Ngarai Sianok, Patahan Alam yang Sempurna

Bertaruh dengan hujan, kutinggalkan Kinantan Zoo. Kufikir akan sangat merugi untuk melepas begitu saja pesona patahan alam yang dimiliki Kota Bukittinggi itu. Undur diri melalui alur yang sama sedari memasuki Fort de Kock, Jembatan Limpapeh dan TMSBK, kini aku sudah berdiri lagi di gerbang terdepan benteng persegi itu.

Anak muda usia datang dengan senyum menghampiriku. Dialah ojek online yang kunanti untuk mengantarkanku ke tujuan berikutnya. Dalam perjalanan cepat itu, dia berujar “Uda, di bawah signal akan jelek, jika mau di jemput pulang setelah selesai berkunjung, saya siap ambil”. Karena sifatku yang tak mau diburu-buru untuk menikmati sesuatu, apalagi tentang keindahan alam maka aku menolaknya halus.

Jalan Dr. Abdul Rivai sudah selesai kulewati hingga ujung. Itulah nama jalan untuk mengenang seorang Bumiputera yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda melalui ranah jurnalistik. Selanjutnya jalanan mulai menukik tajam ketika haluan berubah ke kanan.

Perjalanan menukik sejauh satu kilometer itu tersuguhkan pemandangan lembah yang sungguh mempesona di kiri-kanan Jalan Binuang. Janjang Koto Gadang bak miniatur Tembok Besar China tampak dalam sekelebat mata. Aku tak punya waktu lagi untuk melongoknya karena harus bertaruh dengan jadwal jasa travel menuju ke Kota Padang.

Selamat Datang di Kenagarian Sianok Anam Suku”, tertulis di bagian atas sebuah gapura tepat di tengah jembatan penghubung dua sisi lembah yang terpotong oleh Sungai Batang Sianok. Di tiang kanan memberitahu bahwa aku sedang berada di Kecamatan IV Koto, sedangkan tiang sebelah kiri memberitahu bahwa aku berada di Kabupaten Agam.

Sungai Batang Sianok yang dangkal.

Sungai selebar dua puluh meter itu sepertinya tak pernah murka meluapkan air. Perkiraanku itu sangat beralasan dengan keberadaan bangunan semi-permanen bahkan permanen di tepian sungai. Dan entah, endapan tanah berpasir di tengah sungai itu dihantarkan dari mana oleh arus sungai.

Sisi lain Sungai Batang Sianok.

Tak bisa kubayangkan bagaimana dua sisi tebing yang awalnya menyatu itu kemudian bergeser berlawanan arah membentuk patahan tegak lurus sempurna dan menciptakan lembah memanjang yang kemudian diinvasi oleh air untuk membentuk sebuah sungai alami.

Dan….Hujan lebat pun sungguh turun…..

Membuatku terbirit meninggalkan ngarai dan mencari tempat berteduh.  Teras “Rumah Makan Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai” menjadi tempat nyaman untuk berteduh walau aku terus diawasi oleh pemiliknya lekat-lekat. Akhirnya kuberanikan diri meminta izin untuk berteduh sementara.

Benar adanya, aku benar-benar tak mendapatkan signal untuk memanggil ojek online ketika hujan mulai mereda. Aku berusaha mencari pijakan yang lebih tinggi untuk kemudian mendapat dua bar signal cell. Susah payah kupesan ojek online yang berkali-kali tertolak. Hingga akhirnya, pada panggilan kelima aku dijemput oleh seorang ibu paruh baya dengan scooter maticnya dan mengantarkan ke destinasi terakhirku di Bukittinggi.

Ngarai Sianok tertangkap dari Taman Panorama.
Pemandangan Ngarai Sianok berlatar Gunung Singgalang….Cantik bukan?

Kisah Selanjutnya—->

Janjang Ampek Puluah, Perwujudan Integrasi Zaman Kolonial

Beranjak dari Taman Monumen Proklamator Bung Hatta, Aku bergerak turun menyusuri Jalan Istana, melintas Plaza Bukittinggi, menyapa Jam Gadang, menapak di Jalan Minangkabau kemudian masuk ke Jalan Cindua Mato.

