Memarkir Langkah di Abdulla Qodiriy Park

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melangkahkan kaki keluar dari kompleks Dhzuma Mosque, melewati deretan peminta-minta yang didominasi wanita dan anak-anak, kembali melintasi sisi timur pelataran Kukeldash Madrasah yang di penuhi lalu lalang para pelajar. Sama sepertiku, para pelajar itu baru saja usai menjalankan ibadah Shalat Dzuhur di Dhzuma Mosque.

Turun di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi*1), menyusuri sisi utara wilayah Shaykhontohur Tumani*2), tetiba aku teringat kalau satu-satunya pulpen yang kumiliki telah berpindah tangan ke Tuan Khadirjan, Beberapa waktu sebelumnya, aku memberikan pulpen itu kepadanya usai dia menulis nama, nomor telepon dan alamat tempat tinggalnya pada selembar kertas yang telah terlipat rapi di kantong celanaku.

Sembari melangkah, tatapku awas menyapu pertokoan di sepanjang trotoar, berusaha menemukan toko yang menjual Alat Tulis Kantor. Aku tersenyum kecil ketika melihat sebuah toko kecil yang pintu masuknya terpasang tirai plastik penahan suhu dingin. “ZEBINISO Kitob Do’koni”, begitu nama toko yang kubaca pada nameboardnya.

Berburu pulpen pengganti.

Aku dengan percaya diri memasuki toko, untuk kemudian berdiri sejenak di dalamnya, memperhatikan koleksi novelnya yang berbahasa Rusia. Aku tak berkeinginan membeli, hanya terkesan dengan aksara Kiril yang memenuhi setiap lembaran novel itu.

Ruchka*3)?”, tanganku memperagakan gerakan menulis di atas telapan tangan.

Da*4)”, tangannya merogoh etalase di sampingnya dan mengeluarkan sebuah pulpen. Jarinya pun lincah memencet beberapa tombol kalkulator lalu menunjukkan layarnya padaku.

Oh, Dua Ribu Som”, aku tersenyum membatin

Kurogoh kocek dan menyerahkan pecahan pas kepada perempuan cantik pemilik toko buku itu.

Spasibo*5)”, aku bercakap padanya untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkan toko dari pintu bertirai plastic tebal itu.

Kembali di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi……

Tentu aku semakin antusias menyusuri trotoar oleh karena berkesempatan untuk berpapasan dengan muda-mudi Tashkent yang melintas….Mereka tampak modis dan berpenampilan menarik.

Hingga langkahku tiba di sebuah perempatan. Furqot Ko’chasilah yang memotong arus Navoiy Ko’chasi sehingga membentuk perempatan besar itu. Furqot atau Furkat pada nama jalan ini didedikasikan untuk seorang scientist terkenal asal Russia, F.N Russanov.

Perempatan itu tampak luas dengan arsitektur taman yang baik. Pohon-pohon tampak asri dengan seni topiary yang diaplikasikan di dalamnya.

Perempatan antara Navoiy Shoh Ko’chasi dan Furqot Ko’chasi.

Bella Cosa Beauty Salon”, aku membaca sebuah nameboard terbesar yang kutemui di deretan pertokoan sisi barat perempatan. Untuk sejenak aku berdiri lama di sisi itu, menikmati suasana sekitar yang udaranya mulai menghangat dengan bersinarnya matahari tanpa penghalang.

Sewaktu kemiudian aku melangkah menuju utara melalui ruas jalan baru. Adalah Zarqaynar Ko’chasi yang mengantarku untuk kembali tiba di Stasiun Chorsu. Stasiun dimana aku menginjakkan kaki di pagi hari beberapa waktu sebelumnya, hanya siang itu aku berada di sisi timur stasiun, sedangkan pagi sebelumnya aku berada di sisi baratnya.

Aku dihadapkan pada lokasi parkir stasiun yang memanjang dari timur ke barat dengan deretan kios makanan di sisi selatannya.

Parkiran sisi timur Chorsu Station.

Lalu aku menatap ke arah seberang Zarqaynar Ko’chasi, ruas jalan yang didediasikan pemerintah Uzbekistan untuk menghormati Zarqaynar, seniman asal negeri itu.

Di seberang jalan, aku melihat keberadaan flyover yang memiliki terowongan di bawahnya dengan dinding bercat biru.

Itu adalah akses terbaik untuk pejalan kaki menuju Hazrati Imam Complex”, aku menatap jalurnya yang tampak sepi. Suasana lengang yang membuatku ragu untuk melintasinya.

Beruntung, beberapa saat kemudian muncul seorang lelaki yang menyeret travel bag yang berbelok dari arah berlawanan melalui terowongan itu. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju terowongan. Aku hanya berpikir sederhana, bahwa aku akan berpapasan dengan lelaki itu di tengah-tengah terowongan.

Setidaknya aku tidak sendirian di pertengahan lorong”, aku memutuskan cepat.

