Rezeqi di Masjid Raya Mujahidin

Sudah hampir tengah hari ketika aku selesai mengeksplorasi Kompleks Perkampungan Budaya di Jalan Sultan Syahrir. Aku pun memutuskan untuk undur diri demi menuju ke destinasi berikutnya.

Aku kembali berjalan kaki menelusuri Jalan Sultan Syahrir dan berlanjut ke Jalan Sultan Abdurrahman.

Karena terpapar lapar maka di sepanjang jalan aku mencari keberadaan rumah makan. Hingga akhirnya aku menemukan rumah makan Padang di sisi jalan Sultan Abdurrahman, “Rumah Makan Mandala” namanya.

“Cumi, Da. Makan sini ! ”, aku memesan sebuah menu ke pemilik rumah makan yang tampak asli berperawakan Minang. Seporsi nasi cumi itu kutebus dengan harga Rp. 27.000 bersamaan dengan tambahan segelas es jeruk.

Aku memang tak berlama-lama bersantap siang, mengantisipasi langit yang semakin gelap. Melangkah sebetar daru rumah makan, aku mulai keluar dari jalan utama dan memasuki Jalan Mohammad Sohor yang kedua ruasnya dipisahkan oleh parit.

Berjalan keluar dari jalan utama sejauh lebih dari setengah kilometer aku berganti arah di Jalan H. Siradj. Aku mulai memasuki jalur perkampungan dan menyasar Masjid Raya Mujahidn dari sisi belakang.

Taman Akcaya di Jalan Sultan Syahrir.
Ujung Jalan H. Siradj.

Genap berjalan kaki selama setengah jam dan menempuh jarak hampir 2,5 kilometer untuk kemudian aku tiba di Masjid Raya Mujahidin sisi selatan.

Usai mengambil beberapa foto masjid dari beberapa sudut pandang di halamannya, aku memutuskan untuk menunaikan Shalat Dzuhur yang sudah terlambat.

Selesai bersuci di bangunan yang terpisah dari bangunan utama masjid, aku segera memasuki ruangan utama masjid di lantai dua. Masu untuk pertama kalinya, aku terkesima dengan desain interior masjid yang super megah.

Nama “Mujahidin” tak lain untuk menghargai perjuangan rakyat Pontianak dalam perjuangan kemerdekaan serta perjuangan syiar agama Islam di kota itu. Masjid berusia hampir setengah abad itu tentu menjadi kebanggan masyarakat Pontianak karena kemegahan dan kemakmurannya.

Menempati lahan seluas 4 hektar, masjid ini mampu menampung hingga 9.000 jama’ah di dalamnya. Dipergagah dengan keberadaan 4 menara kembar di setiap sisinya dan disetiap ornament masjid mengandalkan mozaik khas Kalimantan.

Masjid Raya Mujahidin.
Ruangan utama di lantai 2.
Ruangan utama di lantai 2.

Adalah empat bangunan terkenal yang mengilmahi arsitektur masjid ini, yaitu Masjid Cordoba dan Istana Alhambra di Spanyol serta Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Arab Saudi.

Purna menunaikan shalat tetiba gawai pintarku mengantarkan sebuah pesan. Ternyata pesan singkat itu berasal dari salah satu pimpinanku di kantor yang asli Pontianak. Dengan kebaikannya, dia menawarkan aku berwisata kuliner ke Pondok Pengkang di daerah Peniti, Kecamatan Siantan.

Sebetulnya aku menolak dengan halus permintaan itu, tetapi memang dia memberikan saran “ Belum ke Pontianak kalau kamu belum berwisata kulier ke Pondok Pengkang, Donny. Jangan khawatir, kamu tunggu saja di masjid, nanti abangku akan menjemput dan mengantarkanmu ke sana, Namanya Koh Hendra, begitu ucapnya.

Apa boleh buat, tentu ini menjadi sebuah rezeqi yang tak boleh ditolak. Maka aku segera menghentikan eksplorasiku di Masjid Raya Mujahidin dan mengambil duduk di salah satu sisi terasnya demi menunggu kehadiran Koh Hendra yang akan datang menjemputku

Tukang Foto Keluarga di Rumah Adat Melayu

UP2U Food Court.

Aku baru saja usai menunaikan Shalat Maghrib di dalam kamar bernomor 319 milik G-Hotel Pontianak untuk kemudian waktu biologis makan malamku pun tiba tepat waktu….Aku kelaparan.

