awan-awan hitam tipis sebagai bintang iklannya. Indah dan mempesonaku sebagai pengantar tidur. Detik-detik selanjutnya hanyalah

Gelap….

Geelaaap……..

Geeelaaap…………

Aku tidur berselimut rasa capek yang luar biasa setelah enam hari berkeliling tanah Sumatera. Sepertinya aku genap tidur selama 1 jam 45 menit, ekuivalen dengan waktu tempuh penerbangan itu. Terpejam sejauh 700 km lebih bersama halusnya performa pesawat milik maskapai swasta terbesar di tanah air ini.

Aku tiba di Cengkareng lewat tengah malam.
Maskapai yang telah genap mengudara selama 20 tahun.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) adalah mainhub dari Lion Air.

Aku tiba dalam kantuk, lalu tergopoh menyetop kehadiran Bus DAMRI menuju Terminal Kampung Rambutan. Aku tiba di rumah dalam hantaran ojek pangkalan dan mensyukuri nikmat Allah atas kesempatan eksplorasi yang dianugerahkan yang menjadi bab kesekian dalam cerita perjalanan hidupku.

Saatnya menutup cerita perjalanan ke tanah Sumatera. Dan beralih ke perjalanan berikutnya.

Kemana ya????

Yes, SEMARANG…….

Bus DAMRI dari Kota Padang ke Minangkabau International Airport

Kusantap dengan lahap otentiknya cita rasa tambusuolahan usus sapi dengan telur, tahu dan bumbu di dalamnya– sebagai santap malam terakhir dalam seminggu petualanganku di tanah Sumatera. Sedikit insiden kuliner mengganggu di pertengahan kunyahan. Benda kenyal itu kufikir menjadi kesatuan dari menu tambusu….Oh, ternyata…..Itu karet gelang.

Pemilik restoran : “Sepertinya Uda nih orang jauh?

Aku                              :     “Dari Jakarta, Da

Pemilik restoran     :     “Kerja Da di Padang

Aku                              :     “Oh, ndak Da. Saya sedang jalan-jalan saja

Pemilik restoran     :     “Ohh…Habis darimana saja, Da?

Aku                              :     “Beberapa hari lalu saya keliling Medan, Toba, Siantar, Pekanbaru dan Bukittinggi, Da. Padang yang terakhir, ini saya mau terbang ke Jakarta

Pemilik Restoran    :     “Wah, mantab nih, Uda. Totalitas jalan-jalannya

Percakapan ringan itu terhenti dengan datangnya Calya hitam yang akan mengantarkanku ke pool Bus DAMRI di Jalan Hasanuddin. Dalam hujan lebat, akhirnya aku membasahi jok depan taksi online itu. Beruntungnya si pemilik sangat ramah dan tak menghiraukannya, walaupun kendaraannya adalah mobil baru yang masih menebar kuat aroma pabrik.

Jalan Hasanuddin.

Tak seperti yang kubayangkan, ternyata kemegahan pool bus DAMRI dalam mindsetku hanya diwujudkan oleh ruangan tenda terbuka yang tak lebih baik dari shelter bus kota pada umumnya.

Pool Bus DAMRI Bandara.

Aku menunggu kedatangan Bus DAMRI yang akan memindahkanku dari pusat kota Padang menuju ke Minangkabau International Airport yang jaraknya sekitar 25 kilometer dan memerlukan waktu tempuh sekitar 40 menit. Itu semua bisa ditebus dengan harga Rp. 23.500.

Sembari menunggu kedatangan bus DAMRI, aku terus mengamati permainan sepak bola ala kampung oleh anak-anak belasan tahun yang berhambur memenuhi lapangan Imam Bonjol Square untuk berpesta hujan sembari memainkan si kulit bundar.

Imam Bonjol Square.

Kondektur Bus DAMRI tiba-tiba memanggilku, “Da, ayo segera naik, kita akan berangkat!”. Aku bahkan tak menyadari bahwa bus DAMRI itu telah merapat sedari tadi.

Itu dia Bus DAMRI Bandara.

Kondisi koridor bus DAMRI yang basah menunjukkan bahwa Minangkabau International Airport pun tak luput dari guyuran hujan. Ini memberi sinyal bahwa aku tak akan leluasa mencari bahan untuk menulis konten tentang Minangkabau International Airport. Wah….Alamat, aku bisa terlewat satu konten penting.

