Voice announcement menggema di langit-langit gerbong. Aku yang tersadar pun segera bangkit demi bersiap turun. Dalam beberapa menit ke depan LTR akan berhenti di Stasiun Ampera.
Hatiku sungguh berdebar, mirip ketika hendak bertemu kekasih hati…. 😊 😊 😊
Tak kusangka aku akan melihat secara langsung Jembatan Ampera yang tersohor di seluruh negeri tersebut.
Lewat dari pukul setengah dua belas siang, kereta benar-benar merapat di Stasiun Ampera.
Aku akhirnya turun…..
Menapaki peron stasiun, aku menyempatkan diri untuk mengambil beberapa gambar menarik dari sebuah sisi. Lalu aku pun bergegas menuruni anak tangga untuk tiba di lantai dasar stasiun.
Namun aku hanya melihat bagian pangkal jembatan yang sejajar dengan tangga stasiun yang saat itu sedang kuturuni. Aku belum bisa melihat dengan jelas tiang Jembatan Ampera. Membuatku semakin merasa penasaran.
Akhirnya aku tiba di lantai dasar…..
Tapi aku bimbang ketika mendengar adzan.
“Dijamak atau engga ya?”, perdebatan dalam batin muncul. Itu karena aku berkehendak kuat untuk segera menuju penginapan.
Sepuluh menit aku terduduk berpikir di lantai dasar stasiun. Selama itu pula, seorang security stasiun memperhatikan apa yang aku lakukan.
Mengetahui aku diawasi, maka aku pun beranjak pergi dan memutuskan untuk menuju ke Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin. Aku telah memutuskan untuk menjalankan Shalat Jum’at.
“Ini akan menjadi shalat jum’at pertamu di Palembang, Donny”, aku menguatkan niat.
Maka melangkahlah aku ke utara, menuju Bundaran Air Mancur Palembang. Karena letak masjid agung ada di sisi barat air mancur tersebut.
Melangkah hampir 300 meter aku tiba di bundaran tersebut, hal itu menandakan aku telah berdiri di Titik Nol Kota Palembang. Aku berdiri kagum di salah satu sisinya, merasakan lembut dan sejuknya buih-buih halus yang tercipta dari air mancur hingga tak kusadari Canon EOS M10 yang terkalung di leher menjadi basah. Konon transformasi dari air mancur dan kemudian berubah menjadi buih-buih lembut adalah hasil dari teknologi bawaan yang disematkan dalam sistem kerja air mancur.







Aku pun bergegas pergi untuk menghindari rusaknya kamera. Aku segera memasuki pelataran masjid agung dan bersiap diri untuk menunaikan ibadah Shalat Jum’ at. Aku melipir ke salah satu sisi untuk masuk ke ruangan bersuci.
Usai berwudhu, aku pun memasuki masjid terbesar di Palembang yang merupakan peninggalan dari Kesultanan Palembang Darussalam. Suasana masjid yang sangat dipenuhi jama’ah sangat membuat nyaliku ciut.
“Mereka tidak masalah jika terkena COVID-19…..Tidak denganku, jika terpapar maka aku tidak bisa pulang dan harus mengisolasi diri di Palembang selama 10 hari”, aku bergumam.
Walau waktu itu, para jama’ah masih mengambil jarak ketika shalat, aku tetap mengambil tempat paling belakang, posisi paling dekat dengan ruang terbuka sebagai bentuk antisipasi.
Walau tak khusyu’ sepenuhnya, aku cukup bahagia bisa merasakan shalat berjama’ah di masjid berusia lebih dari dua setengah abad tersebut.
Hari pertama penuh makna di Bumi Sriwijaya….