Hanya dalam sekejap, Air Asia QZ 206 genap menyelesaikan taxiing di sepanjang landas pacu demi menggapai di salah satu sisi apron.
Sambutan aerobridge menyusul dengan terjulur perlahan belalainya hingga menempel di pintu pesawat. Beberapa saat kemudian, pesawat mulai mengalirkan penumpangnya menuju bangunan terminal.
Aku yang keluar dari pintu pesawat di antrian depan, langsung mengejar keberadaan ibu paruh baya yang kutemui di Soetta. Kemudian aku menyejajari langkahnya dan berinisiatif untuk membantu menarik trolley bagnya. Si ibu pun tersenyum mendapatkan pertolongan kecil yang kuberikan.
“Gede banget ya, A bandaranya”, wajah si ibu tampak menengok kesana-kemari.
“Masih gedean, Soekarno-Hatta, Bu”, aku sabar mengerem langkah demi terus sejajar dengan langkahnya.
Aku akhirnya mengantarkan ibu paruh baya itu hingga ke pintu transfer hall Kuala Lumpur International Airport Terminal 2 (KLIA 2).
“Ibu, silahan masuk ke transfer hall melalui pintu yang dijaga para petugas itu. Besok pagi dua jam sebelum waktu penerbangan, ibu harus mencari informasi di layar lebar seperti itu (aku menunjuk ke salah satu FIDS/Flight Information Display System)”, aku menjelaskan sambil berjongkok menyetarai tinggi badan si Ibu.
“Baik, A. Nuhun ya atas bantuannya. Ati-ati, A di jalan”, dia menjulurkan tangannya dan meminta bersalaman.
Aku menggapai tangannya dan melempar senyum untuk menenangkannya.
Selanjutnya aku pergi menuju sebuah escalator panjang ke arah atas demi menuju konter imigrasi. Tetapi sebelum benar-benar menaiki escalator itu, aku menghentikan sejenak langkahku di depan sebuah konter penjualan Traveller SIM. Aku memandangi konter Tune Talk yang dominan merah itu, melihat paket data yang ditawarkan. Paket data sebesar 15 GB dibanderol dengan harga 30 Ringgit. Sejenak aku bergumul dengan budget. Akhirnya aku memutuskan untuk mengindahkannya, aku memilih bertahan satu malam tanpa kuota data. Aku akan berfokus untuk beristirahat saja.
Konter Tune Talk SIM Card.
Konter Digi SIM Card yang tampak tutup pada jam 11 malam.
Escalator menuju konter imigrasi.
Aku melanjutkan langgkah menuju konter imigrasi dan berdiri di salah satu antrian yang menurutku terbilang sepi dari masa normal. Jantungku berdegup lebih kencang, mensinyalir rasa was-was yang mulai unjuk gigi.
“Hanya transit, Pak Cik”, aku memulai percakapan dengan petugas imigrasi sembari menyerahkan passport dan e-ticket Uzbekistan Airways kepadanya.
“Oooohhh…Transit, nak kemane?”, dia bertanya dengan wajah dingin.
“Tashkent, Pak Cik”, jawabku mantap demi memamerkan kepercayaan diri
“Oh, sendiri keh….Ada apa disane?”, dia mulai melunak
“Peninggalan sejarah Islam, Pak Cik….Ada makam Imam Bukhori di sana, Pak Cik”, aku mulai memamaerkan pesona Uzbekistan yang aku sendiri belum pernah melihatnya.
“Oh, ya….Perlu wang berape kesane?”, pertanyaannya mulai menggelitik
Aku berpikir sejenak untu merubah kurs Rupiah ke Ringgit
“4.000 sampai 5.000 Ringgit, Pak Cik”, aku masih menatap langit-lagit bandara demi menghitung angka.
“Oooooo….Banyaknyeeee”, petugas itu manggut-manggut.
Usai melakukan prosedur pengambilan sidik jari, petugas imigrasi itu mempersilahkan aku keluar dari konter imigrasi.
Aku merasakan bahagia tak terkira ketika bisa memasuki wilayah negara Malaysia tanpa hambatan yang berarti. Satu awalan baik yang mampu memberikan peneguhan hati bahwa dunia ini sudah baik-baik saja.
Melewati bagian akhir pemeriksaan barang, aku sempat menunjuk ke backpack yang kupanggul ketika menatap wajah petugas Aviation Security yang bertugas di screening gate yang terletak di satu area sebelum exit gate.
Dia mengangguk sebagai pertanda aku harus memasukkan backpack di screening gate.
Melaluinya dengan mudah, aku pun melewati exit gate dan memasuki area Gateway@KLIA2.
Usai menunaikan ibadah shalat dengan menjamak Maghrib dan Isya di sebuah mushola milik Terminal 3 Existing, aku menuju Gate 3 dan memutuskan untuk menunggu penerbangan di salah satu bangku sembari mengisi daya telepon pintarku.
“A, ini tujuan Kuala Lumpur, ya?”, seorang perempuan paruh baya tetiba bertanya dan duduk di sebelahku.
“Iya, Ibu….Boleh lihat tiket Ibu?”, aku menyidik ingin tahu. “QZ 206….Iya Ibu ini benar ke KL”.
“Oh berarti saya ga nyasar ya, A?…Ini pertama kali saya akan bekerja di Brunei”, dia bercerita dengan sendirinya.
“Loh, Ibu transit?”, aku terhenyak
“Iya….Nanti di KL saya harus bagaimana ya, A?”, dia menunjukkan kecemasan.
“Ga usah khawatir, Ibu, nanti ibu masuk ke tranfer hall saja di Kuala Lumpur, nanti saya tunjukkan, bu”, aku menenangkan.
“Aa juga ke ruangan transit ya?”, dia kembali bertanya tentang rencanaku.
“Saya memang transit Ibu, tapi saya mau keluar imigrasi dahulu karena penerbangan saya berikutnya berangkat dari Terminal 1, sedangkan kita akan turum di Terminal 2, Bu”, aku menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami.
“Oh begitu ya, A”, wajah ibu tersebut masih meyimpan kecemasan.
Lama bercakap-cakap, akhirnya panggilan untuk boarding benar-benar tiba. Mengantrilah aku di depan Gate 3 sembari menjaga ibu tersebut yang kuminta mengantri di depanku.
Beberapa saat kemudian aku tiba juga di kabin pesawat. Aku merangsek ke dalam demi mencari bangku bernomor 3B. Aku duduk di bangku tengah dan diapit oleh dua penumpang pria berkewarganegaraan Malaysia.
Duduk di barisan depan membuatku bisa memperhatikan awak kabin mempersiapkan segala sesuatu di cabin kitchen. Aku sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa wajah para pramugari yang memamerkan face painting, mereka tampak lebih cantik dan elegan.
Pemandangan apron Terminal 3 Soetta.
