Menguak Kisah Sang Dermawan di Tjong A Fie Mansion

<—-Kisah Sebelumnya

Museum Uang Sumatera dan Rumah Tjong A Fie hanya berjarak tiga blok dan melewati satu perempatan besar yang memisahkan Jalan Pemuda dimana museum terletak dan Jalan Jend. Ahmad Yani dimana rumah itu berada.

Security: “Hei, Bang. Foto-foto apa, Kau?”, tangan kiri parkir di pinggang, tangan kanan mengepal tongkat-T.

Aku: “Oh, itu pak….Gedungnya bagus, klasik banget”, sedikit membungkuk  menanda maaf.

Security: “Oh iya, bagus ya….Ga nyadar saya”. Berucap sambil berdiri disisi kananku mengarah ke bangunan yang sama.

Aku: “Tuh kan, pak….Bapak sudah lama kerja disini aja baru nyadar”, sambil menahan bahak di dada.

Kirain mau merampas gambarku lalu menghapusnya….Ternyata, Hahaha!

—-****—-

Gerbang rumah itu begitu kecil dan sempat sedikit terlewat olehku. Berbalik badan lalu berjalan pelan mendekatinya.

Kebiasaan buruk: terdiam lama sekali di pelataran bahkan sepertinya tak berkedip.

Para staff muda penjaga meja tiket terus memperhatikanku dari teras. Senang mereka mendapatkan tamu kembali. Beberapa waktu kemudian aku sadar sedang dinanti mereka.

Staff: “Bang, tas ranselnya boleh kok dititip di sini. Rumahnya luas loh, nanti Abang capek”.

Aku: “Terimakasih Dinda Non, Saya taruh disini….Aman kan ya?”.

Staff: “Saya yang jaga, Bang….Ga perlu khawatir”.

Aku: “Jaga juga dong hatiku….Thanks ya Non”.

OK….Mari mulai memasuki Tjong A Fie Mansion.

Tokoh multikultural asal Guangdong

Tahu Tjong A Fie?….Beliau adalah warga Medan keturunan Tionghoa yang dalam perjalanan hidupnya menjadi seorang saudagar kaya raya dan menjadi tokoh penting di Medan karena kedermawanannya dalam membangun kota Medan pada masanya. Dia bahu membahu bersama Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah membangun perekonomian. Kala itu Deli mendunia dan terkenal akan tembakaunya yang berkualitas tinggi bahkan Deli dijuluki sebagai Dollar Landsh atau Tanah Dolar.

Keelokan kediaman berusia 120 tahun miliknya sungguh memikat mata. Memiliki empat ruang tamu dengan konsep berbeda dan untuk menerima tamu dari kalangan berbeda pula.

Ruang tamu dominan kuning untuk menerima tamu dari Kesultanan Deli yang asli Melayu.
Tamu keturunan Tionghoa diterima disini.
Nah ini untuk menerima tamu dari pemerintah Belanda.

Aku beruntung bertemu dengan dua pengunjung dari Aceh yang menggunakan jasa tour guide. Melihatku berkunjung sendirian, Pak Syaiful tersenyum sembari melambaikan tangan lalu mengajakku untuk bergabung.  “Ayolah dik, ikut sini biar ramai”, ujarnya ringan. Beruntung sekali nasibku ini.

Saking kayanya, banyak perabot rumah tangga miliknya yang diimpor dari Eropa seperti lemari besi, hiasan keramik atau oven yang berada di dapurnya.

Meja makan yang pernah digunakan untuk menjamu keluarga Sultan Deli dalam perayaan tahun baru China (Imlek).

Eksplorasi berikutnya mempertontonkan foto keseluruhan keluarga Tjong A Fie yang terhitung berjumlah 21 anggota keluarga. Foto itu tampak diambil pada saat perayaan ulang tahunnya yang ke-60 di awal abad-20.

Tempat tidur berbahan kayu ukir klasik dengan kelambu putih.

Dinding dapur berwarna oranye dengan tiga lubang tungku berbahan bakar kayu bersebelahan dengan ruang terpisah dengan dua buah penggiling tepung berbahan batu dan satu buah rolling pin dengan bahan yang sama.

Aula berisi deretan foto perjalanan keluarga.

