Merancang Makan Malam di De’ Tjolomadoe

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berpamitan kepada Pak Bekti, marketing staff Swiss-belinn Saripetojo Hotel yang telah mendampingiku menggenapkan survey ruangan-ruangan penting hotel untuk keperluan Marketing Conference perusahaanku.

Tetapi ketika hendak meninggalkan lobby. Seseorang yang bernama Treavy, vokalis Artcoustic Band menelpon Rahadian yang berada di sebelahku.

Vokalis Artcoustic Band ngajak meeting di sini pak”, Rahadian berkata pelan.

Ya boleh lah, kita meeting di lobby hotel saja”, aku memutuskan.

Akhirnya aku dan Rahadian memutuskan menunggunya di lobby hotel. Kami hanya ingin bernegosiasi ringan perihal biaya menyewa Artcoustic Band untuk durasi manggung 2 jam di gala dinner Marketing Conference nanti.

Lima belas menit kemudian, Treavy tiba. Dan kami langsung bernegosiasi cepat dan menemukan kata sepakat tak kurang dari 30 menit. Kami membahas perihal daya sound system yang dibutuhkan, biaya manggung, jenis alat musik yang akan dibawa dan durasi tampil. Pembicaraan serasa cepat karena memang kami dikejar waktu untuk melakukan banyak survey hari itu.

Selepas Treavy berpamitan, maka kami pun segera menaiki taksi online yang telah menunggu di area parkir sejak 5 menit lalu.

De’Tjolomadoe, mas?”, ucapn singkat pengemudi ketika aku telah terduduk di sebelahnya.

Berapa lama, pak?”

Tiga puluh menit mas. Jaraknya lumayan….Sepuluh kilometer, mas”, jawabnya sambil tersenyum ceria.

Aku faham bahwa bangunan pabrik gula bersejarah ini terletak di luar kota Solo, tepatnya di Kabupaten Karanganyar. Taksi online warna hitam yang kunaiki merangsek menuju ke barat. Pantulan sinar surya ke aspal jalanan menjadikan hawa kota semakin panas. Matahari bertengger di atas kepala, pukul 12:00 siang tepatnya.

Arus jalanan sedikit memadat, dan taksi online menjadi tersendat di beberapa titik. Sedikit luput dari estimasi waktu, aku tiba di gerbang depan De’Tjolomadoe.

Halaman depan De’ Tjolomadoe.
Pintu masuk.

Bangunan exs-pabrik gula itu terlihat gagah dari pelataran, dinding tebalnya menyiarkan kekokohan, Julangan ketinggiannya mengagumkan dan satu cerobong asap di tengah membuatnya klasik. Semakin elegn dengan cat warna krem cerah yang masih tampak baru. Maklum, setelah renovasi panjang,  bangunan ini baru diresmikan pemakaiannya enam bulan sebelum kedatanganku

Aku mulai mengantri di gerbang depan. Setiba giliranku memasuki pintu, petugas keamanan menyodorkan kepadaku sebuah pena.

Masih promo gratis kok mas, diisi saja buku tamunya ya!”, dia memerintah dengan sopan.

Baik, Pak”. Jawabku sembari membalas senyum.

Aku memasuki hall terdepan yang bartajuk Stasiun Gilingan. Stasiun Gilingan ini tampaknya berperan sebagai area utama Museum Pabrik Gula ini. Mesin-mesin raksasa tampil di dalamnya. Sedangkan dinding sisi kanan memberikan informasi perihal event-event yang diselenggarakan di De’Tolomadoe seperti konser David Foster & Friends, kunjungan Bapak Jokowi Widodo (Presiden Republik Indonesia), Habibie Festival dan acara lainnya. Foto-foto De’Tjolomadoe sebelum dan sesudah revitalisasi pun ditampilkan dengan runut.

Pintu Stasiun Gilingan.
Mesin-mesin raksasa di dalamnya.
Informasi event.
Stasiun Karbonatasi.
Etalase kerajinan tangan.

Aku mulai melangkah lebih dalam. Memasuki bagian bertajuk Stasiun Karbonatasi dengan bertampilan mesin-mesin berukuran lebih kecil, dipadukan dengan etalase kerajinan tangan. Etalase yang membuatku kagum adalah etalase batik karya Solomadoe dan Omah Camera.

