Alun-Alun Palembang: Aroma Kemakmuran Sungai Musi

<—-Kisah Sebelumnya

Sinar surya masih saja terik ketika aku meninggalkan halaman depan Benteng Kuto Besak.

Jarum jam merapat ke angka tiga, pertanda bahwa sebentar lagi surya akan tenggelam. Tapi aku masih enggan merapat ke penginapan walaupun sebenarnya waktu check-in sudah lewat.

Masih memanggul backpack berukuran besar, aku yang sedari beberapa waktu sebelumnya berdiri di samping Air Mancur Kuto Besak, untuk kemudian mengarahkan ke pandangan ke hamparan memanjang Sungai Musi nan elok. Dari kejauhan saja, sungai besar itu begitu mengundang rasa penasaran.

Alun-Alun Palembang.
Tugu Ikan Belido.

Sementara di sisi barat, tampak keberadaan Tugu Ikan Belido. Ikan yang biasanya sering kutemukan di kemasan kerupuk khas Sumatera. Ikan inilah yang menjadi satwa endemik Sungai Musi.

Karena rasa penasaran yang tinggi akan bentuk ikan Belida yang sesungguhnya, maka aku mendekati tugu tersebut. Seakan menjadi magnet tersendiri, Tugu Ikan Belido tersebut menjadi titik favorit yang sering dikunjungi para warga lokal untuk sekedar berfoto atau duduk  disekitarnya demi menikmati suasana indah di sore hari. Tugu itu memang tampak klasik karena paduan motif songket khas Palembang yang tersemat di badan bangunan.

Aku hanya sebentar saja menikmati tugu itu, karena selanjutnya aku lebih tertarik untuk duduk dan menikmati aktivitas di sepanjang Sungai Musi.

Duduk di salah satu sisi, aku menikmati aktivitas bocah-bocah Sekolah Dasar yang sedang mandi di tepian sungai. Mereka berempat melompat berkali-kali ke bagian sungai yang tenang, bahkan tampak cuek tanpa busana sekalipun, mereka asyik dengan dunianya sendiri. Seolah mereka tak memperhatikan sekian pasang mata sedang memperhatikan polah mereka yang mengundang gelak tawa. Sesekali seorang bapak tua sang pemilik perahu angkutan umum memeperingatkan mereka untuk tidak melompat di beberapa bagian berbahaya karena keberadaan tonggak-tonggak kayu yang runcing.

Sementara itu di sisi lain, lalu lalang kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara membuat sepanjang aliran Sungai Musi tampak makmur. Kapal-kapal itu tampak menghantarkan hasil tambang batu bara ke beberapa smelter di bagian hilir sungai.

Perahu-perahu angkutan penumpang sederhana menjadi bumbu lain yang memenuhi aktivitas di tepian sungai musi. Perahu Ketek namanya, mungkin karena bunyinya yang bersuara “tektektektektek”. Sungai Musi tampak menjadi nadi kehidupan tersendiri bagi masyarakat Kota Palembang.

Aku begitu terhanyut dengan aura kesibukan di sepanjang Sungai Musi, sementara di belakangku aktivitas lain masyarakat mulai terlihat. Lapak-lapak kuliner mulai disusun, penjual mainan anak-anak mulai berdatangan dan persewaan wahana permainan anak-anak mulai bergeliat. Aku yang kemudia menengok dan menghadap ke belakang merasa terkagum dengan keramaian itu. Aku pun bertanya kepada seorang ibu yang sedang mendorong anaknya di sebuah stroller.

“Ramai banget ada acara apa ya, Bu?”, aku bertanya dengan polosnya

“Itu acara untuk menyambut perayaan tahun baru, Bang”, dia menjawab penuh senyum

“Oalah, saya lupa Bu kalau malam nanti itu malam tahun baru”, aku terkekeh. “Ada kembang api ya, Bu di Jembatan Ampera nanti malam?”, aku menambahkan pertanyaan.

“Oh engga, Bang. Pertunjukan kembang api masih dilarang karena kan masih PPKM level 3, takut mengundang keramaian”. Sang Ibu menjelaskan.

“Oh bener juga ya, Bu”, aku mengangguk paham.

Tongkang Pengangkut Batubara.
Jembatan Ampera terlihat dari Alun-Alun Palembang.
Geliat keramaian menyambut perayaan tahun baru.