Memasuki pintu kabin Air Asia QZ 206.
Sistem acak pemilihan free seat membuatku duduk ke baris depan….Nikmati saja lah ya.
Di sisi lain, sesaat aku merasa terharu karena malam itulah pertama kalinya, aku menaiki pesawat menuju ke luar negeri setelah sekian lama dunia dihantam badai pandemi COVID-19. Sedangkan rasa lain yang tersimpan di hati adalah kekhawatiran tentang keberadaanku di Kuala Lumpur International Airport jika pesawat sudah mendarat beberapa waktu kemudian.
Pertanyaan-pertanyaan dalam hati mulai muncul….Apakah aku akan mendapatkan masalah terkait dengan pembatasan mobilitas di sana, apakah ada hambatan lain terkait prosedur kesehatan, atau kekhawatiran lain yang merupakan akumulasi dari overthinkingku sendiri.
Aku berusaha melawan semua rasa itu selama penerbangan….Perlahan aku harus mengumpulkan keberanian demi perjalanan panjangku yang sudah ada di depan mata.
Malam itu perjalanan menuju Kuala Lumpur berlangsung mulus tanpa turbulensi berarti. Airbus A320-200 menembus langit malam selama dua jam lebih tanpa hambatan berarti.
Mendekati titik akhir penerbangan….
Hatiku berdebar ketika sang pilot menyampaikan perintah kepada awak kabin untuk bersiap melakukan pendaratan.
“Saatnya untuk memulai petualangan lagi di negeri orang”, aku menguatkan hati.
Sesaat kemudian….
Bunyi khas ketika roda raksasa dikeluarkan dari badan pesawat mulai terdengar, goyangan kecil kiri-kanan untuk menyeimbangkan badan pesawat mulai terasa dan akhirnya hentakan roda di landas pacu terdengar, pesawat sudah berada di runway Kuala Lumpur Internatioanal Airport Terminal 2 dan berlanjut melakukan taxiing demi menghantikan pesawat di salah satu sisi apron.
Sejenak aku mengintip ke jendela pesawat dan memperhatikan lekuk-lekuk indah bangunan bandara yang sudah lama sekali tidak kukunjungi.
Aku merindukan pemandangan ini setelah terjeda tiga tahun lamanya.
KLIA2….You are so beautiful.
Tetapi kemudian aku teringat sesuatu….aku reflek menoleh….menengok dua bangku ke belakang….Ya, Ibu paruh baya itu….Aku harus menolongnya…..
All night my sleep was interrupted by the snoring of a guest who was fast asleep to the right of my bed. Not only myself, but I could also feel the protests of a guest who slept right under a snoring guest’s bunk bed. Over and over again I could feel him hitting the bottom of the bunk bed where a snoring guest was sleeping. Maybe he felt the same way. Upset….Because he couldn’t sleep well.
Feeling unwell, I decided to just wash my body under the hot shower in the shared bathroom. A splash of warm water could at least relax every inch of my body which wasn’t one hundred percent fresh that morning.
That morning, I had to pack all the equipment back into my backpack and then leave it at the reception desk. My stay ended at noon and at that time, I was still downtown.
After taking a shower and tidying up my backpack, I headed to the reception to check out, returned the locker key, and took the deposit. Luckily, the reception staff from Egypt was already at his desk making it easier for me to speed up the process because I had to catch the Go KL City Bus departure as early as possible.
My backpack had been neatly stored and I rushed down the stairs to get out of the inn. Once outside, I immediately looked for a seat on the terrace of shops that were still closed for breakfast. Breakfast this time was still the same as last night’s dinner menu….Yup, I could still rely on oat powder. To be honest, I already ran out of Ringgit that morning, I only had Ringgit left to take the airport bus this afternoon and have a modest dinner at KLIA2.
From this, it could be concluded that I would go around the city without spending even the slightest bit of money….Yes, I would never spend it.
Luckily, the streets were still quiet. This situation certainly reduced the burden of embarrassment when I had to sip spoon after spoonful of oat powder wet with a splash of mineral water.
Thank God breakfast was over….The adventure began.
I headed to the Pasar Seni Bus Hub to look for the Go KL City Bus Purple Line. The free purple line bus would take me to the KL Tower complex.
KL Tower is a telecommunication transmitter tower, broadcasting tower, altitude culinary tour, and city viewpoint from above.
From a distance, I saw clearly that the bus was already in position. So as soon as I arrived at the platform, I just got on it from the front door. Only a few passengers were already occupying the seats. This was what makes me have to wait about ten minutes….At least to fill the empty seats with passengers who were slowly arriving.
At eight in the morning, the Go KL City Bus Purple Line finally departed….
While sitting, I thought that KL Tower was a tall building, so I just relaxed. Of course, I only needed to stop at any bus stop near the KL Tower building which would be visible from a distance because it was so high.
The Go KL City Bus slowly ran in Sultan Street to leave the Pasar Seni area. As soon as I arrive along Raja Chulan Street, KL Tower was visible from the bus window. I just needed to make sure when to get off at the nearest bus stop. Several times the Go KL City Bus stopped at the bus stop, but I still couldn’t get off. I still hoped that the bus would stop at a shelter that was closer to KL Tower.
That was the bus with free service.
The interior was nice and clean of course.
There was an exception, instead of getting closer, the Go KL City Bus was getting farther and farther away from KL Tower. “Ahhhh, damn….I’d gone too far and instead of slowing down the bus was getting faster and faster”, I leaned against the bus window. Due to that stupidity, I just gave up following where the Go KL City Bus went. I decided to return to the Pasar Seni and repeated the journey from scratch….Too bad.
After 40 minutes of travel, the Go KL City Bus finally arrived at Pasar Seni.
“Ridiculous….”, I cursed myself.
Now I got off the Go KL City Bus and moved to the bus in the front which was ready to depart. Luckily for me, the Go KL City Bus left immediately when a few seconds earlier I stepped inside.
Now I put on a wary attitude when sitting on one of its seats. I would decide to just get off when I saw that KL Tower could reach within walking distance.
That moment has arrived….
The bus stopped at a bus stop and I jumped down from the middle door.
“THE WELD….”, I read the signboard on a skyscraper that stood right behind the bus stop where I got off.
Now I was on Raja Chulan Street and THE WELD itself is a 26-story office complex located 800 meters east of KL Tower.
From THE WELD, I cut off P. Ramlee street to then took fifty steps into a smaller street, Puncak Street. This was the main road to get to the KL Tower which was built on higher ground.
Panting for a quarter of an hour, finally I arrived at the courtyard of KL Tower. Back in 2014, I had the opportunity to cross this tower when I tried the KL Hop On Hop Off to get around the city. Only, at that time I went down for less than five minutes to see it. This was all because KL Hop On Hop Off rushed to explore the city.
