Wat Jet Lin: Sisi Artistik di Prapokkloa Road

<—-Kisah Sebelumnya

Jarum jam merangkak pasti menuju angka empat ketika aku terperanjat dan terbangun.

Usai makan siang, untuk beberapa saat aku tertidur pulas di bunk bed tingkat atas milik Le Light House & Hostel. Mungkin tidur yang tak nyenyak di Changi International Airport pada malam sebelum kedatanganku di Chiang Mai yang membuatnya demikian.

Aku merengkuh folding bag di sisi ranjang dan menuruni bunk bed dengan pelan. Tentu aku tak mau mengganggu pelancong lain yang sedang tidur siang. Beruntung sesaat sebelum terlelap, aku telah menyiapkan semua perlengkapan eksplorasi dalam folding bag kecil dan sudah menyimpan travel bag pada sebuah loker yang disediakan hostel.

Dengan langkah sedikit berjinjit, aku menyapa dua staff hostel wanita yang duduk di samping salah satu bunk bed yang telah selesai dibersihkannya. Satu diantaranya tampak sedang meratakan sprei yang baru saja dipasangnya.

Sawadikap”, aku menyapanya sangat pelan.

Keduanya pun menjawab dengan kata yang sama sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.

Keluar dari pintu kaca geser, aku menuruni tangga dan mulai mengenakan sepatu, demikian adanya, sepatu memang yang harus dilepas di lantai bawah sesuai aturan hostel.

Akhirnya aku meninggalkan hostel dengan menyusuri Bumrung Buri Alley 4, sebuah jalanan kampung yang bisa menembuskanku menuju Prapokkloa Road dimana destinasi yang akan kutuju berada.

Sepinya jalan kampung itu berhasil menyiutkan nyali sore itu. Aku hanya terus melangkah secepat mungkin demi segera menemukan jalan arteri. Aku berfokus untuk segera menemukan keramaian. Beruntung dalam enam menit aku tiba di jalan utama.

Aku pun menurunkan tempo, melangkah lebih pelan dan menikmati pemandangan di sisi kiri dan kanan Prapokkloa Road.

Prapokkloa Road Soi 4

Tampak beberapa pedagang kaki lama, mulai menyiapkan lapak demi menyambut keramaian malam yang dalam beberapa menit kemudian akan hadir. Penggorengan dan panggangan mulai dipanasi, bahan-bahan makanan mulai dikeluarkan dari freezer box, dan lampu penerangan pun mulai dinyalakan.

Aku terus melangkah di bawah siraman mentari sore yang masih sedikit menyengat. Beberapa turis asing pun sama, berseliweran di setiap titik di ruas Prapokkloa Road demi menggapai destinasinya masing-masing.

Aku cukup menyadari bahwa Chiang Mai dikenal sebagai kota terbesar kedua di Thailand yang memiliki tujuh puluh kuil di dalamnya. Jadi sudah pasti, aku akan mudah menemukan kuil di sepanjang jalan-jalan arteri di Chiang Mai.

Benar saja, delapan menit sejak pertama kali melangkah meninggalkan hostel, aku menjumpai sebuah kuil. Adalah Wat Jet Lin yang menjadi kuil pertama yang kutemui di Chiang Mai.

Wat Jet Lin atau orang lokal menyebutnya Wat Chedlin berdiri artistik dengan warna dominan putih dan berpagar batu bata merah di sekelilingnya. Ketika aku tiba, Wat Jet Lin tampak sepi dan tiada satu orang pun di dalamnya. Oleh karenanya aku memutuskan untuk tidak menyinggahinya. Itu juga karena tujuan utama sore itu bukanlah Wat Jet Lin.

Wat Jet Lin tampak depan.
Wat Jet Lin tampak samping.

Aku harus segera mencapai tujuan sebelum gelap mengakuisisi hari”, gumamku dalam hati.

Kisah Selanjutnya—->

Golden Soup Malatang: Sesaat Tertidur Pulas

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Le Light House & Hostel sejenak menuju ke timur. Menurut aplikasi berbasis peta di telepon pintarku, tempat makan itu hanya berjarak tak lebih dari seratus meter saja.

Menyusuri Bumrungburi Road untuk berburu makan siang.

Beberapa menit melangkah pun akhirnya aku tiba di tempat makan itu. Aku yang kelaparan bergegas memasuki kedai dan disambut oleh tiga pelayan wanita berusia sangat muda. Mereka mempersilahkan kepadaku untuk mengambil beberapa menu yang tersaji di etalase.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil beberapa pokcoy, sawi, satu keping mie warna ungu, wortel, beberapa potong cumi, jamur, bakso, dua potongan kecil tuna dan udang. Aku menyerahkan menu itu kepada salah satu dari mereka.