Selangkah kemudian, aku memasuki Pasar Atas. Sebagian besar kios masih tertutup karena aku terlalu pagi menyambanginya. Tak ada yang bisa kuperbuat, hanya beberapa kios yang sedang bersiap membuka diri, ditandai dengan si empunya yang sibuk menata barang dagangan.

Senyap.

Kini aku sudah berada di gerbang dengan pemandangan leretan curam anak tangga, dua ekor harimau mengawal gerbang di kiri-kanannya, sementara di ujung bawah sudah terlihat sekelumit keramaian perniagaan, mungkin itulah yang disebut dengan Pasar Banto.

Aku menuruninya perlahan sambil mulut berkomat kamit menghitung bilangan….Benar ternyata,  empat puluh anak tangga. Leretan anak tangga inilah yang dikenal dengan nama Janjang Ampek Puluah. Konon empat puluh melambangkan jumlah anggota Niniak Mamak.

Tangga penghubung legendaris.

Sungguh cemerlang Louis Constant Westenenk, Si Asisten Residen Agam (Controleur Agam) yang berkolaborasi dengan Niniak Mamak (Lembaga Adat Minangkabau) dalam mencetuskan integrasi Pasar Atas-Pasar Bawah-Pasar Banto pada awal Abad XX. Kala itu Janjang menjadi fasilitas populer dalam konektivitas pasar. Daya fikir pemimpin pada masa itu, benar-benar diperas untuk menata kota Bukittinggi yang memiliki topografi berbukit dan tidak rata.

Aku tiba di gerbang bawah empat tiang bergaya Eropa dengan signboard besar “Janjang Ampek Puluah”. Toh, akhirya kuketahui bahwa gerbang bawah ini adalah bangunan baru, melengkapi gerbang bagian atas yang sudah lebih dahulu ada.

Gerbang bawah bergaya kolonial.
Gerbang Bawah tampak dari pertigaan Jalan Pemuda, Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Soekarno Hatta.

Sementara di bagian samping dalam gerbang, terdapat prasasti yang berisi sejarah ringkas keberadaan janjang legendaris setinggi 5 meter dan lebar 4,6 meter yang dibangun pada masa lampau itu.  

Aku masih saja memandangi keanggunan fasilitas integrasi era kolonial ini, sementara warga tampak mulai berlalu lalang menaik turuni Janjang. Aku memang tak mau lekas meninggalkan area itu, tertegun memikirkan bagaimana perwujudan area ini ketika Janjang belum direalisasikan, mungkin tempatku berdiri itu masih berwujud perbukitan curam yang memisahkan ketiga aktivitas pasar.

Janjang Ampek Puluah hanyalah satu dari seian banyak Janjang di Bukittinggi. Rupaya Pemerintah Kolonial cukup serius dalam mengintegrsikan semua titik ekonomi kota kala itu. Perlu kamu ketahui bahwa masih ada Janjang Saribu, Janjang Koto Gadang dan Janjang Pasanggrahan di kota bernama lama Fort de Kock itu.

Di sisi luar gerbang, lalu lalang angkutan kota mulai mendenyutkan nadi kota. Penampakan angkuh Banto Trade Centre semakin menunjukkan bahwa daerah di sekitarnya dapat diandalkan sebagai mesin penggerak ekonomi kota.

Okay lanjut yuk….Kalau berjalan lurus kedepan, ada apa lagi ya?

Kisah Selanjutnya—->

Sianok Canyon, Perfect Natural Fracture

Bet with rain, I left Kinantan Zoo. I think it would be very disadvantage to just let go of Bukittinggi’s natural fracture charm. Going through same path as I entered Fort de Kock, Limpapeh Bridge and TMSBK, now I was standing again at front gate of that square fort.

A young age man came with a smile approaching me. He was an online motorcycle taxi that I was waiting to take me for next destination. On fast journey, he said “Brother, your signal will be bad at valley , if you want to be picked up after finishing your visitation, I’m ready to take“. Because my habit that doesn’t want to be rushed in enjoy something, especially about the beauty of nature, I refuse it subtle.

Dr. Abdul Rivai Street had finished to be passed until the end. That is the road name to remember a “Bumiputera (local people)” who had fought against Dutch colonialism through journalism realm. Next, the road started to sharply swoop when I turned to the right.