Sepi penumpang.

AC bus DAMRI yang sangat dingin membuatku menggigil karena T-shirtku sendiri sudah terlalu lembab. Sedikitnya penumpang sore itu, membuatku tak malu untuk memutuskan untuk berganti t-shirt di atas bus. Duduk di bangku terbelakang dan tak ada yang memperhatikanku ketika bertelanjang dada….Hahaha.

Mungkin karena hujan deras, sehingga banyak orang yang enggan berada di jalanan dan lebih memilih menunda sementara hajat mereka masing-masing. Karenanyalah jalanan tampak lengang dan membuatku cepat tiba di Minangkabau International Airport.

Minangkabau International Airport.

Saatnya pulang ke Jakarta menunggang Boeing 737 MAX 8 milik maskapai “Singa Merah”.

Kisah Selanjutnya—->

Batang Arau, Jembatan Siti Nurbaya dan Boeing 737 MAX 8

Dengarkan Manusia  yang Terasah oleh Falsafah

Sesaat Katanya itu bukan Dogma

(Cukup Siti Nurbaya oleh Dewa 19, tahun 1995)

Miniatur digital kuda besi berwarna putih terus mendekat dalam aplikasi tenar. Akibatnya, payung motif pelangi harus kugerai dan sekejap kemudian kaki melangkah di trotoar. Aku bersiap memasuki Avanza putih.

T-shirt yang sudah keburu lembab, beberapa bagian backpack yang sudah terlanjur kuyup, dipadu dengan semburan hawa dingin AC taksi online membuat kondisi dudukku tak nyaman sama sekali. Semua akibat sifat maruk, ingin menghabiskan sisa waktu enam puluh menit untuk menambah koleksi destinasi. Walau sebenarnya, jika kufikir lebih dalam, itu tak terlalu penting sama sekali….Hahaha.

Driver    :     “Hujan deras gini nekad ke jembatan, Da?

Aku        :     “Iya da, penasaran doang

Driver    :     “Tapi memang, tempat itu banyak yang ngunjungin kok, Da. Pemandangan Sungai Batang Araunya rancak bana, Da

Aku :     “Nah makanya itu, Da

Sungai Batang Arau berlatar Gunung Padang di ujungnya.

Entahlah, kenapa sore itu, peristiwa gempa padang pada tahun 2009 terus menjejal kapasitas otakku. Driver terus kukorek perihal kisah dibalik tragedi itu. Apa yang terjadi setelah guncangan? Serupa apakah kepanikan sesudahnya?. Dia menjelaskan bahwa air laut telah surut kala itu, “Pertanda kami siap dihajar tsunami, Da”, ucapnya tersendat. Masyarakat telah pasrah dalam do’a, setiap orang sudah siap menghadapi akhir takdir. Beruntung bencana itu tak sungguh terjadi.

Jembatan berusia 18 tahun.

Dalam dua puluh menit, taksi online telah selesai melintas jembatan yang kutuju. Tak berhenti, tapi memilih menghabiskan putaran kecil di ujungnya dan baru kemudian menurunkanku tepat di tengah jembatan itu.

Meminjam nama wanita yang melegenda di tanah Minang, wujud jembatan ini sangat mudah terekam memori kepala. Tiang-tiang hitam kuning dengan lampu bulat warna putih susu di ujungnya, gagah mengangkangi Sungai Batang Arau yang memiliki lebar sekitaran 160 meter, berlatar perbukitan nan hijau serta berornamen perahu-perahu tradisional yang tertambat di sepanjang sungai….Sungguh molek aduhai.

Para peniaga jagung bakar tampak bersiap  diri dengan lapak mininya. Andai aku bisa bertahan hingga gelap tiba, mungkin akan kunikmati pesta kuliner jalanan di atas jembatan Siti Nurbaya itu. Sayang waktuku tak lama.

Rencana selanjutnya adalah aku akan mempercepat waktu santap malam sebelum tiba di pelabuhan udara, demi berhemat tentunya. Kupilih Warung Nasi Kapau Bandar Damar untuk mengeksekusi rencana itu. Setelahnya aku segera menuju Minangkabau International Airport, menjemput Lion Air JT 257 yang berjadwal terbang pukul 21:20.