THE WELD….Besides offices, there is also a modern supermarket.
Taking the Peak Road.
That time I would be a little longer in enjoying the charm of this communication tower that wasn’t less than a quarter of a century old. How could I not be happy, when I finally had the opportunity to enjoy the beauty of a tower whose height was included in the ranks of the ten tallest towers in the world?
The uniqueness that could be seen for the first time was the roof of the basic building which used a series of tapering patterns. My mind then referred to the roof of the Sydney Opera House. Meanwhile, at the upper end between the mast and the antenna, there was a round building that was the center of broadcasting, telecommunication, restaurant, observation deck, and sky deck activities.
As far as I knew, to enjoy the observation deck, visitors must pay 49 Ringgit….While the sky deck tour price reached 99 Ringgit….Woouuooww.
I stepped towards the KL Tower entrance gate to see the activity there up close. Of course, I won’t go up to the top for a tour, it’s too expensive for a visitor like me who just stopped by in Kuala Lumpur.
It wasn’t that crowded, so far only a few European tourists decided to buy tickets and went up to the top of the tower, while I just watched the remnants of the programming competition that was held the day before yesterday. The competition was titled HR Hackathon.
Shifting to the right of the tower, there was another attraction. On that side stood a ticket sales counter for visiting the KL Tower Mini Zoo (KLTMZ). Existing information boards said that KLTMZ contains no less than fifty native and exotic species. And to see these unique species, visitors needed to spend up to 30 Ringgit.
Move again towards the front of the tower. There was a KL Tower F1 Zone which provided a Formula One simulator for the public. Visitors could feel the sensation of driving the land jet by paying 20 Ringgit for six minutes of driving in the simulator. The walls of the KL Tower F1 Zone were bright red, in harmony with the colors of one of the leading racing teams in Formula One’s premier racing event. It’s just that, when I visited KL Tower, the KL Tower F1 Zone was still closed. Maybe I arrived too early.
Oh yes, the KL Tower F1 Zone was also equipped with a Formula One Cafe & Mart…
But just looking at the cafe & mini market from outside for a moment, I saw the arrival of the white KL Hop On Hop Off with the upper deck partly open. Suddenly I ran towards it, it’s been six years since I’ve ever met up close with that tour bus. It turned out that in the courtyard of the tower, there was a KL Hop On Hop Off shelter. No wonder the tour bus stopped to drop off the tourists.
The Entrance gate of KL Tower .
The Ticketing Counter of KL Tower Mini Zoo.
KL Tower F1 Zone.
It was at this spot that I took some pictures of tourists from Surabaya.
Foreign tourists often called it the KL Forest Eco Park.
It didn’t take long to stop, dropping only 5 tourists, the bus stepped on its gas pedal again. But not long after, there was a familiar accent when the five female tourists were talking to each other after getting off the bus. “That’s the Surabaya accent….”, I concluded. I decided to say hello and spoke for a while. I hadn’t met Indonesians for four days, so there was nothing wrong with speaking for a moment. Because of that incident, I knew that the five were female workers who were traveling to Kuala Lumpur. From our conversation too, I knew that they were working in Penang.s
As usual, Indonesians always have their characteristics. They finally asked me to take a photo with the KL Tower as a background.
I? ….Yes, of course, I also asked to be photographed….I was originally from Indonesia….The Republic of Indonesia exactly…Hahaha
I was at the end of a visit to KL Tower. To close this short visit, I entered the front half area of KL Jungle Eco Park. Formerly known as the Hutan Simpan Bukit Nanas, it was one of Malaysia’s oldest permanent forest reserves. To enter this forest reserve visitors must be willing to spend 40 Ringgit.
The time marker showed half past eleven when Malaysia Airlines MH 724 landed at Kuala Lumpur International Airport. I took a deep breath when the plane was perfectly parked in the apron, it was because the connecting flight Malaysia Airlines MH 1326 would only fly to Kuala Terengganu on 07:25 hours next day. That means, for the next nine hours I had to spend all night at KLIA.
Overnight at KLIA2….Have you ever?….Yes, I was twelve times already, I tasted the “hard mattress” of KLIA Terminal 2
Overnight at KLIA?….Have you ever?….Nup, this was my first time staying at KLIA Terminal 1.
While walking in arrival hall, I took a boarding pass which I got from Soetta airport’s check-in desk. After I looked at it, the boarding pass I was holding didn’t show the gate number. Therefore, I tried to find flight status information in Flight Information Display System (FIDS) located at arrival hall….Finally, I got the gate number….Yupz,A5.
So that was…. There was already a gate status.
So that tomorrow morning I won’t have to find the gate, I also intend to rehearse to find a way to the gate in question. From the International Concourse at level 4, I went down one level to Domestic Concourse. Please note that domestic flights at KLIA are flown from gate A and gate B, while international flights are flown from gate C, gate G and gate H.
My rehearsal was forced to end in front of the immigration counter, but at least I understood how I had to go to the gate tomorrow morning.
Domestic Concourse atmosphere.
From in front of the immigration counter, I was forced to climb back up to International Concourse to find a place to close my eyes.
Meanwhile, a few minutes into the middle of night, I was sitting on one of International Concourse’s seats when a couple of middle-aged tourists approached and took the empty seat to my left.
“Helloo, Sir, where are you come from?”, I ventured to say hello.
“Hi, I’m from Algeria”.
“Oh I know, it’s a country in north of Africa”, I tried to make the conversation warmer.
“Ohhhh….yeaaa….yeaaaa, you know that. I will go home tomorrow and will transit in Doha”, he started to tell about their travel plans.
“Oh, Doha will be the last destination in my traveling this time”, I started to relate my trip to their trip so that the conversation would be more intense.
“Oh, good. What is your traveling for?….Business?”
“Oh, no. it’s just for tourism. I’m Donny from Indonesia and Oh yeaaa, what is your name, sir?”
“Oh, I’m Younes and she is my wife”
“Hi, Donny, nice to meet you”, Mr. Younes’ wife also greeted me
“Hi, Madam. Nice to meet you too”
“Donny, let’s we have dinner together!” Mr. Younes took out four burgers from a paper bag that his wife had brought with him.
“Thank you, Sir. I had dinner since from Jakarta”, I gently refused.
“No No No…. It’s different, It’s to accompany us while talking about our traveling”, he forced me to accept a piece of burger that was still warm.
As a result the three of us were talking to each other while enjoying a burger together. And when we finished eating the simple dish, they said goodbye to go to the gate.
But…..Before the two of them left their seats, Mr. Younes’s wife handed me one last burger.
“It’s for you, Donny. Just take it, we are moslems, we are family”
“It’s really, I think you need it more in your journey, Mam”, I subtly declined.
“No, Donny, It’s for you”, she came closer sticking the burger in front of me
“Thank you, Mam. Allah is always with you”, finally I couldn’t resist it.
