Keseimbangan Siklus Material, Syarat Lestari Sumber Daya Kawasan

Menjalani passion sebagai seorang backpacker memang memudahkan saya untuk mempelajari hal-hal baru, salah satunya adalah budaya hidup bersih. Ketika saya mengunjungi kota maju seperti Tokyo, atau misalnya berkunjung ke kota sekaligus negara yang lebih dekat saja, yaitu Singapura maka impresi pertama yang saya dapatkan adalah kebersihan kota tersebut beserta regulasi terkait yang diterapkan di ruang publiknya. Perilaku masyarakat dalam hal kebersihan di negara tersebut bahkan telah mengilhami saya untuk menduplikasinya, seperti membuang sampah pada tempatnya hingga perilaku terpuji lainnya seperti menyimpan bungkus makanan di tas hingga menemukan tempat sampah untuk membuangnya. Bahkan saya tak pernah ragu memasukkan botol minuman yang tergeletak di sebuah trotoar dan memasukkannya ke dalam tong sampah terdekat.

Tetapi pertanyaannya adalah apabila sebagian besar masyarakat memiliki kebiasaan baik tersebut apakah permasalahan sampah kota akan usai secara otomatis?

Setelah banyak membaca, saya baru mengetahui bahwa budaya baik tersebut belumlah cukup untuk menjamin terbentuknya keseimbangan lingkungan kota terkait dengan sampah yang dihasilkannya. Hal ini terkait dengan sebuah fakta bahwa sebagian besar kota di dunia masih mengandalkan insinerasi (pembakaran) untuk melenyapkan sampah di tahap akhir pengelolaan.

Dalam konteks kedua kota besar di atas, Singapura membakar sampahnya di Tuas Incineration Plant yang berlokasi di ujung barat kota, sedangkan Tokyo membakarnya di Toshima Incineration Plant yang berlokasi di utara kota. Memang, persepsi mendasar bagi khalayak adalah setelah pembakaran akhir maka masalah sampah di kotanya telah usai. Tetapi sejatinya tidaklah demikian, justru insinerasi adalah permulaan dari masalah baru yang lebih serius.  

Pasti Anda akan menebak dengan mudah bahwa pembakaran tersebut akan menghasilkan emisi karbon. Baiklah, sebelum mengetahui lebih mendalam, saya akan memulai pembahasan dari sudut pandang yang berbeda.

Konsep Zero Waste Cities (ZWC)

Mari kita berbicara kembali tentang sampah kota. Untuk memudahkan penulisan, saya akan mengganti kata “kota” dengan istilah lain, yaitu “kawasan”.

Saya yakin bahwa mayoritas khalayak belum memiliki pengertian yang mendalam tentang konsep kawasan maju. Kawasan maju masih didefinisikan secara sempit sebagai kawasan yang memiliki teknologi unggul, transportasi massal terbaik, gedung pencakar langit yang futuristik dan lingkungan kawasan yang terlihat bersih secara kasat mata.

Padahal kita harus melihat secara kompleks apabila ingin membahas tentang kawasan maju. Hal utama yang harus diperhatikan adalah lingkungan, karena pada hakikatnya, kawasan itu sendiri sangat tergantung terhadap lingkungan yang baik dan mendukung untuk terus bertumbuh menjadi kawasan maju dan modern. Oleh karenanya, visi pembangunan kawasan tanpa pemahaman konsep kelestarian lingkungan akan beresiko menciptakan kawasan yang tidak seimbang.

Konsep kawasan yang berwawasan lingkungan inilah yang kemudian melahirkan konsep Zero Waste Cities yang mulai dijalankan pada beberapa kawasan di dunia. Zero Waste Cities adalah program kota bebas sampah (zero waste) yang menitikberatkan pada model pengelolaan sampah berwawasan lingkungan, prinsip berkelanjutan, berkeadilan bagi masyarakat dan terdesentralisasi di kawasan pemukiman.