Nanti akan kuceritakan bagaimana penerbangan pertamaku bersama Boeing 737 MAX 8, kesempatan terindah merasakan sensasi terbang bersamanya sebelum pesawat jenis ini dipensiunkan setelah kecelakaan Lion Air JT 610 yang mengharu biru di perairan Tanjung Pakis, Karawang yang disusul dengan kecelakaan serupa pada Ethiopian Airlines ET 302 di lahan pertanian kota Bishoftu,

Itulah kisah inspeksi kilatku di Jembatan Siti Nurbaya.

Kalau ke Padang, jangan lupa mengunjunginya ya !

Kisah Selanjutnya—->

Pantai Padang atau Taplau Padang?

Namanya Asep. Sudah pasti bukanlah nama lokal, juga bukan penduduk asli….Asal Bandung beristrikan seorang Padang, menjadikan Uda Asep….Eh, Aa Asep menetap di Padang dan kini dia sedang mengantarkanku ke Pantai Padang menggunakan motor ojek onlinenya.

Jalanan menyepi gegara mendung hitam tebal yang telah mengakuisi langit Padang. Angin ikut memberi tanda dengan menghantarkan hawa bersuhu rendah….Sebentar lagi hujan akan ditumpahkan dari langit. Aku hanya berharap bisa menikmati sekejap Pantai Padang tanpa guyuran hujan untuk sekedar menghilangkan rasa penasaran.

Aku mulai berkeinginan datang ke pantai ini semenjak  wujudnya menghiasi layar televisi selama berhari-hari ketika terjadi gempa besar pada tahun 2009 yang pusatnya berada di lepas pantai. Oleh karenanya, aku memaksa diri menyisipkan waktu walau hanya sekedar empat jam saja untuk singgah di Padang

Girangnya hati ketika kang Asep menurunkanku tepat di bawah Tugu IORA. IORA adalah singkatan dari Indian Ocean Rim Association yaitu asosiasi negara-negara yang terletak di Kawasan Samudra Hindia.

Sesekali tetesan gerimis mulai jatuh, tapi tak apa, aku masih bisa berdiri di tanggul bebatuan yang dibangun menjorok ke arah pantai. Waktu yang sebentar itu benar-benar kunikmati untuk merasakan keindahan Padang. Sementara beberapa pengunjung mulai meninggalkan bangku-bangku plastik yang disediakan para pedagang pensi dan kelapa muda.

Aku masih merasa pilu saja, bagaimana rasa panik masyarakat Padang kala menghadapi rongrongan tsunami kala gempa terjadi walaupun tsunami itu sendiri tak pernah terjadi.

Pantai yang terletak di sepanjang Jalan Samudera ini telah sekian lama menjadi destinasi wisata utama kota Padang. Selain menawarkan wisata berbiaya murah, pantai ini juga menjadi tempat yang mudah dijangkau oleh siapapun karena telah menjadi bagian dari pusat kota dan hanya berjarak tiga puluh menit dari gerbang wisata kota Padang yaitu Minangkabau International Airport.

Tugu IORA.

Penduduk setempat sering memanggil Pantai Padang dengan sebutan Taplau Padang. Taplau sendiri adalah singkatan dari Tapi Lauik atau tepi laut.

Byurrrrr….Aku berlari dan kemudian berteduh di teras Velocity Burger & Coffee yang terletak di tepian jalan raya. Hujan yang begitu lebat membuat tampias air perlahan membasahi baju dan tas punggungku. Sementara aku masih sibuk mengeksplorasi gadget untuk menentukan destinasi wisata berikutnya yang masih memungkinkan dikunjungi. Sepertinya aku tak akan sedetik saja membuang waktuku percuma di Padang.

Hari mulai sore, kebanyakan museum dan beberapa tempat wisata resmi telah ditutup. Tapi aku sudah menentukan tempat berikutnya yang akan kutuju. Aku berfikir cepat, aku diuntungkan karena masih memiliki payung yang kubeli saat berkunjung di Danau Toba beberapa hari lalu. Hujan tak menyurutkan langkahku untuk terus berseksplorasi. Aku memesan taksi online untuk menujun kesana.