“Amen, Good night, Donny, Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam”
Very pleasant meeting in the early hours of that morning. I put the warm burger in my backpack. I’d better save it for breakfast tomorrow.
After the meeting, I decided to change places to find a row of empty seats to sleep while straightening my body so I could close my eyes comfortably.
For most travelers, Kuala Lumpur International Airport becomes the most fantastic point to jump into other Asian countries. Of course, the existence of Air Asia’s Low Cost Carrier (LCC) makes it so. Since 2001, Air Asia has been providing travelers with low-cost access to travel around Asia. Thanks to Air Asia, I have stopped at KLIA for 21 times when exploring Asia.
But in this story. it was eighth stopover….Yup, this was the eighth time I set foot in Kuala Lumpur International Airport.
After ten o’clock at night, the giant wheel of Air Asia D7 505 gently touched against KLIA2’s runway. The 5 hour 50 minute journey from Seoul was over. My first impression of tasting the wide body Airbus A330 was really pleasant. Flying across Yellow Sea and East China Sea took place with virtually non-existent turbulence, calm and smooth without a hitch. That was probably one of the advantages of riding a large plane when exploring sky.
After taxiing for a few minutes, Air Asia D7 505 was stopped in apron and as soon as the plane door opened, I entered KLIA2 building via aerobridge. I returned to KLIA2 after ten days before stopping by at it before jump to Kaohsiung, Taiwan. It was such a happy feeling that night because I was already close to home, only 2 hours 15 minutes away by air.
And for me, stopping at KLIA2 would be more convenient if I left immigration counter, because I could find many culinary offerings at Gateway@klia2 mall instead of just sitting in transfer hall.
“Transit, Sir. I want to find food for dinner”, I lightly greeted an immigration officer in front.
“Where are you going?”, he asked while checking my green passport.
“From Seoul, want to go back to Jakarta, Sir”
“Oh…”, He briefly answered and then ordered me to face the camera and do fingerprints. By midnight that night, actually my stomach was already filled with wind because the dinner schedule had long passed. But to complete the schedule, I chose to hasten my steps towards a restaurant. It was NZ Curry House which was an Indian restaurant located at Transportation Hub level 1 Gateway@klia2 mall.
Subscribed restaurant.
(On my last visit at KLIA2 at the end 2019 when I was about to fly to Kochi-India, this restaurant area was undergoing renovations, either closed or just being repaired).
The mainstay menu which I often order when I stopped at this restaurant was “Nasi Lemak” with boiled eggs and a cup of hot O tea. For that menu, I usually only spend 6.5 Ringgit.
While tasting spoon by spoon of Nasi Lemak, I understood that after that I would only spend the night on the 1st floor while waiting for tomorrow to arrive. Therefore, I wasn’t in a hurry to eat my simple dish.
After eating, I took the time to change into a t-shirt in the toilet near restaurant and then went up for a while to level 2 to look for souvenirs at Jaya Grocer. For me, KLIA2 was also a favorite place to look for souvenirs if I didn’t have time to stop by in downtown, the halalness of Malaysian products, which were 61% of its citizen was Muslim, was a guarantee in itself. My main shopping target was the packaging of “Teh Tarik Aik Cheong” so I could enjoy it in my working days in my homeland’s capital. A package of Teh Tarik Aik Cheong contained 15 sachets I redeemed for 13 Ringgit that night.
After I got souvenirs, I immediately looked for a spot to lay down in 1st floor because that time had touched the dawn and my eyes had also turned red as if asking me to immediately close them.
Shortly after choosing, there were rows of empty seat in 1st floor in a corner of hall. After acquiring it, I felt half asleep on it until dawn.
However, I deserved to be grateful for KLIA2’s presence in my long history of traveling around Asia.
I sat at one of seats near gate 112 belonging to Satellite Concourse Building Incheon International Airport after a few minutes before being transferred by shuttle train from Terminal 1. Boarding time was only half an hour away, so I couldn’t take the risk to explore the entire airport terminal building.
I prefered to watch airplanes fly by. Some of them seemed to focus in landing their wheels at airport’s runway and others seemed to be queuing up to get permission from Air Traffic Controller (ATC) to fly. I often did this habit because of my interest in aircraft and aviation industry. From this habit of observing, it wasn’t uncommon for me to find the names of new airlines which in the future I usually targeted them to enjoy their services in traveling around world.
For me, that day was very special in my travel history, because Air Asia D7 505 would be my first trip using a large aircraft. If in previous flights I had always ridden a small aircraft, such as an Airbus A320 or Boeing 737, but that time I would ride an Airbus A330 with 9 columns of seats…. That afternoon really created curiosity and impatience.
Half an hour later, the gate actually opened. I started to take a position in the right column of queue.
“Just give duty free shopping to mom, let mom hold it,” a male passenger shouted in Indonesian language to his son who was carrying two large bottles of alcoholic drinks. Hearing the language of my nation while in another country was indeed a special gift that could help raise the mood to always feel close to home. That time at my left was an Indonesian citizens of Chinese descent who also seemed to be on their way home.
“Which city are you come from, Sir?”, I ventured to ask.
“Oh, you’re from Indonesia too? I’m from Bekasi, Sir.”
“Oh, I’m from East Jakarta, Sir”.
“Oh, our home are close. What kind of business do you do, Sir in Jakarta?”
“I just work in a company, sir, in Jakarta. Not doing business”
“Oh, is that so, are you alone, Sir?”
“Yes, Sir”
“Wow cool….cool…”
Our conversation didn’t last long because our meeting had to end when a ground staff checked our tickets and passports. After that we were separated in a long aerobridge.
At the end of aerobridge, I was greeted by a Malay-looking flight attendant at plane door and I was directed to turn towards front cabin. According to my boarding pass, I looked for seat numbered 14K which turned out to be positioned in right side of window seat. That was the seat which I had to enjoy during the long flight later.
Oh yes, my flight number that time was D7 505. Do you want to know the meaning of code?….
If QZ was the flight code operated by Indonesia Air Asia and AK was the flight code for Air Asia Malaysia, then D7 was the flight code belonging to Air Asia X specifically for long-haul flights.
D7 505 itself was a flight of 5,000 kilometers with a travel time of 5 hours 50 minutes. The flight started from Incheon International Airport, South Korea and would end at Kuala Lumpur International Airport 2, Malaysia.
Hmmm…..During the flight….
Turns out, the window seat I was in was uncomfortable because the curve of airplane cabin limited my comfort during the flight. While flying in economy class, I could only pass the time by flipping through Travel 360, which was Air Asia’s inflight magazine. When my eyes get tired of reading, then I continued to spend time with closing my eyes. Luckily, the packaged almonds I bought at Namdaemun Market a day before made my flight a little less boring.