Berbelok di sudut bangunan , aku menemukan ruangan ketiga yaitu Stasiun Penguapan. Tampak tabung-tabung raksasa tertampil sempurna diatas kaki-kaki baja. Keberadaan pot-pot bunga dan toko-toko seni membuat ruangan ini lebih hidup.

Aku semakin merasa tak sabaran untuk melihat suasana di bagian Food and Beverage, karena aku memiliki sebuah konsep acara unik untuk Marketing Conference nanti. Aku berencana mengadakan makan malam pada hari pertama konferensi di Museum Pabrik Gula ini dengan catatan restoran yang tersedia bisa memenuhi kuota peserta sebanyak 76 orang.

Tibalah aku di bagian yang kutuju, yaitu Stasiun Ketelan. Restoran itu bernama Street Food Festival. Aku langsung menemui manajer operasional dan menceritakan detail maksudku berkunjung. Dengan berbagai skema dan strategi akhirnya dia memutuskan bisa mengakomodasi rencana itu. Dia bersedia menambah bangku dan peralatan makan untuk hari-H nanti. Dia juga tak segan memberikan diskon menarik untukku.

Stasiun Penguapan.
Pintu Stasiun Ketelan..
Stasiun Ketelan.
Tjolo Koffie.
Street Food Festival.
Sampai jumpa De’ Tjolomadoe.

Genap satu jam setengah aku mengeksplorasi De’Tjolomadoe dan memastikan settingan salah satu acara penting di tempat itu. Saatnya menuju Amaris Hotel Sriwedari untuk melakukan proses check-in dan menaruh beberapa barang supaya langkahku tak semakin berat.

Kisah Selanjutnya—->

Sepeda Ontel ala Pavilion Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta

Perpaduan kuning, biru dan oranye itu sedikit ternoda dengan kelupasan cat dinding Banto Trade Centre. Tetapi bukan itu fokusnya, jabat tangan Ramlan Nurmatias dan Joko Widodo lah yang dari tadi membuatku terpana. Sepertinya Walikota dan orang nomor satu negeri ini telah sepakat perihal peletakan batu pertama proyek revitalisasi Pasar Ateh….Syukurlah, Bukittinggi sedang giat membangun rupanya.

Sementara itu, pelataran Banto Trade Centre menjadi area niagawan sayur mayur untuk menjajakan dagangan diatas gerobak dan motornya. Lalu jauh di depan sana, masih di bilangan Jalan Soekarno Hatta, plakat emas “Adipura Kencana” dijunjung oleh tiang tunggal berwarna putih. Menunjukkan bahwa kota ini diakui kebersihan oleh seantero negeri.

Sekitar dua kilometer sajalah, avku tiba di sebuah mulut gang. “Gg Komp Sabar” begitulah aksara dalam plat nama berwarna hijau yang ditegakkan berdempat dengan tiang hitam berukuran lebih besar dengan aksara putih tebal “Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Proklamator RI, Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukittinggi

Sebelas tahun Bung Hatta tinggal di rumah ini.

Adalah duplikasi arsitektur rumah aslinya yang apabila masih berdiri akan berusia 160 tahun. Sayang rumah itu telah runtuh di era 60-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, dibangun ulanglah rumah itu.

Dibangun mengikuti lekuk aslinya, sesuai yang tergambar di memoir dan berbagai dokumentasi milik keluarga. Secara umum rumah ini juga dapat menggambarkan situasi dan kehidupan masyarakat masa lalu dan khususnya keluarga besar Bung Hatta.

Bangunan Utama

Rumah khas Bukittingi ini terdiri atas bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur, kandang kuda, dan kolam ikan.

Bangunan utama sendiri terdiri dari dua lantai dan berada di bagian terdepan area rumah. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga dan kamar tidur ibu, paman, dan kakek Bung Hatta.

Berikut sekilas pandang bilik-bilik pada kedua lantai bangunan utama:

Lantai 1.

Foto keluarga Bung Hatta.
Meja pertemuan keluarga.
Sumur.
Meja makan keluarga.

Lantai 2.

Kamar orang tua Bung Hatta, di ruangan inilah Bung Hatta dilahirkan.
Meja makan tamu.

Pavilion

Di belakang bangunan utama, dibangunlah sebuah pavilion. Bangunan tembok putih itu digunakan untuk ruang dapur, kamar tidur Bung Hatta, kamar mandi, kandang kuda dan ruang bendi. Dari ruangan kamar itulah, Bung Hatta memulai pendidikannya di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. Di dalam kamar itu pula tersimpan sepeda ontel yang disebut sering dipakai Bung Hatta sehari-hari diberikan orang tuanya sejak usia 8 tahun.