Melangkah kemanakah aku gerangan?

Kisah Selanjutnya—->

Cerita Hajar Aswad di Balik Arsitektur Masjid Raya Sumatera Barat

Perjalananku sejenak terlempar dari jalur waktu. Aku, pejalan tunggal yang harus mengalah dengan kepentingan segenap penumpang Maestro Travel yang tergesa mengejar penerbangannya masing-masing. Kunikmati saja penghamburan waktu satu jam untuk berdiam diri di dalam travel demi menghantar mereka ke Minangkabau International Airport dan setelahnya baru menuju ke tengah kota Padang.

Pengemudi: “Mau di drop dimana, Uda?”.

Aku: “Turunkan saya di Masjid Raya Sumatera Barat saja, Da!

Aku lebih memilih turun di destinasi yang kutuju daripada harus mengikuti alur mereka yang akan mengambil penumpang di kantornya. Hemat dan efektif tentunya.

Diturunkan di Jalan Khatib Sulaiman, tepat di halte Masjid Raya Sumbar , aku dihadapkan langsung ke arah masjid termegah di Sumatera Barat itu. Dengan cepat aku memasuki areanya melalui Taman Melayu Sumatera Barat yang juga merupakan bagian dari pelataran “Masjid Seribu Pintu Angin” itu.

Sedang dalam renovasi, tak memungkinkan untuk masuk….Sedih.

Di taman, aku hanya berdua saja dengan seorang laki-laki berumur asal Makassar yang juga sengaja mampir demi melongok masjid tanpa kubah tersebut. Jarak berdiri yang terlalu dekat membuatnya susah memasukkan seluruh wujud masjid ke dalam kotak selfienya. Melihatku yang sedang sibuk mengabadikan gambar, dia tampak memberanikan diri mendekat. Sudah tertebak, aku pasti diminta mengambil gambar dirinya bersama sang masjid….Hahaha.

Aku berhasil memerintahnya sesuka hati untuk mendapatkan gambar terbaik….Terakhir kita berselfie berdua di tab lebarnya itu. Sampai jumpa Opa Upe, semoga perjalanan pulangmu ke Makassar menyenangkan.

Adalah arsitek brilian yang berhasil menggandakan makna atap pengganti kubah. Secara fisik terlihat, itu adalah atap gonjong yang terdiri dari empat puncuk yang diletakkan di setiap sisi. Tetapi sesungguhnya bentuk itu menyimpan makna sejarah. Itulah bentuk bentangan kain yang digunakan pemimpin empat kabilah suku Quraisy untuk memindahkan batu Hajar Aswad  di Ka’bah.

Jalur menuju lantai atas secara langsung.

Jujur, aku sendiri tak pernah mengira bentuk masjidnya semegah dan seunik itu. Aku tak pernah melihat bentuknya melalui selancar internet atau mencari tahu terlebih dahulu sebelum mengunjunginya. Jadi bisa kamu bayangkan bagaimana terpananya diriku ketika berdiri tepat di hadapan bangunan religi ikonik itu.

Sanggung menampung dua puluh ribu jama’ah.

Menempati area seluas empat hektar, Masjid Raya Sumatera Barat selain sebagai tempat ibadah terbesar juga telah menjadi landmark kota, destinasi wisata religi, bahkan memiliki fungsi cadangan sebagai penanggulangan bencana yaitu sebagai shelter evakuasi apabila terjadi tsunami….Maklum, Padang pernah dihantui tsunami akibat gempa besar pada tahun 2009….Beruntung tsunami itu tidak benar-benar datang.  

Impresi luar biasa pertama yang kudapatkan ketika mampir sejenak di kota Padang.

Beautiful Padang……

Kisah Selanjutnya—->

Maestro Travel dari Bukittinggi ke Padang.

Begitu mudahnya memesan jasa travel dan bus di Sumatera. Angkat telepon, sebut tujuan, sampaikan jam keberangkatan lalu tanyakan jam berapa mesti bersiap diri di kantor travel atau bus !….Tak perlu bayar di muka….Maka kamu akan tiba di tujuan jika tak telat datang.

Bus INTRA dari Pematang Siantar ke Pekanbaru….

