Endemik Lokal di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru

<—-Kisah Sebelumnya

Tugu Ikan Selais Tiga Sepadan.

Adalah Tugu Ikan Selais Tiga Sepadan, icon pertama yang kujumpai di Jalan Jenderal Sudirman. Tak lain disebabkan karena tugu inilah spot terdekat dengan RTH Putri Kaca Mayang. Penggambaran kerukunan masyarakat yang disimbokan pada keharmonisan pahatan tiga ekor Ikan Selais yang merupakan satwa endemik di Pekanbaru.

Sebagaimana mestinya jalan protokol, maka Jalan Jenderal Sudirman memiliki pesona unggulan dengan sebaran arsitektur gedung-gedung modern. Tak begitu susah menemukan beberapa bangunan ikonik dengan arsitektur khas di sepanjangnya. Jalan protokol ini membentang sejauh 7,5 kilometer, bermula dari Jembatan Siak IV di ujung utara dan diakhiri di Pos Polisi Gurindam 3 di ujung selatan.

Pesona Jalan Jenderal Sudirman yang terlihat islami dengan papan Asmaul Husna.

Salah satu bangunan yang terlihat cukup mencolok adalah bangunan perpustakaan wilayah yang berada di bilangan 462, yang dikenal dengan nama Perpustakaan Soeman HS.

Soeman HS adalah sastrawan nasional Angkatan Pujangga Baru yang begitu fenomenal.

Sementara 700 meter ke utara perpustakaan terletaklah Titik 0 Km Pekanbaru yang ditandai dengan tugu Zapin, yaitu tugu berpola perempuan bersongket melayu dan berada tepat di tengah bundaran pertigaan. Sedangkan di sisi barat jalan terdapat gedung yang dikenal dengan nama Menara Lancang Kuning. Dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Riau, gedung sembilan lantai ini berfungsi sebagai kantor gabungan.

Menara Lancang Kuning.

Telah berusia 12 tahun, gedung ini memiliki Sky Garden di lantai teratas. Dibuka tanpa biaya untuk masyarakat yang ingin bersantai menikmati pemandangan indah kota dari berbagai sisi.

Kunjunganku sore itu diramaikan dengan tumpahnya masa sebuah organisasi massa keagamaan yang sedang melakukan protes di depan Kantor Gubernur. Sepertinya mereka memprotes keputusan negara yang membubarkan organisasi ini.

Oleh karenanya, aku tak bisa leluasa menikmati pesona keunikan Tugu Zapin yang area sekitarnya tertutup rapat oleh keberadaan para demonstran.

Tak bisa merangsek lebih jauh.

Sementara di sisi utara Menara Lancang Kunin tampak bangunan ikonik dengan arsitekturnya khas Melayu. Itulah Kantor Gubernur Provinsi Riau, gedung beratap depan tiga lapis dengan selembayung di setiap puncaknya dan memiliki lengkung-lengkung terbalik pada jendela depan. Sementara persis di sebelah kirinya adalah Masjid Kantor Gubernur Riau dengan kubah cokelat metalik bermotif jaring.

Kantor yang cukup luas.

Kembali ke arah selatan, sebelum menutup ekslplorasi di Pekanbaru, aku menemukan Gedung Bank Indonesia. Tak seperti kebanyakan Gendung Bank Indonesia di kota-kota besar lain yang sering menggunakan bangunan bekas Belanda, Gedung BI Pekanbaru ini lebih tampak seperti bangunan modern. Mungkin ini dikarenakan Pekanbaru adalah sebuah kota yang sedang aktif berkembang, jadi setiap bangunan penting yang dimiliki kota selalu serba baru.

Gedung BI yang bersembunyi di balik rindangnya pohon.

Langkahku kali ini akan menjadi langkah terakhir dalam bertamu di Pekanbaru, karena keesokan harinya aku akan bertolak menuju Bukittinggi.

Saatnya kembali ke Hotel dan beristirahat.

Selamat tinggal Pekanbaru, Selamat datang Bukittinggi.