Disisi lain, aku menemukan family tree keluarga Tjong A Fie, beberapa foto bangunan penting kota yang dibangun atas bantuan dana darinya (seperti Masjid lama Gang Bengkok, Masjid lama di Sipirok bahkan Masjid Raya Al Mashun), juga foto komisaris Bank Kesawan yang didirikan oleh Tjong A Fie.

Jendela yang tinggi dengan jumlah dominan menjadikan rumah begitu luas.

Tour guide bertutur bahwa pada masa orde baru, negara mengakuisisi perkebunan Tjong A Fie dan dileburkan ke dalam kepemilikan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN).

Akhir petualangan di Tjong A Fie Mansion. Gerbang rumahnya dilihat dari lantai 2.

Kisah Selanjutnya—->

Delapan Segi ala Masjid Al Mashun

<—-Kisah Sebelumnya

Masjid hijau dominan putih itu terlihat jelas dari gerbang istana. Itu adalah masjid berumur 111 tahun yang menjadi kenangan kebesaran Kesultanan Deli. Menurut cerita, Sang Sultan berkehendak membangun masjid lebih elok daripada istana yang beliau tinggali sebagai bakti buat agama. Jadi istana dan masjid adalah satu paket arsitektur karya Sultan Deli yang harus kalian kunjungi ketika berada di Medan.

Langkah tak sabar membuatku terengah penuh keringat dan punggung yang semakin pegal karena terbeban oleh backpack bahkan telah kupanggul selama 4 jam semenjak keluar dari Kualanamu.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enem, tujuh, delapan….Oh delapan segi”, gumam hati ketika aku mengelilingi setiap bidang luar masjid tertua di Medan itu. Kubah utamanya yang berwarna gelap di kelilingi oleh tiga kubah kembar. Bentuk yang unik dan jarang kutemukan di masjid manapun.

Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam menanti selama 3 tahun untuk menunggu bangunannya selesai.

Adzan Dzuhur menegurku untuk segera mematikan kamera dan mensucikan diri di sebuah bangunan terpisah di timur masjid.

Tempat berwudhu.

Usai menitipkan sepatu aku melangkah di jalur beralas karet menuju ruangan ibadah masjid. Aku bak orang kampung yang celingukan kesana kemari memperhatikan interior masjid yang sangat menawan.

Mampu menampung 1.500 jamaah dalam satu waktu.

Delapan pilar penyangga yang dilapisi marmer yang konon didatangkan oleh Meneer Tingdeman dari Italia. Dipadukan dengan keelokan lampu gantung bak kue ulang tahun terbalik khas Perancis. Kemudian dinding di berbagai sisi di cipta mirip lengkungan pintu Spanyol dengan kaca patri besar buatan Tiongkok. Kemudian nuansa islam Taj Mahal direpresentasikan pada motif dinding dan ukiran mimbar….MENAKJUBKAN.

Kubah Masjid Al Mashun yang dari luar tampak berwarna hitam.

Selepas shalat, aku mengamati para rombongan mudi Aussie mengunjungi masjid dengan menggunakan jilbab yang disediakan masjid. Mereka tampak terpesona ketika memasuki pintu masjid.

Beberapa jamaat masjid terlihat menuju makam disisi barat untuk berziarah ke makam para Sultan. Masjid Al Mashun terlihat khusyu’ luar dalam.

Tahukah kamu makna kata “Al Mashun”….”Diperlihara” adalah makna namanya.

Jembatan penyeberangan yang bentuknya tertular arsitektur masjid.

Aku mencoba mendekati sisi Jalan Sisingamangaraja untuk menikmati masjid dari kejauhan. Keindahan semakin menjadi ketika aku mengamatinya dari atas jembatan penyeberangan itu.

Madani Hotel di seberang masjid. Lihat dong punya kubah juga….Ishhh cuakep.

Begitulah petualanganku di destinasi kedua Medan….Yuk ikut aku lagi ke destinasi bagus lainnya!.

Kisah Selanjutnya—->

Kuning Emas Istana Maimun

<—-Kisah Sebelumnya

Sebut namanya Yunus, pemuda tanggung berwajah Melayu dengan PeDe nya menepuk pundakku dari belakang. Fokusku menjepret gambar istana dari posisi terbaik pudar.