Berdasarkan pengertian tersebut maka Zero Waste Cities memberikan gambaran yang ideal bahwa kawasan masa depan adalah kawasan yang berpedoman pada kelestarian lingkungan, mengembalikan proses produksi ke dalam konsep urban farming (pertanian kota), mengkonversi sampah organik menjadi pupuk untuk kawasan, memandang sampah lainnya sebagai bagian dari sumber daya dan menjadikan warganya sebagai produsen energi di kawasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa selain mengembangkan infrastruktur, kawasan tersebut juga harus mengembangkan attitude (sikap) warganya.

Kita semua memahami bahwa semakin berkembang sebuah kawasan maka tingkat konsumsi warganya juga semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan penciptaan sampah secara masif. Dan uniknya, tidak pernah ada strategi tunggal dalam menyelesaikan masalah sampah karena setiap kawasan memiliki budaya, sumber daya dan lingkungan yang berbeda-beda.

TPA dan Siklus Material

Pada akhirnya, sampah yang tidak terkelola dengan baik maka secara langsung akan mencemari kawasan, memberikan tekanan pada kualitas air, kualitas tanah, menimbulkan bau tidak sedap yang akan mengganggu kualitas udara serta merusak estetika kawasan. Sampah juga mempengaruhi kualitas kesehatan kawasan karena keberadaan sampah bisa memicu terjadinya penyakit dan sekelompok warga yang sering terpapar penyakit pada akhirnya akan mengurangi tingkat produktifitas kawasan.

Selain itu, problematika sampah kawasan yang dibiarkan semakin akut akan menciptakan biaya ekonomi tambahan yang tidak sedikit untuk menyelesaikannya. Dan perlu digarisbawahi bahwa  penyelesaian sampah yang efektif dan efisien tidak bisa mengandalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Seberapa mampu TPA dengan luasan terbatas bisa menampung sampah dari berbagai kawasan yang jumlahnya cenderung bertambah setiap harinya?.

Pada sisi lain, kita memahami bahwa mayoritas TPA yang masih mengandalkan insinerasi dalam penyelesaian akhir dari siklus sampah kawasan. Insinerasi inilah yang akhirnya menambah beban lapisan ozon untuk menahan emisi karbon. Selain itu, insinerasi juga akan menghasilkan zat berbahaya yang bernama dioksin. Dan menurut World Health Organization (WHO), dioksin dalam jangka panjang bisa merusak beberapa sistem dalam tubuh manusia seperti sistem kekebalan tubuh, sistem saraf, sistem endokrin dan sistem reproduksi. Bahkan dioksin jenis tetrachlorodibenzo-para-dioxin (TCDD) bisa memicu terjadinya kanker.

Derivat masalah berikutnya dari insinerasi di TPA adalah lenyapnya berbagai material penting dari kawasan. Kita tentu mengetahui bahwa ketersediaan beberapa jenis material yang dihilangkan tersebut sangatlah terbatas di perut bumi. Jika material itu hilang dari siklusnya maka generasi kita di masa mendatang tidak akan bisa menikmatinya lagi.

Siklus material pada konsep Zero Waste Cities (diadaptasi dari Girardet, 1992, 1999).

Siklus material bisa diasumsikan sebagai salah satu bentuk metabolisme kawasan. Banyak sekali kawasan yang sudah dianggap bersih sekalipun, ternyata masih terjebak dalam konsep metabolisme linear dimana material yang dikonsumsi kawasan hanya akan berakhir dalam bentuk lain yaitu limbah cair, sampah padat dan emisi karbon. Inilah bentuk kawasan konsumtif yang berpotensi menghabiskan sumber daya alam.

