Menilik Keraton Surakarta Hadiningrat

<—-Kisah Sebelumnya

Beristirahat cukup nyenyak di Amaris Hotel Sriwedari membuatku bangun tepat saat adzan Shubuh berkumandang. Menyempatkan diri menikmati fajar dari balik jendela kaca kamar maka aku memutuskan mengguyur badan di bawah shower dengan air hangat setelahnya. Aku sengaja berlama-lama di bawah shower, menyempurnakan relaksasi otot setelah sejak kemarin lusa berkejaran dengan waktu dalam melakukan banyak sekali agenda survey dengan menjelajah Kota Solo.

Setelah lebih dari setengah jam berbasuh, aku segera berbenah, merapikan tas dan bersiap diri untuk melakukan survey hari ketiga. Tepat pukul tujuh pagi, aku sudah berada di restoran hotel untuk bersarapan. Sedangkang Rahadian Sang Wakil Ketua Marketing Conference sudah berada di restoran itu semenjak setengah jam lalu. Dia merapat ke meja makanku ketika aku menyantap nasi goreng yang dipadu dengan mendoan dan kopi hangat. Kami berbincang dan membahas survey terakhir hari itu.

Setelah tiga puluh menit menikmati berbagai sajian restoran, aku dan Rahadian mulai memesan taksi online menuju ke timur di daerah Baluwarti. Pagi itu keraton resmi milik  Kasunanan Surakarta menjadi tujuan survey pertama di hari ketigaku di Kota Solo. Tak lama menunggu di lobby, Toyota Agya warna hitam datang menjemput. Aku segera mendudukkan diri di jok depan dan Rahadian di jok belakang, kemudian taksi online mulai melaju sejauh dua kilometer dalam sepuluh menit untuk mencapai tujuan.

Bangunan keraton yang telah berusia 277 tahun.

Lima belas menit menjelang pukul delapan, aku tiba di Keraton Surakarta Hadiningrat. Hari itu waktu survey kurencanakan berlangsung singkat karena Rahadian akan pulang lebih cepat dengan mengejar keberangkatan Kereta Api Lodaya menuju Bandung pada pukul 13:00. Oleh karenanya, aku mendatangi keraton ketika jam operasionalnya belum juka dibuka.

Aku dan Rahadian menikmati pelataran keraton yang juga difungsikan sebagai jalur lalu lintas satu arah. Tetapi ada satu bagian bangunan keraton yang sangat mencuri perhatian, yaitu sebuah menara setinggi tiga puluh meter yang tampak dari pelataran depan. Itulah Menara Sanggabuwana yang didirikan 38 tahun setelah bangunan keraton didirikan. Sudah bisa ditebak bahwa menara ini berfungsi sebagai menara pengawas karena keraton ini didirikan pada zaman Kolonialisme Belanda.

Dikisahkan bahwa menara itu digunakan oleh Sri Susuhan Pakubuwono III untuk menemui Nyi Roro Kidul “Sang Ratu Pantai Selatan”.

Seperti layaknya tata kota zaman-zaman kerajaan tempoe doeloe, Keraton Surakarta Hadiningrat diapit oleh alun-alun, yaitu Alun-Alun Lor (Utara) dan Alun-Alun Kidul (Selatan). Alur-Alur Lor adalah alun-alun yang lebih ramai, ditempat inilah acara “Sekatenan” (Pasar Malam) diselenggarakan untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya.

Maka untuk mengeksplore area sekitar keraton, aku mulai melanjutkan perjalanan menuju Alun-Alun Lor dengan berjalan kaki.  Alun-Alun Lor ini berjarak tak lebih dari setengah kilomater dari keratin dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki dalam sepuluh menit.

Ada destinasi apakah di sekitar Alun-Alun Lor?