Aku memutuskan untuk segera turun ke lobby dan mencari tempat makan terdekat dari hotel. Berjalan menuju timur akhirnya aku menemukan sebuah food court yang menyediakan banyak pilihan. Adalah UP2U Food Court yang menyediakan beberapa outlet kuliner di dalamnya, seperti MEAET, ToriFuru, Sumo Squid, Ayam Gepuk Djogja, Tarohouse dan lainnya.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasukinya dan segera berburu menu yang cocok dengan seleraku malam itu. Puas berkeliling, akhirnya aku memesan sate cumi dengan sambal terasi untuk kemudian kusantap di sebuah meja di pojok food court yang cenderung jauh dari kerumunan pengunjung.

Dan di akhir cerita, makan malam itu aku tutup dengan membeli segelas jus mangga di sebuah kedai “Aroma Jus” yang berlokasi di samping timur hotel.

—-****—-

Pagi kembali tiba……

Dari semalam aku sudah menetapkan rencana untuk mengunjungi Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng di daerah Sungai Bangkong yang berjarak hampir empat kilometer di sebelah barat G-Hotel Pontianak.

Tak ada pilihan yang lebih baik tentunya selain memesan transportasi online menuju ke sana. Oleh karenanya sehabis sarapan di restoran hotel aku segera mengambil duduk di lobby untuk berburu trasnportasi online melalui aplikasi.

Tak lama kemudian….transportasi online itu datang. Usai mengonfimasi tujuan aku segera naik dan meluncur ke tujuan.

Tetapi memang dasar kebiasaanku yang lebih suka berjalan kaki, maka dalam perjalanan kali ini aku hanya memesan transportasi online ini hingga di Kantor Pertanahan Kota Pontianak. Dari kantor itu aku memutuskan untuk berjalan kaki ke tujuan akhir.

Ternyata ideku tak berjalan mulus. Begitu aku turun, hujan gerimis datang. Beruntung aku menyimpan sebuah payung lipat di dalam folding bag sehingga perjalananku menuju tujuan akhir tak tertunda.

Aku terus melangkah di sepanjang Jalan Sultan Abdurrahman dan berlanjut ke Jalan Sultan Syahrir. Ketika sebagian besar pengendara motor menghindari gerimis dan memilih berteduh justru aku berasyik ria berjalan kaki menggunakan payung yang kubawa dari rumah. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memperhatikan tingkah lakuku di sepanjang jalan yang sering berfoto selfi dan mengambil beberapa foto di spot kota yang menarik.

Aku akan memulai eksplorasi kali ini dari Rumah Adat Melayu.

Setelah berjalan sejauh satu setengah kilometer, aku tiba di Kompleks Perkampungan Budaya. Terdapat dua rumah adat di kompleks ini, yaitu Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng khas Suku Dayak.

Dimulai dari bagian luar, tepatnya di sepanjang trotoar di depan rumah adat ini dihiasi dengan tiang-tiang lampu berbahan kayu penuh ukiran yang membuat suasana semakin kental dengan budaya Melayu. Pintu gerbangnya pun dibuat anggun dengan ukiran khas Melayu

Bentuk rumah balai dalam adat Melayu melambangkan falsafah gotong royong dan kesetiakawanan sosial. Rumah Adat Melayu ini selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata, juga berfungsi sebagai pusat acara adat dan sebagai tempat musyawarah bagi Majelis Adat Budaya Melayu.

Rumah adat berusia 17 tahun ini memiliki bentuk yang anggun dengan model rumah panggung dan memiliki atap Lipat Kajang dengan kemiringan yang curam. Berwarna dasar kuning khas Melayu yang melambangkan kejayaan.

Sedangkan di halaman Rumah Adat Melayu tampak beberapa patung lelaki Melayu yang sedang mengeluarkan jurus dalam pencak silat yang merupakan kesenian bela diri khas Melayu. Tepat di depan rumah terdapat Meriam tunggal berukuran besar. Sedangkan tanaman-tanaman hias tampak membuat suasana semakin asri di halamannya.

Aku menyempatkan diri mengelilingi rumah adat ini walaupun tidak bisa memasukinya karena tidak dibukanya akses masuk.

Melintas di depan Pontianak Convention Centre.
Bagian terluar dari Rumah Adat Melayu
Tampak depan.
Halaman berhiaskan meriam besar.
Salah satu sculpture di Rumah Adat Melayu.

Sebelum meninggalkan area Rumah Adat Melayu, aku bertemu dengan satu rombongan keluarga asal Bandung yang sedang kesusahan mengambil foto dengan tripod. Oleh karenanya , aku berinisiatif untuk membantu mengabadikan foto mereka di halaman utama Rumah Adat Melayu ini.

Kiranya kunjungan ke Rumah Adat Melayu telah usai, saatnya bergeser ke sebelah barat. Terdapat satu lagi rumah adat di Kompleks Perkampungan Budaya ini.

Menyeruput Kopi Robusta di Warung Kopi Asiang

Tetap saja, aku menyantap Es Krim Angi dengan penuh rasa khawatir akan kemuingkinan mengalami penularan COVID-19 saking penuhnya pengunjung di warung es krim. Tapi apapun itu, aku masih saja bisa menikmati kelembutan es krim ternama tersebut.

