Tunggu Aku Swarnadwipa!Transportasi Umum dari Jakarta ke Bandar Lampung

Malam tadi aku baru saja merapat ke ibu kota pasca menunaikan momen sakral umat muslim….Yupz, mudik Ied Mubarak.

Usai berbasuh dengan air hangat demi mengendorkan otot betis setelah delapan belas jam tanpa henti menginjak pedal, aku tak lekas jua memejamkan mata. Sisa cuti yang masih lima hari tetiba membuatku insomnia.

Apa kata jagat jika aku hanya berdiam di rumah selama itu?.

”Tidak bisa dibenarkan”, hatiku mulai berontak. Aku terus berfikir keras menenangkan rasa.

Malam itu, aku jadi terngiang lagi celoteh lama kantor, sewaktu rekan marketing berencana melawat ke Pahawang, tetapi tetap saja belum terealisasi hingga kini. Begitulah segenap rencana para rekan, pernah pula berencana mengeksplor Danau Toba sejak bertahun-tahun lalu tetapi hingga kini tak pernah terealisasi, bak sebuah kutukan. Beruntung aku memecahkan kutukan itu dengan nekat melawat sendirian ke Samosir pada 2018 silam.

Mungkin aku harus melakukannya sekali lagi”, aku tersenyum sinis….Oh, Donny yang jahat.

Saatnya untuk kedua kali, aku merenggut mimpi rekan-rekanku lagi. Menjelang pergantian hari, aku mengambil keputusan bulat untuk melawat ke Pahawang yang terletak di Provinsi Lampung.

Kapan, Don?…”aku mengajukan pertanyaan ke diriku sendiri.

Besok pagi….Ya, besok pagi”, aku menjawab pertanyaanku sendiri.

—-****—-

Aku kesiangan….

Subuh masih berhasil kutunaikan beberapa menit lewat dari jam enam pagi….Shalat Subuh macam apa itu….Huh, dasar Donny!

Ini akibat aku tak bersiap packing malam tadi. Kini dengan tergesa, aku menyambar beberapa perlengkapan dan peralatan standar untuk melakukan perjalanan pendek lima hari. Tiga helai t-shirt dan dua helai celana panjang adalah perlengkapan terprioritas yang pertama kusambar.

Tepat jam lima, aku sudah meninggalkan rumah demi menangkap angkutan kota  menuju jalan raya utama yang dilalui bus umum menuju Merak. Seperempat jam sebelum pukul tujuh, bus berkelir putih tampak lamat hadir dari kejauhan.  Kuperhatikan dengan seksama, kata “Merak” di bagian atas kaca depan bus otomatis membuatku merapat ke trotoar dan segera bersiap diri untuk menaikinya.

Benar saja, kondektur itu menongolkan muka dari pintu depan begitu aku menghentikan bus dari kejauhan. Aku melompat masuk melalui pintu depan ketika bus masih melaju perlahan. Duduk di bangku tengah, senyumku lebar mengembang, merasa bahagia karena petualangan di masa cutiku masih jauh dari usai.

Menyerahkan Rp. 38.000 sebagai ongkos, aku bersiap diri untuk melaju menuju Pelabuhan Merak yang berjarak seratus dua puluh kilometer. Telah beberapa kali menempuh perjalanan melalui Jalan Tol Jakarta-Merak menutup keinginan hati untuk menikmati perjalanan yang berdurasi tak kurang dari tiga jam itu….Aku memilih terlelap, meredam ulang segenap otot yang fatigue dari kesibukan mudik dan kurangnya tidur malam.

Menjelang pukul sepuluh, bus perlahan merapat ke Pelabuhan Merak. Sebetulnya aku tak asing dengan pelabuhan tersebut. Waktu kuliah dulu, aku pernah menjajal pelabuhan ini menuju Lampung demi mengikuti rapat kerja sebuah organisasi kemahasiswaan. Sedangkan lawatan yang kedua, aku kembali melewati Bandar Lampung saat memasarkan ikan air tawar menuju Martapura.

Akhirnya tiba di Pelabuhan Merak.

