Gelisah Menunggu Check-In Menuju Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menandaskan sarapan, maka aku mencari stop kontak untuk mengisi daya telepon pintarku. Sejak malam sebelumnya, aku menghabiskan dayanya. Beberapa stop kontak di dinding bangunan bandara tampaknya tak berfungsi dengan baik. Hingga akhirnya, aku menemukan sebuah stop kontak di salah satu sisi selasar. Tetapi aku harus berbagi dengan dua pelancong India yang sedang melakukan hal yang sama. Aktivitas remeh temeh itu membuatku terduduk mengampar selama satu jam lamanya.

Tepat pukul delapan ketika 75% daya telepon pintarku terisi…..

FIDS utama di KLIA Terminal 1.
Menunggu proses check-in.
Sesuai prosedur, penerbangan antar bangsa tak bisa menggunakan self check-in kiosk.
Menunggu di Blok M (eits, bukan di Jaksel ya, kak )

Aku pun memutuskan untuk menuju ke Lantai 3 – KLIA demi bersiap diri melakukan check-in. Menaiki sebuah escalator, aku langsung menuju ke depan layar FIDS (Flight Information Display System) terbesar di Lantai 3 untuk mencari status penerbangan Uzbekistan Airways HY 554 yang merupakan kartu As ku untuk menggapai Tashkent.

Berdasarkan informasi dari FIDS itu, aku akhirnya mengantongi informasi penting bahwa proses check-in penerbangan yang kutunggu akan berlangsung pada pukul 10 pagi. Itu berarti, aku masih harus menunggu 2 jam lamanya.

Maka aku memutuskan untuk duduk di sebuah bangku tunggu di dekat blok check-in desk bertanda M. Aku terduduk bersama para jama’ah umrah asal Malaysia yang sedang menunggu waktu check-in pula. Mereka terdiri dari beberapa rombongan, terlihat jelas dari berbagai jenis seragam yang mereka gunakan.

Selama masa menunggu, sesekali aku menuju ke konter check-in karena khawatir jika proses check-in berlangsung lebih cepat dari yang diagendakan. Begitulah jika aku ber-solo traveling, selalu saja lebih waspada dari para traveler lain. Aku harus memastikan diri untuk tak tertinggal di setiap penerbangan karena tidak akan ada yang bisa mengingatkan kecuali diriku sendiri.

Dua jam lamanya menunggu….Akhirnya waktu check-in tiba juga. Aku yang sudah bersiap diri seperempat jam sebelum konter check-in dibuka langsung mengambil antrian di bagian depan. Tetapi tetap saja, badanku tenggelam di tengah antrian karena para penumpang berkebangsaan Uzbekistan itu berpostur tinggi besar. Selain posturnya, satu lagi ciri khas warga Uzbekistan adalah tak sedikit diantara mereka yang menggunakan gigi emas. Bahkan ciri khas itu sudah kuketahui semenjak kunjungan umrah ke tanah suci Makkah pada dua bulan sebelum keberangkatanku menuju kawasan Asia Tengah tersebut.

Sabar dan perlahan merangsek ke baris depan. Akhirnya sewaktu kemudian, tibalah giliranku untuk menghadap ke konter check-in. Seorang petugas perempuan tersenyum menungguku di belakang konter. Aku tak ragu menyerahkan e-ticket kepadanya.

“Had you prepared the visa, Sir?”, petugas itu menatapku tajam.

Uzbekistan give free visa for Indonesian traveller, Ms”, aku meyakinkan sambil mengernyitkan dahi.

Please wait, Sir”, petugas itu meninggalkan meja kerjanya dan menuju ke tempat lain dimana pimpinannya berada. Mereka tampak bercakap serius, kemudian terlihat bahwa pimpinan mereka serius menatap layar desk top di depannya dan memperhatikan data. Sewaktu kemudian, pimpinan itu tampak mengangguk dan menyerahkan kembali pasporku pada petugas perempuan tersebut.

Maka kembalilah sang petugas ke meja kerjanya.

Thank you for waiting, Sir. It’s clear, you can go, happy nice flight, Sir”, dia menyerahkan selembar boarding pass yang baru saja dicetaknya dari printer.

Thank you, Ms”, aku menerimanya dengan senyum sumringah.

Sebentar lagi menghadap petugas check-in desk.
Yeaayyy…..Boarding passku akhirmya release.
Meninggalkan check-in desk.

Dengan rasa bahagia dan bibir penuh senyum, aku melangkah menuju konter imigrasi demi mendapatkan izin keluar dari wilayah negara Malaysia.

Tentu…..Bagian keluar dari sebuah negara adalah hal yang paling mudah, Sudah pasti setiap petugas imigrasi akan senang jika tamu yang berkunjung ke negaranya akan pulang atau keluar dari negaranya tepat waktu.

Kisah Selanjutnya—->

KLIA Terminal 1: Berburu Spot Beristirahat

<—-Kisah Sebelumnya

Sudah lewat jam sebelas malam…..

Pusat perbelanjaan yang terintegrasi dengan bandar udara itu tampak sepi di banyak titik, tak sedikit toko yang telah menutup pintunya rapat-rapat. Hanya beberapa minimarket yang masih membuka diri bagi para pengunjung bandara.

Hmmhhh, senyap sekali….Lebih baik aku langsung saja menuju ke Terminal 1 dan mencari spot yang bisa kugunakan untuk beristirahat di sana”, aku mengambil satu keputusan dalam hati.

Maka melangkahlah aku menuju ujung utara Gateway@KLIA2. Aku tahu bahwa dari ujung pusat perbelanjaan itu terdapat escalator untuk menggapai “Transportation Hub” yang berada di Lantai 1. Ini lah area yang merupakan akses utama menuju ke beberapa kota penting di Malaysia, menuju ke pusat kota dan bahkan menuju ke beberapa titik penting di sekitaran bandara…Sepang International Circuit adalah salah satu contohnya.

Sesampainya di Transportation Hub Area, aku langsung menuju ke deretan platform untuk melihat situasi dan mencari petunjuk dimanakah lokasi KLIAFree Shuttle Bus akan mengambil penumpang, karena hanya bus itulah yang bisa mengantarkanku secara cuma-cuma menuju Terminal 1 di sisi timur KLIA2.