Maka sebagai langkah penutup, sore itu aku menyempatkan waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat dertan tenda dan lapak yang didirikan. Dan setelahnya aku memutuskan untuk menyegerakan diri menuju penginapan yang sudah aku pesan  secara daring. Penginapan itu berada di daerah Siring Agung.

Aku memesan ojek online dan menuju ke penginapan…..

Kisah Selanjutnya—->

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II: Kisah untuk Generasi Muda Bangsa

<—-Kisah Sebelumnya

Usai satu jam menikmati panorama di atas Jembatan Ampera, maka aku memutuskan untuk turun. Melangkahlah kaki menuju pangkal jembatan sisi utara, aku kembali mengitari Bundaran Air Mancur Palembang. Dengan susah payah aku menyeberangi Jalan Mayjen. H. M. Ryacudu yang siang itu dialiri arus cepat kendaraan.

Berhasil menyeberangi jalan lebar itu dengan pengawasan seorang opsir polisi lalu lintas, lantas aku melintas di depan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) yang di setiap sisinya rapat tertutup lembaran-lembaran seng. Monumen kenamaan Palembang itu sedang mengalami renovasi besar-besaran.

Aku mengindahkan keberadaannya dengan terus melangkah menyusuri salah satu sisi Taman Ampera. Aku mantab melangkah menuju ke suatu tempat yang telah kuincar sedari beberapa waktu sebelumnya.

Ya….Aku ingin mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Maka beberapa menit kumudian, aku benar-benar tiba di pelataran museum besar itu. Berdiri di pelatarannya, sejenak aku termangu. Bangunan dua lantai berarsitektur khas Eropa itu lengang, tampak tak ada siapapun di sana.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, memberanikan diri untuk menaiki tangga kembarnya yang dipisahkan oleh tiang gerbang lantai pertama. Begitu tiba di lantai atas, tetiba ada seorang lelaki setengah baya memanggilku.

TIketnya di lantai bawah, dek”, dia menunjukkan tangan ke pintu gerbang lantai pertama.

Oh, baik, pak”, aku enoleh dan sigap menjawab.

Aku pun bergegas turun dan dengan cepat menuju loket penjualan tiket di lantai pertama. Loket itu berada di ruangan sebelah dalam.

Pantas tak terlihat”, aku membatin.

Usai memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, aku diberikan selembar tiket masuk oleh seorang pria muda sang penjaga loket.

Aku juga diberikan sebuah tas jinjing berbahan kain. Cukup mudah untuk memahami bahwa tas itu berfungsi untuk menaruh sepatu. Hal itu memiliki arti bahwa setiap pengunjung harus bertelanjang kaki dalam mengeksplorasi museum.

Tak membuang waktu, aku kembali naik ke lantai atas untuk memulai petualangan.

Pada tahap awal, museum ini memamerkan beberapa prasasti kuno. Maka pada salah satu spot, aku tertegun di depan prasasti Kedukan Bukit. Dahulu, aku sering mendengar nama prasasti ini di dalam buku pelajaran sejarah. Di depan prasasti itu, aku khusyu’ mengamati aksara Pallawa yang tertera di permukaan batu hitam. Kedukan Bukit sendiri adalah nama desa dimana prasasti ini ditemukan oleh arkeolog C.J Batenberg.

Tulisan dalam Prasasti itu mengisahkan perjalanan seorang Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang bersama 20.000 pasukannya usai menaklukkan daerah Bernama Minanga.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kursi yang dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Kayaknya itu singgasana raja deh.
Andai kamarku kek gitu…wkwkwkwk.
Gucinya keren kan?…

Peninggalan sejarah lain yang dipamerkan di museum itu adalah Prasasti Talang Tuo, Prasasti Boom Baru, patung Budha berukuran kecil, berbagai macam kendi masa lalu, pakaian kebesaran para petinggi Kerajaan Palembang, beberapa senjata tradisional khas Palembang seperti Roodoos, Tumbak Lado serta kerajinan kuningan.

Sedangkan hiasan dinding meseum menampilkan beberapa informasi bersejarah seperti selembar peta yang dibuat oleh anak buah Laksamana Cheng Ho bernama Ma Huan, peta perdagangan pada zaman keemasan Sriwijaya, silsilah raja Palembang, peta Keraton Kuto Gawang, lukisan tentang Perang Palembang antara Kesultanan Palembang melawan Kolonial Belanda yang meletus pada tahun 1821 hingga masa pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Jalur kunjungan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin  II ini dimulai dari lantai kedua dan diakhiri di lantai pertama.