Patuh pada peraturan tak tertulis kaum backpacker, aku mengindahkan koridor terminal kapal kelas eksekutif. Dengan mantap, aku melintas di sepanjang koridor pejalan kaki menju terminal kapal kelas reguler.

Sejauh mata memandang, ternyata sepanjang jalan menuju koridor belumlah berubah, deretan warung makan dan jajanan rapat mengisi salah satu sisinya.

Di ujung  jalan adalah muka koridor, lorong beratap itu telah disterilkan dari kegiatan komersial. Tampak di beberapa titik terdapat informasi yang menjelaskan bahwa setiap penumpang harus segera menyiapkan identitas dan saldo uang elektronik.

Rupanya,prosedur ticketing  sudah berubah”, aku membatin. Dahulu pembelian tiket bisa dilakukan menggunakan uang tunai secara langsung di konter.

Sepuluh menit melangkah dari titik drop-off bus, aku tiba di loket penjualan. Keberadaan loket khusus pembelian online menunjukkan bahwa tiket kapal menuju Lampung bisa dibeli secara online.

Aku yang tak berbekal pengetahuan apapun, memutuskan untuk mengambil sebuah antrian di loket pembelian tiket reguler.

Pengurus pelabuhan menyediakan delapan loket untuk mengurai kepadatan penumpang. Aku sendiri mengantri di loket B untuk mendapatkan tiket menyeberang Selat Sunda seharga Rp. 15.000. Karena tak menyiapkan uang elektronik aku terlebih dahulu harus membeli sebuah kartu uang elektronik keluaran salah satu bank milik pemerintah.

Menggenggam selembar tiket pemberangkatan, aku bergegas menuju ke kapal untuk mengejar pemberangkatan tercepat. Kini aku menelusuri koridor dalam bangunan pelabuhan. Memperhatikan seisi interior, tampak nyata bahwa Pelabuhan Merak telah mengalami reformasi pelayanan yang menakjubkan.

Tampak posko medik dikelola lebih professional dan fasilitas umum disediakan dengan cukup baik, keberadaan charging station adalah salah satunya. Automatic fare collection gate juga sudah disediakan layaknya gerbang-gerbang yang sama di stasiun-stasiun MRT ibu kota.

Ketergesaan membuatku tak sempat menyicip ruang tunggu berpendingin yang nyaman, sementara pengumuman untuk memasuki kapal yang disampaikan oleh operator melalui pengeras suara terus memenuhi langit-langit ruangan. Aku harus segera memasuki kapal yang sudah bersandar.

Keluar dari area ruang tunggu, aku kembali melewati koridor terbuka dengan kanopi, melewati pemeriksaan tiket terakhir sebelum akhirnya memasuki kapal.

Kapal Roll-on Roll-off (Ro-Ro) putih bernama PORTLINK V tampak membuka lambungnya untuk memasukkan berbagai jenis kendaraan. Sedangkan para penumpang diarahkan melalui sebuah jembatan menuju main deck sisi kanan.

Usai menyeberang, aku tak memilih duduk di ruang utama yang sejuk berpendingin dengan deret kursi yang empuk nan lebar. Aku ingin membaur saja bersama penumpang yang duduk mengampar di selasar demi menikmati panorama yang siap tersaji dalam perjalanan menuju Pelabuhan Bakauheni.

Tepat pukul sebelas, PORTLINK V mengangkat sauh dan memulai pelayaran. Saatnya untuk terjaga dan menangkap keindahan lautan di sejauh mata memandang. Benar adanya, gugusan pulau sepanjang pelayaran membuat indah perjalanan.

Sepanjang perjalanan aku bercakap dengan keluarga kecil yang hendak pulang kampung menikmati libur Iedul Fitri. Sang suami yang asli Bandung dan istrinya asli Lampung berdarah Jawa tampak sabar menjaga kedua anaknya di geladak. Kelucuan sepasang anak itu tentu menjadi penghibur selama perjalanan.