Kamar Bung Hatta di dekat lumbung padi. Disebut sebagai Ruang Bujang.

Dia tinggal bersama sang kakek, Syech Adurrachman yang dikenal pula sebagai Syech Batuhampar. Sang kakek sendiri berprofesi sebagai kontraktor pos partikelir itu.

Di akhir kunjungan aku penasaran dengan profil Ma’ Etek Ayub sebagai sosok yang banyak membantu Bung Hatta dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan beliau adalah Praktek “Dagang Waktu”. Kebingungan akan jenis pekerjaan tersebut, kuberanikan bertanya kepada seorang wanita tua yang bekerja merawat keseluruhan rumah itu.

Dapur.
Kandang kuda.
Bugi atau bendi sebagai kendaraan Bung Hatta kala sekolah.

Lumbung Padi

Selayaknya rumah-rumah zaman dahulu, saat bangsa ini masih mengalami kesulitan ekonomi. Lumbung padi adalah satu upaya untuk memastikan keterjaminan pangan keluarga.

Lumbung gedek penyimpan padi.

Usai tuntas menempuh pendidikan dasar, Bung Hatta melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah di kota Padang.

Kisah Selanjutnya—->

Designing Dinner at De’ Tjolomadoe

<—-Previous Story

I said goodbye to Mr. Bekti, a marketing staff of Swiss-Belinn Saripetojo Hotel who had accompanied me to complete our survey to several important hotel rooms for the purposes of my company’s Marketing Conference.

But when we want to leave the lobby. Someone who named Treavy, vocalist of Artcoustic Band called Rahadian who was next to me.

A vocalist of Artcoustic Band want to held a meeting with us in this hotel, Sir“, Rahadian quietly said.

Yes, we can do a meeting with him in hotel lobby“, I decided.

Finally, I and Rahadian decided to wait for him in hotel lobby. We just wanted to lightly negotiate about the cost of renting an Artcoustic Band for a 2 hours show in Marketing Conference gala dinner later.

Fifteen minutes later, Treavy arrived. And we immediately negotiated and found an agreement in no less than 30 minutes. We discussed required sound system power, show cost, musical instruments which would be carried and show duration. Ourconversation seemed fast because we were pressed for time to do a lot of surveys that day.

After Treavy said goodbye, we immediately took an online taxi which had been waiting in parking area for 5 minutes.

De’ Tjolomadoe, Sir?”, the driver briefly said when I sat next to him.

How long, Sir?”

Thirty minutes, sir. The distance is far enough….Ten kilometers, Sir“, he replied while cheerfully smiling.

I understood that this historic sugar factory building was located outside Solo City, precisely in Karanganyar Regency. The black online taxi which I was riding was heading west. Sunlight reflecting onto asphalt roads made the city even hotter. The sun was perched overhead, 12:00 hours to be precise.

The road currents were slightly congested, and online taxi have choked up at some point. Slightly missed the estimated time, I arrived at the front gate of De’ Tjolomadoe.

De’ Tjolomadoe courtyard.
Front gate.

The exs-sugar factory building looked dashing from its court, its thick walls broadcast its sturdiness, its height was amazing and a chimney in the middle made it classic. More elegant with bright cream paint that still looked new. Understandably, after a long renovation, this building was inaugurated for use about six months before my arrival.

I started queueing at front gate. When it was my turn to entering the door, security guard handed me a pen.

It’s free promo Sir, just write your name in guest book, Okay!”, He politely ruled.

Yes, Sir“. I replied with a smile.

I entered the front hall which was called “Gilingan” Station. This “Gilingan” Station appeared to be the main area of this Sugar Factory Museum. Giant machines appeared in it. While the right side wall provided information about events which were held at De ‘Tjolomadoe such as David Foster & Friends concert, visitation of Mr. Jokowi Widodo (President of Republic of Indonesia), Habibie Festival and other events. De’ Tjolomadoe’s photos before and after its revitalization were also sequentially displayed.

“Gilingan”Station gate.
Giant machines in it.
Event informations.
“Karbonatasi” Station.
Handycraft Storefronts.

I started to go deeper. Entering the section which was titled as “Karbonatasi” Station with the appearance of smaller machines, combined with handicraft storefronts. Storefront display which amazed me was Batik display which were showed by Solomadoe and Omah Camera.