Travel Annanta dari Pekanbaru ke Bukittinggi….

Kini prosedur mudah itu terulang untuk Maestro Travel dari Bukittinggi ke Padang….

—-****—-

Hari terakhir di Bukittinggi atau jika dihitung dari awal keluar rumah adalah hari keenamku di tanah Sumatera, aku mengisahkan perjalananku bersama Maestro Travel ketika mulai menelfon staff front office perempuan pada jam delapan pagi di hari keberangkatan.

Nanti duduk di bangku paling belakang dan datang setengah jam sebelum keberangkatan ya, Uda. Siapkan ongkosnya Rp. 40.000 saja !”, ucapnya singkat.

—-****—-

Aku tergopoh menuju De Kock Hotel setelah kunjungan terakhirku di Taman Panorama. Tak sempat mandi lagi, fikirku hanya satu, malam nanti aku akan tiba di Jakarta dan akan berendam air hangat di ember rumah saja….Sepuasnya….Hahaha.

Vixion hitam menjemputku di teras hotel kemudian melaju kencang menembus kepadatan Jalan Sudirman menuju kantor Maestro Travel yang berjarak tiga kilometer. Dalam lima belas menit aku tiba. Memasuki kantor, aku disambut wanita muda berjilbab, kuserahkan ongkos lalu kugenggam selembar tiket menuju ke Padang,

Masih tersisa 20 menit sebelum travel tiba. Menurut petugas front office itu, mobil masih berkeliling menjemput penumpang di rumahnya masing-masing. Kuputuskan saja untuk menyambangi sebuah warung nasi di sekitaran kantor dan memesan seporsi pecel ayam dan segelas air putih. Kali ini aku sangat cepat menyantapnya, seperti ular menelan seekor landak…ehhh.

Aku tiba kembali di kantor travel dalam kondisi mobil sudah siap dan semua penumpang tampak melihat ke arah kedatanganku. Rupanya aku ditunggu semua penumpang, semoga mereka tak kesal.

Kursi tengah dan sebelah sopir diduduki oleh sepaket keluarga kecil. Suami-istri, putrinya yang mungil dan ibu mertua sang suami. Sementara aku duduk di belakang bersama seorang bule Slowakia bernama Boris. Seorang tukang pos muda, berkepala plontos, berbadan kurus dan hobi mencari kesunyian.

Di jok belakang kami bercakap sepanjang perjalanan. Cerita dimulai dengan kesan perjalanannya di Kazakhstan dimana tak ada seorangpun yang mengganggunya ketika dia naik gunung sendirian. Kemudian berlanjut pada sifatnya yang akan merasakan pening ketika bekerja di kantoran, oleh karenanya dia memilih menjadi tukang pos saja di Slowakia.

Why is this car passing a small road like this? Can we arrive at the airport on time?”, ketusnya kepadaku.

I think that driver is trying to get through the faster road, Boris …. Hahaha”, celetukku kepadanya.

If he fails, It’s not funny….Not funny”, dia terserang panik. Memang jadwal terbangnya hanya berselisih satu jam dari waktu estimasi tiba yang dituturkan google maps dalam smartphoneku.

Kucoba mengalihkan perhatian dengan terus bercakap. Entah aku memulai dari mana hingga aku bisa membicarakan Titik 0 km Indonesia di Sabang, Kawah Ijen, Probolinggo, e-commerce Lazada hingga iPhone bekas yang menurutnya murah jika dibeli di Indonesia. Satu lagi, kami membahas perihal penerbangan langsung dari Manado ke Manila. Hingga si kepala keluarga yang duduk di sebelah sopir ikut berbincang dan menjelaskan bahwa penerbangan itu tidak ada.

Aku melewati air terjun di tepian jalan, aku tahu itu Air Terjun Lembah Anai. Artinya aku sudah berjarak empat puluh kilometer dari kota Padang. Boris memintaku untuk menghentikan sopir dan mengizinkannya untuk berbelanja air mineral, mahal katanya jika harus membelinya di bandara. Kufikir tak perlu berhenti, aku punya persediaan air mineral kemasan yang banyak. Hasil mengumpulkannya dari Hotel Sri Indrayani di Pekanbaru, Travel Annanta dan De Kock Hotel di Bukittinggi. Kuberikan dua botol kepadanya. “I really appreciate you, Donny….very much appreciate”, katanya sembari menepuk-nepuk lenganku.