Benar saja, aku berpapasan dengannya dan merasa sedikit tenang. Aku berhasil melewati lorong itu dengan cepat, untuk kemudian tiba di sebuah jalan sempit dengan aspal yang tak rata, retak disana-sini, bahkan ada bagiannya yang masih berwujud permukaan tanah. Banyak kendaraan tua diparkirkan di salah satu sisi jalan itu. Sedangkan tepat di sisi kananku adalah sebuah taman kota yang berukuran luas, Abdulla Qodiriy Park namanya.

Davlat Tabiat Muzeyi.

Aku menyusuri tepian barat taman kota yang memiliki luas tak kurang dari 20 hektar tersebut. Semakin jauh melangkah, aku mulai menemukan keramaian. Beberapa muda-mudi tampak melintas di jalanan, tampak mereka sedang pulang dari perkuliahan, begitulah aku menebak dari dandanannya.

Aku sendiri akhirnya berusaha untuk menemukan pintu masuk Abdulla Qodiriy Park demi menikmati keindahan di dalamnya.

Pada akhirnya aku memang menemukan gerbang utama taman itu setelah memutarinya separuh lingkaran. Tapi tampak gerbang taman itu ditutup rapat-rapat. Aku mendekat untuk mencari tahu, mengintip dari gerbang dan mengetahuinya bahwa taman itu sedang menjalani proyek renovasi.

Mengintip bagian dalam Abdulla Qodiriy Park yang ditutup karena renovasi.

Aku pun memutuskan untuk melangkah menjauh dari gerbang dan mencari sebuah tempat duduk di jalur masuk taman. Jalur yang kebanyakan tempat duduknya telah diakuisisi muda-mudi Tashkent demi bersiap menikmati keindahan sore yang beberapa saat kemudian akan tiba.

Patung Abdulla Qodiriy.

Aku terduduk tepat di sisi patung Abdulla Qodiriy, seorang sastrawan terkemuka asal Uzbekistan. Untuk sementara aku memarkirkan langkah di gerbang masuk Abdulla Qodiriy Park sebelum melangkah menuju tujuan akhir yang hanya berjarak 1.5 kilometer lagi.

Keterangan Kata:

Ko’chasi*1) = Jalan

Tumani*2) = Distrik

Ruchka*3) = Pulpen

Da*4) = Ok

Spasibo*5) = Terimakasih

Kisah Selanjutnya—->

Kukeldash Madrasah: Do’a ke Tanah Suci

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan kedai pilav, menyusuri trotoar Saqichmon Ko’chasi sisi timur, menuju selatan, untuk kemudian terhenti pada dinamika di sebuah perempatan jalan.

Beruniy Shoh Ko’chasi lah yang membentuk perempatan besar itu karena memotong Saqichmon Ko’chasi dari barat ke timur.

Tampak, walaupun ramai di area zebra crossnya, tetap saja pemerintah setempat menyediakan fasilitas penyeberangan bawah tanah yang menyediakan alternatif menyeberang paling aman dan nyaman.

Di sisi lain, delapan jalur trotoar perempatan itu dihiasi barisan pepohonan besar yang meranggas dihajar musim dingin. Pokok-pokok besar itu berbaris dengan interval teratur di sepanjang sisi jalanan.

Sejenak aku berdiri cukup lama, mengarahkan pandangan ke arah timur jauh dimana satu dua gedung pencakar langit sedang dibangun di sepanjang Beruniy Shoh Ko’chasi.

Perempatan antara Saqichmon Ko’chasi dan Beruniy Shoh Ko’chasi.

Pada satu sisi, bentangan panjang trotoar mengarah ke timur telah menunggu. Setengah kilometer di depan, destinasi selanjutnya telah menunggu.

Apalagi semakin lama berdiam di sisi perempatan, udara dingin semakin menusuk dari sela-sela winter jacket yang kukenakan, perlahan tapi pasti menyurutkan hangat badan. Maka, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Bertolak meninggalkan halaman toko springbed “TAMAKI” di pojok perempatan, aku memasuki trotar sisi utara Beruniy Shoh Ko’chasi.

Trotoar selebar tiga meter itu beralaskan beton, tak berbatasan langsung dengan jalan raya, melainkan terjeda dengan bidangan rumput hijau di kiri kanannya. Jalur rumput yang berbatasan langsung dengan jalan tertanam pepohonan yang berjajar rapi. Pohon-pohon itu diberi cat warna putih di bagian pangkal batang hingga setinggi orang dewasa. Pemberian cat warna putih tentu bertujuan sama di jalanan manapun, yaitu mengurangi durasi batang pohon terpapar panas secara langsung untuk mencegah peretakan.

Setengah kilometer kemudian, sebuah halte bus menyambut. Pemberhentian bus itu ramai dipenuhi calon penumpang, bernama Chorsu Mall Bus Stop karena memang letaknya yang berada di tepian pusat perbelanjaan dengan nama yang sama.