Dengan gesit dia memencet-mencet tombol di mesin kasir.

One mineral water. Ms”, aku memintanya memasukkanya dalam tagihan.

128 Baht, Sir”, kasir wanita itu menyebut angka tagihan.

Aku pun membayarnya dan setelahnya dia memintaku untuk menunggu di salah satu bangku.

Dala lima menit, hidangan tiba. Karena terlanda kelaparan akut, aku menyantap dengan lahap semua menu dalam kuah sup hangat dan gurih itu.

Selama tiga puluh menit lamanya aku menikmati menu pertamaku di Chiang Mai itu itu untuk kemudian selepas menghabisinya, aku mengambil sebotol mineral water dari sebuah freezer.

Ini dia Malatang Soup.

Menenggaknya separuh, maka aku memutuskan untuk menyudahi waktuku bermakan siang.

Rasa penasaran yang tinggi membuatku melangkah ke salah satu pelayan.

What’s the name of this dish, Ms?”, aku yang penasaran memberanikan bertanya

Malatang Soup, Sir”,

Oh, thank you for the information

With pleasure, Sir”, dia menjawab singkat

Melangkah keluar kedai, aku mengambil telepon pintar di saku kanan. Mengetikkan nama “Malatang Soup” ke mesin pencari.

Dengan cepat aku menemukannya. Lepas membaca satu paragraf tentangnya, langkahku pun terhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepala di sisi jalan.

Mesin pintar mengatakan bahwa walau beberapa versi Malatang adalah halal namun pada dasarnya kuah pedas itu ada kemungkinan besar direbus menggunakan tulang babi.

Aku terkekeh membacanya tetapi kemudian berusaha tenang dan memohon ampun kepada Tuhan jika kuah Malatang yang kusantap beberapa menit sebelumnya benar-benar direbus menggunakan tulang babi.

Aku melanjutkan langkah menuju hotel karena waktu menunjukkan hampir pukul dua siang…Waktu check-in hampir tiba.

Aku tiba di Le light House & Hostel untuk kemudian duduk kembali di salah satu bangku cafenya. Namun baru beberapa menut duduk, seorang pria yang menggantikan resepsionis wanita sebelumnya tetiba memanggilku.

Le Light House & Hostel tampak depan.

Hello….Are you Mr. Donny?”, dia memanggilku dari arah belakang

Yes, sir…That’s right”, aku menoleh lalu menjawab pertannyaannya

Sir, you can check-in now….Come here!”, dia memanggilku

Aku memberikan paspor dilanjutkan dengan dia mengcopynya, untuk kemudian dia menyerahkan pasporku kembai padaku bersamaan dengan kunci kamar.

Setelah mendengarkan penjelasan singkat tentang prosedur hotel dari resepsionis pria itu, aku berjalan menuju pintu belakang bangunan, menaiki tangga di sisi kirinya untuk kemudian melepas sepatu dan pergi menuju kamar melalui tangga tersebut.

Sesampai kamar. Aku membongkar travel bag, mengambil folding bag lalu mengambil perlengkapan penting seperti dompet, lembar itinerary, power bank, air mineral, obat-obatan, dan kamera mirrorless Canon EOS M10, lalu menaruh beberapa pakaian ganti di salah satu loker.

Aku yang mengantuk berat, memutuskan untuk naik ke kasur di ranjang tingkat atas, dan tanpa sadar untuk beberapa waktu kemudian tertidur pulas di atas kasur……

Lalu bagaimana eksplorasiku siang menjelang sore itu.

Kisah Selanjutnya—->

Taksi dari Chiang Mai International Airport Menuju Pusat Kota

<—-Kisah Sebelumnya

Logo AOT tersebar di sekian banyak property bandara ketika tatapan mataku awas mencari keberadaan konter penyedia jasa taksi. AOT sendiri merujuk pada Airports of Thailand PCL, pengelola resmi Chiang Mai International Airport.

Beruntung aku dengan cepat menemukan konter taksi resmi “Chiang Mai Airport Taxi” yang berlokasi di dekat Door 11. Konter itu dijaga oleh staff wanita berusia paruh baya.

Hello Mam, How much is the taxi fare to Mueang Chiang Mai District?” aku bertanya lugas

150 Baht, Sir”, dia menjawab penuh senyum

OK, I take the taxi”, aku mengajukan permohonan sembari menyerahkan ongkos yang dimaksud.

Just wait here for about ten minutes, and show this receipt to the taxi driver when he picks you up from Gate 11!”, dia menunjuk pintu keluar.