Itulah kata perpisahanku dengannya, dia harus turun di Minangkabau International Airport dan menuju ke Malang. Sepaket keluarga itu akan pergi ke Bandung.  Sementara aku akan menuju pusat kota Padang untuk mengekplorasinya selama empat jam, mengingat aku akan pulang ke Jakarta pada pukul delapan malam.

Kisah Selanjutnya—->

Lion Air JT 257 from Padang (PDG) to Jakarta (CGK)

Flight route JT 257 (source: https://www.radarbox.com/)

This wasn’t the first time for me to ride Lion Air, I have ridden this airline on its route: Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapore, or vice versa. However, this was the first time that I have experienced to ride a Boeing 737 MAX 8, a phenomenal type of aircraft, which had been “grounded” since double accidents, the first one was in Indonesia and the second one was in Ethiopia, with the same cause.

I finally managed to explore Minangkabau International Airport in a drizzle, but I’ll tell you later. I still have a repetition adventure to Padang on a business trip in early 2020. So please be patient if you want to peek at the authenticity of Minangkabau International Airport from this travel blog.

Drop Zone in Departure Hall of Minangkabau International Airport.

I was dropped off right in front of departure lobby by DAMRI airport bus, but after that, I didn’t immediately enter to check-in area. I prefered to take some pictures when the rain was changing its phase to be soft drizzles. I did it until several pictures were catched into my Canon EOS M10 memory card.

Let’s entered to check-in area!

Local flights, which only require a flight booking confirmation display on a smartphone screen and a national ID Card with a same name, made it easier for passengers to entering check-in area.

I had to provide patience because after leaving a check-in counter, I would wait for the “Red Lion” to come longer….Delayed, guys !. I had indeed been prepared with that condition. It wasn’t a matter about time, but about affordability of airline tickets which be my priority.

Cabin.

After taking the escalator to Departure Gate, I sat for a while in commercial hall which is located next to screening gate. Tidying up every equipments, so that it were a little tidy and comfortable when entering aircraft cabin later. Meanwhile, my 45L backpack chose to stay in plane hull for keeping my rainbow-patterned umbrella which its price is USD 3,7 which I bought at Tiga Raja Harbor five days ago.

Air conditioner.

The surprise arrived, when I headed to the prayer room for Maghrib prayer, I met Boris, a postman from Slovakia.

Me         :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

I didn’t talk for long because Boris had started to enter a queue towards the gate, he flew to Surabaya, then he would continue his journey to Malang as soon as he landed. Gubeng Station was his choice to depart from “City of Heroes“. I got this information while talking in the back seat of Maestro Travel five hours ago. What I observed, mineral water bottles which I gave was still intact tucked into left of his backpack….Hahaha, how can, that water could be escaped from airport screening gate.

After waiting for a long time, finally JT 257 flight started to calling its passengers. I started to queuing up and getting ready for trip towards Soekarno Hatta International Airport with flight price for USD 41.7. I bought this ticket about 11 days before departure.

Through the aerobridge, I entered cabin, actually I just found out that this plane is a Boeing 737 MAX 8 type after one of its crew who holding the microphone informed it when demonstrated passenger safety standards.

Besides new, the first impression that I got after sitting in a window seats were its relief and futuristic appearance. Then, plane was in the best position to start its jet engine, the pilot was waiting for a confirmation to fly. A few minutes later I actually left Padang.

The slightly cloudy night made the plane slightly shaken and penetrated into low clouds in “Minang” sky. What I saw later were sequels to earth lamps show between thin black clouds. Beautiful and enchanting as a bedtime. And then….

Dark….

Dark……..

Dark…………

I slept under the cover of extreme fatigue after six days traveling around Sumatra. It looked like I slept for 1 hour 45 minutes, which was equivalent to flight time. Sleeping for more than 700 km along with the smooth performance of aircraft which was owned by the largest private airline in my country.

Landing.
I arrived at Cengkareng on past midnight.
An airline that has been in the air for 20 years.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) is the mainhub of Lion Air.