Tak kunjung menemukannya, maka aku memutuskan untuk berdiri menunggu saja di salah satu platform yang nampak sepi. Tapi aku tak khawatir karena keberadaanku bisa dilihat oleh segenap pengunjung bandara dari sisi dalam bangunan bandara.

Hampir tengah malam di Trasportation Hub Lantai 1, KLIA2
Platform berbagai bus menuju ke banyak destinasi di dalam dan luar kota.

Pucuk dicinta ulam tiba….

Bus berkelir biru itu tiba, meluncur gesit dari ujung bangunan bandara, menyorotkan lampu yang menyilaukan mata. Aku hanya berdiri terpaku mengamati kedatangannya, sembari menunggu dimanakah bus itu akan berhenti. Melewatiku dengan kecang, bus itu mulai menurunkan laju di ujung lain bangunan bandara.

Oh, di situ ternyata dia berhenti”, aku tersenyum tipis bak memenangkan sebuah pertarungan dengan mudah.

Maka melangkahlah aku menuju free shuttle bus itu dengan ayunan langkah cepat.

Aku melangkah masuk dari pintu tengah dan duduk di bangku yang terletak sedikit di belakang. Menaikkan beberapa penumpang, bus gratis itu pun mulai berangkat sesaat kemudian. Hanya sedikit penumpang yang terangkut malam itu, yaitu beberapa penumpang lokal dan satu-dua turis asing asal Tiongkok.

Aku kembali menikmati romansa masa lalu di sepanjang perpindahan terminal itu. Aktivitas kecil seperti itu selalu menjadi ritual yang sering kulakukan di masa lalu, saat dimana pandemi belum unjuk gigi menguasai dunia.

Perjalanan menuju Ke Terminal 1 itu hanya memakan waktu 25 menit. Melewati beberapa titik penting di sekitaran bandara seperti Long Term Car Park (LTCP) area dan Mitsui Outlet Park (MOP).

Aku diturunkan di Gate 4, International Departure Hall – Terminal 1 di Lantai 1.

Aku memasuki pintu bangunan bandara yang berbentuk lingkaran di Gate 4. Lalu menaiki escalator untuk menuju Lantai 2. Tetapi entah kenapa, ketika mencari keberadaan food court area, justru aku bisa tersasar. Alih-alih menemukannya, justru aku tersasar hingga ke parking area.

Dasar amatiran kamu, Donny”, kali ini aku menyangsikan kemampuanku sendiri.

Memutar arah kembali ke tempat awal tiba di Lantai 2, pada akhirnya aku menemukan selasar yang masih ramai dengan aktivitas. Beberapa coffee shop tampak masih berpengunjung walau tak penuh.

Free Shuttle Bus KLIA2 ke KLIA atau sebaliknya.
Lantai 1 KLIA
Suasana selasar di Lantai 2 KLIA.
Melanjutkan kebiasaan lama ketika bertraveling..…Tidur di bandara.

Pada saat yang bersamaan, aku merasakan pegal di punggung karena terlalu lama memanggul backpack. Tetapi sebelum benar-benar mencari bangku untuk beristirahat, aku memaksakan langkah kembali menaiki satu lantai untuk memastikan keberadaan check-in counter yang akan kutuju di keesokan hari. Menaiki sebuah escalator panjang, akhirnya aku menemukan deretan check-in counter tersebut. Terdapat 12 deret check-in counter yang masih sepi di Lantai 3 – Terminal 1 KLIA.

Merasa telah menguasai alur untuk keperluan di keesokan hari, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di salah satu deret bangku, meletakkan backpack untuk beberapa saat, dan bersiap untuk tidur malam di deret bangku kosong yang kutemukan itu.

Kisah Selanjutnya—->

Exploring Pulau Warisan Kuala Terengganu

<—-Previous Story

Backtracking a moment from Payang Memory Lane, I followed Pasar Besar Payang Street to the mouth of the Terengganu River. Considering the roaming area was a coastal area, then my feet wouldn’t be far from the water. I would stop two hundred meters north, right on the banks of the Terengganu River.

While the sun was still perfectly round in the west, its rays were still able to make the skin red. Forcing me to occasionally stop behind the big trunks of palm trees by the roadside. Hhmmhh…. Terengganu’s sun was too long, it made the whole face sting.

But not long….A moment later I arrived at the northern edge of Kampung Cina (China Town). My eyes were instantly fixed on the arched footbridge at the eastern end of the village, it seemed that the object had become the main landmark of this night’s tourist attractions.

Arch bridge on the Kuala Terengganu Heritage Island.
The dividing canal between Pulau Warisan Kuala Terengganu and Kampung Cina.
The gateway for pedestrians to Pulau Warisan Kuala Terengganu.
That was where I would enjoy the atmosphere….I Love KT Park.

Unfortunately I didn’t have time tonight, my body was tired to endured the sleepiness all night at Kuala Lumpur International Airport. So tonight, I chose to soundly sleep. It was fine that I have to visit that destiation now, even though I won’t be find its culmination visitation time.

That was Pulau Warisan Kuala Terengganu, an artificial seven-hectare island on the banks of Terengganu River estuary which was commonly used for night markets, big events, music concerts, art exhibitions and the base of Heritage Island River Cruise to explore the beauty of Terengganu River which had many excellence tourist attractions in its various key spots. Locals often refered to Pulau Warisan Kuala Terengganu as i-City Terengganu, referring to the ICT-based city in Shah Alam, Selangor.

On top of the iconic archway, I freely could gaze at all corners of Pulau Warisan Kuala Terengganu. In plain view, the island was only separated from the mainland by a canal thirty meters wide. The canal looked clean and was occasionally passed by a security guard’s engine boat.

It seemed that this island wanted to reveal its identity as the pride of Terengganu with the existence of a green park on the eastern edge of the island. The park was titled I Love KT Park. From a distance, several vehicles were seen parked in the park. A group of families seemed to roll out their mats to enjoy the sunset in Terengganu River by eating the home-cooked food they brought, some men on motorbikes seemed to prepare fishing rods, they were ready to hunt fish on the banks of river.