Half of the flights in light conditions allowed me to freely enjoy the views of Yellow Sea and East China Sea, while the rest of the flights continued in complete darkness where I couldn’t do much. Until finally the plane arrived in Kuala Lumpur around ten at night.
After the flight, I still had to go through the last leg of my journey to explore East Asia by staying for 9 hours at Kuala Lumpur International Airport 2 before returning to my homeland on the next day using Air Asia AK 382 connecting flight.
Akan sedikit lebih lama menempuh jalur gratis menuju penginapan dibandingkan menunggangi LRT Laluan Kelana Jaya. Tetapi demi menebus ketiadaan Ringgit, aku memutuskan untuk mengeteng saja dan memanfaatkan jasa Go KL City Bus.
Bergegas meninggalkan KLCC Park, aku melangkah menuju halte bus KLCC yang terletak tepat di depan Suria KLCC. Tiba di bawah naungan halte, deretan armada “Perkhidmatan Bas Percuma*1)” jalur hijau telah menunggu para penumpangnya.
Aku menunggangnya untuk menggapai titik pertukaran antar jalur, yaitu halte bus Pavilion. Dari situlah aku akan menangkap Go KL City Bus jalur ungu demi menggapai Pasar Seni Bus Hub, halte bus terdekat dari penginapanku, yaitu The Bed Station.
—-****—-
Mengendap-endap curang, aku menaiki tangga The Bed Station dengan penuh harap tak terpergok resepsionis ketika melintas di depan pintunya. Itu karena aku sudah men-check out masa inapku tadi pagi, tetapi kali ini, aku memaksakan diri untuk mandi di kamar mandi bersama lantai 3.
Aku sukses melewati ruang resepsionis di lantai 2, sekelebat kulihat staff resepsionis itu sedang sibuk melayani tamu-tamu penginapan yang tampak berdatangan, memang aku tiba ketika masa-masa check-in telah dibuka.
Bergerak cepat, aku segera mandi untuk meluruhkan segenap keringat setelah sedari pagi tadi berkeliling kota.
Begitu selesai berbasuh, aku segera turun ke meja reception untuk mengambil backpack yang telah kuititipkan sedari pagi.
Penuhnya antrian di meja resepsionis membuatku tak terlihat ketika baru turun dari lantai atas yang sebetulnya sudah bukan menjadi hak bagiku untuk menaikinya lagi, apalagi untuk beraktivitas apapun di lantai itu….Dasar, Donny.
—-****—-
Berhasil mendapatkan backpack, aku bergegas melangkah menuju Stasiun LRT Pasar Seni yang berjarak hanya 200 meter dari penginapan.
Begitu tiba, aku bergegas menuju automatic vending machine untuk bertukar 1,3 Ringgit dengan token bulat berwarna biru. Token itulah yang akan menggaransiku untuk bisa berpindah menuju KL Sentral.
LRT Laluan Kelana Jaya bergerbong empat tiba menjemputku di platform lantai dua, untuk kemudian aku larut dalam putaran roda kereta menuju KL Sentral yang jaraknya tak berselang satu stasiun pun.
Dalam 15 menit, aku tiba di KL Sentral….
Menuruni escalator aku tiba di lantai satu dan tanpa berfikir panjang segera bergegas menuju basement level. Aku punya satu keuntungan bahwa segenap denah KL Sentral telah kuhafal di luar kepala, setidaknya sudah tujuh kali aku menyambangi transportation hub kenamaan Negeri Jiran tersebut. Hal itulah yang membuatku dengan mudah menggapai konter penjualan tiket Aerobus.
Aku menyerahkan 12 Ringgit untuk mendapatkan selembar tiket menuju bandara.
—-****—-
Seperempat jam lewat dari pukul empat sore….
Setelah menempuh perjalanan 45 menit, aku tiba di lantai 1 Kuala Lumpur International Airport Terminal 2. Aku diturunkan di salah satu platform di transportation hub di Gateway@klia2..
Walaupun penerbanganku akan berlangsung pukul sembilan malam, hal itu tak menyurutkan langkahku untuk segera menuju lantai 3 untuk melihat informasi penerbangan lebih detail. Seperti biasa, aku selalu detail dan strict perihal jadwal terbang, setidaknya sore itu aku harus mengetahui di check-in desk nomor berapa aku akan menukar e-ticket dengan boarding pass serta di gate berapa pesawatku akan di lepas.
Senyum tipis tak bisa kusembunyikan dari bibir ketika aku berhasil mendapatkan informasi itu di LCD raksasa lantai 3.
“Jam 17:20, ternyata….”, aku membatin ketika mengetahui kapan check-in desk akan dibuka.
Aku memutuskan untuk melakukan shalat jamak takhir di surau lantai 2 dan tentu berencana mencari makan malam setelahnya.
Tak seperti biasanya ketika aku mencari makan di KLIA2. Sore itu restoran langganan yang menyajikan makanan murah khas India sedang tutup. Adalah NZ Curry House yang lokasinya tertutp oleh papan-papan renovasi..
Tapi aku tak ambil pusing….
Pada 2015, aku pernah makan di sebuah food court yang berlokasi di lantai 2M. Aku sedikit lupa posisi food court itu. Tapi aku berniat mencarinya hingga ketemu. Ada restoran ala padang yang menawarkan makanan murah di food court tersebut.
“Itu dia….”, aku bersorak dalam hati ketika melihat food court itu dari kejauhan.
“Quizinn by RASA….”, aku melafal nama medan selera*2)tersebut.
“Restoran Padang Kota Group….”, yupzzz aku melihat restoran yang kucari.
Kiranya tak bisa berlama-lama, aku menuju restoran ala padang itu kemudian mencari menu sesuai dengan kondisi dompet. Inilah saat dimana Ringgitku akan habis.
Lima belas menit sebelum check-in akhirnya aku bisa menikmati seporsi nasi seharga 5,9 Ringgit. Inilah nasi yang kumakan setelah terakhir aku memakannya kemarin siang.
Lantai 2 Gateway@klia2.
Pemandangan dari Gateway@klia2 Lantai 2M.
Beberapa restoran di Gateway@klia2.
Nah, itu dia Quizinn by RASA food court.
Menuku malam itu: Nasi putih, telur rebus kandar dan sayuran.
Mengambil sebuah tempat duduk, aku menikmati makan malam itu dengan khusyu’ untuk kemudian bersiap diri melakukan penerbangan lagi.
Apakah aku akan pulang?….
Tidak….Justru petualangan sesungguhnya baru akan dimulai.
Aku akan terbang menuju sebuah kota di selatan India….KOCHI.
Semalaman tidurku terinterupsi oleh dengkuran seorang penginap yang terlelap pulas di sebelah kanan ranjang. Tak hanya diriku, aku pun bisa merasakan protes dari seorang penginap yang tidur persis dibawah bunk bed. Berkali-kali aku bisa merasakan, dia menghantam dasar bunk bed yang kutiduri. Mungkin dia merasakan hal yang sama. Kesal….Karena tak bisa tidur dengan nyenyak.
