Di bawah terik surya yang membakar, aku meninggalkan halaman depan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Berjalan dari sisi tanggul beton sungai sempit, aku menuju dermaga demi mencari keberadaan perahu bermesin untuk menyeberangi Kapuas.
Melompat dari area tanggul ke bagian jembatan kayu, aku berhasil menyeberangi sungai yang merupakan cabang kecil dari Sungai Kapuas dan mendekat ke lelaki tua yang berdiri di atas sebuah perahu.
Tak menunggu lama maka terjadilah tawar menawar antara kami berdua.
“Berapa pak berlayar ke seberang?”
“Enam puluh ribu, dek….Saya antar keliling”, dia menjelaskan sembari menarik sebuah tambang demi menepikan perahunya.
“Dua puluh lima ribu ya pak….Nyebrang saja ke tepi sebelah sana!”, aku menunjuk sebuah titik di sisi selatan.
“Oh ga keliling ya, dek? ….Ya sudah, tiga puluh ribu ya, dek”.
“Baik pak….Ayo kita menyeberang”.
Kesepakatan pun tercapai dan pelayaran pun dimulai.
Tentu ini bukan menjadi yang pertama kali menaiki perahu. Dulu aku pernah menjadi pengemudi perahu yang hebat ketika bekerja di sebuah perusahaan perikanan di Waduk Jatiluhur. Oleh karenanya, aku tak begitu terpesona ketika berada di atas perahu. Satu-satunya yang membuatku terkesan hanyalah hamparan luas Sungai Kapuas yang mengisi ruang pengalamanku saja.
Perahu mesin itu tiba di sisi selatan dengan cepat. Perahu merapat ke dermaga dan aku pun melompat meninggalkan pria tua tersebut.
Aku kembali berada di titik yang sore hari sebelumya kukunjungi, tepatnya di sepanjang badan Sungai Kapuas dan di sisi Taman Alun Kapuas.
Tanpa pikir panjang, aku segera memasuki area taman demi menghindari terik matahari. Memasuki taman seluas satu setengah hektar tersebut, aku merasakan kesejukan yang luar biasa. Pandanganku menyapu segenap sisi taman, mencari tempat duduk beton yang masih kosong untuk kutempati.
Tak sedikit warga lokal yang sengaja tidur di atas bangku-bangku itu. Mungkin mendinginkan badan di area taman menjadi rutinitas bagi mereka sehingga mereka bisa tertidur dengan lelapnya.
Aku menemukan bangku kosong di sisi barat dan memutuskan meluangkan waktu untuk menikmati suasana. Dua puluh menit lamanya aku terkantuk-kantuk di area taman. Sejenak rasa laparku menjadi sirna.




Tetapi beberapa saat aku tersadar bahwa terlalu lama berada di keteduhan taman akan membuatku kehilangan banyak waktu eksplorasi.
Di tengah perlawanan terhadap rasa kantuk itu, aku berhasil memaksa diri untuk keluar dari area taman dan dalam waktu beberapa menit kemudian aku sudah berada di tepian Jalan Rahadi Usman.
Perut yang lapar menimbulkan hasrat untuk melakukan wisata gastronomi, membalikkan niatan semula yang hendak menikmati makan siang seadanya.
Berada di tepian jalan maka aku berselancar cepat di mesin pencari dan menemukan sebuah kuliner kenamaan di Pontianak. Aku memutuskan untuk bersantap siang di sana.
Kondisi yang terik menyengat berhasil memaksaku untuk memesan transportasi online kembali. Aku pun mulai membuka aplikasi di telepon pintarku untuk mendapatkannya.