Selama tak kurang dari satu jam aku menikmati perjalanan sejarah Palembang di museum tersebut.

Kisah sejarah yang perlu dipahami oleh generasi muda bangsa…………….  

Kisah Selanjutnya—->

Jembatan Ampera: Terik pun Tak Ku Hiraukan

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas Shalat Jum’at aku kelaparan. Lantas apakah lapak para pedagang makanan yang digelar di pelataran masjid membuatku tertarik dan singgah?….Tidak….Aku ingin menikmati sesuatu yang berbeda di Bumi Sriwijaya.

Sampai jumpa lagi Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin, semoga aku bisa mengunjungimu lain waktu?”, aku melangkah pergi.

Pesan Whatsapp dari seorang kolega di Palembang mulai menginisiasi langkah kaki untuk menelusuri keramaian di kawasan 16 Ilir. Inilah kawasan ekonomi masyarakat, sebuah kawasan seluas hampir tiga puluh hektar yang secara mayoritas ditempati oleh pertokoan dan lapak-lapak perniagaan.

Faktanya, menjelajah di beberapa penjuru kompleks perniagaan itu tak membuatku menemukan tempat makan dengan mudah.

Hingga akhirnya langkahku merapat di tepian Sungai Musi.

Yeaaai….Akhirnya makan siang juga”, aku berhore ria ketika membaca tajuk sebuah gapura kecil, “Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi”. Begitulah bunyi tajuk yang kumaksud.

Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi>
Pindang Patin khas Palembang.

Aku yang kelaparan akut, tanpa pikir panjang memasuki deretan kedai kuliner tersebut. Satu hal yang mampu membangkitkan antusiasku ada panorama Sungai Musi dari dekat. Sebuah konsep wisata kuliner yang cukup cerdik. Memanjakan para pengunjung untuk bersantap makanan sembari menikmati padatnya aktivitas Sungai Musi.

Maka terduduklah aku di sebuah kedai, untuk kemudian memesan seporsi Pindang Patin untuk mengusir rasa lapar yang kutahan sedari beberapa waktu sebelumnya.

Tak lama kemudian, pesanan itu benar-benar tiba, aku pun mulai menikmati makanan khas Palembang tersebut. Saking khusu’nya, aku bahkan tak mempedulikan beberapa musisi jalanan yang bernyanyi di sepanjang deretan kedai kuliner….Maafkan aku, mas-mas pengamen.

Menebus seporsi Pindang Patin dengan harga lima belas ribu rupiah, aku pun meninggalkan pusat kuliner tersebut. Langkahku jelas dan pasti.

Jembatan Ampera….Aku segera datang”, aku membatin.

Melangkah ke arah selatan, aku berusaha mendekat ke jembatan terkenal itu. Tiang jembatan sangat terlihat jelas dari kawasan 16 Ilir.

Beruntung aku menemukan tangga tepat di bawah jembatan. Tangga itulah yang bisa mengantarkan para pengunjung yang berada di Kawasan 16 Ilir menuju bagian deck (lantai jembatan).

Menaiki tangga dengan melingkari salah satu pier (pilar jembatan), aku akhirnya berhasil mencapai bagian deck.

Entah kenapa, begitu menapaki bagian deck dan memandangi dua tiang raksasa jembatan berwarna merah, aku bisa tersenyum sendiri. Sudah sekian lama, aku hanya mampu menikmatinya dari layar telivisi dan surat kabar saja….

Parah ah, kamu, Donny”, aku mengutuki diri sendiri yang bahkan tak pernah menyempatkan diri melongok keindahan Bumi Sriwijaya.

Ulala….Jembatan Ampera.
Tiang-tiang raksasanya membuatku terkagum.
Dermaga di bawah Jembatan Ampera.
Stasiun LRT Ampera
Pasar 16 Ilir.

Pukul setengah dua siang, terik matahari masih mampu membakar kulit. Aku yang tak berpelindung apapun tak menghiraukan sengatan matahari tersebut. Aku justru menyandarkan badan di pagar jembatan dan menikmati aktivitas pelayaran di sepanjang aliran Sungai Musi.

Pemandangan itu sesekali diperindah dengan melintasnya LRT Sumatera Selatan yang jalur rel layangnya sejajar dengan deck jembatan Ampera.