Turning at building corner, I found the third room which was the “Penguapan” Station. The giant tubes perfectly appeared and displayed on its steel legs. The existence of flower pots and art shops made this room more livelier.

I felt increasingly impatient to see the atmosphere in Food and Beverage section, because I have a unique event concept for Marketing Conference later. I planned to hold a dinner on the first day of conference at this Sugar Factory Museum if they could provide an available restaurant which could facilitate participant quota of 76 people.

I arrived at a place where I was headed, namely “Ketelan” Station. The restaurant was called Street Food Festival. I went straight to operation manager and gave him the details of why I meant to visit. With various schemes and strategies, he finally decided that he could accommodate my plan. He was willing to add stools and cutlery for the D-day. He also didn’t hesitate to give me attractive discounts.

“Penguapan” Station.
“Ketelan” Station gate.
“Ketelan” Station.
Tjolo Koffie.
Street Food Festival.
Bye De’ Tjolomadoe.

Even an hour and a half I explored De’ Tjolomadoe and made sure the setting of one of the important events at that place. It was time to go to Amaris Hotel Sriwedari to do  check-in process and putted some items so that my steps didn’t get heavier.

Next Story—->

Ontel bicycle in Pavilion of Bung Hatta Birthplace Museum

The combination of yellow, blue and orange was slightly tarnished by peeling of Banto Trade Center wall paint. But that wasn’t the focus, Ramlan Nurmatias and Joko Widodo’s handshake had stunned me. It seems that the Mayor and the number one person of my country have agreed on laying the first stone of Ateh Market revitalization project….Apparently, Bukittinggi is actively building.

Meanwhile, Banto Trade Center courtyard was be a trader area for selling vegetables on their cart and motorbike. Then far ahead, still in Soekarno Hatta Street, a golden plaque “Adipura Kencana” is upheld by a single white pole. Shows that this city is recognized for cleanliness throughout the country.

Sekitar dua kilometer sajalah, avku tiba di sebuah mulut gang. “Gg Komp Sabar” begitulah aksara dalam plat nama berwarna hijau yang ditegakkAbout two kilometers away, I arrived at an alleyway. “Gang Kompleks Sabar” were words in a green name plate which was placed on a black pole with a bigger size with thick white script “Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Proklamator RI, Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukittinggi

For eleven years, Bung Hatta lived in this house.

It is a duplication of original house architecture which if it still stands, it will be 160 years old. Unfortunately it had collapsed in the 60’s, but upon the chairman idea of Bung Hatta Education Foundation, it was rebuilt.

Built according to its original curves, according to its picture in memoirs and various family-owned documentation. In general, this house can also describe situation and past life of Bukittinggi society and especially Bung Hatta’s family.

Main Building

This Bukittingi’s typical house consists of main building, pavilion, rice barn, kitchen, horse stable and fish pond.

The main building itself consists of two floors and is at forefront of house area. The main building serves to receive guests, family dining room and bedroom of Bung Hatta’s mother, uncle and grandfather.

Here’s a glimpse of booths on main building’s second floor:

Floor 1.

Bung Hatta family photo.
Family meeting table.
Well.
Family dining table.

Floor 2.

Bung Hatta’s parents’ room, in this room Bung Hatta was born.
Guest dining table.

Pavilion

Behind the main building, a pavilion was built. This white wall building was used for kitchen, Bung Hatta’s bedroom, bathroom, horse stable and hansom cab room. From his bedroom, Bung Hatta began his education at Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. In his room is also stored bicycle which was often used Bung Hatta everyday. It was given by his parents since he was 8 years old.

Bung Hatta’s room near rice barn. Called as “Ruang Bujang“.

He lived with his grandfather, Syech Adurrachman, also known as Syech Batuhampar. His grandfather himself worked as a private post contractor.

At the end of my visitation, I was curious about Ma’ Etek Ayub profile as someone who helped Bung Hatta in continuing school, his profession was “Time Trade Practice”. Confused by this profession type, I asked to an elderly woman who worked to took care of this whole house.

Kitchen.
Horse stable.
Hansom cab as Bung Hatta’s vehicle to school.

Rice Barn

Like as past era houses, when this nation was still experiencing economic difficulties. Rice granaries are an effort to ensure family food security.

Rice storage barns.

After completing his primary education, Bung Hatta continued his secondary education at Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) or secondary school in Padang City.