Wat Chedi Luang (2): Ladyboy Super Anggun

<—-Kisah Sebelumnya

Detak jantungku melambat, perasaanku menjadi tenang….Itu terjadi ketika aku berlama-lama memperhatikan warga lokal yang beribadat dengan menangkupkan dupa di kedua telapak tangannya serta mengucapkan do’a di pelataran dekat Phaya Yakkharat.

Pastinya, aku siap melanjutkan eksplorasi di luasnya Wat Chedi Luang. Maka melangkahlah aku ke sisi barat, melewati pelataran hijau di sebelah San Lak Mueang. Area rerumputan itu dibelah dengan batuan andesit yang disusun teratur sebagai pijakan kaki pengunjung demi menjaga keasrian rerumputan.

Aku meniti pelan batuan andesit itu hingga tiba di sebuah kuil kecil. Lalu memperhatikan sejenak dari luar, untuk kemudian perlahan menaiki anak tangga demi mendekati sebuah patung. Maka berdirilah aku sejenak di depan patung itu dan memperhatikan sekitar demi mencari informasi.

Adalah Phra Indra (Dewa Indra), patung tegap dari batu berwarna hitam, memegang trisula di tangan kirinya dan menunggangi seekor gajah putih berkepala tiga.

Ternyata ada juga Dewa Indra dalam agama Buddha di Thailand”, aku manggut-manggut sendirian.

Mengunjungi sejenak saja Phra Indra, aku kembali menelusuri jalan semula menuju pelataran depan San Lak Mueang.

Kini saatnya menuju ke bagian utama”, aku membatin penuh rasa penasaran.

Phra Indra.
San Lak Mueang.
Area donasi kuil.

Aku bergerak menuju pusat area kuil. Menyusuri jalur lebar dengan tenda di sisi kirinya. Satu rombongan turis tampak khusyu’ mendengarkan penjelasan dari pemandu lokal. Aku yang tak paham Bahasa Tiongkok, mencoba memahami maksud dengan mengamati gestur si pemandu.

Nantinya aku akan paham bahwa pemandu itu mengajak turis yang dibawanya untuk berdonasi kepada kuil dengan cara membeli daun emas yang bisa ditempelkan ke patung-patung Buddha yang disediakan di tenda tersebut.

Cara berdonasi lain juga bisa dilakukan dengan membeli sebuah kertas untuk kemudian si pembeli bisa menuliskan nama dan memasukkannya ke dalam peti.

Aku berdiri cukup lama melihat prosesi donasi para rombongan itu.

Begitu rombongan itu selesai melakukan donasi, maka pemandu mengajaknya menuju ke kuil utama. Aku pun menguntitnya dari belakang dan bersama rombongan turis itu aku memasuki kawasan utama kuil.

Maka berdirilah dengan megah, gagah, artistik dan relijius sebuah bangunan setinggi 82 meter. Aku telah benar-benar berhadapan dengan Wat Chedi Luang sore itu. Adalah bangunan berwarna merah bata dari abad ke-14 yang pembangunannya diperuntukkan sebagai tempat penyemayaman abu jenazah dari ayahanda Raja Saen Muang Ma.

Aku mengamati sejenak, tampak bagian tertinggi Chedi dihubungkan dengan lantai terbawahnya dengan undakan anak tangga yang pada pangkalnya dijaga oleh dua naga hitam berkepala lima.

Aku mengayunkan langkah ke utara, hingga langkah itu tetiba melambat ketika aku melihat keberadaan seorang perempuan cantik yang tampak mesra berbicara dengan seorang pria bule di sebuah bangku besi tepat di bawah pohon berketinggian rendah.

Aku mengeram langkah beberapa detik kemudian, berhenti penasaran…..Kurasa ada yang aneh.

Ada yang tak biasa dengan cara tertawa perempuan cantik itu. Aku berdiri sejenak meliriknya, dari tampilan detail yang kulihat dengan akurat, aku yakin dia adalah seorang ladyboy dengan paras menawan, anggun dan benar-benar mirip perempuan sejati…Luar biasa.

Hilang rasa penasaran itu, aku pun mulai mengindahkan keberadaan mereka berdua dan memilih untuk melanjutkan eksplorasi.

Wat Chedi Luang tampak dari timur.
Wat Chedi Luang tampak dari utara.
Buddhist Manuscript Library and Museum.
Buddha tidur di salah satu bagunan kuil.
Wihan Luangpu Mun Bhuridatto.

Maka sampailah aku di sudut utara, dihadapkan pada bangunan Khas Kerajaan Lan Na. Adapun nama bangunannya adalah Buddhist Manuscript Library and Museum, sebuah tempat penampung sejarah yang memiliki banyak koleksi fragmen potongan arca dan peninggalan lainnya terkait Buddhisme yang telah membumi di Thailand sejak beberapa abad silam.

Tak membutuhkan waktu lama di museum itu, hingga akhirnya aku memutuskan bergerak ke sisi barat. Di sisi itu terdapat sebuah wihara bernama Wihan Luangpu Mun Bhuridatto, sebuah bangunan keagamaan yang dibangun dengan arsitektur Kerajaan Lan Na dan dianggap meniru bentuk bangunan Wat Ton Kwen yang terletak di Royal Park Rajapruek.  Wihara ini dibangun pada abad ke-19 pada masa pemerintahan Raja Phra Chao Kawirorotsuriyawong, Raja ke-6 Chiang Mai, dan digunakan sebagai tempat penyimpanan kursi singgasana kerajaan. Bahkan wihara ini juga digunakan untuk menyimpan gigi geraham dan patung dari biksu Luangpu Mun, seorang biksu terkenal Thailand berdarah Laos yang berjasa mendirikan Tradisi Hutan Thai yang merupakan salah satu garis keturunan Buddha Theravada.