As a venue for large events at night, the island was equipped with firing light poles in every corner. I could imagine how festive it would be tonight when the lights were turned on and poured light into the crowds of culinary tents below.

“Looks like I have to complete the adventure by sitting and relaxing at the end of the island,” I muttered as I looked at the row of shady trees in the northern shore. I started down the canal to reach the main gate of the island which was in the form of a graceful gate with a typical Chinese pattern.

My steps began to split the island right from the middle, I accelerated the swing of my steps to pass the twilight rays which still gave off their stings. I arrived….. Oh, there wasn’t a single bench to just sit on. Alright…. I took out the itinerary sheets which I compiled a few months ago. I tore off the first sheet where I had completed all the stages of the itinerary. I took a clearing under a big tree and sat down on my own itinerary sheet.

Cool….silent….safe….enchanting, that was the feeling which arised when you awere under a shady tree with my gaze thrown far to the north. I could see the expanse of Pulau Duyung (Duyung Island) which was three hundred meters away and was only separated by the waters of the Terengganu River.

Pulau Duyung Supply Centre (PDSC).
Jabatan Pelancongan Negeri Terengganu.
Seen in the distance is the Sultan Mahmud Bridge.
The beauty of the Terengganu River before sunset.

The bustle of the ships belonging to the Pulau Duyung Supply Center (PDSC), which is one of the oil and gas companies in Terengganu, was very obvious, but I didn’t know what was going on inside. The Ignorance made me only able to digest the scenery in front of me, which was like an oil shipyard.

While on the east side, there was a magnificent building belonging to Jabatan Pelancongan Negeri Terengganu. There were tourist ships neatly lined up on the banks. Maybe it was the ships that would take tourists to the beautiful islands which were Terengganu’s marine assets.

Next Story—->

Malaysia Airlines MH 1326 from Kuala Lumpur (KUL) to Kuala Terengganu (TGG)

<—-Previous Story

Malaysia Airlines flight path MH 1326 (source: flightaware.com).
Sleep in the waiting room in gate A5.

Not restful….

Throughout my sleep, occasionally my eyes warily narrowed at digital clock on the blue screen of Flight Information Display System. The plane to Kuala Terengganu would be flown on 07:25 am which made my sleep not perfect.

Two hours before dawn, in order to stop the anxiety, I decided to get up. While tidying my tired face, I had decided to go to gate A5. “Time to go to the destination point”, I muttered to myself.

Half unsteadily I descended an escalator leaving the International Concourse in 4th floor, then followed all signs to reach the gate. Because the previous night I got off an international flight, that morning I had to get through the immigration counter and hunted an arrival stamp in my passport to be able to go to Kuala Terengganu.

Not finding any other passengers, I now had to face an immigration officer at Kuala Lumpur International Airport alone. The immigration counter in front was guarded by a female staff who with a cold face stared at my presence.

“Good morning”, as usual I ventured to say hello. But as I predicted, my greeting went unanswered.

I slided my passport and ticket in front of her and she started to examine it carefully while frowning.

“Why do you go to Terengganu?”, was the first question from her in a low and heavy voice.

“Tourism”, a moment of silence…….“Travel”, I reiterated.

“How many days?”, the second question from her followed.

“Three days, Mam”, I confidently answered.

“Where will you spend your nights?”

“Near downtown”

“Hotel?”

“Oh, wait a minute, I don’t remember its name, Mam,” I was a little nervous looking for files on my smartphone. After a while of searching I finally found it, “The Space Inn”.

“OK”

Smoothly completing the process of taking fingerprints and facial photo, made me step happily towards the gate in front of me.

Now I was in gate A5, exactly 2 hours before boarding time. Silence still engulfed that cold waiting room, there was no one in sight… Therefore, I decided to go in and continue sleeping. Maybe I could do Fajr Pray in the plane.

Zzzzzzzzz….

Some time later,

The sounds of passengers’ trolley bags woke me up, who actually could sleep better than sleeping in upstairs last night. Now I was awake, waiting for boarding time which would arrive in less than half an hour.

On time….

The boarding call finally sounded. The small number of passengers made me very fast to verify passport data and boarding passes before being allowed to enter plane’s cabin via aerobridge.

I sat in a window seat number 24F and no one else sat in the two columns closest to me, making me feel more relieved and comfortable. I immediately went for tayammum and performed the Fajr prayer while cabin crew were busy preparing for the flight.

The plane was waiting on the apron.
The cabin of MH 1326 was empty of passengers.
Take-off at the Kuala Lumpur International Airport runway.
The beauty of Putrajaya from above.

A few moments later everything was ready. The weather was very sunny and cloudy when the plane departed its main hub, i.e Kuala Lumpur International Airport at seven in the morning.

Malaysian Airlines MH 1326 itself is a flight with an air distance of 333 km with a travel time of 57 minutes from the capital Kuala Lumpur to Kuala Terengganu in the north. This flight is taken using a Boeing 737-800 twin jet with an average speed of 363 km per hour and in the middle of the flight it can reach a maximum speed of 764 km per hour.

I was ready to explore to an altitude of 25,000 feet or about 7,620 meters.

A flight that was actually ordinary but felt very special, considering it was a flight to a new place, a place I had never been to, a place which for the past three years had only inhabited my dream….But now a dream had come true, MH 1326 was taking me there. Thank you, God……

The special visit which was delivered by the 49-year-old flag carrier, the pride of my neighboring country, made the moment still linger to this day.

Although this time I took a premium flight, but because of its short distance, the airline didn’t provide in-flight meal. But that was okay, I still had a piece of burger form Mr. Younes which gave to me last night. I also relaxed to eat it during the flight because I was very impressed by the view of morning sky which was really enchanting. Every now and then the inflight magazine “Going Places” managed to interrupt my eyes which were engrossed in that special sight.

Under clouds just before cruising.
Cruising above clouds to Kuala Terengganu.

Yup, I didn’t feel it, I’d been in the air for almost an hour…..