Kelemahan inilah yang ingin diperbaiki dalam konsep Zero Waste Cities dimana setiap kawasan akan diarahkan untuk menjalankan konsep metabolisme sirkuler dimana setiap material tidak akan dibiarkan berhenti menjadi sampah, melainkan akan dikonversikan ke dalam bentuk baru di dalam kawasan. Jika konversi material tidak memungkinkan, maka material tersebut akan di daur ulang dan dimasukkan kembali ke dalam kawasan sebagai input untuk menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Konsep ini bertujuan mengalihkan arus sampah menuju TPA dengan cara mengurangi jumlahnya melalui proses pemilahan sampah, pengomposan dan selebihnya dioptimalkan di depot daur ulang. Pemilahan sampah dilakukan pada awal proses yaitu di rumah tangga, minimarket, kawasan perkantoran dan kawasan industri

Pemilahan Sampah dan Pengomposan

Di Indonesia sendiri, tentu kita mengetahui bahwa hingga saat ini belum ada peraturan resmi yang melarang proses insinerasi. Oleh karenanya, sebagai generasi yang peduli terhadap lingkungan maka sejak dini kita harus mempelopori pengurangan fungsi insinerator dengan cara mengurangi sampah dari sumbernya, sehingga secara kuantitas, sampah yang masuk ke TPA akan berkurang. Fokus memperbaiki tata kelola sampah kawasan bisa dilakukan dengan hal yang paling sederhana yaitu mengembalikan sampah organik ke bumi dalam bentuk hara melalui proses pengomposan.

Lalu, seberapa efektifkah strategi pemilahan sampah ini?

Menurut data per 21 September 2020 dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), sang pionir program Zero Waste Cities di Indonesia, pemilahan sampah pada dua Rukun Warga di Kelurahan Melong, Kota Cimahi berhasil mengurangi sampah hingga 38% dari seluruh sampah yang diciptakan oleh kawasan.

Pemilahan sampah di Kelurahan Lebak Gede, Kota Bandung (dokumentasi YPBB).

Beranalogi dari data tersebut, sebagai warga Jakarta maka saya akhirnya menghitung. Jika semua kawasan di Jakarta menerapkan pemilahan sampah seperti yang dicontohkan oleh YPBB maka setidaknya ada sekitar 2,5 ton sampah organik setiap harinya yang dapat dikonversikan menjadi kompos yang kemudian bisa digunakan untuk menyuburkan ruang terbuka hijau milik kawasan serta lahan-lahan pribadi milik warga. Efektif dan efisien bukan?

Memang kita belum bisa mengharapkan bahwa konsep Zero Waste Cities bisa diterapkan secara serentak di setiap kawasan karena setiap kawasan belum tentu memiliki kesiapan sumber daya. Tetapi idealnya, di setiap kabupaten atau kota hendaknya memiliki kawasan percontohan yang bisa dijadikan sebagai pilot project sekaligus sebagai media riset terhadap konsep Zero Waste Cities itu sendiri. Hasil riset ini tentu akan menghasilkan data valid yang bisa digunakan untuk mempengaruhi kawasan lain dalam menerapkan program yang sama. Bahkan di tingkat pemerintahan, data ini akan berperan penting dalam pengambilan sebuah kebijakan atau regulasi terkait pengelolaan sampah kawasan.

Kawasan yang sudah memulai konsep Zero Waste Cities harus terus dipertahankan dan ditingkatkan kualitas penerapannya. Tetapi bagi siapapun yang memiliki cita-cita untuk membentuk kawasan Zero Waste Cities namun belum mendapat dukungan banyak pihak, maka yang bersangkutan bisa memberikan contoh mandiri sebagai agen penggerak untuk memulai pemisahan sampah di rumahnya dan tetangga sekitarnya. Perlu diketahui bahwa pengomposan bisa dikerjakan secara mandiri dengan menggunakan metode takakura dan lubang resapan biopori. Sedangkan metode pengomposan sampah organik dalam jumlah besar bisa dilakukan dengan lubang kompos, bata terawang dan biodigester.

Bata terawang di Kelurahan Cihargeulis, Kota Bandung (dokumentasi YPBB).
Biodigester di Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung (dokumentasi YPBB).

Dalam jangka pendek, konsep Zero Waste Cities ini bisa dirasakan secara langsung oleh warga dalam kawasan dengan mendapatkan kompos yang bisa digunakan untuk berkebun. Kegiatan berkebun tentunya bisa meningkatkan ketahanan pangan kawasan terutama di masa-masa sulit pandemi COVID-19 ini. Kawasan akan mendapatkan keuntungan dengan terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat serta estetika kawasan yang indah.