Aku yang tak puas-puasnya menikmati keanggunan Jembatan Ampera bahkan merelakan diri untuk berlama-lama duduk di bangku trotoar jembatan walau siang itu cuaca masih sangat terik.

Damn…I Love Palembang”……

Kisah Selanjutnya—->

Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikramo: Khawatir COVID-19

<—-Kisah Sebelumnya

Voice announcement menggema di langit-langit gerbong. Aku yang tersadar pun segera bangkit demi bersiap turun. Dalam beberapa menit ke depan LTR akan berhenti di Stasiun Ampera.

Hatiku sungguh berdebar, mirip ketika hendak bertemu kekasih hati…. 😊 😊 😊

Tak kusangka aku akan melihat secara langsung Jembatan Ampera yang tersohor di seluruh negeri tersebut.

Lewat dari pukul setengah dua belas siang, kereta benar-benar merapat di Stasiun Ampera.

Aku akhirnya turun…..

Menapaki peron stasiun, aku menyempatkan diri untuk mengambil beberapa gambar menarik dari sebuah sisi. Lalu aku pun bergegas menuruni anak tangga untuk tiba di lantai dasar stasiun.

Namun aku hanya melihat bagian pangkal jembatan yang sejajar dengan tangga stasiun yang saat itu sedang kuturuni. Aku belum bisa melihat dengan jelas tiang Jembatan Ampera. Membuatku semakin merasa penasaran.

Akhirnya aku tiba di lantai dasar…..

Tapi aku bimbang ketika mendengar adzan.

Dijamak atau engga ya?”, perdebatan dalam batin muncul. Itu karena aku berkehendak kuat untuk segera menuju penginapan.

Sepuluh menit aku terduduk berpikir di lantai dasar stasiun. Selama itu pula, seorang security stasiun memperhatikan apa yang aku lakukan.

Mengetahui aku diawasi, maka aku pun beranjak pergi dan memutuskan untuk menuju ke Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin. Aku telah memutuskan untuk menjalankan Shalat Jum’at.

Ini akan menjadi shalat jum’at pertamu di Palembang, Donny”, aku menguatkan niat.

Maka melangkahlah aku ke utara, menuju Bundaran Air Mancur Palembang. Karena letak masjid agung ada di sisi barat air mancur tersebut.

Melangkah hampir 300 meter aku tiba di bundaran tersebut, hal itu menandakan aku telah berdiri di Titik Nol Kota Palembang. Aku berdiri kagum di salah satu sisinya, merasakan lembut dan sejuknya buih-buih halus yang tercipta dari air mancur hingga tak kusadari Canon EOS M10 yang terkalung di leher menjadi basah. Konon transformasi dari air mancur dan kemudian berubah menjadi buih-buih lembut adalah hasil dari teknologi bawaan yang disematkan dalam sistem kerja air mancur.

Pangkal Jembatan Ampera.
Bundaran Air Mancur Palembang
Bersiap mendengar khutbah jumat.
Bentuk kubah utama masjid agung dari dalam.
Serambi utama masjid agung.
Menara masjid agung berarsitektur Tiongkok.
Bagian muka masjid agung.

Aku pun bergegas pergi untuk menghindari rusaknya kamera. Aku segera memasuki pelataran masjid agung dan bersiap diri untuk menunaikan ibadah Shalat Jum’ at. Aku melipir ke salah satu sisi untuk masuk ke ruangan bersuci.

Usai berwudhu, aku pun memasuki masjid terbesar di Palembang yang merupakan peninggalan dari Kesultanan Palembang Darussalam. Suasana masjid yang sangat dipenuhi jama’ah sangat membuat nyaliku ciut.

Mereka tidak masalah jika terkena COVID-19…..Tidak denganku, jika terpapar maka aku tidak bisa pulang dan harus mengisolasi diri di Palembang selama 10 hari”, aku bergumam.

Walau waktu itu, para jama’ah masih mengambil jarak ketika shalat, aku tetap mengambil tempat paling belakang, posisi paling dekat dengan ruang terbuka sebagai bentuk antisipasi.

Walau tak khusyu’ sepenuhnya, aku cukup bahagia bisa merasakan shalat berjama’ah di masjid berusia lebih dari dua setengah abad tersebut.

Hari pertama penuh makna di Bumi Sriwijaya….

Kisah Selanjutnya—->