Now the plane was starting to lower its altitude, cabin crew swiftly checked the readiness of passengers to landing, slowly, the appearance of Kuala Terengganu city was visible from a height….Wouuuwww, my heart was immediately pounding wanting to track it. “Patience Donny, in a moment you will be there”, I soothingly thought.

Now, the plane had lowered the flap to hold it in place and then smoothly landed in the runway of Sultan Mahmud Airport, a tiny airport which is the gateway to Kuala Terengganu tourism.

Kuala Terengganu from above.
It was a nice airport.

Welcome to Kuala Terengganu.

To get flight tickets from Kuala Lumpur to Kuala Terengganu, you can search for it in 12go Asia with the following link:  https://12go.asia/?z=3283832

Next Story—->

Hot Burger in Kuala Lumpur International Airport

<—-Previous Story

Arrived at International Concourse.

The time marker showed half past eleven when Malaysia Airlines MH 724 landed at Kuala Lumpur International Airport. I took a deep breath when the plane was perfectly parked in the apron, it was because the connecting flight Malaysia Airlines MH 1326 would only fly to Kuala Terengganu on 07:25 hours next day. That means, for the next nine hours I had to spend all night at KLIA.

Overnight at KLIA2….Have you ever?….Yes, I was twelve times already, I tasted the “hard mattress” of KLIA Terminal 2

 Overnight at KLIA?….Have you ever?….Nup, this was my first time staying at KLIA Terminal 1.

While walking in arrival hall, I took a boarding pass which I got from Soetta airport’s check-in desk. After I looked at it, the boarding pass I was holding didn’t show the gate number. Therefore, I tried to find flight status information in Flight Information Display System (FIDS) located at arrival hall….Finally, I got the gate number….Yupz,A5.

So that was…. There was already a gate status.

So that tomorrow morning I won’t have to find the gate, I also intend to rehearse to find a way to the gate in question. From the International Concourse at level 4, I went down one level to Domestic Concourse. Please note that domestic flights at KLIA are flown from gate A and gate B, while international flights are flown from gate C, gate G and gate H.

My rehearsal was forced to end in front of the immigration counter, but at least I understood how I had to go to the gate tomorrow morning.

Domestic Concourse atmosphere.

From in front of the immigration counter, I was forced to climb back up to International Concourse to find a place to close my eyes.

Meanwhile, a few minutes into the middle of night, I was sitting on one of International Concourse’s seats when a couple of middle-aged tourists approached and took the empty seat to my left.

“Helloo, Sir, where are you come from?”, I ventured to say hello.

“Hi, I’m from Algeria”.

“Oh I know, it’s a country in north of Africa”, I tried to make the conversation warmer.

“Ohhhh….yeaaa….yeaaaa, you know that. I will go home tomorrow and will transit in Doha”, he started to tell about their travel plans.

“Oh, Doha will be the last destination in my traveling this time”, I started to relate my trip to their trip so that the conversation would be more intense.

“Oh, good. What is your traveling for?….Business?”

“Oh, no. it’s just for tourism. I’m Donny from Indonesia and Oh yeaaa, what is your name, sir?”

“Oh, I’m Younes and she is my wife”

“Hi, Donny, nice to meet you”, Mr. Younes’ wife also greeted me

“Hi, Madam. Nice to meet you too”

“Donny, let’s we have dinner together!” Mr. Younes took out four burgers from a paper bag that his wife had brought with him.

“Thank you, Sir. I had dinner since from Jakarta”, I gently refused.

“No No No…. It’s different, It’s to accompany us while talking about our traveling”, he forced me to accept a piece of burger that was still warm.

As a result the three of us were talking to each other while enjoying a burger together. And when we finished eating the simple dish, they said goodbye to go to the gate.

But…..Before the two of them left their seats, Mr. Younes’s wife handed me one last burger.

“It’s for you, Donny. Just take it, we are moslems, we are family”

“It’s really, I think you need it more in your journey, Mam”, I subtly declined.

“No, Donny, It’s for you”, she came closer sticking the burger in front of me

“Thank you, Mam. Allah is always with you”, finally I couldn’t resist it.

“Amen, Good night, Donny, Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikumsalam”

Very pleasant meeting in the early hours of that morning. I put the warm burger in my backpack. I’d better save it for breakfast tomorrow.

After the meeting, I decided to change places to find a row of empty seats to sleep while straightening my body so I could close my eyes comfortably.

Come on….Found a place to sleep.

Next Story—->

Nine Hours Stopover in Kuala Lumpur International Airport Terminal 2

<—-Previous Story

Landing at KLIA2.

For most travelers, Kuala Lumpur International Airport becomes the most fantastic point to jump into other Asian countries. Of course, the existence of Air Asia’s Low Cost Carrier (LCC) makes it so. Since 2001, Air Asia has been providing travelers with low-cost access to travel around Asia. Thanks to Air Asia, I have stopped at KLIA for 21 times when exploring Asia.

But in this story. it was eighth stopover….Yup, this was the eighth time I set foot in Kuala Lumpur International Airport.

After ten o’clock at night, the giant wheel of Air Asia D7 505 gently touched against KLIA2’s runway. The 5 hour 50 minute journey from Seoul was over. My first impression of tasting the wide body Airbus A330 was really pleasant. Flying across Yellow Sea and East China Sea took place with virtually non-existent turbulence, calm and smooth without a hitch. That was probably one of the advantages of riding a large plane when exploring sky.

After taxiing for a few minutes, Air Asia D7 505 was stopped in apron and as soon as the plane door opened, I entered KLIA2 building via aerobridge. I returned to KLIA2 after ten days before stopping by at it before jump to Kaohsiung, Taiwan. It was such a happy feeling that night because I was already close to home, only 2 hours 15 minutes away by air.

And for me, stopping at KLIA2 would be more convenient if I left immigration counter, because I could find many culinary offerings at Gateway@klia2 mall instead of just sitting in transfer hall.

“Transit, Sir. I want to find food for dinner”, I lightly greeted an immigration officer in front.

“Where are you going?”, he asked while checking my green passport.

“From Seoul, want to go back to Jakarta, Sir”

“Oh…”, He briefly answered and then ordered me to face the camera and do fingerprints. By midnight that night, actually my stomach was already filled with wind because the dinner schedule had long passed. But to complete the schedule, I chose to hasten my steps towards a restaurant. It was NZ Curry House which was an Indian restaurant located at Transportation Hub level 1 Gateway@klia2 mall.