Melewati keramaian halte, deretan lapak pedagang kaki lima menjadi pemandangan menarik berikutnya. Sahutan para pedagang buah-buahan, sayur-mayur, mie berbagai warna, dan Non*1) berhasil membuat bising sepanjang trotoar.

Untuk sementara aku larut dalam aktivitas perdagangan kecil itu. Menyaksikan aksi tawar-menawar dan tentu mengagumi modisnya muda-mudi Uzbekistan yang melalui kawasan pasar jalanan yang terletak persis di sebuah pertigaan besar yang terbentuk dari pertemuan tiga ruas jalan, yaitu Beruniy Shos Ko’chasi, Samarqand Darvoza Ko’chasi dan Navoiy Shoh Ko’chasi.

Perdagangan di depan Kukeldash Madrasah.

Dan tepat di sebelah timur pasar jalanan itu terdapat sebuah bangunan dengan arsitektur khas Timurid. Adalah Kukeldash Madrasah yang telah lama menjadi pusat pendidikan penting di Kota Tashkent.

Timurid merujuk pada nama Amir Temur, seorang pemimpin berkharisma ada Abad XIV yang pernah berkuasa di Asia Tengah, Iran, Afganistan, Pakistan, India, Irak dan Kaukasus.

Sedangkan kekhasan arsitektur Timurid terletak pada pintu gerbang yang berbentuk persegi menjulang dengan lengkungan khas di bukaan pintunya. Sedangkan model dekorasi muqarnas menjadi penghias dindingnya. Gerbang itu akan diapit oleh dua menara dengan dekorasi khas.

Sejenak aku terduduk di salah satu tempat duduk beton demi menikmati keindahan arsetektur pesantren itu.

Aku larut dalam keasyikan mengambil beberapa gambar di setiap sudut Kulkedash Madrasah, hingga akhirnya berdiri terpaku menatap keindahan jengkal demi jengkalnya.

Gerbang depan Kukeldash Madrasah.

Tibalah pada suatu waktu, dari belakang, sentuhan lembut dari tangan seseorang mendarat di pundakku.

Hello, where are you come from?

Aku menoleh ke belakang. Menemukan wajah tua bersahaja dengan senyuman super ramahnya.

“Indonesia, Sir”, aku tergagap, gugup menatap senyum cerah lelaki tua itu.

“I’m a teacher in this school….my name Khadirjon….Are you moslem?”,

“Yes, Sir…I’m moslem”

“Subhanallah….Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam”.

“Do you live in Tashkent?….What is your name?”

“No Sir, I’m jus a solo traveler…My name is Donny”.

“Masyaallah….You’re a musafir. Your do’a is maqbul….Please, pray for me”

“What do’a do you want, Sir”

“I want go to Makkah Al Mukarrom for Hajj or Umra….Also, I want my daughter to get married this year…Please, say do’a for me !”

Me & Mr. Khadirjon.

Aku pun mulau berdo’a sembari berdiri di depannya. Dia mengamini setiap do’a yang kupanjatkan. Aku merasakan kebahagiaan dalam setiap do’a yang kupanjatkan untuknya. Tak menyangka keramahan orang ini membuatku serasa berada di rumah sendiri.

“Donny….Do you have something that I can keep it as a keepsake?”

Aku yang bingung mencoba berpikir, menentukan barang khas Indonesia apa yang bisa kuberikan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah ide.

“Do you want Indonesian money”?

“Oh..good idea….Just give me a small banknotes”

Aku merogoh kantong mengambil dompet , menarik selembar uang kertas Rp. 10.000, menandatanganinya dan menyerahkan kepadanya

“10.000 rupiah is equal with 8.000 Som, Sir”

“Oh, nice Donny….Thank you”

Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik berkerudung putih melintas dan mendekat ke kami berdua. Entah perempuan itu bicara apa, yang jelas dia sedang memberi salam kepada Mr. Khadirjon. Menunduk-nunduk ketika berbicara dengannya sebagai bentuk rasa hormat.

“Shara…Introduce my guest, he is traveler from Indonesia. His name is Donny”

“Hallo, Mr Donny….Nice to meet you…My name is Shara from Samarkand”

“Hi, Sara….Nice to meet you”

Perempuan itu menunduk sopan dan meminta izin kepada Mr Khadirjon untuk memasuki pensantren.

“Donny, can you shalat with me in that mosque ?”

“Oh sure, time to Dzuhur pray…Let’s go to the mosque and pray together”.

Kukeldash Madrasah dari sisi timur.

Aku tersenyum lebar dan berinisiatif mengikuti langkahnya menuju masjid.

Sejenak aku akan menjalani ibadah shalat dzuhur. Itulah shalat berjama’ahku untuk pertama kali di kota Tashkent.

Catatan Kaki:

Non*1) = Roti khas Uzbekistan, biasanya berbentuk bulat dan lebar dengan satu sisinya lebih mengkilat dan bertabur wijen.

Kisah Selanjutnya—->