Merasa tak enak badan, kuputuskan saja untuk mengguyur tubuh di bawah shower air hangat di kamar mandi bersama. Guyuran air hangat setidaknya bisa merelaksasi setiap inchi tubuh yang pagi itu sedang tak seratus persen segar.
Pagi itu juga, aku harus mengepack kembali semua perlengkapan ke dalam backpack untuk kemudian harus menitipkannya ke meja resepsionis. Waktu menginapku purna tengah hari nanti dan saat itu pula, aku memastikan diri masih berada di pusat kota.
Usai mandi dan merapikan backpack, menujulah aku ke resepsionis untuk check-out, mengembalikan kunci locker dan mengambil uang deposit. Beruntung, staff resepsionis dari Mesir itu sudah berada di meja kerjanya sehingga memudahkanku untuk menyegerakan proses karena aku harus mengejar pemberangkatan Go KL City Bus sepagi mungkin.
Backpack telah tersimpan rapi dan aku bergegas menuruni anak tangga untuk keluar dari penginapan. Sesampai di luar, aku segera mencari tempat duduk di teras pertokoan yang masih tutup untuk bersarapan. Sarapan kali ini masih saja sama dengan menu dinner semalam….Yups, serbuk oat masih bisa diandalkan. Jujur saja, aku sudah kehabisan Ringgit pagi itu, hanya ada Ringgit tersisa untuk menaiki airport bus sore nanti dan makan malam sekedarnya di KLIA2.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa aku akan berkeliling kota tanpa keluar biaya sedikitpun bahkan seringgit sekalipun….Ya, tak akan pernah kukeluarkan.
Beruntung sekali, jalanan masih sepi. Keadaan itu tentu mengurangi beban malu ketika harus menyesap sendok demi sendok bubuk oat yang basah oleh guyuran air mineral.
Aku melangkah menuju ke Pasar Seni Bus Hub untuk mencari keberadaan Go KL City Bus Purple Line. Bus gratis jalur ungu itulah yang akan mengantarkan ke kompleks KL Tower.
KL Tower adalah menara pemancar telekomunikasi , menara penyiaran, wisata kuliner ketinggian dan wisata sudut pandang kota dari atas.
Dari kejauhan, aku melihat jelas bahwa bus itu sudah berada di posisi. Jadi begitu tiba di platform, aku langsung saja menaikinya dari pintu depan. Baru sedikit penumpang yang sudah menduduki bangku. Hal inilah yang membuatku harus menunggu sekitar sepuluh menit….Setidaknya untuk mengisi bangku-bangku kosong dengan penumpang yang perlahan berdatangan.
Pukul delapan pagi, Go KL City Bus Purple Line akhirnya berangkat jua….
Dalam duduk aku berfikiran bahwa KL Tower adalah bangunan yang tinggi, jadi aku merasa santai saja. Tentunya aku hanya perlu berhenti di halte manapun di dekat banguan KL Tower yang akan tampak dari kejauhan saking tingginya.
Go KL City Bus perlahan menyisir Jalan Sultan demi meninggalkan daerah Pasar Seni. Begitu tiba di sepanjang Jalan Raja Chulan, KL Tower sudah terlihat jelas dari kaca bus. Hanya saja aku perlu memastikan kapan harus turun di halte terdekat. Beberapa kali Go KL City Bus berhenti di halte pemberhentiannya, tetapi aku tetap saja bebal tak kunjung turun. Aku masih berharap bahwa bus akan berhenti di halte yang lebih dekat dari KL Tower.
Itu dia bus dengan layanan percuma*1)
Interiornya bagus dan bersih tentunya.
Terjadilah pengecualian, bukannya tambah mendekat, Go KL City Bus semakin lama semakin menjauhi KL Tower. “Ahhhh, sial….aku sudah kebablasan dan bus bukannya melambat tetapi semakin kencang”, aku bersandar lemas di kaca bus. Akibat kebodohan itu, aku hanya pasrah mengikuti kemana Go KL City Bus pergi. Aku memutuskan kembali ke Pasar Seni dan mengulang lagi perjalanan dari nol….Parah.
Dalam perjalanan 40 menit, akhirnya Go KL City Bus tiba kembali di Pasar Seni.
“Konyol….”, aku mengutuk diriku sendiri.
Kini aku turun dari Go KL City Bus dan berpindah ke bus terdepan yang sudah siap berangkat. Beruntungnya diriku, Go KL City Bus langsung berangkat ketika beberapa detik sebelumnya aku melangkah masuk.
Kini aku memasang sikap waspada ketika duduk di salah satu bangku. Aku akan memutuskan untuk langsung turun saja ketika melihat KL Tower bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Pucuk dicinta ulam pun tiba….
Bus berhenti di sebuah halte dan aku pun melompat turun dari pintu tengah.
“THE WELD….”, aku membaca signboard pada sebuah gedung pencakar langit yang berdiri tepat dibelakang halte tempatku turun.
Kini aku berada di Jalan Raja Chulan dan THE WELD sendiri adalah kompleks perkantoran 26 lantai yang berada 800 meter di timur KL Tower.
Dari THE WELD, aku memotong Jalan P. Ramlee untuk kemudian dalam lima puluh langkah masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil, bernama Jalan Puncak. Inilah jalan utama untuk menuju KL Tower yang dibangun di tempat yang lebih tinggi.
Terengah-engah selama seperempat jam, akhirnya tiba juga di pelataran KL Tower. Sebetulnya pada tahun 2014 silam, aku berkesempatan melintas di menara ini ketika menjajal KL Hop On Hop Off untuk berkeliling kota. Hanya saja, kala itu aku hanya turun kurang dari lima menit untuk melihatnya. Ini semua karena KL Hop On Hop Off terburu-buru untuk menjelajah kota.
THE WELD….Selain perkantoran, ada pasar swalayan modernnya juga loh.
Meniti Jalan Puncak.
Kali ini aku akan sedikit lebih lama dalam menikmati pesona menara komunikasi yang berusia tak kurang dari seperempat abad itu. Bagaimana tidak bahagia, ketika akhirnya aku berkesempatan menikmati keindahan menara yang ketinggiannya masuk ke dalam jajaran sepuluh menara tertinggi di dunia.
Keunikan yang pertama kali bisa dilihat adalah atap bangunan dasar yang menggunakan deretan pola meruncing, pikiranku lalu merujuk pada runcingan-runcingan atap Sydney Opera House. Sedangkan pada bagian ujung atas antara tiang dan antena terdapat bangunan membulat yang merupakan pusat dari kegiatan broadcasting, telekomunikasi, restoran, observation deck dan sky deck.