Dan akhirnya, dengan menyelesaikan kunjunganku di Wihan Luangpu Mun Bhuridatto, berarti aku telah menyelesaikan kunjungan di keseluruhan spot Wat Chedi Luang.

Sebuah keberuntungan bagiku bisa mengunjungi kuil agung itu dan seutuhnya aku bisa mengatakan dalam hati bahwa kunjungan di Wat Chedi Luang adalah hal yang sangat berkesan ketika aku berada di kota Chiang Mai.

Wat Muen Tum: Tempat Dimana Raja Memulai Tahta

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih menyisir sisi barat Prapokkloa Road. Jalanan arteri semakin ramai saja seiring menit berjalan, mungkin karena matahari tak lagi garang.

Lagi…..Tiga menit melangkah, aku melihat keberadaan sebuah kuil di sisi timur jalan. Kali ini berbeda, tak seperti Wat Jet Lin yang senyap. Kuil yang ada di hadapan tampak lebih dinamis, ada beberara biksu muda sedang beraktivitas di dalamnya, juga para wisatawan yang hilir mudik, keluar masuk kuil.

Aktivitas itu berhasil menggagalkan niatku yang pada awalnya ingin melewatkan saja keberadaan kuil itu.

Aku pun mulai menyeberangi Prapokkloa Road. Jalan dua arah selebar tak kurang dari enam meter itu belum begitu ramai dengan kendaraan yang melintas.

Berhasil menyeberang, aku berhasil tiba tepat di depan gerbang kuil, menghadap sebuah papan nama beton.

Wat Muentoom”, aku membacanya jelas.

Bak memasuki gerbang istana Kerajaan Lan Na, aku mulai menginjakkan kaki di halaman kuil. Tampak dua biksu muda sedang sibuk mengurusi kuil. Satu biksu tampak sedang menyirami tanaman di sekitar kuil. Sedangkan seorang lagi tampak duduk di bawah tenda sedang menyiapkan perlengkapan peribadatan.

Aku sepenuhnya paham bahwa mengambil foto biksu tanpa izin adalah tindakan yang tidak terpuji, maka kuputuskan untuk langsung saja menuju ke bangunan belakang kuil.

Menyisir bangunan dari sisi selatan, aku terpesona dengan keberadaan bentuk ukir dari makhluk mitologi Buddha yang berwujud setengah manusia dan setengah burung, Kinnara nama makhluk itu. Dalam ajaran Buddha, Kinnara adalah makhluk surgawi yang pandai memainkan kecapi.

Tiba di bagian belakang kuil, aku menemukan area lapang yang menjadi tempat parkir beberapa mobil milik pemerintah yang mungkin digunakan sebagai inventaris kuil dan sebagian lagi kuduga adalah milik pengunjung kuil.

Aku berdiri lama di area parkir nan lapang demi menikmati keindahan arsitektur kuil, untuk kemudian berusah mencari informasi apapun mengenai kuil di hadapan.

Gerbang Wat Muen Tum tampak depan
Kuil utama Wat Muen Tum.
Sisi selatan Wat Muen Tum.
Bangunan bagian belakang Wat Muen Tum.
Perwujudan Chinte.

Mue Tum?……

Menilik secara historis, kata “Muen Tum” pada kuil ini merujuk pada seorang bangsawan kerajaan. Sudah bisa ditebak bahwa dialah yang membangun kuil ini.

Sedangkan secara fungsi, Wat Muen Tum akan digunakan sebagai tempat penjemputan raja baru Dinasti Mangrai yang akan naik tahta setelah dimandi sucikan di Wat Phakhao. Wat Phakhao juga dikenal sebagai White Cloth Temple (Kuil Kain Putih) karena raja yang akan dinobatkan akan dimandikan dalam pakaian serba putih di kuil ini. Wat Phakhao sendiri terletak setengah kilometer di timur Wat Muen Tum.

Kembali ke pelataran belakang Wat Muen Tum. Di bagian ini aku juga menemukan bangunan dengan arsitektur khas Kerajaan Lan Na, yaitu memiliki atap bertingkat dengan kemiringan tinggi. Listplank di sepanjang tingkatan atap mengadopsi bentuk tubuh naga dengan kepalanya di setiap ujung atapnya.

Sedangkan di setiap sisi pintu kuil dijaga oleh sepasang Chinte, yaitu perwujudan singa yan menjadi ikon religi di Thailand.

Sejenak untuk terakhir kali, aku kembali berdiri di pelataran belakang, menikmati keindahan Wat Muen Tum yang dalam waktu beberapa menit ke depan, akan kutinggalkan.

Lima menit menjadi waktu yang sangat cepat untuk menikmati keindahan Wat Muen Tum. Tetapi memang aku harus terpaksa pergi karena waktu hampir menginjak pukul setengah lima sore.

Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku menuju ke bagian depan kuil melalui sisi utaranya. Dan begitu tiba di Prappokkloa Road, aku kembali melanjutkan langkah menuju utara.

Kisah Selanjutnya—->