Dalam jangka panjang, tentu pemerintah juga akan terbantu dengan berkurangnya beban TPA. Dan pada akhirnya, kita akan berperan aktif dalam menjaga kelestarian sumber daya yang ada di bumi dengan cara mengembalikan kembali material pada siklusnya.

Penerapan Zero Waste Cities di Indonesia

Sebagai teladan bagi kawasan lain, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh YPBB. Bermula dengan inspirasi yang dilakukan oleh Mother Earth Foundation di Filipina, YPBB telah menjalankan program Zero Waste Cities di beberapa kawasan yaitu Kelurahan Coblong, Cibeunying Kaler dan Babakan Sari (Kota Bandung), Kecamatan Soreang (Kabupaten Bandung) dan Kelurahan Melong di Kota Cimahi. Sejak tahun 2017, YBB telah mempelopori konsep pemilahan sampah di kawasan percontohan tersebut.

Bahkan pada awal tahun 2021, YPBB bersama dengan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) juga merintis penerapan Zero Waste Cities di kawasan lain yaitu di Kampung Siba, Kelurahan Sidokumpul, Kabupaten Gresik. Bahkan jauh sebelumnya YPBB berkerjasama dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali telah menerapkan konsep yang sama di Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar.

Sedangkan di kawasan terdekat, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta juga bersiap diri untuk membuat pilot project untuk konsep Zero Waste Cities. Bahkan YPBB memiliki harapan besar bahwa dalam dua tahun kedepan akan terdapat setidaknya sepuluh kawasan baru yang menerapkan konsep Zero Waste Cities.

Tentu bergandengan tangan dengan dengan pemerintah adalah cara efektif untuk menerapkan konsep Zero Waste Cities ini. Sebagai contohnya, kesesuaian konsep antara Zero Waste Cities yang diterapkan oleh YPBB dengan program Barengras (Bareng-bareng Kurangi Sampah) di Kota Cimahi dan program Kang Pisman (Kurangi Pisahkan Manfaatkan) di Kota Bandung menjadikan pelaksanaan Zero Waste Cities semakin mudah dan semakin terbantu.

Dukungan regulasi dari pemerintah juga diperlukan untuk memperkuat pelaksanaan program Zero Waste Cities. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Cimahi dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah untuk memastikan program pemilahan sampah dari sumber tetap berjalan. Selain itu Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi juga menurunkan Tim Patih (Patroli Kebersihan) untuk melakukan edukasi dan monitoring dalam penerapan program pemilahan sampah. Sebagai informasi juga, saat ini DPRD Kabupaten Gresik telah menyusun Rencana Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pengurangan kantong plastik.

Sinergi yang baik ini tentutnya bertujuan untuk menghasilkan output terbaik dan maksimal dalam pelaksanaan konsep Zero Waste Cities sehingga output tersebut bisa dijadikan bahan untuk evalusai dan pengembangan pelaksanaan Zero Waste Cities yang lebih baik di masa mendatang.

Akhirnya, mari kita bersama-sama secara sadar untuk menjaga lingkungan, mewartakan dan melaksanakan konsep Zero Waste Cities ini di kawasan tempat tinggal kita demi tercapainya kelestarian sumber daya alam yang ada di bumi.

Dapatkan informasi tentang Zero Waste Citiesjuga di:

Instagram: @ypbbbandung

Twitter: @ypbbbdg

#ZeroWasteCities 

#KompetisiBlogZWC

#KompakPilahSampah

Sumber penulisan:

  1. http://ypbbblog.blogspot.com/

2. A.U. Zaman, S. Lehmann / City, Culture and Society 2 (2011) 177–187

3. A.U. Zaman, S. Lehmann / Journal of Cleaner Production 50 (2013) 123e132

4. http://statistik.jakarta.go.id/

5. https://surabaya.tribunnews.com/

6.https://humas.bandung.go.id/

7. https://thejakartapostimages.com/

8. https://www.no-burn.org/

9. https://beritabaik.id/

10. https://progresnews.id/