Yunus: “Bang bisa fotoin saya?”

Aku: “Oh Sinih. Jangan disitu….ke tengah aja!”, aku mengarahkan posisinya bak photographer professional.

Dia baru datang dari Pangkalan Brandan untuk mengadu nasib di kota Medan selepas meraih ijazah SMK jurusan Teknik Otomotif. Mau bekerja di bengkel tuturnya lugu. Dia begitu terpesona dengan penampilanku hingga dia menebakku sebagai seorang wartawan dengan kamera yang menurutnya berharga mahal. Padahal……

Ganti fotoin saya dong, boy!”, kataku. “Oh Okay bang, senyum bang” atur Yusuf….Jepreeeettttt….Mirip wartawankah?

Obrolan ringan kami terselesaikan dengan langkah kakiku menuju bangunan terpisah di kiri istana. Kuintip didalamya ada meriam yang ujungnya patah. Itu adalah Meriam Buntung/Puntung . Tak tanggung, potongan meriam itu jatuh sejauh 75km di selatan istana saking panasnya meriam yang di tembakkan terus- menerus.  

Konon meriam ini adalah jelmaan Putri Hijau ketika Deli diserang raja dari Aceh yang murka karena pinangannya ditolak.

“Dee Eerste Steen Van Dit Gebouw

Is Celeco Op Den

26 Augustus 1888

Door Z. H. Den Sultan Van Deli

Mahmoed El Rasjid Perkasa Alamsja

Kubaca dengan lekukan bibir mirip pak meneer di  dasar pilar tepat sebelum menaiki tangga bermarmer putih keabu-abuan.

Membenahi backpack untuk persiapan eksplorasi seisi istana dilanjutkan dengan membeli tiket masuk seharga Rp. 5.000 di anak tangga teratas maka kakiku mulai menapaki lantai istana.

Tempat duduk Raja dan Ratu.

Pintu istana berwarna kuning yang begitu banyak jumlahya, mengadopsi gaya Eropa dikombinasi daun jendela dominan hijau dengan lengkungan dibagian atas ala arsitektuk Mughal India menjadi pemandangan pertama yang ku ingat.

Pelaminan agung berwarna kuning keemasan.

Kemudian “si kuning dan si hijau” dikombinasi dengan “si merah”menandakan istana ini jelas milik banga Melayu seutuhnya. Kuning menunjukkan kebijaksanaan, hijau merepresentasikan Islam dan merah mewakili warna adat.

Ornamen lampu di atas tingginya langit-langit istana.

Begitu banyak wajah kelaurga Kesultanan Deli yang diperkenalkan ke khalayak melalui foto-foto klasik yang terpigura rapih dan menempel erat di dinding kayu istana.

Alhasil, Aku tertegun pada wajah cantik sendu Yang Mulia Raja Noorsida yang merupakan Istri Seripaduka Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam

Foto Sultan Deli saat ini:  Seripaduka Baginda Tuanku Sultan Mahmud Arya Lamanjiji Perkasa Alam Shah.

Di beberapa sudut, aku mengamati dengan tekun beberapa senjata peninggalan sultan seperti Keris Bentara, Tumbok Lada, Keris Cenderahati. Juga beberapa alat musik, perhiasan, piring keramik dan pakaian kebesaran Sang Sultan.

Tombak Kesultanan Deli.

Semakin siang maka pengunjung pun semakin meramaikan seisi istana. Banyak yang rela mengantri untuk memakai baju adat Melayu dan berpose di kursi raja dan ratu. Anak-anak sekolah pun tak segan duduk menghampar di lantai istana untuk mendengarkan penjelasan pak guru yang terus bercerita lantang hingga urat lehernya menampakkan diri.

Persewaan baju adat Melayu.

Kunjunganku ke Istana Maimun ini sungguh meninggalkan kesan mendalam karena baru kali ini aku mengunjungi sebuah istana di tanah Sumatera.

Sampai bertemu lagi Istana megah nan bersahaja.

Yuk….Lihat kreasi Kesultanan Deli berikutnya….Masjid Raya Al Mashun. Ga jauh kok…..

Kisah Selanjutnya—->