Sepengetahuanku untuk menikmati observation deck, pengunjung harus mengeluarkan biaya sebesar 49 Ringgit….Sedangkan harga wisata sky deck mencapai 99 Ringgit….Woouuooww.
Aku melangkah menuju entrance gate KL Tower untuk melihat aktivitas di sana dari dekat. Tentu aku tak akan naik ke atas untuk berwisata, terlalu mahal untuk pengunjung sepertiku yang hanya sekedar singgah saja di Kuala Lumpur.
Tak begitu ramai, sedari tadi hanya beberapa turis Eropa yang memutuskan untuk membeli tiket dan naik ke atas menara, sementara aku hanya mengamati sisa-sisa kegiatan kompetisi pemrograman yang diselenggarakan kemarin lusa. Kompetisi itu bertajuk HR Hackathon.
Bergeser ke kanan menara, ada atraksi lain ternyata. Di sisi itu berdirilah konter penjualan tiket untuk berkunjung ke KL Tower Mini Zoo (KLTMZ). Papan informasi yang ada mengatakan bahwa KLTMZ menyimpan tak kurang dari lima puluh spesies asli dan eksotis. Dan untuk melihat spesies-spesies unik itu maka pengunjung perlu merogoh kocek hingga 30 Ringgit.
Berpindah lagi menuju arah depan menara. Tersedia KL Tower F1 Zone yang menyediakan simulator Formula One untuk umum. Pengunjung bisa merasakan sensai mengendarai jet darat itu dengan membayar sebesar 20 Ringgit untuk enam menit mengemudi di simulator. Dinding KL Tower F1 Zone ini berwarna merah menyala, menyeleraskan diri dengan warna salah satu tim balap terkemuka di ajang balapan premier Formula One. Hanya saja, saat aku mengunjungi KL Tower, KL Tower F1 Zone itu masih tutup. Mungkin aku tiba terlalu pagi.
Oh ya, KL Tower F1 Zone ini juga dilengkapi dengan Formula One Cafe & Mart loh….
Tetapi baru sejenak melihat seisi cafe & minimarket dari luar ruangan, aku melihat kedatangan KL Hop On Hop Off warna putih dengan deck atas sebagian yang terbuka. Sontak aku berlari menujunya, sudah enam tahun lamanya aku tak pernah bersua dari dekat dengan bus wisata itu. Ternyata di pelataran menara terdapat shelter KL Hop On Hop Off. Pantas saja bus wisata itu berhenti untuk menurunkan para wisatawan.
Entrance gate KL Tower.
Ticketing Counter KL Tower Mini Zoo.
KL Tower F1 Zone.
Di spot inilah rombongan Surabayan itu aku foto.
Wisatawan asing sering meyebutnya dengan KL Forest Eco Park.
Tak lama berhenti, hanya menurunkan 5 wisatawan, bus itu tancap gas kembali. Tetapi tak lama kemudian, ada sebuah logat yang tak asing di telinga ketika kelima wisatawan wanita itu saling bercakap usai menuruni bus. “Itu logat Surabaya….”, aku menyimpulkan. Aku memutuskan diri untuk menyapa dan bercakap sejenak. Sudah empat hari lamanya aku tak bersua dengan orang Indonesia, tak ada salahnya untuk berbincang sejenak. Atas peristiwa itu, aku tahu bahwa kelimanya adalah Tenaga Kerja Wanita yang sedang berwisata ke Kuala Lumpur. Dari percakapan kami pula, aku tahu bahwa mereka sedang bekerja di Penang.
Seperti biasa, orang Indonesia selalu memiliki ciri yang khas. Mereka akhirnya memintaku untuk mengambil foto dengan latar KL Tower.
Aku? ….Ya tentulah aku meminta juga untuk dipotret….Kan aku orang asli Indonesia….NKRI harga mati.
Aku sendiri sudah berada di ujung kunjungan ke KL Tower. Untuk menutup kunjungan singkat ini, aku memasuki setengah area depan dari Taman Eko Rimba KL. Dahulu taman ini dikenal dengan sebutan Hutan Simpan Bukit Nanas, yang merupakan salah satu cagar hutan permanen tertua di Malaysia. Untuk memasuki cagar hutan ini pengunjung harus rela merogoh kocek sebesar 40 Ringgit.
Penanda waktu menunjukkan setengah sebelas malam ketika Malaysia Airlines MH 724 merapat di Kuala Lumpur International Airport. Aku menghela nafas panjang ketika pesawat telah terparkir sempurna di apron, itu karena connecting flight Malaysia Airlines MH 1326 baru akan mengudara menuju Kuala Terengganu pada pukul 07:25 esok hari. Artinya, selama sembilan jam ke depan aku harus bermalam di KLIA.
Bermalam di KLIA2….Pernah kah?….Yes, dua belas kali sudah, aku mencicipi “kasur keras” KLIA Terminal 2
Bermalam di KLIA?….Pernah juga kah?….Nup, kali ini pertama kalinya aku menginap di KLIA Terminal 1.
Sembari berjalan di arrival hall, aku mengambil boarding pass yang sudah kudapat dari check-in desk Soetta. Setelah kuamati, boarding pass yang kupegang belum mencantumkan nomor gate. Oleh karenanya, aku berusaha mencari informasi status penerbangan di Flight Information Display System (FIDS) yang terletak di arrival hall….Akhirnya, aku mendapatkan nomor gate….Yupz,A5.
Nah itu….Sudah ada status gatenya.
Supaya esok pagi aku tak keteteran mencari gate, aku pun berniat melakukan rehearsel untuk mencari jalan menuju gate yang dimaksud. Dari International Concourse di level 4, aku turun satu level menuju Domestic Concourse.Perlu diketahui bahwa domestic flight di KLIA diterbangkan dari gate A dan gate B, sedangkan international flight diterbangkan dari gate C, gate G dan gate H.
RehearseI yang kulakukan pun terpaksa usai di depan gerbang konter imigrasi, tetapi setidaknya aku telah memahami bagaimana aku harus melangkah menuju gate esok pagi.
Suasana Domestic Concourse.
Dari depan konter imigrasi, aku terpaksa naik kembali ke International Concourse untuk mencari tempat demi memejamkan mata.
Sementara itu, beberapa menit lagi memasuki tengah malam, aku duduk di salah satu bangku International Concourse ketika sepasang turis setengah umur mendekat dan menduduki kursi kosong di sebelah kiriku.
“Helloo, Sir, where are you come from?”, aku memberanikan menyapa.
“Hi, I’m from Algeria”.
“Oh I know, it’s a country in north of Afrika”, aku mencoba membuat percakapan lebih hangat.
“Ohhhh….yeaaa….yeaaaa, you know that. I will go home tomorrow and will transit in Doha”, dia mulai bercerita tentang rencana perjalanannya.