Konter penyedia jasa taksi di Chiang Mai International Airport.

Mengikuti instruksinya, aku pun duduk di salah satu deret bangku bandara demi menunggu kedatangan pengemudi taksi yang dimaksud. Hingga pada akhirnya, beberapa menit kemudian,  seorang pria muda mendatangiku.

Taxi is ready, Sir”, dia menyapa dari sisi kiri tempatku duduk

Aku menoleh, memandang sebentar, lalu bangkit, “Oh, okay….I’m ready, Sir….Come On!

Aku mengikuti langkahnya menuju drop off zone di depan bangunan terminal. Tampak dari kejauhan, sebuah mobil listrik berwarna putih besutan Morris Garage (MG) telah menunggu dengan mesin menyala langsam.

Lepas memasukkan semua barang bawaan ke bagasi, aku menaiki mobil listrik itu dari pintu depan sisi kiri. Aku menghempaskan badan di kursi empuknya hingga akhirnya taksi merayap menuruni drop off zone menuju jalan utama kota.

Drop -off Zone Chiang Mai International Airport.

Chiang Mai is very hot, Sir”, aku menyela ketika dia berkonsentrasi di kemudi.

Yes, Sir….It’s been scorching these past few days”, dia menyeka dahinya yang berkeringat.

Tanpa suara, taksi itu meluncur cepat hingga akhirnya menjangkau jalur arteri menuju Le Light House & Hostel. Taksi terus meluncur cepat menuju timur, membelah kesibukan Mahidol Road.

Selanjutnya, aku tak banyak bercakap dengan pengemudi taksi, melainkan lebih memilih untuk menikmati suasana kota saja di sepanjang perjalanan menuju penginapan.

Perjalanan itu sendiri berlangsung sangat cepat, pengemudi muda itu melahap jarak lima kilometer hanya dalam waktu dua belas menit saja.

Tibalah aku di penginapan…..

Can I take a photo of the receipt?”, aku menunjuk nota pembayaran taksi di pintu sisi pengemudi.

Just take it. This is for you”, pengemudi itu sungguh baik, dia malahan memberikan nota pembayaran itu. Aku memang harus melakukan hal itu supaya nota pembayaran bisa aku reimburs ke kantor.

Ini dia penampakan taksi bandara yang kutunggangi.

Lepas turun dari taksi, aku langsung menuju ke lobby penginapan yang sebagian besar ruangannya didominasi oleh keberadaan Le Light Cafe. Pagi itu cafe sedang dikunjungi beberapa pengunjung yang kesemuanya tampak santai sembari menikmati hidangannya masing-masing.

Aku menggeret travel bag menuju resepsionis demi mengkonfirmasi kamar yang telah kupesan melalui sebuah aplikasi e-commerce perjalanan ternama.

Hi Ms….I’m Donny from Indonesia…I’ve booked a bed in your hostel….Can I check in now?”, aku menanyakan sesuatu yang sebetulnya sudah sadar bahwa permintaan check-in itu tak akan dikabulkan oleh si empunya penginapan.

Sir, you are on our list but check-in will only open at 2 pm”, wanita muda itu ramah menjawab.

Meja resepsionis Le Light House & Hostel.

Sadar diri belum bisa memasuki kamar, maka aku mundur dari meja resepsionis dan memilih untuk duduk di salah satu pojok cafe. Aku hanya duduk tanpa membeli apapun, hanya perlu menunggu hingga waktu hingga check-in tiba.

Tapi aku kalah, satu jam lamanya menunggu, akhirnya kelaparan melanda. Aku bangkit dan melangkah ke meja kasir untuk melihat menu makanan yang tersedia. Namun sayang, aku hanya menemukan berbagai jenis kue dan hidangan ringan saja di setiap lembaran menu yang kubaca.

Aku yang sangat menginginkan makanan hangat berkuah memutuskan untuk mencari tempat makan di luar penginapan.

Can I put my backpack in your locker?”, aku memohon pertolongan kepada resepsionis wanita itu.

Surely, Sir”, dia tersenyum ramah…..”Put there!”, dia menunjuk ke pojok lobby.

Thank you, Ms… I’ll just have a quick lunch”, aku menjelaskan.

Sejenak aku berburu tempat makan pada aplikasi berbasis peta dan kemudian menemukannya dalam waktu singkat.

Membuka pintu depan cafe, aku turun ke Bumrung Buri Road menuju tempat makan yang tertera di peta digital.

Aku melangkah cepat berkejaran dengan lapar…..Alamak

Kisah Selanjutnya—->