I arrived in sleepy condition, then hurriedly stopped DAMRI airport bus which was heading to Kampung Rambutan Terminal. Then I arrived at home by a motorbike taxi and thanked to Allah for giving me an exploration opportunity which was be an umpteenth chapter in the story of my life’s journey.

It is time to close story of my journey to Sumatra Land. And move on to the next trip.

Where am I going to ????

Yes, SEMARANG…….

DAMRI Bus from Padang to Minangkabau International Airport

I ate its authentic taste of tambusuprocessed cow intestines with egg, tofu and spices in it – as the last dinner in a week of my adventure in Sumatra land. a culinary incident bothered me in mid-chewing. I thought that a chewy thing was a part of tambusu menu….Oh….it was a rubber band.

Restaurant owner : “Looks like Uda come from far away.”

Me                               :     “From Jakarta, Uda.

Restaurant owner     :     “Do you work in Padang, Uda?”

Me                              :     “Oh, no Uda. I’m just traveling.”

Restaurant owner     :     “Ohh….Where have you been, Uda?

Me                              :     “A few days ago I toured to Medan, Toba, Siantar, Pekanbaru and Bukittinggi, Uda. The last one is Padang….Now, I want to fly back to Jakarta.”

Restaurant owner    :     “Wow, this is great, Uda. The totality in traveling.

Light conversation was interrupted by Black Calya (Calya is Toyota brand in Indonesia) arrival who would take me to DAMRI Bus shelter in Hasanuddin Street. In pouring rain, I finally wet online taxi front seat. Luckily the owner was very friendly and ignored it, even though it was a new car which still had a strong factory scent.

Hasanuddin Street.

Unlike what I imagined, it turned out that the splendor of DAMRI bus shelter in my mindset was only realized by a open tent space which wasn’t better than a city bus shelter in general.

DAMRI Airport Bus shelter.

I was waiting for DAMRI bus arrival which would transfer me from Padang downtown to Minangkabau International Airport which was about 25 kilometers away and took about 40 minutes. All can be redeemed for USD 1.8.

While waiting for DAMRI bus to arrived, I continued to observe a soccer game which playing by teenagers who scattered to fill Imam Bonjol Square field for rain party while playing “the round leather“.

Imam Bonjol Square.

DAMRI bus conductor suddenly called me, “Uda, come on, get on, we’re going!” I didn’t even realize that DAMRI bus had arrived earlier.

That’s DAMRI Airport Bus.

Wet condition of DAMRI bus corridor showed that Minangkabau International Airport wasn’t spared from rain. This was a signal that I wouldn’t be free to search for material to writing a content about Minangkabau International Airport. Ahhh….I could miss an important content.

Only a few passengers

Air conditioner on DAMRI bus was so cold that it made me shiver because my T-shirt itself was too damp. A few passengers that afternoon made me not embarrassed in deciding to change my t-shirt on bus. Sitting at backseat and no one noticed me while shirtless….Hahaha.

Maybe because of heavy rain, so many people were reluctant to be on streets and prefered to temporarily postpone their own needs. Because of that, Streets were empty and made me quickly arrived at Minangkabau International Airport.

Minangkabau International Airport.

It was time to going back to Jakarta with Boeing 737 MAX 8 which is owned by Lion Air.

Batang Arau, Siti Nurbaya Bridge and Boeing 737 MAX 8

Dengarkan Manusia  yang Terasah oleh Falsafah

Sesaat Katanya itu bukan Dogma

(Cukup Siti Nurbaya by Dewa 19, year 1995)

White iron horse” digital miniature continued to approaching in a popular application. As a result, I had to open my rainbow motif umbrella and in a moment my feet stepped on the sidewalk. I got ready for entering white Avanza (a brand name of Toyota in Indonesia).

T-shirts which were already getting damp, some parts of backpack which were already soaking wet, combined with AC cold bursts of online taxi made my condition was uncomfortable at all. All due to my desire that wanted to spend the remaining sixty minutes to add my destination collection. Though actually, if I thought deeper, it didn’t really matter at all….Hahaha.

Driver    :     “Heavy rain like this, why do you impose yourself to go to the bridge, Uda?