“Oh, Doha will be last destination in my traveling this time”, aku mulai mengaitkan perjalananku dengan perjalanannya supaya terjadi percakapan yang lebih intens.
“Oh, good. What is your traveling for?….Business?”
“Oh, no. it’s just for tourism. I’m Donny from Indonesia and Oh yeaaa, what is your name, Sir?”
“Oh, I’m Younes and she is my wife”
“Hi, Donny, nice to meet you”, istri pak Younes turut menyapaku
“Hi, mam. Nice to meet you too”
“Donny, let’s we dinner together!”, pak Younes mengeluarkan empat potong burger dari kantong kertas yang sedari tadi dibawa istrinya.
“Thank you, Sir. I had have dinner since from Jakarta”, aku menolak lembut
“No No No…. It’s different, It’s for accompany us while talk about our traveling”, dia memaksaku untuk menerima sodoran sepotong burger yang masih hangat.
Alhasil kami bertiga pun saling berbincang sambil menikmati burger bersama. Dan ketika kita usai menyantap hidangan sederhana itu, mereka pun berpamitan untuk menuju ke gate.
Tapiiii…..Sebelum mereka berdua meninggalkan kursi, tetiba istri pak Younes menyodorkan satu potong burger terakhir kepadaku.
“It’s for you, Donny. Just take it, we are moslems, we are family”
“It’s really, I think you more need it in your journey, mam”, aku menolak halus.
“No, Donny, It’s for you”, dia semakin dekat menjulurkan burger itu di depanku
“Thank you, mam. Allah is always with you”, akhirnya aku tak kuasa menolaknya.
“Amiin, Good night, Donny, Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam”
Pertemuan yang sangat menyenangkan di dini hari. Aku memasukkan burger hangat itu di dalam backpack. Lebih baik aku menyimpannya untuk sarapan esok hari.
Usai pertemuan itu, aku memutuskan berpindah tempat untuk mencari deret bangku kosong untuk tidur sembari meluruskan badan sehingga aku bisa memejamkan mata dengan nyaman.
Bagi sebagian besar pengelana, Kuala Lumpur International Airport menjadi titik paling aduhai untuk melompat ke negara asia lainnya. Tentu keberadaan maskapai Low Cost Carrier (LCC) Air Asia yang membuatnya demikian. Sejak 2001, Air Asia telah memberikan akses murah bagi para pejalan untuk berkeliling Asia. Berkat Air Asia pula sudah 21 kali aku menyinggahi KLIA selama menjelajah Asia.
Tapi dalam kisah ini adalah delapan….Yups, ini kali kedelapan aku menjejakkan langkah di Kuala Lumpur International Airport.
Lewat jam sepuluh malam, roda raksasa Air Asia D7 505 berdebam lembut menyentuh KLIA2. Perjalanan 5 jam 50 menit dari Seoul pun usai sudah. Kesan pertamaku mencicipi pesawat berbadan lebar Airbus A330 sungguh menyenangkan. Terbang melintasi Laut Kuning dan Laut China Timur berlangsung dengan turbulensi yang bisa dianggap tiada, tenang dan mulus tanpa hambatan. Itu mungkin salah satu keuntungan menunggang pesawat berbadan besar ketika menjelajah angkasa.
Usai taxiing beberapa menit, Air Asia D7 505 pun merapat di apron dan sesaat setelah pintu pesawat terbuka, aku pun memasuki bangunan KLIA2 melalui aerobridge. Aku kembali menjejak KLIA2 setelah sepuluh hari sebelumnya menyinggahinya untuk melompat ke Kaohsiung, Taiwan. Sungguh perasaan yang membahagiakan malam itu karena aku sudah berada dekat dengan rumah, hanya 2 jam 15 menit jauhnya lewat udara.
Dan bagiku singgah di KLIA2 akan lebih afdol jika keluar dari konter imigrasi, karena aku bisa menemukan banyak sajian kuliner di Gateway@klia2 mall daripada hanya berdiam diri di transfer hall.
“Transit Pak Cik, ingin cari makan malam”, sapa ringanku pada seorang petugas imigrasi di hadapan.
“Dari mane mau kemane?”, tanyanya sambil memeriksa paspor hijauku.
“Dari Seoul, mau pulang ke Jakarta, Pak Cik”
“Oh…”, jawabnya singkat lalu mempersilahkanku untuk menghadap kamera dan melakukan sidik jari.
Menjelang tengah malam itu, sebetulnya lambungku sudah lebih dahulu dipenuhi oleh angin karena jadwal makan malam sudah lama lewat.Tetapi untuk melengkapi jadwal itu, aku memilih untuk menyegerakan langkah menuju tempat makan langganan. Adalah NZ Curry House yang merupakan restoran India yang terletak di Transportation Hub level 1 Gateway@klia2 mall.
Restoran langganan.
(pada kunjungan terakhirku di KLIA2 di akhir 2019 saat akan terbang ke Kochi-India, area restoran ini sedang mengalami renovasi, entah tutup atau sekedar diperbaiki).
Menu andalan yang sering kupesan ketika singgah di restoran ini adalah adalah nasi lemak dengan telur rebus serta secangkir teh O panas. Untuk menu tersebut biasanaya aku hanya mengeluarkan uang sebesar 6,5 Ringgit.
Sembari mengecap suap demi suap nasi lemak itu, aku faham bahwa setelahnya aku hanya akan menghabiskan malam di lantai 1 sambil menunggu esok tiba. Oleh karenanya, aku tak terburu-buru dalam menyantap hidangan sederhana itu.
Usai makan, aku menyempatkan berganti t-shirt di toilet dekat restoran dan kemudian naik sebentar ke level 2 untuk mencari oleh-oleh di Jaya Grocer. Bagiku, KLIA2 juga menjadi tempat favorit untuk mencari oleh-oleh jika tak sempat menyinggahi kota, kehalalan produk Malaysia yang 61% berpenduduk muslim menjadi jaminan tersendiri. Target utama belanjaku adalah kemasan Teh Tarik Aik Cheong untuk bisa kunikmati pada hari-hari bekerjaku di Ibu Kota nanti. Satu kemasan Teh Tarik Aik Cheong berisi 15 sachet kutebus dengan 13 Ringgit malam itu.
Setelah oleh-oleh kudapatkan, aku segera mencari spot untuk merebahkan diri di lantai 1 karena waktu telah menyentuh dini hari dan mata juga telah memerah seakan memintaku untuk segera memejamkannya.
Tak lama memilih, terlihat deret bangku kosong di Lantai 1 di sebuah pojok hall. Usai mengakuisisi, aku tertidur setengah lelap diatasnya hingga subuh nanti tiba.
Bagaimanapun itu, aku pantas berterimakasih pada keberadaan KLIA2 dalam sejarah panjang perjalananku berkeliling Asia.