Subscribed restaurant.

(On my last visit at KLIA2 at the end 2019 when I was about to fly to Kochi-India, this restaurant area was undergoing renovations, either closed or just being repaired).

The mainstay menu which I often order when I stopped at this restaurant was “Nasi Lemak” with boiled eggs and a cup of hot O tea. For that menu, I usually only spend 6.5 Ringgit.

While tasting spoon by spoon of Nasi Lemak, I understood that after that I would only spend the night on the 1st floor while waiting for tomorrow to arrive. Therefore, I wasn’t in a hurry to eat my simple dish.

After eating, I took the time to change into a t-shirt in the toilet near restaurant and then went up for a while to level 2 to look for souvenirs at Jaya Grocer. For me, KLIA2 was also a favorite place to look for souvenirs if I didn’t have time to stop by in downtown, the halalness of Malaysian products, which were 61% of its citizen was Muslim, was a guarantee in itself. My main shopping target was the packaging of “Teh Tarik Aik Cheong” so I could enjoy it in my working days in my homeland’s capital. A package of Teh Tarik Aik Cheong contained 15 sachets I redeemed for 13 Ringgit that night.

After I got souvenirs, I immediately looked for a spot to lay down in 1st floor because that time had touched the dawn and my eyes had also turned red as if asking me to immediately close them.

Shortly after choosing, there were rows of empty seat in 1st floor in a corner of hall. After acquiring it, I felt half asleep on it until dawn.

However, I deserved to be grateful for KLIA2’s presence in my long history of traveling around Asia.

Next Story—->

Mengampar di Pulau Warisan Kuala Terengganu

<––Kisah Sebelumnya

Mundur ke belakang sekejap dari Lorong Kenangan Payang, aku menelusur Jalan Pasar Besar Payang menuju muara Sungai Terengganu. Mengingat area jelajah adalah kawasan pesisir, maka kakiku tak akan jauh-jauh dari perairan. Aku kan menghentikan langkah dua ratus meter di utara, tepat di tepian Sungai Terengganu.

Sementara matahari masih saja membulat sempurna di barat, sinarnya masih mampu membuat merah kulit. Memaksaku sesekali berhenti di balik batang-batang besar pokok palem tepi jalan. Hhmmhh….Terlalu lama tersiram surya Terengganu membuat segenap muka terasa perih.

Tapi tak lama….Sesaat kemudian aku tiba di tepian utara Kampung Cina. Mataku sekejap tertuju pada titian lengkung di ujung timur kampung, sepertinya obyek itu menjadi tengara utama tempat wisata malam ini.

Jembatan lengkung di Pulau Warisan Kuala Terengganu.
Kanal pemisah antara Pulau Warisan Kuala Terengganu dan Kampung Cina.
Gerbang masuk bagi pejalan kaki menuju Pulau Warisan Kuala Terengganu.
Di sana lah aku akan menikmati suasana….I Love KT Park.

Sayangnya aku tak punya waktu malam nanti, badanku telah lesu demi menahan kantuk semalaman di Kuala Lumpur International Airport. Jadi malam nanti, aku memilih untuk tidur pulas saja. Tak mengapalah aku harus mengunjungi tempat wisata malam ini sekarang, walaupun aku tak akan menjumpai puncak pertunjukan.

Inilah Pulau Warisan Kuala Terengganu, sebuah pulau artificial tujuh hektar di tepian muara Sungai Terengganu yang umum digunakan untuk pasar malam, acara-acara besar, konser musik, pameran seni serta pangkal atraksi Pulau Warisan River Cruise untuk menyusuri keindahan Sungai Terengganu yang menyimpan banyak tempat wisata unggulan di berbagai spot utamanya. Khalayak sering menyebut Pulau Warisan Kuala Terengganu sebagai i-City Terengganu, merujuk pada kota berbasis ICT di Shah Alam, Selangor.

Di atas titian lengkung ikonik itu, aku bisa dengan leluasa menatap seluruh sudut Pulau Warisan Kuala Terengganu. Secara kasat mata, pulau itu hanya terpisahkan dari daratan utama oleh sebuah kanal selebar tiga puluh meter. Kanal itu tampak bersih dan sesekali dilalui oleh perahu mesin petugas keamanan.

Tampaknya pulau ini ingin menampakkan jati dirinya sebagai kebanggaan Terengganu dengan keberadaan taman hijau di tepian timur pulau. Taman itu bertajuk I Love KT Park. Dari kejauhan tampak beberapa kendaraan merapat di taman itu. Sekelompok keluarga tampak menggelar tikar untuk menikmati suasana senja di Sungai Terengganu dengan menyantap hidangan rumahan yang dibawanya, beberapa laki-laki bermotor tampak mempersiapkan alat pancing, mereka siap berburu ikan di tepian sungai.

Sebagai tempat penyelenggaraan event-event besar saat malam, pulau ini dilengkapi dengan tiang-tiang lampu tembak di setiap sudutnya. Bisa dibayangkan betapa meriahnya malam nanti ketika lampu itu dinyalakan dan menyiramkan cahaya ke keramaian tenda-tenda kuliner di bawahnya.

Sepertinya aku harus menggenapkan petualangan dengan duduk bersantai di ujung pulau sana”, aku bergumam ketika memperhatikan deretan pokok nan rindang di tepian utara. Aku pun mulai menyusuri kanal untuk menggapai gerbang utama pulau yang berwujud gapura anggun bercorak khas Tionghoa.

Langkahku mulai membelah pulau tepat dari tengahnya, kupercepat ayunan langkah untuk melintas sinar senja yang masih saja menitipkan sengatan.  Aku sampai…..Oh, tak ada satupun bangku untuk sekedar berduduk manis. Ya sudahlah…. Kukeluarkan lembar-lembar itinerary yang kususun beberapa bulan lalu. Kusobek lembaran pertama yang segenap tahapan itinerarynya sudah paripurna kujalani. Aku mengambil tempat lapang di bawah sebuah pokok besar dan terduduk diatas lembar itinerary buatanku sendiri.

