Museum Sultan Mahmud Badaruddin II: Kisah untuk Generasi Muda Bangsa

<—-Kisah Sebelumnya

Usai satu jam menikmati panorama di atas Jembatan Ampera, maka aku memutuskan untuk turun. Melangkahlah kaki menuju pangkal jembatan sisi utara, aku kembali mengitari Bundaran Air Mancur Palembang. Dengan susah payah aku menyeberangi Jalan Mayjen. H. M. Ryacudu yang siang itu dialiri arus cepat kendaraan.

Berhasil menyeberangi jalan lebar itu dengan pengawasan seorang opsir polisi lalu lintas, lantas aku melintas di depan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) yang di setiap sisinya rapat tertutup lembaran-lembaran seng. Monumen kenamaan Palembang itu sedang mengalami renovasi besar-besaran.

Aku mengindahkan keberadaannya dengan terus melangkah menyusuri salah satu sisi Taman Ampera. Aku mantab melangkah menuju ke suatu tempat yang telah kuincar sedari beberapa waktu sebelumnya.

Ya….Aku ingin mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Maka beberapa menit kumudian, aku benar-benar tiba di pelataran museum besar itu. Berdiri di pelatarannya, sejenak aku termangu. Bangunan dua lantai berarsitektur khas Eropa itu lengang, tampak tak ada siapapun di sana.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, memberanikan diri untuk menaiki tangga kembarnya yang dipisahkan oleh tiang gerbang lantai pertama. Begitu tiba di lantai atas, tetiba ada seorang lelaki setengah baya memanggilku.

TIketnya di lantai bawah, dek”, dia menunjukkan tangan ke pintu gerbang lantai pertama.

Oh, baik, pak”, aku enoleh dan sigap menjawab.

Aku pun bergegas turun dan dengan cepat menuju loket penjualan tiket di lantai pertama. Loket itu berada di ruangan sebelah dalam.

Pantas tak terlihat”, aku membatin.

Usai memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, aku diberikan selembar tiket masuk oleh seorang pria muda sang penjaga loket.

Aku juga diberikan sebuah tas jinjing berbahan kain. Cukup mudah untuk memahami bahwa tas itu berfungsi untuk menaruh sepatu. Hal itu memiliki arti bahwa setiap pengunjung harus bertelanjang kaki dalam mengeksplorasi museum.

Tak membuang waktu, aku kembali naik ke lantai atas untuk memulai petualangan.

Pada tahap awal, museum ini memamerkan beberapa prasasti kuno. Maka pada salah satu spot, aku tertegun di depan prasasti Kedukan Bukit. Dahulu, aku sering mendengar nama prasasti ini di dalam buku pelajaran sejarah. Di depan prasasti itu, aku khusyu’ mengamati aksara Pallawa yang tertera di permukaan batu hitam. Kedukan Bukit sendiri adalah nama desa dimana prasasti ini ditemukan oleh arkeolog C.J Batenberg.

Tulisan dalam Prasasti itu mengisahkan perjalanan seorang Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang bersama 20.000 pasukannya usai menaklukkan daerah Bernama Minanga.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kursi yang dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Kayaknya itu singgasana raja deh.
Andai kamarku kek gitu…wkwkwkwk.
Gucinya keren kan?…

Peninggalan sejarah lain yang dipamerkan di museum itu adalah Prasasti Talang Tuo, Prasasti Boom Baru, patung Budha berukuran kecil, berbagai macam kendi masa lalu, pakaian kebesaran para petinggi Kerajaan Palembang, beberapa senjata tradisional khas Palembang seperti Roodoos, Tumbak Lado serta kerajinan kuningan.

Sedangkan hiasan dinding meseum menampilkan beberapa informasi bersejarah seperti selembar peta yang dibuat oleh anak buah Laksamana Cheng Ho bernama Ma Huan, peta perdagangan pada zaman keemasan Sriwijaya, silsilah raja Palembang, peta Keraton Kuto Gawang, lukisan tentang Perang Palembang antara Kesultanan Palembang melawan Kolonial Belanda yang meletus pada tahun 1821 hingga masa pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Jalur kunjungan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin  II ini dimulai dari lantai kedua dan diakhiri di lantai pertama.

Selama tak kurang dari satu jam aku menikmati perjalanan sejarah Palembang di museum tersebut.

Kisah sejarah yang perlu dipahami oleh generasi muda bangsa…………….  

Kisah Selanjutnya—->