Me        :     “Yes Uda, just curious

Driver    :     “But indeed, there are a lot of people who visiting that place, Uda. The view of Batang Arau River is very beautiful

Me :     “So that’s why, Uda

Batang Arau River has Mount Padang background at its end.

I didn’t know why that afternoon, Padang earthquake in 2009 continued to fulfill my brain capacity. I continued to investigate the driver about the story behind tragedy. What happened after earthquake shocks? What did the panic look like afterward? He explained that sea water had receded at that time. “This is a sign that we are ready to be hit by a tsunami, Uda“, he said choked up. People had resigned in prayer, everyone were ready to face the end of destiny. Luckily the disaster didn’t really happen.

18 year old bridge.

Within twenty minutes, the online taxi had crossed the bridge which I was aiming for. Not stopping, but he chose to pass a small u-turn at the end and then lowered me right in the middle of bridge.

Borrowing legendary woman name in Minang land, this bridge form is very easily recorded in memory. Yellow black poles with milky white lamps at its top, straddling Batang Arau River which has a width of about 160 meters, with green hills background and traditional ornament boats moored along the river…. Really beautiful.

Roasted corn traders seemed to prepare their mini stalls. If I could stay until dark, maybe I would enjoy a street culinary party over Siti Nurbaya bridge. Unfortunately my time wasn’t long.

The next plan is, I would quicken dinner time before arriving at airport, for saving my budget, of course. I chose “Warung Nasi Kapau Bandar Damar” to execute the plan. After that I immediately went to Minangkabau International Airport, catching Lion Air JT 257 which was scheduled to fly at 21:20.

Later, I will tell you how about my first flight with Boeing 737 MAX 8, the most beautiful opportunity to feel flying sensation with it before this aircraft type was grounded after Lion Air JT 610 crash in Tanjung Pakis waters, Karawang, Indonesia which was followed by a similar accident on Ethiopian Airlines ET 302 on farm land, Bishoftu city.

That was my quick journey story in Siti Nurbaya Bridge.

If you go to Padang, don’t forget to visit it!

Padang Beach or Padang Taplau?

His name is Asep. It is certainly not a local name, nor is it a native…He is Bandung’s origin and married to a Padang woman, making Aa (designation for brother in Bandung) Asep settled in Padang and now he was taking me to Padang Beach using his online motorcycle taxi.

The road was deserted because thick black cloud which has acquired Padang sky. The wind signaled by sending low-temperature air…. Soon, rain would be fall from sky. I just hope to enjoy Padang Beach for a while without rain to just get rid of curiosity.

I began to want to come to this beach since its form adorned television screen for days when there was a big earthquake in 2009 whose center was off the coast. Therefore, I forced myself to insert time even though it was only for four hours to stopby in Padang

Excitement of my heart when Aa Asep dropped me right under IORA Monument. IORA is an abbreviation of Indian Ocean Rim Association, an association of countries which were located in Indian Ocean Region.

Once in a while drizzle began to fall, but never mind, I could still stand on rock embankment which was built jutting toward sea. I really enjoyed my short time to feel the beauty of Padang. While some visitors began to leave plastic benches which were provided by pensi (clam) and young coconut traders.

I still felt sad, how panic of Padang people when facing a tsunami threat when earthquake occurred in 2009 even though the tsunami itself never happened.

The beach which is located along Samudera Street, has long been main tourist destination in Padang City. In addition to offering low-cost tourism, this beach is also a place which is easily accessible by anyone because it has become part of downtown and only thirty minutes from Padang’s tourist gate, i.e Minangkabau International Airport.

IORA monument.

Local residents often call Padang Beach as Padang Taplau. Taplau itself is an abbreviation of Tapi Lauik or the edge of sea.

Byuuurrrr….I ran and then took shelter on Velocity Burger & Coffee terrace located on the edge of Samudera Street. The rain was so heavy, it made water splash slowly wet my clothes and backpack. While I was still busy exploring my gadget to determine next tourist destination which was still possible to visit. It seemed like I won’t waste my time in Padang even if only briefly.

In the afternoon, most museums and several official tourist attractions have been closed. But I’ve already decided where to go next. I thought quickly, I benefited because I still had an umbrella which I bought while visiting Toba Lake few days ago. The rain didn’t dampen my steps to continue exploring. I ordered a online taxi to get there.

Where did I go to?