Sejuk….sunyi….aman….mempesona, begitulah perasaan yang muncul ketika berada di bawah pokok nan rindang dengan tatapan terlempar jauh ke utara. Tampak hamparan Pulau Duyung yang jaraknya tiga ratus meter dan hanya dipisahkan oleh perairan Sungai Terengganu.

Pulau Duyung Supply Centre (PDSC).
Jabatan Pelancongan Negeri Terengganu.
Tampak di kejauhan Jambatan Sultan Mahmud.
Keindahan Sungai Terengganu menjelang matahari terbenam.

Kesibukan kapal-kapal milik Pulau Duyung Supply Centre (PDSC) yang merupakan salah satu perusahaan minyak dan gas bumi di Terengganu sangat kentara, tapi entah kesibukan apa yang terjadi di dalamnya. Pendeknya pengetahuan, membuatku hanya mampu mencerna pemandangan di depan sana tak ubahnya sebuah galangan kapal-kapal minyak.

Sedangkan di sisi timurnya, tampak bangunan megah milik Jabatan Pelancongan Negeri Terengganu. Tampak kapal-kapal wisata berjajar rapi di tepiannya. Mungkin itu adalah kapal-kapal yang akan mengantarkan para wisatawan ke pulau-pulau indah yang menjadi aset bahari Terengganu.

Aku benar-benar menikmati pemandangan Sungai Terengganu dari sisi yang berbeda. Aku memuaskan diri dengan berlama-lama duduk di tepian pulau hingga suhu Terengganu benar-benar reda untuk kemudian melanjutkan langkah.

Kisah Selanjutnya—->

Malaysia Airlines MH 1326 dari Kuala Lumpur (KUL) ke Kuala Terengganu (TGG)

<—-Kisah Sebelumnya

Jalur penerbangan Malaysia Airlines MH 1326 (sumber: flightaware.com)
Tidur di ruang tunggu di gate A5.

Tak nyenyak….

Sepanjang tidur, sesekali mataku menyipit waspada menatap jam digital di layar biru Flight Information Display System. Pesawat menuju Kuala Terengganu akan diterbangkan pada pukul 07:25 pagi lah yang  membuat tidurku tak berlangsung sempurna.

Dua jam sebelum masuk waktu Subuh, demi menghentikan rasa was-was itu, aku memutuskan bangkit. Sembari merapikan muka yang kucel dan kusut, aku telah memutuskan untuk menuju gate A5. “Saatnya menuju titik tujuan”, aku bergumam dalam hati.

Setengah gontai aku menuruni escalator meninggalkan International Concourse di lantai 4, lalu mengikuti segenap markah untuk mencapai gate. Karena pada malam sebelumnya aku turun dari penerbangan international maka kali ini aku harus berhasil menembus konter imigrasi dan membawa arrival stamp dalam paspor untuk bisa menuju ke Kuala Terengganu.

Tak menemukan satupun penumpang lain, aku kini seorang diri harus menghadap ke petugas imigrasi Kuala Lumpur International Airport. Konter imigrasi dihadapan dijaga oleh staff wanita bertubuh tambun yang dengan wajah dingin menatap kehadiranku.

Selamat pagi ”, seperti biasa aku memberanikan diri untuk menyapa. Tapi seperti yang kuprediksi, sapaan itu tak berbalas.

Aku menggeser paspor dan tiketku ke hadapannya dan dia mulai memeriksa dengan seksama sambil mengernyitkan dahi.

Untuk apè pergi ke Terengganu?”, pertanyaan pertama darinya dengan suara bernada rendah nan berat.

Melawat”, sejenak suasana hening…….”lancong”, aku menegaskan ulang.

Berapa hari?”, pertanyaan kedua darinya menyusul.

Tiga hari, Cik”, aku menjawab dengan percaya diri.

Bermalam dimanè?

“Dekat Bandaraya”

Hotel?

“Oh, sebentar, saya tidak hafal namanya, Cik”, aku sedikit gugup mencari file di smartphone. Setelah beberapa saat mencari akhirnya aku menemukannya, “The Space Inn”.

OK

Menyelesaikan proses pengambilan sidik jari dan foto wajah dengan lancar, membuatku melangkah dengan sumringah menuju gate di depan sana.

Kini aku sudah di gate A5 tepat 2 jam sebelum boarding time. Sunyi masih menghinggapi ruang tunggu yang dingin, tak tampak siapapun di dalamnya….Oleh karenanya, aku memutuskan masuk dan melanjutkan tidur. Mungkin aku baru bisa menunaikan Subuh di dalam pesawat.

Zzzzzzzzz……..

Beberapa waktu kemudian,

Geretan-geretan trolley bag para penumpang membangunkanku yang sebetulnya bisa tidur lebih lelap dbandingkan tidur di lantai atas semalam. Kini aku terjaga, menunggu boarding time yang akan tiba dalam waktu tak sampai setengah jam lagi.

Tepat waktu….

Panggilan boarding akhirnya terdengar. Sedikitnya jumlah penumpang membuatku tak terlalu lama memverifikasi data paspor dan boarding pass sebelum diizinkan masuk ke dalam pesawat melalui aerobridge.

Aku terduduk di window seat bernomor 24F dan tak ada seorang penumpang pun yang duduk di dua kolom bangku terdekatku, membuatku merasa lebih lega dan nyaman. Aku pun segera bertayamum dan menjalankan ibadah shalat Subuh ketika awak kabin sedang sibuk menyiapkan penerbangan.

Pesawat yang sudah menunggu di apron.
Kabin MH 1326 yang sepi penumpang.
Take-off di runway Kuala Lumpur International Airport.
Indahnya Putrajaya dari atas.

Beberapa saat kemudian semua telah siap. Cuaca sangat cerah berawan ketika pesawat beranjak terbang meninggalkan main hubnya, yaitu Kuala Lumpur International Airport pada jam tujuh pagi.