Kisah Selanjutnya—->

Hukum Syariah di Balik Rumah Singgah Tuan Kadi

<—-Kisah Sebelumnya

Aku mulai meninggalkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas dengan berjalan kaki. Menyusuri Jalan Wakaf, aku perlahan mendekati seorang polisi lalu lintas yang sedang mengatur sebuah perempatan. Tak canggung, aku memanggilnya ketika dia masih membunyikan peluit mengikuti kedipan lampu hijau yang otomatis menggerakkan puluhan kendaraan untuk melintas perempatan itu.

Tak yakin menjawab pertanyaanku, dia berteriak kepada koleganya di pos. Setelah temannya merentangkan tangan sejajar jalan dan diikuti oleh telapak tangan yang membelok ke kanan maka polisi muda ini sangat yakin memberitahu arah terdekat menuju Sungai Siak kepadaku.

Hotel Mutiara Merdeka di Jalan Jembatan Siak I.

Menikmati satu bagian dari Sungai Siak saja, mampu membuatku kagum, hal ini tak lepas dari fakta sejarah dibalik aliran airnya. Siak adalah nama kesultanan yang pernah berdiri di badan sungai ini. Andai aku bisa merekonstruksi sejarah perjalanan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang pernah berjaya itu, tentu akan menyempurnakan petualanganku di Pekanbaru.

Berlama-lama di atas Jembatan Siak I, sejauh tangkapan mata memandang, terlihat jelas Jembatan Siak III tepat di depanku dan membayang di belakangnya adalah Jembatan Siak IV (lebih dikenal dengan nama Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah) yang belum selesai konstruksinya. Sementara dari posisi berdiri, aku memunggungi Jembatan Siak II.

Sungai Siak yang dahulu dikenal dengan nama Sungai Jantan.

Warna air cokelat cerah dan lebar sungai yang merepresentasikan kegagahan Sungai Siak disempurnakan dengan hijaunya badan sungai yang menyejukkan siapa saja yang berada di tepian. Secara geografis, sungai ini melewati Kabupaten Rokan Hulu, Bengkalis, Siak dan Kota Pekanbaru.

Selanjutnya, aku terus menyusuri jalan kecil di pinggiran sungai hingga sampai pada sebuah taman terbuka tepat di bawah jembatan Siak III yang lebih dikenal dengan nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Para encik dan puan tampak riang bercengkerama dengan teman atau pasangannya menikmati damainya suasana sekitar sungai. Di sisi seberang, jelas terlihat kesibukan Kantor Kepolisian Air Polda Riau. Terlihat dua kapal patroli cepat bersandar di tepinya.

Riverside park di bawah Jembatan Siak III.

Sementara bersebelahan dengan riverside park tampak sebuah rumah panggung dengan warna dominan kuning muda. Dengan pelataran rumput bergradasi hijau dan keramik berpola bujur sangkar hitam-oranye yang di ujungnya dibatasi musholla dan area pantau sungai. Pelataran ini dikenal dengan nama Taman Tuan Qadhi.

Rumah Singgah Tuan Kadi.
Taman Tuan Qadhi.

Tuan Kadi/Qadhi adalah gelar yang ditabalkan Sultan kepada seseorang yang ditunjuk sebagai penasehat dalam hukum syariah Islam (Nasyih) serta berperan sebagai hakim munaka’ah dalam urusan pernikahan dan pembagian tarakah pusaka di wilayah Kesultanan Siak.

Setelah pendudukan Kolonial Belanda, gelar tuan Kadi/Qadhi disematkan kepada Ketua Kerapatan Syariah Kesultanan Siak. Rumah ini sendiri adalah milik Tuan Qadhi Haji Zakaria bin Haji Abdul Muthalib yang pernah memegang jabatan itu. Dan pada masanya, rumah ini pernah menjadi tempat singgah Sultan Syarif Kasim II, raja Siak ke-12.

Hhmmhh….Sudah lewat tengah hari, mari kita Shalat Dzuhur……Ikut ke Masjid peninggalan Kesultanan Siak, yuk!

Kisah Selanjutnya—->