Yuk disiplin mengantri.
Tahu gitu bawa begituan dari rumah….Buanyak di rumah mah.
Ruang tunggu Pelabuhan Merak.
Bersiap berlayar.
Keren juga ya ruang penumpangnya.
Mobilpun turun menyeberang.
Tuutttt….tuutttt…..ayuk berlayar.
Salah satu pulau yang tampak selama pelayaran.

Kondisiku masih saja segar setelah menempuh perjalanan laut selama satu jam empat puluh lima menit. Merapat di pelabuhan Bakauheni, PORTLINK V yang kunaiki harus berbagi sisi labuh dengan KMP Batumandi bersandar dengan megahnya.

Saatnya PORTLINK V melepas sauh dan mengantarkan penumpangnya menuju koridor terbuka berkanopi biru, memanjang, mengarah ke bangunan utama Pelabuhan Bakauheni.

Lalu apa yang kulakukan setiba di pelabuhan itu?

Ya, makan siang lah….Aku kelaparan….Wkwkwk

Memasuki bangunan pelabuhan, aku mencari keberadaan warung makan yang bisa mengusir kelaparan yang kini sungguh kurasa. Aku menemukan sebuah warung dengan menu masakan Padang lalu menebus seporsi nasi rendang seharga dua puluh lima ribu rupiah.

Secara interior dan eksterior, Pelabuhan Bakauheni tak kalah keren jika dibandingkan dengan Pelabuhan Merak, setiap sisinya sudah mendapat sentuhan modernisasi. Aku sungguh menikmati masa tiga puluh menit di bangunan pelabuhan sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan darat menuju Bandar Lampung.

Di halaman pelabuhan, telah mengantri deretan bus berukuran kecil yang menjemput calon penumpangnya. Teriakan para kondektur itu begitu memekakkan telinga, kencang dan lugas. Seorang dari mereka tampaknya tahu gelagatku yang sedang menyapukan mata pada deretan bus itu untuk mencari bus jurusan Rajabasa.

Aku tak menghindari kedatangan salah satu kondektur bus. Memberikan informasi bahwa ongkos menuju Rajabasa adalah Rp. 35.000 maka tanpa pikir panjang, aku segera memasuki bus yang ditunjuknya, bus kuning berukuran kecil dengan identitas PO. Nusantara.

Kini aku bersiap melakukan perjalanan panjang kembali dengan jarak sejauh hampir seratus kilometer.  Dalam waktu normal, jarak sejauh itu seharusnya bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam  melalui Jalan Tol Kayu Agung-Bakauheni.

Akan tetapi di tengah perjalanan, bus Nusantara memilih keluar dari jalur bebas hambatan melalui gerbang tol Sidomulyo. Perlahan bus merapat dan melaju menyejajari garis pantai di daerah Tarahan. Selanjutnya bus konsiten menyisir Jalan lintas Sumatera. Ini berarti, enam puluh persen perjalanan ditempuh melalui jalur reguler non tol.

Perjalanan non-tol inilah yang kemudian menghadirkan pemandangan pantai yang menarik. Sebut saja Pantai Pasir Putih Lampung yang ramai pengunjung.

Aku terus menikmati perjalanan darat tersebut hingga tiba di Terminal Rajabasa dalam total waktu tempuh tiga setengah jam.

Alhamdulillah, merapat juga di Pelabuhan Bakauheni.
Koridor penumpang di pelabuhan Bakauheni.
Nah ntuh dia….Bus menuju Terminal Rajabasa.
Jam lima sore tiba di Terminal Rajabasa.
Dipandang-pandang….Dilihat-lihat…..Tjakep juga ye si Rajabasa nih.

Awalnya aku begitu gelisah ketika akan menginjakkan kaki di terminal bus kenamaan itu. Sejarah premanisme pernah melekat di Terminal Rajabasa. Tetapi begitu tiba, kegelisahan itu pun ternyata enggan unjuk gigi. Aku menemukan kenyamanan dan keamanan selama berjalan di setiap sisi terminal.

Nah, kenyamanan dan keamanan kayak gini nih yang bikin gue demen….Mantabz, Bandar Lampung.

Hari sudah sore….Sebentar lagi gelap….Yuks, kita ke hotel aja!

Kisah Selanjutnya—->