Malaysian Airlines MH 1326 sendiri merupakan penerbangan dengan jarak udara 333 km dengan waktu tempuh 57 menit dari Ibu Kota Kuala Lumpur menuju Kuala Terengganu di sebelah utara. Penerbangan ini ditempuh menggunakan pesawat Boeing 737-800 twin jet dengan rerata kecepatan 363 km per jam dan di tengah penerbangan bisa mencapai kecepatan maksimal 764 km per jam.

Aku pun bersiap menjelajah ke ketinggian 25.000 kaki atau sekitar 7.620 meter.

Penerbangan yang sebetulnya biasa-biasa saja tetapi serasa sangat istimewa, mengingat ini adalah penerbangan menuju ke tempat baru, tempat yang belum pernah kukunjungi sama sekali, tempat yang selama  tiga tahun terakhir hanya menghuni alam impianku….Tapi kini mimpi telah menjadi nyata, MH 1326 sedang mengantarkanku ke sana. Terimakasih ya Allah……

Kunjungan istimewa yang dihantarkan oleh flag carrier berusia 49 tahun kebanggan Negeri Jiran itu membuat momen itu masih membekas hingga kini.

Walaupun kali ini aku menaiki penerbangan premium tetapi karena jaraknya yang pendek maka maskapai tidak menyediakan inflight meal. Tapi tak apa, aku masih punya sepotong burger pemberian Tuan Younes semalam. Aku pun santai menyantapnya selama penerbangan karena aku sangat terpukau pada pemandangan langit pagi yang sungguh mempesona. Sesekali inflight magazine “Going Places” berhasil menginterupsi mata yang asyik dengan pemandangan istimewa itu.

Di bawah awan sesaat sebelum cruising.
Cruising di atas awan menuju Kuala Terengganu.

Yup, tak terasa, hampir satu jam sudah aku mengudara…..

Kini pesawat mulai menurunkan ketinggian, awak kabin dengan sigap memeriksa kesiapan penumpang untuk mendarat, perlahan penampakan kota Kuala Terengganu tampak dari ketinggian….Wouuuwww, hatiku berdebar segera ingin menjejaknya. “Sabar Donny, sebentar lagi”, batinku menenangkan.

Kini, pesawat telah menurunkan flap untuk menahan lajunya dan kemudian mendarat mulus di atas runway Lapangan Terbang Sultan Mahmud, bandara mungil yang menjadi gerbang pariwisata Kuala Terengganu.

Kuala Terengganu dari atas.
Kecil-kecil cabe rawit nih bandara.

Selamat Datang Kuala Terengganu.

Untuk mendapatkan tiket penerbangan dari Kuala Lumpur ke Kuala Terengganu, Anda bisa mencarinya di 12go Asia dengan link sebagai berikut:  https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Burger Hangat di Kuala Lumpur International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Tiba di International Concourse.

Penanda waktu menunjukkan setengah sebelas malam ketika Malaysia Airlines MH 724 merapat di Kuala Lumpur International Airport. Aku menghela nafas panjang ketika pesawat telah terparkir sempurna di apron, itu karena connecting flight Malaysia Airlines MH 1326 baru akan mengudara menuju Kuala Terengganu pada pukul 07:25 esok hari. Artinya, selama sembilan jam ke depan aku harus bermalam di KLIA.

Bermalam di KLIA2….Pernah kah?….Yes, dua belas kali sudah, aku mencicipi “kasur keras” KLIA Terminal 2

Bermalam di KLIA?….Pernah juga kah?….Nup, kali ini pertama kalinya aku menginap di KLIA Terminal 1.

Sembari berjalan di arrival hall, aku mengambil boarding pass yang sudah kudapat dari check-in desk Soetta. Setelah kuamati, boarding pass yang kupegang belum mencantumkan nomor gate. Oleh karenanya, aku berusaha mencari informasi status penerbangan di Flight Information Display System (FIDS) yang terletak di arrival hall….Akhirnya, aku mendapatkan nomor gate….Yupz,A5.

Nah itu….Sudah ada status gatenya.

Supaya esok pagi aku tak keteteran mencari gate, aku pun berniat melakukan rehearsel untuk mencari jalan menuju gate yang dimaksud. Dari International Concourse di level 4, aku turun satu level menuju Domestic Concourse.Perlu diketahui bahwa domestic flight di KLIA diterbangkan dari gate A dan gate B, sedangkan international flight diterbangkan dari gate C, gate G dan gate H.

RehearseI yang kulakukan pun terpaksa usai di depan gerbang konter imigrasi, tetapi setidaknya aku telah memahami bagaimana aku harus melangkah menuju gate esok pagi.

Suasana Domestic Concourse.

Dari depan konter imigrasi, aku terpaksa naik kembali ke International Concourse untuk mencari tempat demi memejamkan mata.

Sementara itu, beberapa menit lagi memasuki tengah malam, aku duduk di salah satu bangku International Concourse ketika sepasang turis setengah umur mendekat dan menduduki kursi kosong di sebelah kiriku.

Helloo, Sir, where are you come from?”, aku memberanikan menyapa.

Hi, I’m from Algeria”.

Oh I know, it’s a country in north of Afrika”, aku mencoba membuat percakapan lebih hangat.

Ohhhh….yeaaa….yeaaaa, you know that. I will go home tomorrow and will transit in Doha”, dia mulai bercerita tentang rencana perjalanannya.

Oh, Doha will be last destination in my traveling this time”, aku mulai mengaitkan perjalananku dengan perjalanannya supaya terjadi percakapan yang lebih intens.

Oh, good. What is your traveling for?….Business?

Oh, no. it’s just for tourism. I’m Donny from Indonesia and Oh yeaaa, what is your name, Sir?

Oh, I’m Younes and she is my wife

Hi, Donny, nice to meet you”, istri pak Younes turut menyapaku

Hi, mam. Nice to meet you too

Donny, let’s we dinner together!”, pak Younes mengeluarkan empat potong burger dari kantong kertas yang sedari tadi dibawa istrinya.

Thank you, Sir. I had have dinner since from Jakarta”, aku menolak lembut

No No No…. It’s different, It’s for accompany us while talk about our traveling”, dia memaksaku untuk menerima sodoran sepotong burger yang masih hangat.