One kilometer swoop down trip presented a breathtaking view of valleys on either side of Binuang Street. Janjang Koto Gadang like a Great Wall of China miniature looked in a flash of eyes. I didn’t have time to visit it because I had to bet with travel services schedule to Padang.

Welcome to Kenagarian Sianok Anam Suku“, written at top of a gate which is located precisely in middle of bridge which connecting two valley sides which is cut off by Batang Sianok River. On right pillar told that I was in Sub-Districts IV Koto, while the left one told that I was in Agam Districts.

The shallow Batang Sianok River.

The twenty meter wide river never seemed to be angry with spilling flood. My estimation is very reasonable with existence of semi-permanent and even permanent buildings in river banks. And somehow, sandy soil deposits in the middle of river were delivered from some where by river currents.

The other side of Batang Sianok River.

I can’t imagine how two sides of cliff that were originally fused then shifted in opposite direction to form a perfectly perpendicular fracture and created an elongated valley which was then invaded by water to form a natural river.

And…. Heavy rain was really falling…..

Made me to escape from canyon and looked for a shelter. “Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai” restaurant terrace became a comfortable place to shelter even though I was closely watched by its owner. Finally I dared myself to ask permission for temporarily took shelter .

It was true, I really didn’t get a phone signal to call a online motorcycle taxi when it started to rain. I tried to find a higher place and then get two signal cell bars. I struggled to order an online motorcycle taxi that was repeatedly rejected. Until finally, on fifth call I was picked up by a middle-aged woman with her scooter matic and delivered me to my last destination in Bukittinggi.

Sianok canyon was captured from Panorama Park.
Sianok Canyon view with Singgalang Mountain background… Isn’t it beautiful?

Janjang Ampek Puluah, Integration Manifestation in Colonial Era

Moving from Bung Hatta Proclamator Monument Park, I moved down along Istana Street, across Plaza Bukittinggi, greeting Gadang Clock Tower, treading on Minangkabau Street and then entering Cindua Mato Street.

A step later, I entered Pasar Atas. Most of stalls were still closed because I was too early to visited it. There was nothing I could do, only a few stalls which were preparing to open, marked by its owners who was busy arranging their trade goods.

Quiet.

Now I was at a gate with a view of steep steps, two tigers guard it on either side, while at lower end was seen a bit of trading crowd, maybe that was Banto Market.

I slowly descended while my mouth muttering count numbers….It’s true, forty steps. These rows of stairs are known as Janjang Ampek Puluah. It is said that forty symbolizes number of Niniak Mamak members.

Legendary connecting stairs.

Brilliant thinking for Louis Constant Westenenk (Agam Resident Assistant/Controleur Agam) who collaborated with Niniak Mamak (Minangkabau Customary Institution) in sparking an idea to integrated of Pasar Atas (Upper Market) – Pasar Bawah (Lower market) – Banto Market in early 20th century. At that time, Janjang became a popular facility in market connectivity. The thinking power of leaders at that time was really squeezed in order to organize Bukittinggi city which had a hilly and uneven topography.

I arrived at lower gate with four poles and European style, also with a large signboard “Janjang Ampek Puluah“. After all, I finally knew that this lower gate was a new construction, complementing the upper gate which had already existed.

Colonial style lower gate.
The Lower Gate was seen from T-junction of Pemuda Street, Perintis Kemerdekaan Street and Soekarno Hatta Street.

While at inner side of lower gate, there is an inscription which contains a brief history of legendary Janjang existence as high as 5 meters and 4.6 meters in wide which was built in the past.

I was still staring at the elegance of this colonial era integration facility, while residents seemed to be moving up and down at Janjang. I really didn’t want to leave this area quickly, stunned to think of how form of this area when Janjang hadn’t been built, maybe where I stood was still in the form of steep hills which separating three market activities.

Janjang Ampek Puluah is just one of many Janjang in Bukittinggi. Apparently Colonial Government was quite serious in integrating all city economic spots at that time. You need to know that there are still Janjang Saribu, Janjang Koto Gadang and Janjang Pasanggrahan in the town which called as Fort de Kock in its past time.

At outer side of gate, public transportations start to generating city pulse. The appearance of imperious Banto Trade Center increasingly shows that the surrounding area can be relied upon as a driving force for city’s economy.

Okay let’s continue….If you go straight ahead, what else is there?