Usai membayar es krim yang kupesan di kasir, aku segera keluar dari keramaian warung dan mengambil posisi berdiri di pinggir jalan.

Aku memutuskan kembali untuk memesan transportasi online menuju barat sejauh dua kilometer. Kali ini aku dihantarkan oleh seorang pengemudi berdarah Madura. Tetapi toh tetap saja, karena semenjak kecil sudah lahir di Pontianak maka dia susah berbahasa Madura.

Memahami bahwa aku akan menuju ke sebuah destinasi kuliner yang melegenda di kotanya maka dia pun mulai membuka sebuah cerita. Diceritakan dahulu bahwa sepanjang jalan yang kulewati adalah berasal dari sebuah kanal yang diurug untuk dijadikan jalanan.

Aku sendiri dibawanya menyusuri tiga ruas jalan berbeda yaitu Jalan Sultan Abdurrahman, berlanjut ke Jalan Teuku Umar dan Jalan Diponegoro. Dan aku melihat memang di sepanjang ketiga jalan itu terdapat kanal memanjang yang menyejajarinya. Mungkin kanal yang diurug menurut cerita si pengemudi online itu adalah kanal yang kulihat dengan cukup jelas di sepanjang Jalan Diponegoro.

Sedangkan Warung Kopi Asiang terletak di seberang kanal, tepatnya di Jalan Merapi yang merupakan jalan cabangan dari Jalan H. Agus Salim.

Warung Kopi Asiang diceritakannya sebagai sebuah warung kopi yang asalnya dibuka hanya untuk melayani para tenaga dan pengunjung pasar. Kala itu Asiang sang pemilik masihlah sangat muda.

Lambat laun warung kopi itu semakin ramai dan makmurlah Warung Kopi Asiang mulai saat itu. Untuk mempertahankan orisinalitasnya maka Asiang tak pernah mau membuka warung kopi cabang dimanapun. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa Warung Kopi Asiang hanya ada satu di seluruh penjuru Pontianak.

Harusnya Bang Donny berkunjung ke Warung Kopi Asiang saat pagi bersamaan dengan riuhnya para pedagang yang berjualan di pasar. Karena saat pagi hari, Koh Asiang akan datang ke warung dan melakukan demo pembuatan kopi khasnya. Dia akan menyeduh kopi dengan bertelanjang dada di hadapan para pengunjung warung”, pengemudi itu memberi saran.

Aku mengiyakan saja karena toh aku hanya punya waktu di saat siang itu untuk melakukan eksplorasi. Mungkin suatu saat nanti kalau ada waktu lagi berkunjung ke Pontianak, aku akan menyambangi warung kopi itu pagi-pagi sesuai anjurannya.

Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit aku sampai.

Begitu terpesonanya aku ketika pertama kali tiba. Bagaimana tidak, seluruh bangku di warung kopi itu telah penuh. Tak hanya para pengunjung berumur, tetapi para penikmat kopi dari kalangan muda usia juga hadir di sana. Ini bukti bahwa Kopi Asiang bisa diterima oleh semua kalangan.

Melihatku berdiri cukup lama sembari berharap segera ada pengunjung yang selesai menyeruput kopinya lalu meninggalkan bangku maka seorang pelayan warung datang menghampiriku. Setelah tahu bahwa kedatanganku untuk menikmati kopi di warungnya maka dia berinisiatif mengambil kursi beserta meja plastik dan ditempatkannya di halaman ruko kecil di sebelah Warung Kopi Asiang. Ruko itu tampaknya memang sedang tutup. Maka di halaman ruko itulah aku akan menikmati secangkir Kopi Asiang.

Lagi dibuatin kopi sama si kakak…
Penuh kan?…..Ckckckck.
Kopi Robusta penutup eksplorasi hari itu.

Walaupun kopi susu tampak menjadi pilihan favorit para pengunjung, toh aku lebih memilih meyeruput kopi robusta yang konon sangat terkenal cita rasanya di warung kopi berusia 64 tahun ini. Beruntung aku tiba dua jam sebelum warung tutup sehingga aku merasa tak terburu waktu untuk menyeruput kopi.

Saking menikmatinya, waktu satu setengah jam pun menjadi tak terasa ketika duduk di warung itu. Perlahan pengunjung satu per satu menyudahi kunjungannya. Kebetulan kopi di cangkirku hanya tinggal satu atau dua seruputan saja. Aku pun berniat sama untuk menyudahi wisata gastronomi tersebut.

Membayar secangkir kopi robusta dengan Rp. 6.000 akhirnya aku menyudahi petualangan sore itu dan berniat untuk segera kembali ke hotel.