Alhasil kami bertiga pun saling berbincang sambil menikmati burger bersama. Dan ketika kita usai menyantap hidangan sederhana itu, mereka pun berpamitan untuk menuju ke gate.

Tapiiii…..Sebelum mereka berdua meninggalkan kursi, tetiba istri pak Younes menyodorkan satu potong burger terakhir kepadaku.

It’s for you, Donny. Just take it, we are moslems, we are family

It’s really, I think you more need it in your journey, mam”, aku menolak halus.

No, Donny, It’s for you”, dia semakin dekat menjulurkan burger itu di depanku

Thank you, mam. Allah is always with you”, akhirnya aku tak kuasa menolaknya.

Amiin, Good night, Donny, Assalamu’alaikum”.

Wa’alaikumsalam

Pertemuan yang sangat menyenangkan di dini hari. Aku memasukkan burger hangat itu di dalam backpack. Lebih baik aku menyimpannya untuk sarapan esok hari.

Usai pertemuan itu, aku memutuskan berpindah tempat untuk mencari deret bangku kosong untuk tidur sembari meluruskan badan sehingga aku bisa memejamkan mata dengan nyaman.

Yukz….Cari tempat untuk tidur.

Kisah Selanjutnya—->

Sembilan Jam Singgah di Kuala Lumpur International Airport Terminal 2

<—-Kisah Sebelumnya

Mendarat di KLIA2.

Bagi sebagian besar pengelana, Kuala Lumpur International Airport menjadi titik paling aduhai untuk melompat ke negara asia lainnya. Tentu keberadaan maskapai Low Cost Carrier (LCC) Air Asia yang membuatnya demikian. Sejak 2001, Air Asia telah memberikan akses murah bagi para pejalan untuk berkeliling Asia. Berkat Air Asia pula sudah 21 kali aku menyinggahi KLIA selama menjelajah Asia.

Tapi dalam kisah ini adalah delapan….Yups, ini kali kedelapan aku menjejakkan langkah di Kuala Lumpur International Airport.

Lewat jam sepuluh malam, roda raksasa Air Asia D7 505 berdebam lembut menyentuh KLIA2. Perjalanan 5 jam 50 menit dari Seoul pun usai sudah. Kesan pertamaku mencicipi pesawat berbadan lebar Airbus A330 sungguh menyenangkan. Terbang melintasi Laut Kuning dan Laut China Timur berlangsung dengan turbulensi yang bisa dianggap tiada, tenang dan mulus tanpa hambatan. Itu mungkin salah satu keuntungan menunggang pesawat berbadan besar ketika menjelajah angkasa.

Usai taxiing beberapa menit, Air Asia D7 505 pun merapat di apron dan sesaat setelah pintu pesawat terbuka, aku pun memasuki bangunan KLIA2 melalui aerobridge. Aku kembali menjejak KLIA2 setelah sepuluh hari sebelumnya menyinggahinya untuk melompat ke Kaohsiung, Taiwan. Sungguh perasaan yang membahagiakan malam itu karena aku sudah berada dekat dengan rumah, hanya 2 jam 15 menit jauhnya lewat udara.

Dan bagiku singgah di KLIA2 akan lebih afdol jika keluar dari konter imigrasi, karena aku bisa menemukan banyak sajian kuliner di Gateway@klia2 mall daripada hanya berdiam diri di transfer hall.

Transit Pak Cik, ingin cari makan malam”, sapa ringanku pada seorang petugas imigrasi di hadapan.

Dari mane mau kemane?”, tanyanya sambil memeriksa paspor hijauku.

Dari Seoul, mau pulang ke Jakarta, Pak Cik

Oh…”, jawabnya singkat lalu mempersilahkanku untuk menghadap kamera dan melakukan sidik jari.

Menjelang tengah malam itu, sebetulnya lambungku sudah lebih dahulu dipenuhi oleh angin karena jadwal makan malam sudah lama lewat.Tetapi untuk melengkapi jadwal itu, aku memilih untuk menyegerakan langkah menuju tempat makan langganan. Adalah NZ Curry House yang merupakan restoran India yang terletak di Transportation Hub level 1 Gateway@klia2 mall.

Restoran langganan.

(pada kunjungan terakhirku di KLIA2 di akhir 2019 saat akan terbang ke Kochi-India, area restoran ini sedang mengalami renovasi, entah tutup atau sekedar diperbaiki).

Menu andalan yang sering kupesan ketika singgah di restoran ini adalah adalah nasi lemak dengan telur rebus serta secangkir teh O panas. Untuk menu tersebut biasanaya aku hanya mengeluarkan uang sebesar 6,5 Ringgit.

Sembari mengecap suap demi suap nasi lemak itu, aku faham bahwa setelahnya aku hanya akan menghabiskan malam di lantai 1 sambil menunggu esok tiba. Oleh karenanya, aku tak terburu-buru dalam menyantap hidangan sederhana itu.

Usai makan, aku menyempatkan berganti t-shirt di toilet dekat restoran dan kemudian naik sebentar ke level 2 untuk mencari oleh-oleh di Jaya Grocer. Bagiku, KLIA2 juga menjadi tempat favorit untuk mencari oleh-oleh jika tak sempat menyinggahi kota, kehalalan produk Malaysia yang 61% berpenduduk muslim menjadi jaminan tersendiri. Target utama belanjaku adalah kemasan Teh Tarik Aik Cheong untuk bisa kunikmati pada hari-hari bekerjaku di Ibu Kota nanti. Satu kemasan Teh Tarik Aik Cheong berisi 15 sachet kutebus dengan 13 Ringgit malam itu.

Setelah oleh-oleh kudapatkan, aku segera mencari spot untuk merebahkan diri di lantai 1 karena waktu telah menyentuh dini hari dan mata juga telah memerah seakan memintaku untuk segera memejamkannya.

Tak lama memilih, terlihat deret bangku kosong di Lantai 1 di sebuah pojok hall. Usai mengakuisisi, aku tertidur setengah lelap diatasnya hingga subuh nanti tiba.

Bagaimanapun itu, aku pantas berterimakasih pada keberadaan KLIA2 dalam sejarah panjang perjalananku berkeliling Asia.

Kisah Selanjutnya—->